Sunday, December 13, 2009

Privat


Di manakah batas kata “privat”dapat dipancangkan di zaman ini?

Maka menjadi menakutkanlah kata privat itu bagi orang-orang yang berkuasa dan memiliki uang. Kini, manakala orang-orang yang berada dalam lingkar kekuasaan dan uang berusaha bermain-main dengan kata “privat”, terbayang pada mereka sebilah pisau tajam yang akan menusuk dengan buas ke jasad mereka.

Di negara dunia ketiga (bahkan mungkin di negara maju sekalipun), privasi hanyalah milik para penguasa dan milyarder. Orang miskin dan jelata “dilarang” menuntut yang privat!

Berjalanlah ke kompleks perumahan orang kaya (Pondok Indah, misalnya), sebatas mana anda mampu menerka isi rumah, atau kegiatan yang terjadi dalam salah satu rumah besar yang tegak di sana? Privasi pemilik rumah besar-rumah besar itu sudah dimulai sejak pandangan mata kita.

Dalam sekali melintas, mata kita akan menyaksikan pagar tinggi, pos satpam sekaligus sang satpam, dan terkadang anjing penjaga yang gampang menyalak. Panorama itu sudah memberikan pengertian pada kita bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam rumah besar itu, bukan sesuatu yang mudah ditembus. Sekali lagi, privasi telah dimulai sejak pandangan mata.

Di tempat lain, berjalanlah sekali malam di sekitar jalan Latuharhary, atau di sekitar Menteng. Kalau beruntung, anda akan menyaksikan sepasang manusia melakukan persetubuhan di bangku taman. Atau di sekujur jalanan Jakarta, bagi orang-orang di tepian jalan, tidur tidak berada dalam kata-kata “di balik selimut” atau “di dalam kamar”. Tidur dalam pengertian apapun, bukanlah pekerjaan yang privat. Siapa pun, kalau mau, dapat mengakses tidur (kecuali mimpinya) orang-orang jalanan.

Namun, privasi itu kini menjadi pisau bermata dua bagi penguasa dan orang-orang banyak uang. Pisau mata pertama menjadi penanda agar hidup penguasa dan orang kaya dapat disusun sesuai keinginan. Sedangkan pisau mata kedua adalah segala sesuatu yang berusaha dibuat privat yang menghantam di kemudian hari.

Keadaan itu terjadi sejak Mahkamah Konstitusi memperdengarkan rekaman pembicaraan orang-orang yang diduga terlibat dalam rekayasa kriminalisasi kasus pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Riyanto-Chandra M Hamzah.

Penguasa dan orang kaya kerap mengaburkan atau lupa cara menggunakan hak istimewa dalam privasi. Praktek rahasia yang biasa mereka terapkan dalam kamar tidurnya mau diterapkan pula pada segala sesuatu yang sebenarnya milik publik. Inilah masalahnya: privasi menjadi menakutkan jikalau ia (sebenarnya) berhubungan erat dengan yang publik.

KPK, bail-out dana Bank Century adalah dua hal yang sangat erat hubungannya dengan publik. Ia menjadi pisau yang menakutkan ketika penguasa dan orang kaya berusaha menggunakan kebiasaannya dalam kerahasiaan rumah gedungnya untuk membunuh kebenaran dalam urusan itu. Kini, yang publik sudah menelan privasi yang bukan pada tempatnya itu. Dan bola pun bergulir tanpa basa-basi merobohkan pagar tinggi, pos satpam, dan memenggal moncong anjing penjaga di rumah-rumah besar itu.

Padahal, rekaman, teknik penyadapan, audio, semula adalah ilmu pengetahuan buah modernisme milik renaissance untuk “menaklukkan” dan “mengatasi” alam. Ia semata teknologi yang pada dirinya sendiri tak ada hubungannya dengan sosial, gerak masyarakat, apalagi meja terhormat Machfud Md di sisi taman Monas itu. Ia hanya keangkuhan lama untuk menghukum mitos asli.

bersambung....

Tuesday, November 17, 2009

Sajak Ini Memang Kutulis Buatmu, Puan

:papua

di dalam mata televisi, masih ada mata lagi, di dalamnya, masih ada mata lagi. televisi kita yang sibuk menata cadar pada wajahnya yang pertama. televisi yang meratap karena kucabut cadarnya. sebab, engkau lebih cantik dari televisi. dan aku tak mau televisi menyembunyikan kecantikannya

seperti televisi, cantikmu pada mata. di dalam matamu, masih ada paruparu lagi, masih ada pipa darah lagi, masih ada embun yang turun pelanpelan mengikuti lagu jantung lagi, dan barangkali seplastik air mata

pernahkah kau uji kecantikanmu? masuk ke dalam televisi yang menophause diperkosa nasionalisme? maka mendaratlah kau di wamena, atau serui, atau biak

di langkah pertama:

dengan kakimu, kau harus remukkkan contact lens yang menyebabkan matamu nyaris seindah fajar muda. di papua, yang kabur di mata mungkin lebih asli

di langkah kedua:

dengan tanganmu, kau mesti koyakkan baju yang nyaris selalu cemerlang di tubuhmu. di sana, kecuali aku, siapa ambil peduli misteri tubuhmu? lebih dari sekedar mulus kulitmu, mereka lebih tahu bagaimana misteri di sebaliknya. kulit bukan lagi tirai, sebab masa lalu terlalu terbiasa memaksa mengubah kulit dengan merah daging: setiap kali dendam dikisahkan

tak ada lagi kesempatan mata pace sebagaimana mataku. sebab mereka sedang berlari-lari menyusun kembali usus yang terburai. matamu takkan dipergunjingkan, tubuhmu takkan dikuakkan

aku ingin lihat kau telanjang dan mendengarkan ribut di jantung mama-mama!

bergeserlah sedikit! tubuhmu yang mempesona itu menutupi mata terakhir televisi. mata terakhir yang sedang kelimpungan menandingi mata air di mata mama-mama

November 15 2009

Wednesday, November 11, 2009

Aku Si Cantik


Setiap Jumat siang, selalu saja, aku tak dapat tidak harus melintasi jalan di depan gedung Walikota itu. Ketika melintas, aku selalu memilih melangkah di trotoar seberang gedung. Dan aku akan berjalan mengendap-ngendap sembari menyembunyikan diri di balik pohon penyejuk yang berjajar di sepanjang trotoar.

Sungguhlah mereka yang setiap Jumat terik ada di depan gedung Walikota itu adalah orang-orang berkepala batu. Mereka masih saja bersetia berteriak-teriak ke arah gedung yang tak pernah menjawab itu. Mereka mengibar-ngibarkan spanduk dan panji-panji sambil menuntut yang mati hidup kembali.

“Kembalikan kawan kami! Kembalikan ayah kami! Hidupkan lagi suamiku!”

Dengarlah kawan, ke mana pun kalian pergi, takkan pernah ada orang mati bisa kembali hidup. Dongeng-dongeng mukjizat yang dapat mengembalikan nyawa manusia itu hanya ada di kitab-kitab usang. Kisah-kisah itu hanyalah perumpaan kaum bijaksana agar rakyat dapat dituntun. Namun soal kebenarannya, jelas itu dusta belaka.

Karena kehidupan takkan kembali setelah kematian yang mutlak datang, kita pun memakamkan jenazah. Sebenarnya, apalah gunanya makam dan nisan? Makam dan nisan hanyalah isyarat bahwa kita sebenarnya tak begitu rela dengan hilangnya sesuatu yang pernah hidup di sekitar kita. Mengunjungi makam dan menatap lekat-lekat sebuah nisan, hanyalah cara bagi kita untuk mengatasi kerinduan yang tak mungkin terpuaskan terhadap yang mati.

Padahal, manusia mungkin seperti sepokok beringin di tengah taman kota yang hidup ratusan tahun. Berapapun banyaknya sejarah dan peristiwa yang menyertai beringin itu, dia juga akan rebah dengan sendirinya jika kematian sudah menamatkan. Beringin mati, dan kita memakluminya lebur bersama tanah tanpa memberi tanda dan bersedih.

Tapi kematian bukan demikian bagi orang-orang yang berkumpul di depan gedung Walikota setiap Jumat itu. Bagi mereka, kematian dapat dan harus dikembalikan lagi. Dan orang-orang yang ada di gedung itu dihujat dan dituntut agar dapat menghidupkan kembali. Benar-benar pekerjaan gila!

Namun, semuak-muaknya aku terhadap mereka yang berteriak-teriak itu, aku tetap tidak bisa melewatkan satu Jumat pun dengan tidak melintas di jalan itu. Tentu selalu dengan mengendap-ngendap.

***

Aku si cantik. Itulah pengetahuan tentang diriku yang paling kuketahui sejak kukenal pergaulan dengan orang lain. Sewaktu masih kanak-kanak, tak kumengerti benar apa dan akibat apa yang harus kuterima disebabkan “aku si cantik” itu.

Teranglah kemudian, ketika kali pertama aku masuk ke sekolah menengah, nyaris semua mata kakak kelasku yang lelaki menuju padaku. Mata yang dulu tak kumengerti. Mata dengan niat yang sama. Saat menatapku, mereka tak lagi punya bola mata. Yang ada hanya labirin warna yang tak berhenti berputar seperti lingkar obat nyamuk tanpa ujung.

Keadaan itu terus berlangsung hingga aku dewasa. Mula-mula kunikmati itu. Sebagai perempuan, siapa yang menolak puji-puja? Bukankah perkataan “kamu cantik” dari lelaki buaya mana pun tetap saja membuat diri melambung dan melayang-layang lupa turun?

Namun, dari sekian banyak lelaki tukang puja itu, bagiku satu saja. Aku memang tak menolak pujaan siapa pun. Dan sekali-sekali kutanggapi juga pujaan itu dengan bersedia berkencan sekedar nonton bioskop atau makan malam. Tapi, tentang siapa sebenarnya yang menyebabkan aku sungguh-sungguh merasa menjadi perempuan, aku tak punya nama lain selain “Juan.”

Juan menyenangkan. Dulu, dialah laki-laki yang kuanggap paling gila. Dia atraktif, ekspresif, selalu berpikiran ringan. Berada di dekatnya, aku merasa dunia selalu menghadirkan kegembiraan yang tak pernah usai. Dia suka pesta, namun tidak suka ke diskotik. Dia doyan mabuk, menenggak alkohol, dan menghisap marijuana. Dan dia adalah gitaris blues yang menawan. Hal yang sulit hilang dari kenanganku adalah saat dia mengecup bibirku untuk pertama kali. Dia mengecup sambil menitikkan air mata dan berbisik, “aku lumpuh tanpa kamu.”

Sejak itu, tak ada hari tanpa Juan. Kebahagiaanku mencapai puncak. Jika kebanyakan perempuan cantik sulit menemukan cinta karena hanya tubuhnya yang menonjol, aku sudah menemukannya. Aku tak perlu jauh-jauh memikirkan siapapun, aku cukup membayangkan Juan, lelaki kurus pemabuk yang pemberontak itu. Semakin kularang dia mabuk, semakin membelotlah dia, dan semakin dalam perasaanku padanya.

Namun hidup memang menyediakan tikungan tajam tak terduga. Hidup memang enggan memberikan kebahagiaan dengan gampang. Lewat “waktu”, hidup menghajarku hingga babak belur. Aku pun mulai meragu, sebenarnya tak ada kebahagiaan dalam hidup. Yang ada hanyalah perburuan demi perburuan mencari bahagia. Dan manusia, senantiasa terjebak dalam perburuan tanpa akhir itu.

Hajaran “waktu” datang pada suatu pagi. Ibu membangunkanku lebih awal. Tanpa berbasa-basi, ibu memintaku mandi dan merias diri secantik mungkin. “Dandan yang cantik. Kita ke rumah pamanmu. Sudah ditunggu,” kata ibu.

Awalnya aku menolak. Sebab hari itu aku ada jadwal kuliah. Dan yang lebih penting lagi bertemu dengan Juan. Juan, pasti, dan akan selalu pasti, menjemputku. Dengan sepeda motor tuanya, selepas kuliah Juan biasanya mengajakku menyusuri kota. Atau mengunjungi rumah sahabat lamanya di pinggir kota, meminjam kamar beberapa saat untuk bercumbu-cumbuan.

Namun ibu seperti tak peduli. Tanpa merasa perlu menjelaskan banyak hal, dia hanya memerintahku untuk membersihkan diri dan bersolek. Itu saja!

Dan taksi yang kami tumpangi pun sampai ke rumah paman. Sebagai saudagar peternak ikan, paman mampu membeli rumah yang besar, halamannya luas dan teduh. Semasa kanak, aku sering berkunjung ke tempat paman. Menghabiskan hari bersama Ani dan Linda, anak perempuan paman yang usianya sedikit di bawahku.

Di halaman belakang rumah, paman dan tante menyambut kami. Di meja, sudah tersedia makanan dan minuman yang menerbitkan selera. Ani dan Linda yang kini sudah dewasa pun sudah mengambil tempat masing-masing.

Namun, ada yang berbeda kali ini. Mata ibu, paman, tante, Ani, dan Linda, tak seperti biasanya. Bukan tatapan sebagaimana dulu aku datang untuk menghabiskan hari dengan berlari-larian di halaman. Ada cahaya yang ganjil dari wajah mereka semua.

Dalam suasana ganjil yang sedikit hening itu, paman memecah keadaan dengan meminta tante memanggil Patra. “Suruh dia kemari,” kata paman dengan nada sedikit memerintah.

Maka datanglah Patra. Lelaki tinggi kurus yang setengah rapi itu duduk di salah satu kursi dengan mata yang tak peduli.

“Patra, kamu ingat Aida bukan. Lihat, Aida, anak tante Marni. Dia cantik dan menjadi kembang di mana pun,” ujar Paman.

Sebenarnya aku tak suka dengan perkataan paman. Dia seperti menawar-nawarkan aku kepada Patra. Dia seperti menyuguh-nyuguhkan aku dengan anak sulungnya itu.

O ya, mengenai Patra, sejak bocah aku tak terlalu suka dan terlalu peduli dengan dia. Patra, yang usianya terpaut dua tahun di atasku itu, terlalu pendiam. Dia terlalu banyak tinggal di kamarnya, membaca buku. Sepenglihatanku, dunianya hanyalah buku-buku. Sesekali aku menganggapnya mengidap kelainan jiwa. Jikalau aku dan Linda dan Ani berlarian di halaman, dia hanya sesekali melongok ke luar. Namun, tatapannya tidak menuju padaku, Ani, atau Linda. Tatapannya seperti menuju langit, menuju arah yang tak bersimpul.

Kemudian hari, tahulah aku ihwal perjumpaan di halaman belakang rumah paman pada pagi itu. Ibu memintaku (untuk tidak menyebut memaksaku) menikah dengan Patra. Alasannya, paman khawatir dengan tindak-tanduk Patra. Sejak dia mulai belajar di perguruan tinggi, Patra semakin jarang di rumah. Dan sejak itu pula, paman seringkali merasa rumahnya diintai orang.

Paman merasa pernikahan barangkali dapat menghentikan tindak-tanduk Patra. Setidaknya, dia akan lebih sering di rumah, ada teman berbicara. Jika punya anak, dia akan terikat dengan tanggung jawab, dan hidupnya akan lebih aman.

Sebagai perempuan, satu yang tak bisa kubantah: perintah ibu. Hanya dengan alasan paman yang menghidupi kami dan menyekolahkanku sejak ayahku meninggal belasan tahun yang lalu, aku dipaksa. Paman adalah sahabat terbaik ayahku. Kata ibu, ayahku pernah menyelamatkan paman ketika hidup paman masih miskin. Dan ketika ayah dijemput maut, paman berjanji akan menanggung kehidupan kami.

Sejak pertemuan di rumah paman itu, sekali lagi, aku yakin hidup benar-benar tak membahagiakan. Ia hanya menjerumuskan manusia ke dalam perburuan-perburuan kebahagiaan yang tak berhenti. Dan aku terjebak dalam pusarannya.

Betapa tidak? Aku harus meninggalkan dan kehilangan Juan. Laki-laki pembelot yang kucintai sepenuh hati. Dan secara tiba-tiba aku dipaksa hidup dan bersetubuh dengan laki-laki pendiam yang tak peduli pada dunia sekelilingnya. Juanku harus digantikan dengan seorang laki-laki pengidap kelainan jiwa.

Dan benarlah, hari pertama pernikahan kami, tatapan matanya masih seperti tak peduli, masih melayang ke arah entah. Dia tak menyentuhku malam itu, dan aku pun enggan disentuhnya.

Sebagaimana dulu kukenal semasa kanak, Patra tetaplah pendiam dan tenggelam dalam buku-buku. Ia seperti manusia yang tak bergairah. Ia jelas tak ada apa-apanya dibanding Juan. Aku mengira ia sama sekali tak pernah jatuh cinta, bahkan terhadap lelaki sekali pun.

Jika perasaan “aku cantik” itu muncul, aku benar-benar muak dengan Patra. Aku, si cantik, kembang taman yang tiada banding, seharusnya bisa hidup lebih indah. Jika tidak menjadi istri seorang pengusaha atau selebritas, aku pastilah perempuan yang dapat diandalkan dalam karir. Sementara itu, setiap hari aku harus berhadapan dengan kutu buku yang tak peduli dan jarang bicara. Patra berbicara sedikit banyak hanya ketika di ranjang. Itu pun lebih banyak kudengar lenguhnya saja.

Pada suatu malam yang mendung, aku masih lelap di atas ranjang selepas bersetubuh dengan Patra. Tidurku tiba-tiba terjaga karena petir begitu kerasnya. Hujan pun begitu derasnya, ibarat sejuta dewa menitikkan air mata dari langit.

Itulah untuk kali pertama aku menyaksikan Patra, tepatnya, menyaksikan sesuatu yang tak pernah kutemui dari Patra. Saat kelopak mataku terbuka lamat-lamat, kusaksikan Patra duduk bertekuk lutut di pojok ranjang sambil menatapku. Tatapannya begitu dalam, menelusup pesat ke hatiku yang paling lubuk. Aku sampai-sampai tak sanggup membalas tatapannya.

Patra berkemas. Dia memasukkan sejumlah buku dan beberapa setel pakaian ke dalam tas ransel. Sebelum pergi, ia mengecup keningku.

***

Hujan belum sepenuhnya habis menitikkan air dari langit. Masih pukul setengah tujuh pagi. Pintu rumahku diketuk dengan cara yang sopan, namun tak berhenti. Saat daun pintu kukuak, dua orang yang mengaku polisi mengabarkan padaku:

“Nyonya Aida, maaf mengganggu Anda pagi-pagi. Sebelumnya kami mohon maaf dan berduka cita, suami Anda, tuan Patra Harun, beberapa jam lalu tewas ditembak. Pembunuhnya masih kami cari. Siang ini kami minta Anda datang ke kantor kami untuk dimintai keterangan.”

Sesaat setelah dua polisi itu berlalu, giliran wartawan menyerbuku dengan sejuta pertanyaan. Ternyata, mereka datang bersama polisi dan memberikan polisi kesempatan lebih dulu menyatakan maksud.

“Mbak Aida, bagaimana perasaan Mbak dengan peristiwa ini? Apa pesan terakhir mas Patra sebelum kematiannya? Apakah Mbak merasakan keganjilan sebelum kematiannya, misalnya, rumah Anda diteror, atau Anda sendiri yang diteror?” tanya seorang wartawan yang bertampang cerdas namun kucel dan serius.

“Apakah yang paling berkesan dan Anda ingat dari rumah tangga Anda? Apakah dia suami yang baik? Apakah Anda mencintai dia? Anda berniat menikah lagi? Mengapa Anda tidak pernah tampil di hadapan publik?” tanya wartawan yang berwajah bodoh namun kucel dan tampak suka mengurus perceraian rumah tangga orang.

Selepas semua wartawan itu pergi, aku duduk menekuk lutut di balik pintu. Mereka, wartawan-wartawan itu, pastilah pulang dengan tangan hampa. Mereka juga tak dapat menemukan air muka sedih di wajahku. Ya, aku hanya terkejut mendengar kabar itu. Tak ada rasa kehilangan, bahkan aku tak menitikkan air mata setitik pun.

Aku tak pernah bisa menjawab seluruh pertanyaan itu. Semua pertanyaan, meski terdengar untuk kepentingan investigasi, lebih terdengar seperti ocehan tetangga yang ingin mengusik rumah tanggaku. Bagaimana aku bisa menjawab apakah ada teror sedang aku sendiri tak tahu dan tak mau tahu kehidupan Patra di luar rumah? Dia memang suamiku, tapi pekerjaannya yang kutahu hanyalah pemilik peternakan ikan yang diwariskan ayahnya.

Memang, sekali-sekali kudengar juga kabar bahwa dia adalah orang yang disegani oleh banyak petinggi kota, bahkan negara. Sekali-sekali, kudengar juga kabar bahwa Patra dibenci banyak orang kuat. Tapi, aku tidak terlalu tahu dan tidak mau tahu. Aku tak pernah menaruh perasaan yang dalam padanya. Rumah tangga kami seperti rumah tua tak berpenghuni yang nyaris roboh.

Aku pun diseret-seret ke kantor polisi dan pengadilan. Di tempat-tempat yang tidak pernah kukunjungi sebelumnya itu, kudengar wartawan berbisik-bisik, “gila, istrinya cantik juga ya. Kasihan, istri secantik itu ditinggal suami.”

Atau, sering kutemui polisi atau aparat yang tampak begitu simpati padaku. Bukan karena aku menjadi janda muda tanpa anak karena suamiku mati dibunuh, tapi karena mereka terpesona dengan kecantikanku. Pada saat-saat itu, aku mulai merasakan kejayaanku yang dulu: aku si cantik. Ternyata, kebebasanku kudapat setelah Patra tiada. Dan aku kembali menjadi kembang yang gemilang.

Sesaat setelah aku dimintai keterangan yang entah keberapa kali oleh polisi, aku langsung berusaha mencari Juan.

***

Manisnya ciuman Juan masih berbekas di bibirku. Sore kemarin, aku mengunjungi rumah kosnya di pojok kota. Tak banyak yang berubah dari penampilan tempat tinggalnya itu. Masih saja berantakan: abu rokok berserak-serak di lantai, poster Jimi Hendrix yang terpampang di salah satu bidang tembok, satu gitar akustik, satu gitar elektrik sekaligus amplifier, dan ranjang yang seprainya tak pernah rapi.

Juan tetaplah Juanku yang dulu. Dia masih periang dan membuatku selalu bahagia di sisinya. Namun demikian, dari matanya yang selalu gembira itu, aku tetap merasakan kepedihannya karena pernikahanku dengan Patra. Ayolah kekasih, aku kini bebas kembali. Mari kita bersama lagi dan tak ada yang mampu menceraikan kita.

Semula Juan memang agak segan padaku. “Di mataku, Kau masih tetap istri orang,” katanya. Tapi aku tahu, Juan kesepian. Bagi laki-laki liar seperti dia, kesepian adalah hal yang menyakitkan. Semakin dia liar, semakin tajam rasa sepinya. Dulu, akulah yang menyebabkan kesepiannya seimbang. “Sejak Kau pergi, aku tak pernah punya perempuan,” tuturnya sambil menundukkan wajah.

Aku tak mampu mengelabui hatiku, aku masih mencintainya. Maka kudekatkan tubuhku padanya, kuusap rambutnya sebagaimana dulu. Kukecup ubun-ubunnya, kuraih bibirnya, dan aku menyerah padanya agar kami masuk ke dalam kenangan kebahagian di masa lampau.

Setidaknya, sejak kematian Patra dua tahun yang lalu, tiga kali seminggu aku selalu mengunjungi Juan. Berulang kali kuminta dia menikahiku. Juan hanya menjawab, “nanti, pasti aku akan menikahimu,” kata dia. Dia hanya ingin meyakinkan diri bahwa aku benar-benar hanya memikirkan dia dan melupakan Patra. Dan baiklah, aku maklum. Dan dia pun maklum dengan kebutuhanku terhadap sentuhannya.

Sebenarnya, ada satu rahasia yang tak kuungkap kepada Juan: aku selalu melintas di trotoar di seberang kantor Walikota setiap Jumat siang. Mengapa itu selalu kulakukan, itu pun masih misteri bagiku. Selalu ada perasaan yang mendorongku untuk melintas di jalan utama itu setiap Jumat. Dan entah kenapa, aku selalu ingin merahasiakannya dari Juan.

Lagi-lagi, untuk yang keberapa kali, kusempatkan melintas ke jalan di depan gedung Walikota itu. Siang kali ini tak terik, tapi mendung. Awan hitam bergayut-gayut menunggu saat menjadi hujan. Dan kilat menyala-nyala meramaikan petir yang bersabung-sabungan.

Aku sudah berdiri di pangkal jalanan. Sebagaimana biasa, orang-orang yang tak sampai jumlahnya dua puluh itu masih berteriak-teriak menuntut yang mati kembali hidup. Aku tak mengenal mereka. Televisi dan media massa hanya menyebut mereka sebagai sahabat-sahabat terbaik aktivis pembela rakyat yang tersohor hingga ke Eropa dan Amerika Serikat bernama Patra. Protes ini pun sebenarnya juga dilakukan di ibukota negara, di depan Istana Kepresidenan.

Dengan pakaian hitam-hitam, mereka mencaci maki gedung Walikota yang angkuh itu. “Kembalikan kawan kami! Kembalikan ayah kami! Hidupkan lagi suamiku!”

Memang bukan Patra seorang yang mereka minta untuk dihidupkan lagi. Di sana ada ibu-ibu tua yang menginginkan anak lelakinya yang hilang, anak kecil yang kehilangan ayah, dan beberapa perempuan yang kehilangan suami. Namun Patralah yang menjadi simbol utama. Gambar Patralah yang tercetak paling besar di spanduk dan bendera protes.

Dan entah kenapa, dalam kunjunganku yang satu ini, firasatku tak baik. Memang aku selalu mengendap-ngendap dari pohon ke pohon yang berjajar di trotoar. Itu kulakukan, karena aku tidak ingin orang-orang berpakaian hitam itu melihatku.

Lalu hujan benar-benar turun. Orang-orang berpakaian hitam itu masih tetap tegak di sana. Satu persatu titik air membasahi baju mereka, melunturkan cat di spanduk, dan menghancurkan kibar panji karena bendera basah menjadi layu. Tapi mereka masih berteriak. Suara protes dari pengeras suara kian hilang karena harus bertempur dengan deru hujan dan gelegar petir.

Jantungku berdegup kencang. Aku masih mengendap-ngendap. Saat melintas di antara satu pohon ke pohon yang lain, aku dikejutkan oleh suara yang membentak: “heh! Kenapa kau kemari! Dasar perempuan pengkhianat! Istri yang tidak berbakti! Perempuan murahan!”

Aku tak berani melihat wajah yang membentak. Dengan penuh rasa takut dan malu, kupacu kedua kakiku sekencang lari kuda meninggalkan jalan itu, meski aku tahu, mereka tak berniat mengejarku, apalagi membunuhku.

Jakarta, 11 Oktober 2009




Tuesday, November 10, 2009

Pada Sebuah Festival Blues Di Negeri Kami


kalau lelaki kuning kelahiran semarang menjambak gitar, penguasa mana berani memperkarakan sipit matanya
nadanya bahkan hitam
nafasnya bau georgia

negro sudah lihai menanak nasi. bule sudah pandai mengukus bolu pandan. dan anakanak melayu keranjingan menyuling bir

doa, doa jualah yang mengupak kulit kami. o, betapa kami mau telanjang saja sampai waktu menyambut mati

dan seorang pendeta negro yang remaja menghembuskan mantra masa lalu lewat setangkai harmonika. menjelang hebat tuak, bibir tebalnya gelegak memerintahkan kayukayu amerika yang berdebu merangkak dan melarungkan diri di kali ciliwung

November 9 2009

Monday, November 9, 2009

Tentang Kebahagiaan

Duka setelah menyimak Snow karangan Orhan Pamuk

Kars adalah kota politik. Namun politik tak selalu menunjukkan ketajaman pikiran. Di dalam kemelut politik, kota dengan musim dingin yang panjang di timur Anatolia, Turki, itu mengajarkan semacam kebahagiaan dalam definisi yang lebih muram: menonjolnya rasa sakit yang menyertai cinta.

Kerim Alakușoğlu, atau Ka, telah datang ke kota politik itu bukan untuk politik, hanya demi cinta. Sang penyair yang lahir dari keluarga menengah Turki itu pindah ke Frankfurt, Jerman, sebagai buangan politik. Setelah dua belas tahun di Eropa bertualang sebagai penyair Turki-Jerman, ia kembali ke Kars dan tenggelam dalam “Salju”.

Memang, dengan status buangan politik, lajang berusia 42 tahun itu tetap berbicara dan terlibat dalam politik perang saudara di Kars. Namun, politik hanyalah menjadi sampiran baginya. Ia datang ke Kars demi kebahagiaan, cintanya yang terpendam selama berbelas-belas tahun pada seorang kawan lama nan cantik, Ipek Hanim.

Selama tiga hari di Kars, pikiran pertama yang ada di kepala Ka adalah memeluk Ipek seerat-eratnya, menciumnya, dan bercinta dengannya. Kebetulan, ia menginap di hotel milik ayah Ipek di mana Ipek juga bekerja di hotel itu. Maka di bawah turunnya salju yang perlahan, ia terlibat dalam emosi yang tiada banding di sepanjang hidupnya.

Inilah yang terjadi, Ipek akhirnya naik ke kamar hotel Ka. Di saat Ka menantikan Ipek, kesakitan justru menyerangnya. Memang menunggu adalah pekerjaan paling menjemukan. Tapi menunggu saat-saat yang dinantikan selama umur, selalu menyertai kesakitan.

Selama Ipek belum mengetuk pintu kamarnya, Ka gelisah seperti anak ayam yang sadar pisau jagal akan menebas lehernya. Meski ia dan Ipek telah sepakat, di dalam benaknya Ipek bisa saja membatalkan pertemuan itu. Dan seperti biasa, Ka sama sekali tak dapat mengajukan keberatan, bahkan jika Ipek mencibirinya dan mengatakan cinta Ka bertepuk sebelah tangan.

Tetapi, Ipek tidak segera naik. Dan menunggu adalah sebuah siksaan-yang terburuk sepengetahuan Ka. Sekarang Ka teringat bahwa kepedihan inilah, siksaan saat menanti inilah, yang membuatnya takut jatuh cinta.

Namun kekhawatiran Ka sama sekali tak terjadi, Ipek mengetuk pintunya. Mereka berciuman, dan pertemuan selanjutnya dihabiskan dengan percintaan. Percintaan yang selama ini hanya ada dalam imajinasi Ka yang sunyi, kini berhasil ia peroleh. Sungguh kebahagiaan yang tak terkira.

Dan tibalah waktunya, ketika seorang penyair akan dirusak oleh perasaannya, oleh cintanya. Persetubuhan itu memang membahagiakan Ka. Namun, di belakangnya, Ka berpikir bahwa penderitaan akan menyertainya, karena kebahagiaan itu tak dapat bertahan lama. Ketakutan akan kebahagiaan yang akan pergi meninggalkannya itu sering kali mencemari kebahagiaan yang sedang ia nikmati.

“Dan ingatlah ini: mereka yang mencari kebahagiaan justru tidak akan pernah menemukannya,” kata Lazuardi, pemimpin kelompok Islamis yang membuat Ka cemburu, karena Ipek pernah jatuh cinta kepada Lazuardi secara gila di masa lalu.

Seringkali, bukan saja Ka, mungkin seluruh penyair, atau calon penyair, atau lelaki manapun, menilai kebahagiaan adalah mata uang dengan dua sisi. Kebahagiaan itu selalu menerbitkan cinta dan kengerian. Seringkali, masa depan dalam cinta itu diukur dengan rasa takut. Dan ketakutan itu akan ikut terseret setiap kali lelaki merasa menemukan kebahagiaannya.

Atau, sebenarnya, lelaki seperti Ka, adalah lelaki yang terlalu pusing memikirkan hal-hal yang tak perlu? Bukankah, kebahagiaan memiliki arti dan batas yang berbeda pada setiap manusia? Apakah takdir kepenyairan Ka menyebabkan ia harus mendefinisikan secara rinci “kebahagiaan”? Sehingga segi-segi kebahagiaan yang paling tersembunyi itu membuatnya merasa frustasi bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya itu tidak pernah ada? Kebahagiaan itu seperti kaki langit: mata dapat memandang, tapi badan takkan sampai padanya.

Maka untuk kebahagiaan yang sulit dicapai itu, Ka, dan laki-laki seperti Ka, harus pandai-pandai menjinakkan pisau kehidupan yang tak berhenti menyayat. Ya, ia hanya mampu menjinakkan, bukan melenyapkan. Sejinak-jinaknya pisau, bukankah ia juga dapat merobek sesiung bawang?

Lagi pula, sebenarnya kebahagiaan tak perlu dirumuskan. Sebab, merumuskan kebahagiaan dengan cara yang puitis hanyalah menyebabkan manusia meletakkan kebahagiaannya dengan standar yang tinggi. Kebahagiaan, misalnya, tidak dapat tidak hanya ada dalam kepemilikan utuh cinta seorang perempuan.

Bagi Ka, atau banyak penyair, atau calon penyair, atau lelaki mana pun, hari akan menjadi gelap ketika mengetahui bahwa perempuan yang dipikirkannya setiap hari, sebenarnya menghormati dan mengistimewakan lelaki lain. Yang diperlukannya hanyalah keutuhan, kepastian bahwa perempuan yang ditujunya sepenuhnya miliknya. Kebahagiaan dalam cinta adalah “kepemilikan”. Lainnya tidak ada!

Setiap lelaki pasti tenggelam dalam perasaan. Namun, tidak semua lelaki merumuskan kebahagiaan dalam dunia perasaannya itu. Maka terkutuklah lelaki yang ditakdirkan mampu merumuskan kebahagiaan itu. Sebab ia tahu, ada kepedihan yang tak dapat dibantah dalam setiap kebahagiaan. Dan kepedihan itulah yang menjadi hantu dalam setiap gerak hidupnya. Ia akan selalu menjadi manusia yang senantiasa khawatir, mampus dalam gelisah.

Malanglah nasib Ka, ia harus kembali ke Frankfurt tanpa Ipek. Di mata Ipek, ia hanyalah pengkhianat yang dengan rasa cemburu membocorkan persembunyian Lazuardi kepada militer. Lazuardi, cinta lama Ipek, tewas dibantai militer yang benci kepada Islamis. Dan Ka tak pernah lagi kembali ke Kars. Empat tahun sejak kunjungan tiga harinya ke Kars, ia tak pernah menulis puisi dan memiliki perempuan lagi. Dalam kesendiriannya yang selalu memikirkan Ipek, Ka mati ditembak di jalan Kaisserrtrasse, Frankfurt.

Dan kematian Ka, menghantarkan Orhan Pamuk, yang menjadikan Ka sebagai bintang utama dalam novel fenomenal berjudul “Snow (Di balik Keheningan Salju)”, meraih Nobel Sastra pada 2006.

November 9 2009

Wednesday, October 28, 2009

Belajar dari Woodstock sambil Menunggu Miyabi


Mereka menari-nari dalam hujan, main perosotan di lumpur pertanian. Sebagian mencopot pakaian, telanjang bulat. Dalam benak anak-anak muda yang sedang menyodorkan budaya tanding ini, tubuh harus diterima sebagaimana adanya. Tubuh-tubuh wanita yang telanjang harus diterima sebagaimana adanya, bukan dalam eksploitasi keindahan ala majalah Playboy. (Bre Redana tentang 40 Tahun Festival Woodstock dalam artikel “Tuhan Memberkati Kalian…” di Kompas edisi 5 Juli 2009).


Kita perlu mencatat pandangan Bre Redana tentang ketelanjangan muda-mudi di Woodstock, Bethel, New York, Amerika Serikat, sesaat setelah hujan badai di pertengahan Agustus 1969 itu. Setidaknya, dengan mengingat-ngingat kembali ketelanjangan mereka, kita tahu bahwa ketelanjangan bukanlah persoalan yang tuntas dalam masyarakat. Dan Woodstock adalah monumen dalam sejarah dunia yang berupaya memberikan pandangan berbeda mengenai “tubuh yang tak bisa lagi dihindarkan dari politik.”

Sejatinya, anak-anak muda barat itu hanyalah berupaya melawan kepicikan orang tua mereka dengan “bertelanjang.” Michel Foucault pernah menelanjangi “politik tubuh” masyarakat barat dalam bukunya yang bertajuk History of Sexuality. Foucault habis-habisan menghujat kemunafikan masyarakat barat yang menistakan ketelanjangan demi kepentingan politik.

Masyarakat barat di zaman dahulu, menurut Foucault, senantiasa menilai ketelanjangan sebagai sesuatu yang tabu. Dengan dalih moralitas agama, ketelanjangan dan seksualitas dilarang muncul di hadapan publik. Namun ironisnya, pentabuan itu dilakukan sekaligus dengan upaya memunculkan kembali seksualitas dalam bentuk yang lebih terselubung dan ideologis.

Dia mencontohkan, urusan ranjang yang seharusnya menjadi urusan paling “privat” dicampuri negara dengan membuat hitung-hitungan statistik untuk membatasi jumlah penduduk. Di sini pembicaraan seks dimunculkan kembali untuk mempolitisasi seks.Di negeri ini, kita pernah mengenal program Keluarga Bencana (KB). Dalam pandangan Foucault, program-program yang membatasi jumlah penduduk berdasarkan perhitungan statistik itu adalah siasat yang ideologis untuk mencampuri urusan ranjang masyarakat.

Program-program semacam itu, tidak semata-mata bermakna untuk membatasi jumlah penduduk demi kepentingan pembangunan. Kekuasaan, dalam rangka mempertahankan kekuasaannya, berkepentingan untuk masuk ke dalam kamar tidur rakyat dan mengatur secara tak langsung persetubuhan rakyat dengan dalih “dua anak saja cukup.” Bukankah target pembangunan suatu rezim-dengan mengendalikan jumlah penduduk-juga bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan rezim itu sendiri?

Kendati demikian, Foucault memuji kerahasiaan ketelanjangan masyarakat timur. Dia menganggap, kebudayaan timur, terutama yang ada dalam kebudayaan agama-agama bumi, justru merahasiakan ketelanjangan dan seksualitas itu untuk menghargai seksualitas itu sendiri. Masyarakat timur, menutup tubuhnya karena bagi mereka, ketelanjangan dan seksualitas adalah sesuatu yang “tinggi." Seks harus dirahasiakan karena masyarakat timur menganggapnya sakral.

Sakralitas dalam ketelanjangan dan seksualitas itulah yang tidak terdapat dalam masyarakat barat. Ketelanjangan anak-anak muda di Woodstock telah membuktikan itu. Karena kemunafikan atas tabu ketelanjangan dan seksualitas, mereka berusaha mengadopsi paradigma masyarakat timur dalam memandang ketelanjangan. Namun, mereka menterjemahkannya dalam bentuk yang lebih berani. Yakni, jika masyarakat timur merahasiakan ketelanjangan sebagai bagian dari sucinya manusia, anak muda Amerika Serikat era 1960-an itu membuka pakaiannya dengan memanusiakan “kebinatangan” manusia dalam hal seksualitas.

Namun, meski bermakna pembebasan, ketelanjangan anak muda di Woodstock tak dapat serta-merta diterapkan di Indonesia. Meskipun yang melakukannya adalah Hippies lokal yang hidup di era 1960-an. Kita tak mungkin telanjang begitu saja meski makna ketelanjangan yang dianut Flower Generation (Generasi Bunga ) itu sesungguhnya meletakkan keagungan manusia di tempat yang paling tinggi.

Tapi kita dapat menyerap prinsip dan cara pandang anak-anak muda Woodstock itu untuk menilai polemik tentang tubuh dan ketelanjangan di negara sendiri. Tanpa perlu membuka baju, bersepakat dengan pandangan “menerima tubuh apa adanya” itu dapat memberikan kita tempat yang nyaman untuk menunggu kedatangan Miyabi.

Oktober 13 2009

Tentang Padang


It is the evening of the day. I sit and watch the children play

Smiling faces I can see. But not for me
I sit and watch, as tears go by
(The Rolling Stones, December's Children (And Every Body's), 1965)

Jiwa adalah sumber utama bagi gerak denyut kehidupan di suatu tempat yang dihuni masyarakat. Jiwalah yang memberikan makanan kepada pikiran untuk menentukan bentuk kehidupan di suatu tempat. Dengan memahami jiwa masyarakatnya, kita hampir mengetahui situasi seluruh kota.

Lalu, apakah yang terjadi dengan sebuah kota jika hampir seluruh penduduknya berada dalam keadaan jiwa yang terguncang nyaris gila?

Pertengahan 2006, seorang kawan mengisahkan kepada saya tentang pengalamannya menjadi relawan gempa bumi Jogjakarta. Hanya karena semangat voluntarismenya sebagai anggota mahasiswa pencinta alam di Jogjakarta, ia datang ke suatu tempat di mana mayat-mayat paling banyak bergelimpang.

Kawan saya bercerita tentang hari yang naas. Ketika truk pengangkut bantuan makanan dan lainnya melintas di jalan desa menuju posko, serombongan penduduk setempat menghadang. Tanpa banyak basa-basi, mereka meminta bantuan itu diturunkan di tempat itu juga. Alasannya, banyak warga di kampungnya yang belum menerima bantuan.

Relawan tentu saja menolak. Sebab, menurut mereka, bantuan harus sampai di posko, dan dibagi secara adil. Nyaris baku hantam terjadi. Siapa yang tidak ngeri dengan orang-orang (korban) yang sedang luka itu? Mereka bisa seperti macan yang darahnya sedang meleler di sekujur tubuh.

Truk memang lolos dan selamat sampai posko. Namun yang lebih naas, penduduk yang menghadang tadi menolak mengantre dan meminta bagian lebih banyak jatah minyak tanah yang sedang dibagikan. Lagi-lagi, terjadi perang mulut. Jika penghadangan masih meloloskan truk, namun kali ini, korban gempa yang bersitegang itu mengeluarkan senjata tajam hendak menikam relawan.

Dalam kondisi normal, relawan tersebut seharusnya pulang meninggalkan posko tersebut. Betapa tidak, pekerjaan relawan yang tanpa upah itu harus ditebus dengan ancaman senjata tajam. Tidakkah ini pelecehan terhadap kerja-kerja sukarela?

Tapi, uniknya kawan saya tidak benci. Dia hanya bilang, kita hanya kaget sebab kita bukan korban. Mereka itu, para korban yang selamat namun kehilangan anak, istri, suami, dan kerabat, sedang terguncang jiwanya. Dalam keguncangan, stabilitas hilang. Dalam instabilitas, kehancuran mendekat, karena angin buruk dari keaslian jiwa manusia muncul secara jujur.

Dengan kata lain, kawan saya mengatakan, "wajarlah mereka menjadi ganas. Sebab, jiwa mereka guncang. Kita, yang bukan korban, tentulah dapat melihat keburukan yang muncul dari keaslian jiwa korban itu, karena kita stabil. Jikalau saja kita berada pada posisi korban, hawa buruk dari keaslian jiwa kita pun akan muncul tanpa kita sadari. Jadi, maklumilah, dan teruslah bekerja."

Dengan pengetahuan akan jiwa itu, cobalah berangkat ke Padang beberapa hari ini. Niscaya, kita yang bukan korban, dengan jiwa yang relatif stabil, dapat melihat keburukan dari keaslian jiwa manusia. Bukan tidak mungkin, kita akan merasa terkejut karena dalam keseharian kita yang bahagia, tak pernah kita menemui keburukan-keburukan manusia yang menjadi korban itu.

Dan bayangkanlah, dengan kondisi jiwa seluruh penduduk Padang yang guncang, kita dapat merasakan ketidaknyamanan di kota itu. Keguncangan jiwa masyarakatnya akan memaksa wajah kota menjadi jorok, menyedihkan, dan seram.

Bencana memang tidak pernah menyajikan keindahan. Siapa (bukan korban) yang berani datang ke Padang beberapa hari ini, tentu saja merasa resah. Sebab, saat-saat itu, kehidupan yang normal masih melekat di kepala dan perasaan. Sekaligus kehidupan yang normal itu, untuk sementara berada nun jauh di rumah, di kampung halaman, kampus, atau tempat kerja.

Tanpa menyadari dan memaklumi keguncangan jiwa itu, kita yang bukan korban sebenarnya sama-sama mabuk. Jika korban mabuk karena kepedihan dan histeria, maka kita yang bukan korban namun sempat ke Padang akan mabuk melihat keburukan sifat manusia, dan menyebabkan kita tak lagi sedih di tengah-tengahnya. Sedangkan kita yang hanya menyimak tragedi itu lewat televisi, mabuk oleh kepedihan-kepedihan citraan yang diglorifikasi media massa.

Oh, senangnya menjadi kanak-kanak!


Oktober 9 2009

Oleh-oleh dari Mudik (2)


Seingatku, namanya Rosita. Aku bertemu dia di Sekolah Dasar di kota kecil kami. Aku juga tidak ingat betul, kelas berapa dia masuk ke sekolahku sebagai murid pindahan dari sekolah lain di kota kami.

Tak ada yang istimewa dari dia. Sebab itu, aku tak pernah mau terlalu akrab dengannya. Tidak cantik, dan kecerdasannya aku kira masih di bawah kemampuanku. Sebagai perempuan keturunan Tiongkok yang kakek moyangnya mendiami kota kami sejak puluhan tahun lalu, dia dapat dibilang sebagai perempuan yang benar-benar Tiongkok.

Dalam pengamatanku, setidaknya ada dua jenis karakter keturunan Tiongkok yang berdiam di kota kami. Pertama, keturunan Tiongkok yang modern. Golongan ini, biasanya berdandan sebagaimana orang kota besar dan modis. Dan seringkali aku mengagumi kecantikan perempuan-perempuan keturunan Tiongkok yang pandai berdandan ini.

Dan golongan yang kedua, dan termasuk golongan inilah si Rosita, adalah keturunan Tiongkok yang lebih sederhana. Golongan ini lebih cekatan dalam bekerja. Mereka seperti nenek moyang mereka di tanah leluhur yang mementingkan kerja (untuk tidak dibilang gila kerja). Golongan ini biasanya berpakaian lebih sederhana, dapat dikatakan lebih mirip dengan dandanan orang dusun (desa) di sekitar kota kami. Karena penampilannya, kami menjuluki mereka sebagai "Cina Kebun."

Tapi, soal siapa yang paling kaya di antara dua golongan itu, penampilan tidaklah menentukan. Keturunan Tiongkok yang modis belum tentu lebih kaya dari pada Cina Kebun. Yang membedakan mereka adalah penampilan.

Rosita, mungkin dapat dikatakan sebagai Cina Kebun. Penilaian ini kudapat setelah aku berjalan kaki di deretan pertokoan emas. Dalam derap langkah yang tak pernah kuhitung, aku menoleh ke salah satu toko emas yang tidak terlalu besar. Aku menemukan Rosita dalam tolehanku. Inilah yang menyentak perasaanku: aku melihat Rosita tengah menggenjot gas semprot api untuk membakar emas. Ya, dia tampak sebagai tukang emas. Benar-benar tukang emas seperti kakek-nenek dan ayah ibunya.

Mengapa menyentak perasaanku?

Secara ekonomi, Rosita tentu jauh lebih berada dari padaku. Usai kami menamatkan Sekolah Menengah Atas, aku yakin, semua anak muda mulai lebur dalam mimpi membangun masa depan. Di dalam angan, tampaklah kampus di kota-kota yang lebih besar dan maju dari kampung sendiri. Kalau pun ada imaji yang berbeda dari lingkungan kampus, mungkin sebagian dari kami bermimpi menjadi polisi atau tentara. Seingatku, Rosita termasuk lulusan SMA yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Samalah denganku. Seingatku pula, dia kuliah di salah satu universitas swasta di kota Padang. Hanya itu yang kudengar waktu aku bertukar kabar saat mudik tahun-tahun pertama.

Dan waktu berjalan. Aku, hingga kini, tetap lebur dalam angan-anganku semasa lulus SMA dulu: mengunjungi negeri-negeri jauh dan mencari tahu tentang segala keadaan sedalam-dalamnya. Aku, setidaknya, masih berada dalam koridor memburu angan-angan itu. Aku, sudah bukan lagi anak kota kecil kami yang tulen. Aku menjadi orang yang berbeda. Aku perlahan mulai menjadi kosmopolit. Dunia menjadi lebih dapat kutempuh. Aku kian tak asing dengan Eropa atau Amerika, meski keinginanku untuk menjamah tempat-tempat itu belum kucapai.

Betapa paradoksnya dunia ini! Aku, yang gila akan cita-cita dan mengagumi kebebasan, ditumbuk oleh kenyataan seseorang yang harus kembali ke kampung halaman dan menggenjot gas semprot api untuk membakar emas. Seseorang itu, akan sangat mungkin, selamanya terpuruk di meja toko emas yang kecil itu. Kalau pun berubah, tentu saja seseorang itu hanya akan meluaskan tokonya, atau membuka usaha lain yang membuatnya tak ubah seperti kakek-nenek dan ayah ibunya.

Seharusnya, Rosita punya keinginan sama besar denganku. Dengan dukungan ekonominya, tentu cita-cita itu lebih gampang diraih. Tapi lihatlah! Betapa masa depan tak bisa ditebak. Di satu sisi, aku kepayahan dan gandrung dengan petualangan ke negeri-negeri jauh. Namun di sisi lain, seseorang harus kembali ke kampung halaman hanya untuk duduk di pojok toko emas.

Rosita hanya satu contoh. Golongan keturunan Tiongkok yang lebih modern, juga banyak yang bernasib seperti Rosita. Mereka sekolah di Universitas mahal seperti Universitas Trisakti dan Universitas Taruma Negara. Setelah bertahun-tahun, mereka akan kembali ke kampung halamannya. Mungkin melanjutkan usaha kelontong ayahnya, atau menjadi toke (cukong) karet.

Berhadapan dengan situasi ini, ada yang bertempur dalam perasaanku. Mengapa hidup begitu misterius? Dalam setiap perjalanan, tak ada yang mampu menerka kapan jalan akan selalu lurus dan menikung. Jika aku sibuk dengan mimpi-mimpi yang intelektual dan ingin menjamah rayah dunia, namun akan lebih banyak orang yang akan kembali ke tempat yang paling sempit dan monoton. Jika aku berusaha melakukan hal-hal baru agar hidup tak membosankan, namun lebih banyak lagi orang yang akan menjalani cara hidup yang sama hingga akhir hayat tanpa pernah mempertunjukkan rasa bosan.

Rantau memang membuatku menjadi lebih kokoh. Di tempat yang jauh dari rumah itu, kebebasan hampir dapat kudefinisikan. Tapi di kampung halaman, dunia tetaplah sesuatu yang kecil. Tentu saja kampung halaman lebih damai dari tanah rantau. Namun kedamaian itu kami jalankan dengan menganggap "yang luas di dunia luar" itu, bukanlah bagian yang perlu kami senggol dengan gairah. Hingga kami pun menjalani keseharian di kota kecil itu sebatas apa yang kami pahami dari pemahaman yang diturunkan orang tua kami.

Di kota kecil kami, kehidupan berjalan dengan lambat. Tak ada keributan besar yang mengancam. Kelakuan buruk pejabat masih bisa ditolerir karena keadaan memang (masih) terasa aman. Sungai kami yang rusak belum dianggap menjadi masalah besar yang akan mengancam kehidupan. Teman kecilku si Dedi, menjadi tukang ojek tanpa banyak mengeluh sebagaimana yang kutemui di kota-kota besar.

Duh, kampung halaman yang tak henti-henti menguji!

September 30 2009



Oleh-oleh dari Mudik (1)


Perantau, disebutlah sebagai perantau, karena ada rindu. Perantau, mestilah sekaligus perindu. Karena rindunya terhadap kampung halamannya itulah yang menyebabkan ia disebut sebagai perantau. Kerinduan itulah yang mengikatkan dirinya terhadap sejarah yang menyertai usianya.

Dan, saya kini bingung mendefinisikan apakah kini saya perantau. Memang, saya meninggalkan kampung halaman tujuh tahun lalu. Namun, selama itu pula saya hampir-hampir tidak merindukan tanah tempat memancar dari ibunda. Kalau pun saya pulang sekali setahun-dua tahun, bukan semata-mata karena saya rindu. Tetapi karena saya sadar, rumah dan ibu saya merindukan saya. Betapa kerinduan orang tua terhadap anak lebih gemerlap ketimbang rindu anak kepada orang tuanya.

Tapi, kerinduan, bagi orang yang sedang menyodorkan diri ke pintu "nganga dunia" sebagaimana saya, bukan dalam bentuk keinginan untuk menjumpai atau menyentuh sesuatu. Inilah kerinduan yang tampil dalam cara yang, menurut saya, asing dan elegan bagi perantau yang khianat:

Saya masuk ke dalam lorong (gang) rumah saya dengan mobil. Di ujung lorong, akan ada turunan pendek melewati mushalla. Dalam lima kali lompat dari mushalla, sampailah ke rumah saya. Tak ada yang berubah dengan rumah yang tak sempurna itu. Angin yang bertiup di tiap lubang jendela, rawa-rawa keladi, masihlah yang dulu-dulu juga. Bukannya tak ada yang berubah dengan rumah kecil di pojok kota kecil ini; perasaan sayalah yang tidak berubah kepadanya.

Inilah dia rahasia: perasaan yang tak berubah.

Ketika berjalan ke pasar sekaligus pusat keramaian kota, jalanan kini kain marak. Dulu, pukul 21.00 wib saja kota sudah mulai lengang. Kini, kelengangan mundur sejam kemudian. Jika waktu mendekati hari raya, kota baru tidur pada dini hari.

Kendaraan lalu lalang tak berhenti, terlalu banyak orang. Pasar yang dulu masih terdiri dari warung-warung kayu, kini berganti rupa dengan ruko-ruko beton. Semakin banyak orang yang tak saya kenal. Bukan karena saya jarang pulang, tapi karena sudah terlalu banyak orang. Tetapi, perasaan saya tidak berubah.

Tibalah saya pada saat di mana kehidupan menampakkan geraknya, sejarah menampakkan pergeserannya. Sebagaimana pergeseran lempeng bumi yang menciutkan nyali manusia, pergeseran sejarah mengharubirukan perasaan saya.

Di kota macam Jakarta, kematian hilang ritual. Jika anda bukan orang besar seperti Soeharto, Ali Alatas, atau WS Rendra, kematian hanya mencatatkan diri dalam sekejap waktu saja, dan sementara. Tapi, di kampung halaman, kematian itu menunjukkan dirinya sebagai bagian dari rantai kehidupan. Dia menyapa dengan lugas.

Di kota kecil itu, sedikit saja saya bertanya tentang tetangga, maka dengan lancar satu persatu ibu saya akan menjelaskan, "si anu meninggal dua tahun lalu karena kanker payudara, si anu pergi setahun lalu setelah saban dua bulan dua anak dan satu cucunya meninggal, si anu hampir gila karena pinjaman di bank tak terbayar hampir 40 juta, si anu belum menikah-nikah, si anu wajahnya rusak disiram air keras karena menggauli istri orang, si anu kini sudah menjadi PNS, si anu beristiri dua setelah sukses menjadi toke karet, si anu jadi bupati, si anu punya pom bensin."

Sebenarnya, peristiwa-peristiwa itu klise saja. Di Jakarta, ada banyak hal yang lebih mengerikan dan membahagiakan. Namun, dia lewat begitu saja bagi saya. Sedang di kota kecil ini, saya seperti mengenal dan mampu mengurai sejarah hidup seseorang. Kematian seorang tetangga yang ditelan usia, akan menyebabkan saya tenggelam dalam ingatan terhadap masa lalunya yang menghardik saya saat mencuri rambutannya, gaya lenggok kepalanya saat berzikir usai tarawih, dan banyak hal lain. Dengan kata lain, saya merasakan pergerakan kehidupan seseorang, terutama ketika hidupnya sudah berakhir.

Boleh dibilang, kini, di lingkungan sekitar rumah saya, sudah banyak yang meninggal. Selain kakek saya, ada banyak orang muda yang mati. Satu di antaranya adalah pemain voli andalan kampung. Satu di antaranya seorang bekas pemutar pita film bioskop kota yang sudah tak ada lagi. Si pemutar film itu mati dalam tahun yang sama dengan cucu dan anak perempuannya yang tak menikah-nikah dan mengidap kanker payudara.

Barangkali, karena kota ini berjalan lambat. Dalam setiap yang lambat, mata dan hati dapat menangkap setiap detil peristiwa, dan merasakan maknanya. Dan kematian orang-orang yang saya temui di masa lalu saya, menyebabkan saya merasa bahwa kehidupan itu benar adanya, dan kematian yang menyimpulkannya.

Saya kira, masa lalu menampar saya dengan menghamburkan deretan kematian tetangga-tetangga saya. Dia memperlihatkan saya waktu yang menguasai hidup seseorang dengan sungguh pelan, seperti adegan orang berlari yang di-slowmotion-kan dalam sebuah film.

Amboi itu hidup!

September 26 2009 Rata Penuh

Bung dan Puan (2)


Bung:
apakah istimewa bagimu?

Puan:
pertanyaan jenis apa itu?

Bung:
sudah, jawab saja!

Puan:
tak ada yang istimewa, kecuali Tuhan!

Bung:
astaga! ini "bumi manusia", selain Tuhan, tidakkah kau menemukan keistimewaan dalam kehidupanmu sehari-hari?"

Puan:
menurutmu, apa yang istimewa dari kehidupanku?

Bung:
kau, pelita yang jelita! itu saja!

Puan:
hahahaha...bagiku itu sudah bukan keistimewaan, sebab tertalu sering kudengar. adakah contoh yang lain, mungkin pada hidup orang lain ?

Bung:
kau tahu Soemitro Djojohadikoesoemo?

Puan:
seperti pernah kudengar namanya. siapa dia?

Bung:
Prabowo Subianto?

Puan:
kalau itu semua tahu. calon wakil presiden!

Bung:
ya, dia memang calon wakil presiden. lebih dari itu, dia juga dikenal sebagai penculik dan tukang menghilangkan orang. itulah masa di mana dia jaya sebagai perwira militer. dasar menantu presiden!

Puan:
?

Bung:
dan ketika Soeharto jatuh, kau tahu apa yang terjadi dengan dia? dia dianggap sebagai pelanggar HAM! lebih tragis lagi, dia terusir dari rumah istrinya, dia dianggap pengkhianat oleh ayah mertuanya sendiri. dia terjepit, oleh rakyat dianggap sebagai jenderal penculik, oleh mertua tempat dia menggandulkan kuasanya, dia dianggap pengkhianat.

Puan:
lalu, bagaimana nasibnya?

Bung:
konon, dia lari ke Yordania. di tempat itu, konon dia disambut hangat oleh sang pangeran. Tapi kisahnya di Yordania itu tak terlalu penting bagiku. Aku ingin menceritakan Soemitro.

puanku yang belia. Soemitro itu, sebagaimana dicatat oleh sejarah, dialah begawan ekonomi Indonesia. dialah salah satu anak muda yang menentang Hatta saat mengiyakan permintaan Belanda guna membayar utang kolonial yang akan dipertukarkan dengan kedaulatan negeri.

Lagi-lagi, bukan itu yang hendak kukisahkan.

Soemitro, hanyalah seorang ayah. seorang ayah yang berperasaan sebagai ayah. dan sang anak adalah Prabowo Subianto. ketika genting menguasai Indonesia, ketika Prabowo dicerca sebagai pelanggar HAM dan terusir dari rumah mertua, dengarlah yang dikatakan Soemitro:

“andaikan sampah, seorang anak harus tetap dibanggakan orang tuanya?”

Puan:
O, kau mau mengatakan, betapapun buruknya, seorang anak tetap istimewa bagi orang tuanya?

Bung:
Ya. Dan sekarang apakah istimewa bagimu?

Puan:
Kalau begitu aku tak perlu jauh-jauh mencari keistimewaan. sebuah pengakuan dari orang yang aku anggap istimewa adalah keistimewaan.

Bung:
Apakah orang yang kau anggap istimewa itu dapat dikatakan sebagai kekasih?

Puan:
siapa lagi kalau bukan pacar.

Bung:
(dengan mata yang sayu)
aku tak punya pacar. dan tanpa perlu menunggu dari pacar, aku sudah dianggap istimewa, oleh keadaaan!

Puan:
dasar! fanatik terhadap diri sendiri!

Bung:
ya. keistimewaan itu tak pernah sengaja kucari, meski aku ingin. Ia datang bersama pengalaman hidup.

Dan kini, karena pengalaman hidup, kaulah yang kuanggap istimewa!

Puan:
Dasar! Bajingan!

September 13 2009

Bung dan Puan (1)


Puan:
bung yang sedang cemar, si raja kembara, basuhlah wajahmu agar kau mencahya
tapi ingat, jangan basuh dengan air dari periukku!

Bung:
puanku yang belia, aku memang cemar, sebab manalah ada yang suci di jagad ini?
dalam cemar, bersemayamlah kebebasan,
dan kau tahu, akulah si pencinta kebebasan itu

Puan:
dan akan kau katakan, kebebasan itu ada pada tubuhku,
kau cemar, dan mencari suci pada jasadku
ingat, jangan kau ketuk pintu rumahku!

Bung:
amboi, lelaki pengembara dikutuk selalu berada dalam pengembaraannya. terikat dengan masa lalu yang kuat, masa depan yang tak pasti, dan sunyi dari perempuan

Puan:
ingat, jangan kau hubungi aku lewat telepon!

Bung:
(dengan telinga yang berdarah)
puan, rasanya aku ingin mandi di sendang pojok kota. aku kenal laki-laki tua penjaga sendang itu. dan aku cemburu padanya. betapa tidak? dialah yang memberitahu, kau senantiasa membasuh rambutmu di situ. dan air sendang si tua itulah yang membuat wangi rambutmu, wangi yang membuat dadaku rontok

Puan:
jangan sebut-sebut sendang dan laki-laki tua itu! mereka adalah lambang ketulusan. sebagaimana banyak laki-laki tua, selalu bahagia melihat anak muda. dia melihatku hampir-hampir tanpa niat! dan akulah si anak muda itu, pelita yang jelita!

Bung:
(dengan hidung yang berdarah)
puanku yang belia, bukalah kerudungmu. barang sekejap saja. bukan, bukan untuk mengajakmu mengingkari surah. aku hanya ingin menyematkan sekuntum bunga paling indah dan harum di sela rambutmu

Puan:
(dengan mata yang sayu)
bung, aku semakin ngeri...

Bung:
di mana bisa kukecup rambutmu?

Jakarta, September 11 2009

Grunge, akankah Sekedar Masa Lalu?


“The Roots of Seattle Sounds”

Pada akhirnya, ruang di depan panggung dalam sebuah kafe di sudut Kemang, Jakarta Selatan, itu kembali sepi. Sejak awal, gig itu memang tidak berhasil membuat Prost Beer Café pada Jumat malam (28/5) sesak oleh pengunjung. Apakah ini terjadi karena musik yang dimainkan oleh pemusik di atas panggung disebut sebagai grunge?

Dan entah sebab apa pula, panitia memberi tajuk gig tersebut dengan “The Roots of Seattle Sounds”. Judul tersebut mengesankan seolah-olah grunge sudah jauh terbenam dan kembali meringkuk di lembabnya cuaca Seattle, kota kecil di Washington, Amerika Serikat, yang sering disebut-sebut sebagai tanah air grunge.

Dalam periode ledakannya, grunge memang tidak sekedar dicatat sebagai genre semata. Mereka lahir dan menguasai dunia pada saat angin politik sedang bergerak untuk perubahan besar. Seperti Flower Generation pada 1960-an yang lahir karena kekesalan akibat Perang Vietnam, grunge-mesti tidak terkait langsung dengan politik internasional kala itu-muncul di masa transisi berakhirnya perang dingin antara blok barat dan blok timur.

Entah kebetulan atau tidak, hingar-bingar grunge mereda seiring dengan meredanya ideologi komunisme yang diwakili Uni Soviet sebagai lawan tanding kapitalisme-liberal yang digenggam Amerika Serikat. Tahun 1994 mungkin bisa dicatat sebagai turning point of grunge. Pada tahun kelam itu, kematian Kurt Cobain pada 8 April 1994 membubarkan salah satu ikon Seattle Sound, Nirvana.

Pada tahun yang sama, Pearl Jam membatalkan konser musim panas. Salah satu mainstreams of Seattle Sound itu keberatan terhadap agen tiket mereka, Ticketmaster, yang memasang tarif konser mereka terlalu mahal. Seakan menggelinding, keruntuhan grunge dilanjutkan dengan penampilan terakhir Alice In Chains pada 1996. Enam tahun setelah itu, vokalis Alice in Chains, Layne Staley, tewas karena overdosis setelah mengasingkan diri.

Pada tahun kematian Staley, dua punggawa Seattle Sound lainnya, Sound Garden dan Screaming Trees, meluncurkan rekaman terakhir lewat album Down on the Upside dan Dust.

Setelah rentetan peristiwa itu, grunge seperti memilih diam dan menyendiri di Seattle. Kini, barangkali hanya Pearl Jam yang menjadi simbol eksistensi kejayaan grunge. Kemunculan album Riot Act yang elegan pada 2002, seperti menjadi seruan pengingat awak Seattle Sound kepada penggila grunge di seluruh dunia: “kami masih ada.”

Lalu, apakah makna gig “The Roots of Seattle Sound” dengan beban sejarah grunge yang tak manis itu?

Sebagaimana Rock & Roll dan Flower Generation, grunge juga sebuah gerakan kebudayaan. Kemunculannya menciptakan sesuatu yang masif sebagaimana disyaratkan dalam budaya populer. Hingga pertengahan 1990-an, berpenampilan belel plus sepatu Converse All Star seperti Kurt Cobain dan mengenakan kemeja kotak-kotak serta sepatu boot ala pekerja Amerika Serikat menjadi sesuatu yang fashionable bagi jutaan anak muda di seluruh dunia.

Lebih dari itu, grunge menjadi sisi lain dari situasi modernitas Amerika Serikat yang berhasil menjadi penguasa tunggal dunia pasca keruntuhan Uni Soviet. Lirik yang satir disertai distorsi yang kelam dan bising, seolah menunjukkan bahwa di negara itu kegelisahan masyarakatnya cukup serius.

Kegelisahan masyarakat modern itu hendak pula ditunjukkan dengan cara menentang kemewahan yang digelar musisi glam rock yang sedang meraja sebelum kemunculan grunge. Grunge melakukan gerakan anti kemapanan dengan menolak pengembang rambut, tata cahaya panggung yang gemerlap, dan aksi panggung yang direkayasa sebelum pertunjukan.

Apakah makna itu sampai di Prost Beer, sebuah kafe di negara dunia ketiga yang sedang dihantui band pop melayu yang menyanyikan cinta dengan cara yang “rendah” di seluruh media massa?

Sebuah kejayaan, jika tidak dipelihara dan dimaknai dengan baik, hanya akan jatuh pada romantisme masa lalu. Bukan tidak mungkin, sepinya Prost Beer di penghujung “The Roots of The Seattle Sound” itu menunjukkan bahwa grunge hanya menyisakan “kenangan,” bukan “gerakan” dari sebuah scene musik. “The Roots” yang hanya menjadi judul dan ajang reuni, bukan sebuah perjumpaan yang memberi inspirasi.

Tapi baiklah, apapun itu, setidaknya gigs itu berupaya memperdengarkan grunge. Ada beberapa band yang saya kira perlu diceritakan penampilannya.

Pertama, si jelita itu bernama Shinta. Perempuan mungil nan manis itu menjadi frontwoman sebagai pemetik bas dan penyanyi utama dalam trio Sonic Death. Setelah membawakan beberapa lagu dari Hole, dia menutup penampilannya dengan membawakan Drunken Butterfly milik Sonic Youth.

Band ini memang dikenal sebagai pembawa lagu-lagu Sonic Youth. Namun, Shinta terlalu jelita, jari mungil yang bergerak pada fret basnya terlalu cantik untuk musik seperti Sonic Youth. Tapi tidak, tentu itu bukan ukuran untuk menilai suatu penampilan. Hanya saja, aura semrawut yang biasa terpancar dalam video-video konser seniman grunge tidak hidup pada band ini.

Lagi pula, pemain gitar Sonic Death tampak begitu rapi memainkan lagu-lagu malam itu. Maksud psychedelia dan keliaran dalam sound eksperimental Sonic Youth seperti terlalu sempurna di tangan Sonic Death!

Selanjutnya, saya terkesan oleh Besok Bubar. Sebagaimana lazimnya gig grunge di mana pun, Besok Bubar membawakan Nirvana. In Bloom dipilih menjadi lagu pembuka. Sang vokalis bernyanyi cukup baik dengan sound gitar yang tidak sembarangan. Penampilan Besok Bubar untuk sementara menghancurkan kekesalan terhadap peniru Nirvana yang tak mengerti kedalaman Kurt Cobain.

Besok Bubar berhasil membakar semangat mencapai puncak dengan Smells Like Ten Spirit. Sayang, penampilan band ini menjadi antiklimaks karena seorang pria yang saya tidak tahu berasal dari negara mana tiba-tiba naik ke panggung. Seperti mabuk alkohol, dalam bahasa Inggris pria tersebut minta diiringi menyanyikan Last Caress-nya band punk rock Misfits.

Sejak itu, penampilan band selanjutnya menjadi tidak bergairah. Besok Bubar tidak melanjutkan penampilannya usai si pria pengacau turun panggung. Tabiat seperti ini sebenarnya tidak boleh dilanjutkan. Bagaimanapun, bagi pemusik yang sedang tampil, panggung ibarat kuil bagi biarawan. Insiden seperti itu jelas merusak konsentrasi dan kenikmatan bermusik!

Apa yang saya duga di awal tulisan ini, bahwa acara ini bisa jatuh pada romantisme dan reuni kian tampak di penghujung acara. Sejak awal acara, memang band-band yang tampil seolah menyajikan ragam muasal genre grunge. Selain hits Nirvana, Pearl Jam, Sound Garden, Alice In Chains, nama-nama yang tidak terlalu mainstream seperti Mad Season, Mudhoney, Tad, juga terpancar dari panggung.

Ruang romantisme dan reuni itu adalah Aliens Sick. Band grunge yang lumayan dikenal di scene lokal ini membuka panggung dengan Glorified milik Pearl Jam. Suasana semakin terasa grunge ketika Aliens Sicks mengiringi Anda (eks gitaris Bunga), Toni Viali (vokalis Bunga), dan Dendi (vokalis kunci) menyanyikan hit Sound Garden nan megah: Spoon Man.

Selanjutnya, panggung nostalgik itu menghabiskan tiga nomor dari Pearl Jam, yakni Yellowledbetter, I am Mine, dan Elderly Woman. Tony Bunga kali ini bertindak sebagai penyanyi utama. Mendengarkan Tony bernyanyi, jelaslah bahwa Tony adalah salah satu penyanyi grunge yang paling soulfull di Indonesia.

Pada akhirnya, generasi dekade grunge Indonesia itu tenggelam dalam River of Deceit, sebuah lagu indah yang diciptakan oleh band semi permanen Mad Season, dengan Mike Mcready (gitaris Pearl Jam) dan Layney Staley sebagai dua personilnya. Cara mereka menyenandungkan lirik dan irama dalam River of Deceit, seolah menunjukkan mereka rindu terhadap masa yang jauh di kehidupan lampau mereka. Masa di mana keputusasaan diterjemahkan dalam musik bernama grunge.

The River of Deceit pulls down
The only direction of flow is down

Down,oh down
Down,oh down
Down,oh down
Down,oh down

(River of Deceit, Mad Season)

artikel ini pernah dimuat di www.jurnallica.com

Kemerdekaan yang Merasa Sepi


"Dunia tampil dengan banyak wajah (Bambang Sugiharto)"


Kemerdekaan, kalau kita masih percaya dan merasa perlu dengan istilah itu, kini sedang merasa sepi dalam kegegapgempitaan. Lampu-lampu billboard dan cahaya tajam nan pedih dari televisi yang ramai justru menyebabkan kemerdekaan merasa sunyi. Itulah buah modernisme: membuat "yang manusia" alpa dari situasi.

Dalam sebuah pengadilan di Bandung, 1930, Soekarno masih berupaya menunjukkan bahwa kemerdekaan bukanlah sesuatu yang hening. Ia merupakan jalan bagi masyarakat untuk mengurus diri sendiri, meminum airnya sendiri, memijak karpet emas yang terbangun dari tambang yang bermukim di rahim tanah sendiri. Kemerdekaan itu, masih memiliki bunyi, ia masih bisa diraba, dihimpun, dan diledakkan.

Kemerdekaan, meski terasa berat di kala itu, bukan sesuatu yang musykil. Kemerdekaan adalah sebuah keniscayaan. Meski dilingkungi penderitaan, optimisme bertindih-tindihan di dalamnya.

Mendengar pidato pembelaan Soekarno yang sosialistis itu, kita akan maklum sekaligus kagum. Tentu dengan syarat, kita memahami keadaannya. Berteriak-teriak mengenai sebuah kedaulatan politik, perjuangan penyadaran, dan sedikit demonstrasi massa, menjadi jalan yang masuk akal dalam zamannya.

Jalan yang ditempuh Soekarno ternyata masih terasa relevansinya lima hingga enam dekade selanjutnya. Radikalisme yang ditempuh Soekarno, dengan sosialismenya, mendapatkan jalan dalam pergerakan mahasiswa bawah tanah yang turut menumbangkan Soeharto pada 1998.

Kini, kabar-kabar radikalisme gerakan politik itu belum sepenuhnya hilang. Ia, seperti bau yang mengembara menumpang angin. Generasi kini, hanya mencium-cium semilirnya, sembari menduga-duga, di manakah bau yang kadang harum dan busuk itu bersumber? Di manakah kenang-kenangan radikalisme itu dapat dicapai dan diseret ke zaman ini?

Pasti, saya mengira, generasi sekarang, generasi tempat saya menumpang hidup, akan tergagap-gagap dan cemburu mencari sumber radikalisme itu.

Benar, saya merasanya ketika menghadiri peluncuran buku yang dipersembahkan buat Andi Munajat, pelopor gerakan mahasiswa 1980-an yang menghasilkan buah pada 1998. Bertempat di Pusat Kebudayaan Jerman Goethe Haust, Selasa (25/8), berkumpullah aktivis mahasiswa "kiri" yang pernah terlibat dalam usaha mematahkan kaki-kaki orde baru.

Saya lahir pada pertengahan 1980-an, dan baru menjadi mahasiswa empat tahun setelah Soeharto jatuh. Satu-satunya kesamaan saya dengan aktivis-aktivis itu, saya pernah mencicipi busuknya air liur rezim Soeharto. Hanya itu. Lainnya, saya tak banyak mengenal aktivis di Goethe itu.

Karena merasa hanya mencium semilir radikalisme, saya berusaha mencari tempat di mana saya harus berada? Di mana saya meletakkan kesadaran saya? Dan apa yang harus saya bawa dari semilir radikalisme itu ke kehidupan saya (atau kami) saat ini?

Di masa ini, mahasiswa dan pemuda lebih banyak hidup di depan layar komputer, menenggelamkan diri ke dalam situs jaring sosial Facebook, ketimbang mencari tempat teduh di sudut kampus, dan berdiskusi. Di masa ini, hampir seluruh akses informasi dapat digapai, dari video porno hingga buku asing yang dulu dilarang orde baru.

Inilah keadaan zaman ini, dunia tampil dengan banyak wajah. Pada satu wajah, dunia menenggelamkan anak muda ke dalam keterpesonaan akan yang digital, tubuh direduksi menjadi figur-figur maya. Dan itu, menyesatkan. Namun di sisi lain, yang digital itu memberi sejuta kemudahan, ide-ide radikalisme dapat dengan cepat menyebar ke pelosok paling pojok. Itu, membahagiakan.

Generasi zaman ini, sudah mendapatkan kebebasannya. Dengan beberapa klik tuts komputer atau telepon genggam, separuh dari cita-citanya-setidaknya yang paling sederhana-bisa diwujudkan.

Tapi, saya yakin, dalam kebebasan kontemporer itu, anak muda zaman kini sulit merumuskan kemerdekaannya. Pengertian kebebasan di zaman ini, tidak berbanding lurus dengan sakralnya kata KEMERDEKAAN. Dengan penjelasan itu, saya hendak mengatakan, kemerdekaan itu belum menemukan bentuk yang diinginkan rakyat. Kita memang sudah bebas, tapi belum sepenuhnya merdeka. Kemerdekaan merasa sepi.

Apakah kemerdekaan bagi kita kawan? Wahai Abang yang dulu berjuang, wahai Jenazah yang dulu menggugat, apa kemerdekaan bagi kami kini?

Jika Soekarno dulu menyebut imperialisme-kapitalisme dalam penjajahan Belanda, ia berusaha menunjukkan bangunan yang nyata tentang "musuh". Imperialisme-kapitalisme memang adalah sesuatu yang abstrak, ideologis, hidup dalam pikiran. Cuma dalam perjuangan, Soekarno hendak mengatakan," itu, dia, setan imperialisme-kapitalisme itu sedang mengejawantah dalam tubuh Belanda kolonial. Untuk membantai imperialisme-kolonialisme,
maka tumpas itu Belanda."

Perjuangan aktivis 1990-an pun demikian. Mereka sedang berbicara penindasan, otoritarianisme, dan demokrasi. Kata "penindasan" saja memang belum menunjukkan sesiapa. Sedang, otorianisme dan demokrasi memang adalah ide, paham. Namun, sebagaimana Soekarno, dengan menyebut-nyebut sejumlah istilah itu, anak muda 1990-an itu hendak mengatakan, "setan penindasan, otoritarian, dan anti demokrasi, itu menjelma dalam badan orde baru."

Jika cara berpikir itu hendak kita terapkan di zaman ini, siapa yang harus kita anggap setan? Pemerintah? Saya tidak yakin ini sepenuhnya benar, karena oposisi juga tak meyakinkan. Amerika Serikat? Saya juga tak yakin sepenuhnya benar.

Keyakinan! Ya, keyakinan akan sesuatu yang membuat kita merasa tidak merdeka di zaman inilah yang tak berani dan tak mampu didefinisikan generasi zaman kini. Saya mengira, ini terjadi bukan karena generasi sekarang lebih tolol dari yang lalu. Tetapi, karena dunia sudah tampil dengan banyak wajah! Hingga kami tak yakin lagi dengan wajah yang terpasang di wajah kami.

Kapitalisme tidak lagi hanya berkutat di dalam pabrik. Namun dia menjelma dalam angka-angka maya di gedung Bursa Efek. Mengkritik Presiden dan anggota parlemen kini tak lagi ditangkapi selama masih dianggap sesuai dengan Undang-Undang. Pengaduan masyarakat ke parlemen juga diterima, meski belum tentu dikabulkan. Gerakan masyarakat sipil sedikit-sedikit, meski sering gagal, menunjukkan pengaruhnya.

Tapi di sisi lain, yang namanya buruh, dari jaman penjajahan hingga kini, tetaplah buruh. Yang namanya petani, dari jaman kerbau hingga traktor, tetaplah "cuma petani." Yang namanya anak muda apatis dan apolitis tetap saja berkembang pesat. Yang namanya gerakan mahasiswa, tetaplah masih berdemonstrasi di sela-sela kegembiraan dalam pengaruh alkohol murah.

Penjajahan, kini sudah lebih lihai. Ia menjadi hantu, hantamannya terasa, namun jasadnya tak tersentuh. Ia menyusup lewat lampu billboard dan cahaya tajam televisi. Ia membiak lewat jejaring sosial di internet. Ia, tak cukup lagi dilawan dengan demonstrasi dan rapat rahasia di tempat terpencil pada malam buta. Karena penjajahan itu, selain menghisap darah kita, dia memberi kesempatan kita untuk bermain, dan seolah-olah membahagiakan kita.

Siapa mau lagi menawarkan pengertian Kemerdekaan yang sepi itu?"

Jakarta, Agustus 28 2009

Jarak


...ia tidak pernah hidup di tengah-tengah Rakyat pribumi secara akrab dan wajar...Hubungannya dengan Rakyat memang terbatas, tapi mendalam, dan ia melihatnya dengan pandangan yang jernih, baik tentang kekurangannya maupun kelebihannya (Pramoedya Ananta Toer tentang Kartini dalam Panggil Aku Kartini Saja).


Berjalanlah di jalan-jalan besar Jakarta pada jam-jam ramai. Di perempatan jalan, akan kita temukan anak-anak yang belum kuat tulang kakinya berkeliar menghampiri dan menyapa mobil-mobil. Kita menyebut anak-anak itu dengan pengemis atau gembel.

Simpan baik-baik pemandangan itu. Ketika sampai di tujuan, kampus, atau tempat kerja, ceritakan kembali pada rekan-rekan tentang pemandangan itu. Kalau perlu, imbuhkan nada kritik di dalamnya. Niscaya, cerita tentang anak-anak itu akan menjadi klise. "Basi," kata rekan kita yang mendengar kisah anak-anak yang belum kokoh tulang kakinya itu.

Fenomena itu bukan lagi sesuatu yang asing, yang mengoyak-ngoyakkan jantung kemanusiaan kita. Sebab dia menjadi umum, sebab dia berlangsung tanpa henti, saban hari, saban jam, di depan mata kita.

Betapa tidak menjadi klise? Coba bayangkan, jika Anda berjalan di jalan besar Jakarta dalam lima-sepuluh tahun terakhir, pernahkah Anda bertanya, kenapa anak-anak yang tulang kakinya belum kokoh itu selalu ada? Dengan usia yang nyaris sama? Dengan kata lain, tidakkah anak-anak itu bertumbuh menjadi remaja dan dewasa?

Jawaban yang paling mungkin adalah, anak-anak yang 10 tahun lalu di jalanan itu kini sudah dewasa, tapi generasi yang menyusul mereka menjadi anak-anak simpang itu yang tak pernah berhenti. Selalu ada balita di perempatan jalan.

Dan barangkali, kita sudah lebur dalam situasi itu. Kita, setidaknya jiwa kita, sama berdebunya dengan wajah anak-anak yang belum kuat tulang kakinya itu. Kita tidak dapat lagi melarikan diri dari ketidaklayakan hidup itu. Maka, jauh di sanubari yang tak tersentuh, yang pahit di jalanan itu kini sudah menjadi tawar. Kita sudah tidak berjarak lagi dengan anak-anak itu, dengan kemiskinan. Sebab itu pula, kita menjadi hambar kala berhadap-hadapan dengannya.

Bukankah seharusnya, peleburan meningkatkan persentuhan dengan lingkungan dan masyarakat? Terhadap bocah-bocah bersuara nyaring di jalan itu, kita sudah tidak merasainya lagi.

Teringatlah aku pada Kartini, perempuan anak keluarga raja yang mahsyur pada usia dua puluhan tahun itu. Dia, perempuan bangsawan berparas jelata itu, samalah dengan kita: anak muda yang menggelegak! Namun, ia menderita akibat gelegaknya itu terkurung oleh tembok istana ayahnya sebagai gadis pingitan. Dari tembok kabupaten Jepara, dapatlah ia merasa suara pecut yang membebat ke tubuh petani yang dipaksa kerja oleh Belanda.

Dari kurungan ayahnya itu pula, suaranya menggema dan mahsyur hingga ke Belanda dan daratan Eropa lainnya. Oleh Belanda, ia hendak dipersamakan dengan pejuang perempuan dari tanah India yang sedang dijajah Inggris, Pandita Ramabai.

Lalu apa yang membedakan Kartini dengan anak muda sebagaimana kita di zaman serba cepat ini? Jika Kartini terkurung dan berjarak dengan rakyatnya, ia justru dapat merasakan keluhan rakyat yang menyebabkan hidupnya tak tenang. Sedang kita, di zaman yang serba cepat ini, justru tidak lagi berjarak dengan anak-anak yang tulang kakinya belum cukup kuat itu, bahkan menganggap mereka hanya klise saja.

"JARAK"

Ya, jarak itulah yang agaknya kita perlukan di zaman serba menghamba pada yang cepat ini. Sekali waktu, di hidup kita yang rutin ini, kita perlu mengambil jarak untuk melihat. Dalam jarak itulah, gerak-gerik yang lain dapat kita cermati, dapat kita analisa. Tentu saja, jarak itu adalah jarak untuk berdiam. Sikap berjarak yang dilakukan dengan kesadaran penuh. Jarak yang menimbulkan "jeda".

Kelak, jika anak muda yang menggelegak semacam diri kita ini sudah pandai mengambil jarak, maka peleburan kita terhadap keadaan tak akan menjadi sia-sia. Meski anak-anak yang tulang kakinya belum kokoh di perempatan jalan itu tetap klise, justru, semakin klise, semakin perih dan menjadi pendendamlah kita!

To everything - turn, turn, turn
There is a season - turn, turn, turn
And a time for every purpose under heaven
(Turn! Turn! Turn! oleh The Byrds, 1966)

Agustus 18 2009

Yang Klise bagi Jurnalis


"Jurnalisme itu pekerjaan rohani"

Itulah kalimat yang paling saya ingat dalam satu pembicaraan dengan seorang wartawan senior salah satu stasiun televisi terkemuka. Di ruang kerjanya sebagai anggota Dewan Pers, perbincangan kami begitu hangat dan mengalir.

Memang, sejak pertama kali saya masuk ke ruangannya, nyaris tak ada kekakuan antara kami. Ia enerjik, tampak muda dari usianya sesungguhnya, dan ia menguncir rambut. Sebagai seorang jurnalis cum anggota Dewan Pers, dia satu dari jenis sedikit jurnalis Indonesia yang berbicara hal-hal yang subtil dan filosofis.

Ya, kebanyakan jurnalis cenderung berbicara soal-soal praktis dan mengemuka. Ini terjadi, tentu saja, karena jurnalis setiap hari berjibaku dengan situasi yang terus-menerus bergerak cepat. Jika kemarin lusa kita dikejutkan oleh ledakan bom di Marriot dan Ritz Carlton, maka sejenak kemarin kita harus mengurusi kematian Mbah Surip. Belum lagi Mbah Surip usai dibicarakan, penyair besar WS Rendra pula yang menyusul berpulang.

Belum lagi Rendra habis dibahas pengabdiannya, kita harus lagi menenggelamkan diri dalam drama kematian seseorang yang didesas-desuskan adalah Noordin M Top. Belum usai pula Noordin M Top dipastikan, muncul pula tuduhan Antasari Azhar terhadap koleganya yang menerima suap. Perubahan yang pesat itu membuat jurnalis hampir tak punya waktu untuk melihat "sesuatu di balik sesuatu".

Tapi tidak begitu dengan wartawan senior ini. Meski dia juga membahas peristiwa aktual, dia masih menyempatkan diri untuk membahasakan sesuatu yang abstrak, yang tenggelam di jauh di bawah keributan aktual yang cepat habis. Tengoklah bagaimana ia mendefinisikan jurnalisme: "jurnalisme adalah pekerjaan rohani?"

Bukankah kalimat tersebut terasa sangat abstrak. Apakah itu pekerjaan rohani? Bagaimana pula jurnalis bisa dikategorikan sebagai pekerja rohani? Sikap kritis seperti ini biasanya ada dalam diri seorang ilmuwan, filsuf, seniman, dan budayawan.

Tapi, baiklah, mari kita tinggalkan sosok wartawan senior itu. Mari kita membahas kalimat abstrak yang meluncur dari kalimatnya itu.

"Menjadi jurnalis bukanlah karena (sekedar) kerja. Menjadi jurnalis adalah panggilan jiwa. Makanya, tidak semua orang bisa menjadi jurnalis," lanjut wartawan senior itu.

Jawaban yang sungguh idealis bukan? Bagi dia, ketika seseorang memutuskan untuk menjadi wartawan, maka dia sudah harus bersiap dengan, katakanlah, upah yang kecil. Jika seseorang memutuskan menjadi wartawan, maka janganlah pernah menuntut kekayaan yang berlimpah sebagaimana toke-toke pemilik pabrik atau pemerkosa hutan rakyat.

Memang, dengan menyematkan frasa panggilan jiwa, semua profesi akan menjadi mulia. Contoh lain, seorang dokter yang menjadi dokter karena panggilan jiwanya, akan menolong siapa saja yang membutuhkan pertolongannya, peduli kaya atau miskin. Atau, seorang kakek-nenek tua di ambang maut masih bersetia menjual nasi uduk saban subuh karena keduanya sadar, jika mereka berhenti berdagang, pelanggannya akan merasa kehilangan. Padahal, anak cucunya mampu mengongkosi hidup mereka.

Dengan kata lain, jika tak ingin hidup pas-pasan atau cukup atau bukan kaya, pilihlah profesi lain, jangan jadi jurnalis! Dengan demikian, jangan katakan lagi, "apalah arti panggilan jiwa jika perut sudah memanggil-manggil?"

Tapi, apakah jurnalis tak boleh menjadi kaya? Tidakkah seharusnya publik dan dunia menghargai jurnalis selayaknya mereka memberikan upah sebagaimana dokter, manajer, akuntan, atau pekerja lain yang berpenghasilan tinggi?

Barangkali, bukan itu yang dimaksud si wartawan senior. Mungkin yang dia maksud adalah, kekayaan dari pekerjaan sebagai jurnalis itu hanyalah ekses, akibat dari kesungguhan dan kesetiaan terhadap profesi. Kekayaan bukanlah tujuan utama, panggilan jiwalah yang utama. Jika seseorang memilih menjadi jurnalis karena motif kekayaan, atau motif itu muncul seiring dalam perjalanan profesinya, itu membuatnya panggilan jiwanya rentan tercemar pengkhianatan publik. Namun jika panggilan jiwa menjadi dasar pilihannya, maka setidaknya, modal itu membuatnya batinnya kokoh.

Di penghujung pembicaraan, wartawan senior yang filosofis itu bertanya kepada saya, "sebelum Kamu bekerja di tempat Kamu sekarang, di mana Kamu bekerja?"

Saya menyebut sebuah perusahaan anak cabang salah satu korporasi media terbesar di negeri ini. Lalu dia menjawab, "kenapa Kamu keluar dari sana? Tipis (upahnya)?"

Saya tak menjawab pasti. Sebab, seingat saya, saya adalah pekerja paling rendah di ruang redaksi perusahaan itu. Rasanya tak berguna menjelaskan angka yang saya peroleh dari meja paling sudut di bekas kantor yang putih dan bersih itu.

Sebelum saya bertukaran kartu nama dan meninggalkan dia, dia berkata lagi, "ngapain keluar kalau upah di tempat kamu sekarang lebih tipis? Kita harus bisa 'mengkapitalisasi diri' kita."

"Mengkapitalisasi diri?" Ah, istilah abstrak apa lagi ini? Memanglah, wartawan senior itu terlalu filosofis...

Agustus 10 2009

Dari Sepi maka Jadi Seks dan Cinta


"orang-orang atheis itu hanya ada di buku filsafat. Dan buku filsafat terlalu sulit untuk dipahami orang awam" ( F Budi Hardiman)


Siapapun mungkin tak membantah, jatuh cinta pada transisi periode remaja pubertas ke remaja dewasa adalah jatuh cinta yang paling hebat. Jika banyak orang mengenang masa SMA adalah masa yang indah, maka masa kuliah (atau pada usia kuliah), jauh lebih indah lagi.

Mengapa bisa demikian?

Menjelang dewasa, manusia itu bagai dicampakkan ke bumi. Peringatan Jean Paul Sartre agaknya tepat untuk menjelaskan situasi ini: bahwa manusia itu terkutuk untuk berada di bumi ini. Dia bertanggung jawab atas hidupnya sendiri, dan itulah otentisitas hidup.

Menjelang dewasa adalah masa di mana setiap manusia mulai menyadari betapa nafas yang mengalir dalam rongga udara tubuhnya itu sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya. Ia mulai menyadari sebuah realitas yang seringkali disembunyikan-bahkan dimanipulasi-dalam tiap manusia yang hidup; SEPI.

Kepada seorang kawan perempuan saya pernah bertanya: apa hal yang paling dasar sebagai sebab manusia menikah? Atau memutuskan hidup bersama dengan seseorang pilihannya?

Dan dengan mulut saya sendiri saya jawab: karena manusia pada dasarnya tak tahan sepi. Kesepian itu mengerikan!

Bagi marxis yang positivis, mungkin jawaban itu terlalu puitis, romantis, tak membumi, dan membual. Jawaban yang lebih nyata adalah karena seks, kebutuhan biologis.

Saya tak menampik jawaban ini. Tapi, jawaban itu terlalu kasar. Ada yang lebih filosofis dari sekedar seks: SEPI. Seks adalah bentuk nyata dari sepi. Bukankah seks membutuhkan atau mengandaikan sebuah relasi yang lebih dari satu orang? Bahkan masturbasi yang dilakukan satu orang membutuhkan stimulasi dengan mengajak orang lain ke dalam imajinasi. Itulah ciri dari sepi. Setiap orang yang dilandanya tak tahan sendiri, ia akan mengajak orang lain untuk masuk ke dalam dirinya yang paling dalam dan purba.

Dengan kata lain, seks adalah manifestasi dari sepi. Ia adalah wujud perlawanan terhadap ketidaksanggupan akan kesendirian. Seks menjadi begitu tinggi, suci, jika ia dengan sadar dan intens dilakukan karena sepi. Sebab, dalam kesadaran akan sepi, manusia yang melakukan seks menghargai orang yang bersetubuh dengannya. Betapa penting orang lain baginya. Orang lain adalah penyelamat hidupnya. Keindahan seks kian berlipat ganda karena perasaan saling merasa penting itu terjadi secara dialogis. Dengan kata lain, sikap penghargaan itu bertimbal-balik dalam individu yang melakukan hubungan.

Itulah sepi, betapa agungnya, betapa manusiawinya, betapa tingginya. Sepi itu jualah yang datang dan disadari manusia saat ia beralih dari remaja pubertas ke remaja dewasa. Sepi dalam fase awal itu mewujud dalam jatuh cinta. Kemuliaan sepi itu membuat jatuh cinta menjadi hebat dan aduhai. Sudah jadi hukum alam, segala sesuatu yang dialami pada kali pertama selalu lebih mengesankan. Termasuk jatuh cinta di kala kesadaran akan sepi itu datang sebagai pengalaman pertama.

Jika jatuh cinta itu sukses, kebahagiaan memancur bagai airyang terbebas dari tanggul di musim hujan. Jika jatuh cinta itu patah, darah dari luka yang nganga itu lebih deras ketimbang tsunami mana pun. Mencucur dan terus mencucur....

Namun, kenanglah: sukses atau patah, sama indahnya.

Agustus 4 2009

Seorang Pengelana Meninggalkan Kekasih


yang menyebabkan tajuk nyiur di tepi sungai menjadi layu
ialah matamu
setelah kau tabur bunga-bunga dari dalam payudaramu di lantai perahu
karena matamu tahu, kayuhku tak menemu tentu
ke kelam rimba arah menuju
sebelum ku pergi
aku sedang mencari batu
sebagai penetap janji
satu di genggammu, yang lain di genggamku

semoga batu yang kan tetap kita cengkam
selama alam

agar kau tak takut cinta melupa pulang
agar aku tak takut cinta meminta pulang

lalu oleh-oleh apa yang kau harapkan jelita?

hingga bergerak kayuh pertama
hingga jarak berkabut melenyapkan kita
kau tak berkata

dan entah mengapa
kian kukayuh, sungai ini semakin ngeri
jeramjeram meninggi:
pilu tak terperi


Jakarta, July 1 2008

Gadis Manis


manisnya gadis,
adalah seribu anjing pemburu di paru-paruku
menyalak-melolong berkeliar kehilangan mangsa!

o, mataku yang hina!

Jakarta, April 2009

Di Lenteng Agung

1980-
di kali tak bernama itu
sepotong kaki terlempar dari rel kereta
hanyut dengan dingin
dan kita mengenalnya sebagai kisah tua di keruh air

apakah riwayat itu yang akan kita gubah jadi peta?
yang sesak oleh tanda seperti sepanjang jalan dua arah yang berseteru saban pagi saban senja
dengan kereta rel merah yang berbirahi mengangkang benua-benua

menebar bius dari mawar buta
merentang jala demi remuk masa

di tempat ini, mawar tumbuh menubuh seluas jalan
menyediakan tampuk, merelakan duri
untuk sepintas pandang kita tusukkan ke ujung kelingking nan lunglai
sembari meraba-raba merayakan darah yang senoktah
sebagai ungkapan cinta paling redup yang tersisa

tak!

sedikitpun takkan terbebas dari tanya
siapa pemilik sepenggal kaki yang mencapai merdeka selepas muara


Jakarta, Februari 23 2009

Anak Anjing Mengenang Ahmad Hassanain


sepi menjadi segala di batas ini
setelah cuma seekor bidadari bersayap kurus
sambil mabuk dan bertelanjang
menegah laju peluru dan membenamkan selembutnya,

di kepala tak berdarah
Ahmad Hassanain belum mati

mengapa tak mampu kau punahkan benak Hassanain wahai peluru? sehingga cerailah impiannya tentang donald bebek di tembok Gaza yang senantiasa dikisahkannya padaku, aku si anak anjing di negeri jauh banyak laut banyak sungai banyak rimba?

Israel jemu tak menemu darah
Ahmad Hassanain berbisik kepada peluru
"darahku, mencucur di dada perempuannya yang malam"

lalu, kotaku jadi lembah

setelah terkaing-kaing menahan air mata
kuburu dadamu, kasih
sebab Hassanain telah berpesan padaku

dadamu kini milikku
darahnya pembasuh mukaku
sebagai syarat sembahyang kecil untuk tawa paling kencang
demi Hassanain kecil kembali berkuasa di jalan

Jakarta, Februari 2 2009

Sekedar Kepergian


anyir dalam lidahku adalah bau masa yang jauh
yang ditinggalkan bersama secangkir susu berwarna lampau
oleh seorang perempuan yang menurunkan ungu lidahnya
di ulu hati,
lubuk badan yang kini menjadi ladang
tempat kanak-kanak menganjung lelayang
seraya menyenandungkan dendang perpisahan
"putus benang, terbanglah layang
rusak taut, intailah maut"
kini tinggal gagu,
sebentar lagi menjelma bisu

Jakarta, Januari 30 2009

Thursday, January 1, 2009

Obama, atau Amerika?

Sebuah Tinjauan Budaya dan Politik Media Massa

Oleh: Ervin Kumbang

Kemenangannya atas Hillarry Rodham Clinton dalam konvensi calon presiden dari Partai Demokrat, seolah-olah sudah menyediakan kursi tertinggi bagi Barack Hussein Obama di Gedung Putih. Dugaan itu memang jitu, suara kemenangan Obama atas kandidat Presiden dari Partai Republik, John McCain, jauh lebih besar ketimbang saat Obama menaklukkan Hillary.

Jauh sebelum pemilihan 4 November itu diraih Obama, lelaki Afro-Amerika itu sebenarnya sudah lebih dahulu “dianggap” sebagai Presiden AS. Hiruk-pikuk kampanye dan penampilannya yang elegan sebagai kandidat pertama calon presiden dari kalangan minoritas negro AS, membuat masyarakat “mabuk” Obama.

Betapa tidak? Ketika perhatian masyarakat dunia tumpah ruah ke AS, secara tidak sadar sebenarnya ada hal penting yang nyaris dilupakan: George Walker Bush. Di saat Obama menjadi buah bibir, di manakah posisi Bush di benak publik? Ada fakta yang seolah-olah ingin cepat dihapus masyarakat, yaitu Presiden AS saat itu masih di tangan Bush. Secara hukum Bush memang masih Presiden, tetapi secara image, Presiden AS adalah Obama. Padahal, kala itu Obama masih kandidat, belum terpilih.

Sekali lagi, kita harus bertepuk tangan atas kehebatan media massa dalam kampanye pemilihan presiden AS. Media massa mampu mendahului kenyataan. Fenomena ini menunjukkan kemampuan media memanipulasi ruang dan waktu yang diperuntukkan bagi seseorang atau satu kelompok. Kemampuan media massa ini, menjadikan Obama di benak khalayak sudah menjadi Presiden sebelum Bush angkat koper dari Gedung Putih.

Demikianlah khasiat bius Obama yang diterjemahkan media massa mampu menghanyutkan masyarakat bahwa Bush telah mati, dan yang ada kini hanya Obama. Di sisi lain, mungkin ini bisa jadi hasil yang mesti didulang Bush atas kebijakan selama pemerintahannya yang membuat AS dipandang sinis oleh dunia. Namun, percepatan kematian Bush di mata masyarakat dunia sejak hadirnya Obama, niscaya digerakkan terutama oleh media massa .

Dalam sebuah perayaan politik, kemampuan media massa mendahului takdir menjadi salah satu alat untuk memainkan kelompok mana yang harus diangkat ke permukaan dan merebut kuasa. Boleh jadi karena kita bersimpati dengan Obama sebagai wakil dari kelompok yang lama tertindas, kemampuan media massa memanipulasi ruang dan waktu itu kita anggap sebagai sesuatu yang sejalan dengan kehendak batin kita.

Lagi pula, sekali pun kita menyatakan tidak sepakat dengan kelompok yang memainkan kepentingannya dengan menggunakan kemampuan manipulasi ruang dan waktu oleh media massa, tentu kita tidak gampang menentangnya. Sebab, sebagaimana yang kita ketahui dari Antonio Gramsci tentang hegemoni, bagaimana pun media massa memanipulasi kesadaran kita akan situasi seseorang melalui situasi bawah sadar - Karl Marx menyebutnya dengan kesadaran palsu.

Dalam konteks yang lebih luas, jika dicermati lagi kemampuan media massa menciptakan kenyataan simulatif sebenarnya tidak hanya menampilkan image kematian Bush dan Obama adalah Presiden AS sebelum waktu riilnya. Namun, media massa bahkan menciptakan “perbedaan dimensi yang tajam” antara Obama dan Amerika Serikat dalam pemilu itu.

Bagaimana perbedaan dimensi antara Obama dan Amerika Serikat dalam kaitannya sebagai produk media massa ?

Usai kemenangan Obama, salah satu editorial surat kabar terkemuka negeri ini pernah menulis seperti ini, “kali ini kita perlu belajar dari AS.” Pernyataan itu merupakan komentar terhadap pidato McCain yang mengakui kekalahannya atas Obama. Sikap McCain ini dianggap sebagai tindakan yang berjiwa besar dan patut dicontoh oleh politisi lokal yang miskin kepercayaan dari publik.

Coba lihat dengan cermat kalimat “kali ini kita perlu belajar dari AS”. Jika dibaca dalam konteks kerja produksi media massa, kalimat itu sebenarnya sedang berusaha memainkan dan mempertahankan hegemoni AS sebagai status quo. Obama dan McCain tidak lebih dari sekedar objek yang digandakan sedemikian rupa dengan cepat lewat layar televisi. Dengan kata lain, AS menggunakan ilusi Obama dan McCain di media massa untuk mengafirmasi apa yang mereka tampilkan selama ini kepada dunia.

Barangkali, sang penulis editorial itu tidak bermaksud memperkokoh hegemoni itu. Namun,ketika dia melemparkan kalimat itu di media massa, maka terjadi interaksi dua pihak yang berjarak sejarak ribuan mil - satu pihak mungkin sedang berada di Chicago, dan satu pihak lagi mungkin sedang berada di Sukabumi. Transaksi wacana yang hegemonik tersebut memancarkan kedigdayaan sebuah negara di atas negara dunia ketiga yang rentan karena cenderung miskin dan ruwet.

Kalimat perlu belajar dari AS itu mencoba memainkan kesadaran di dalam pikiran masyarakat Indonesia - warga dari sebuah negara yang bagaikan haus demokrasi - bahwa “AS adalah negara yang patut menjadi percontohan praktek demokrasi. Dan dalam demokrasi yang (diklaim) sungguh indah itu sedang bermain bintang utama bernama Barack Obama.

Menurut saya, kalimat itu menunjukkan upaya AS memperbaiki citranya dengan memainkan peran Obama. Bius keterpukauan atas Obama sebagai pribadi, ingin dipergunakan untuk menyembuhkan sinisme dunia (khususnya Indonesia) atas AS. Melalui Obama, AS berupaya mempertahankan kebanggaannya atas demokrasi yang diumbarnya dan kini menjadi keyakinan yang seksi dalam situasi sosial Indonesia pasca orde baru.

Saya ingin menggambarkan sebuah ilustrasi guna menjelaskan perbedaan dimensi Obama dan AS dalam konteks Pemilu AS di benak masyarakat kita. Begini, jika diadakan suatu survei dengan pertanyaan seperti ini: “Apakah Anda yakin Obama bisa menjadikan AS lebih baik? Misalnya, AS mampu pro-aktif dengan membangun rekonsiliasi antara Israel dan Palestina dengan posisi ke dua negara setara?” Saya mengira, sebagian besar masyarakat Indonesia tidak akan menjawab dengan kata “tidak”, tetapi “belum tentu”.

Tetapi, jika pertanyaannya seperti ini: “Apakah Anda menaruh harapan akan perubahan perangai AS dengan terpilihnya Obama?” Saya yakin banyak orang, dan bukan saja di Indonesia, akan menjawab dengan kata “ya.”

Keadaan seperti itu telah menunjukkan secara tajam sebenarnya Obama tidak lagi dianggap hanya sebagai seorang warga negara AS yang beruntung terpilih menjadi Presiden. Obama mewakili perasaan dunia yang lelah dalam ketidakstabilan. Dan dalam ketidakstabilan itu, siapakah yang menjadi musuh?” Dalam pendapat saya, yang menjadi musuh bukanlah George Walker Bush, namun AS secara keseluruhan.

Sejarah AS tentu sudah terbenam di benak masyarakat dunia, terutama di negara dunia ke tiga dan Timur Tengah. Memikirkan AS, tidak bisa tidak kita harus mengakui ada perang saudara sebelum George Washington mendeklarasikan kemerdekaan, kematian John F Kennedy dan Martin Luther King, nafsu Richard Nixon dalam perang Vietnam, dukungan terhadap Israel yang menjajah Palestina, hingga kelakuan George Walker Bush yang memperkosa Irak karena kebatuan Saddam Hussein.

Tanpa bermaksud hanya menunjukkan keburukan AS, peristiwa itu menjadi semacam kesimpulan jika membayangkan AS. Maka tidak ada yang mengherankan ketika dunia begitu bergairah menyambut kemenangan Obama.

Sementara itu, dari sisi politik rasial, kemenangan Obama adalah konsensus yang sebenarnya dimenangkan oleh kaum mayoritas kulit putih. Demokrasi, sebagai anak kandung filsafat modern, telah dikhianati oleh AS. Betapa tidak, jika AS menghujat masyarakat tradisional di banyak negara dunia ketiga tidak demokratis karena masih terjebak dalam jerat feodalisme, kasta, dan sukuisme, kemenangan Obama justru menunjukkan betapa kakunya kulit putih memandang manusia dalam hubungannya dengan kesempatan di ruang sosial.

Sebagaimana kita tahu, ibunda Obama, Anne Dunham, adalah kulit putih yang juga keturunan Indian. Sementara ayahnya, Obama Senior, adalah seorang Kenya tulen. Komposisi ras yang mengalir dalam tubuh Obama ini menjadikan Obama diterima hampir di seluruh kalangan AS. Semua pihak di AS merasa hadir dalam tubuh Obama. Namun, takdir Obama memiliki ibu kulit putih itulah sebenarnya yang mendorong kemenangannya secara utama.

Saya mengira, jika saja Obama murni dari ayah dan ibu kulit hitam, dia akan lebih sulit menang. Karena dengan sendirinya masyarakat kulit putih akan alpa kepemilikan atas diri Obama. Dengan asumsi ini, saya berpendapat, untuk menjadi Presiden AS, seseorang harus memiliki keturunan ras kulit putih, meski secara fisik dia Negro atau Indian. Akan tetapi, jika masyarakat kulit putih yang mencalonkan diri jadi Presiden, darah minoritas tidak perlu mengalir dalam dirinya: dia cukup saja seorang kulit putih!

Pandangan demikian semakin menegaskan kepada saya paradoksal demokrasi, dan itu muncul di AS sebagai pilar terbesarnya. Di satu sisi, mereka mengagumi konsensus, di sisi lain, secara bersamaan dalam konsensus itu satu pihak meminta bagian paling banyak. Tentu saja kita tidak bisa menafikkan, bahwa dalam demokrasi dengan sendirinya mayoritas tetap akan dominan. Tetapi lihatlah, AS masih menggunakan warna kulit sebagai ukuran keterwakilan dalam sebuah sistem yang mereka sebut sebagai demokrasi.

Lalu, apakah bedanya dengan masyarakat tradisional yang mereka protes masih menggunakan feodalisme untuk memperoleh tempat utama dalam pertempuran sosial? Bagi saya, yang membedakan adalah demokrasi memainkan diskriminasinya secara lunak dan halus ketimbang feodalisme masyarakat tradisional.

Analisa di atas saya kemukakan untuk menunjukkan bahwa AS merupakan entitas terpisah yang tidak bisa serta merta membersihkan diri melalui Obama. Karena saya menduga, masyarakat hanya terpukau dengan Obama secara pribadi. AS bisa jadi hanya menyediakan tempat untuk sang bintang. Dengan sendirinya tempat tersebut akan dikesankan sehebat sang bintang.

Menggeser kehebatan “sang bintang” menjadi kehebatan “sang tempat” itulah yang saya kira dilakukan AS dengan media massa. Penggandaan image Obama secara luar biasa di media massa seakan menjadi katarsis bagi dosa-dosa AS dengan memainkannya di alam kesadaran kita yang paling rendah.

Saya kira, tulisan ini tidak untuk membangun sebuah prasangka buruk terhadap AS. Namun ini hanya upaya agar masing-masing kita dapat mengambil posisi yang tepat dari serbuan satu kelompok dengan segala kemauannya melalui media massa. Di masa mendatang, image Obama mungkin hanya menjadi satu kasus yang dapat kita jadikan rujukan untuk berhati-hati menghadapi media massa.

Lagi pula, seperti yang disampaikan teoretikus kritis terkemuka Raymond Williams dan Stuart Hall, hegemoni dalam konteks politik mana pun sangat rapuh. Keberlangsungan hegemoni hanya dapat dipertahankan dengan memodifikasi dan menginovasi pesan-pesan dalam media massa sebagai upaya tidak henti-hentinya melakukan penegasan kembali kekuasaan.

Selalu ada celah bagi kita untuk membuat hegemoni itu pincang dan tertatih-tatih. Tulisan ini, hendaknya memancing kita untuk mencucuk celah-celah itu dengan centil dan nakal.

Jakarta, Desember 11 2008