Friday, October 9, 2015

‘Sebuah Roket yang Menusuk Sisi Belakang Konformitas’ – Bagaimana Puisi Allen Ginsberg ‘Howl’ Mengubah Dunia Pop



Patti Smith dan Allen Ginsberg dalam sebuah malam pembacaan puisi di Local, New York, 1975. Foto oleh Richard E Aaron/Redferns
Ini adalah sebuah epik, puisi yang bangkit dari tanah yang merobek rintangan budaya 1950-an dan meratakan jalan setiap orang mulai dari Patti Smith hingga David Bowie. Dan, 60 tahun sejak kemunculannya, pengaruhnya tak menunjukkan tanda-tanda kelenyapan.

Pekan ini enam puluh tahun lalu, pada 7 Oktober 1955, Allen Ginsberg membacakan Howl dengan suara keras untuk pertama kalinya, di Six Gallery di San Fransisco. Ini adalah puisi dengan banyak dirgahayu–Ginsberg mulai menulisnya pada pertengahan 1954, dan tidak mempublikasikannya sampai 1956–yang mungkin menjadi sebab Hall Wilner menyelenggarakan sebuah perayaan dirgahayu ke-60 peristiwa ini di hotel Ace di Los Angeles pada bulan April tahun ini, dengan line-up yang memasukkan Courtney Love, Beth Orton, Devendra Banhart, Nick Cave, Macy Gray dan Peaches.
 
Line-up itu terangkai pada bagaimana Howl menembus budaya populer dan, tidak seperti hampir setiap karya sastra lainnya, membantu membentuk musik sebagaimana yang kita temui hari ini.

Ginsberg, menjadi interdisipliner sebelum (dilakukan) banyak seniman lainnya, membuat banyak perampokan personal menuju musik, mulai dari kolaborasi bersama Paul McCartney , Phillip Glass dan The Clash sampai anthem punk Buddhis eksperimentalnya pada 1981, Birdbrain. Jika Anda melihat latar belakang film terkenal untuk Bob Dylan, Subterranean Homesick Blues, Anda bisa menempatkannya berdiri pada posisi sang penyanyi.

Howl, bagaimanapun, adalah tempat di mana ia bermula, sebuah tour-de-force halusinatif yang memulai percampuran suku antara puisi dan rock’n’roll. Puisi ini meneror masyarakat sipil pada 1950-an–pada 1957, seorang juru tulis di toko buku City Lights di San Fransisco dipenjara karena menjualnya, sementara itu, pemilik penerbit City Lights, Lawrence Ferlinghetti, digugat–dan dibebaskan–karena menerbitkannya.

Lawrence Ferlinghetti (24 Maret 1919 - )
Howl adalah tentang obat-obatan, kekacauan, keterasingan remaja, kapitalisme, industrialisme, ekspresi, konformitas, seksualitas dan keindahan dalam proses menjadi di jalanan. Dia dikemilaukan oleh ketertarikan ganjil terhadap ekspresi-diri dan keyakinan bahwa penulis haruslah menolak larangan dan swasensor. Puisi ini melucuti banyak hal dalam budaya dan batas-batas dalam suatu level makro-kosmos namun juga menginspirasi sebuah gelombang baru para musisi dalam hal gaya, ukuran dan dunia imaji. 

Ellen Willis, dalam esainya Before the Flood pada 1967, menulis bahwa karya Dylan A Hard Rain’s A-Gonna Fall, dari album keduanya, berutang banyak terhadap ‘gaya Pewahyuan yang retoris dan deklamatif’ ala Ginsberg – Anda juga masih bisa memasukkan karyanya yang lain dalam utang ini. Willis menarik garis paralel antara budaya hippie – anak jalang Beat Generation, lahir ketika kelompok beat dan kontrakultur San Fransisco pada pertengahan 1960-an tumpang-tindih saling membenihi – dan budaya folk. “Kedua gerakan itu menolak intelektualitas untuk sensasi, politik untuk seni, dan Ginsberg bersama Kerouac mengglorifikasi suatu akar rumput Amerika yang memasukkan supermarket dan mobil sebagaimana sebuah gunung dan kue pie apel,” tulisnya. Di dalam Howl, ada sebuah kutukan terhadap otoritas, ya, tetapi itu membentang bersama sebuah perayaan kehidupan manusia yang menyediakan gizi untuk generasi-generasi selanjutnya.


Isyarat Patti Smith, berada dalam karya di mana Ginsberg meninggalkan tanda yang tak bisa dihapus. Fotografer musik Kevin Cummins, yang memotret Ginsberg di Manchester pada 1979, ketika sang penyair dipestakan oleh pendirian gerakan punk di Inggris, menyebut debut Smith melalui Piss Factory pada 1974 tidak akan ada tanpa Howl. “Orang tidak menulis puisi seperti itu. Piss Factory adalah sebuah puisi dengan sebuah beat dan tak seorang pun melakukan itu saat itu,” ujarnya. Cummins mengingat betapa pentingnya puisi itu untuk para seniman yang melebur bersamanya, seperti Joy Division, Morrisey dan David Bowie. “Puisi itu membukakan sebuah dunia kepada kita dan kita tidak tahu banyak tentangnya.”

Howl, dan Hakim Clayton Horn – lelaki yang melepas kasus menggugat Ferlinghetti dan memutuskan puisi ini sebagai “penebusan sosial yang penting” – membangun sebuah dunia baru dalam yang bergerak, di mana para musisi bisa mengekspresikan seksualitasnya tanpa memeriksakan diri mereka kepada faham kepantasan ala Victorian. Puisi ini telah meroket sisi belakang konformitas dan penyensoran, membolehkan percakapan tentang peler dan biji peler dan memek dan pejuh tanpa rasa malu atau bermerah-muka: di New York, The Fugs mempelajarinya sampai ke hati, dan Ginsberg mengembalikan kebaikan hati itu, menulis baris-baris catatan untuk album kedua mereka pada 1966.


Musisi Peaches lebih jelas lagi. Howl “memulai sebuah revolusi”, katanya. “Terlalu berani dan terbuka tentang situasi di Amerika dan homoseksualitas dengan menggunakan suatu gaya penulisan yang hampir merupakan sebuah arus kesadaran yang telah membingungkan orang dan begitu bertenaga.”

Peaches (1968 - )
Namun Ginsberg perlu dorongan keberanian: Howl menyorot dalam desakan jeroan manusia dan mengatakan bahwa hal-hal yang tak sepatutnya dikatakan muncul setelah dia diajarkan Ferlinghetti untuk “berbicara dari hati.”

“Dia tidak takut untuk menjadi manusia,” kata David Wrench, produser FKA Twigs, Jungle dan Caribou. Tak ada yang dipermalukan. Semuanya bersifat perayaan.”

Wrench mengamati kehadiran puisi itu secara konstan pada band-band yang lebih muda. “Band-band sering membawa buku ke studio dan Howl ada di sana sepanjang waktu. Mungkin bersama beberapa karya (William) Blake dan (Sylvia) Plath. Ia selalu datang lagi karena ia menginspirasi orang-orang.”

Bahkan seandainya jika seorang musisi belum pernah mendengar Howl, mereka adalah bagian dari ekosistemnya, karena ia adalah salah satu blok-blok bangunan rock’n’roll modern: kau mungkin saja tak dipengaruhi Howl, tapi kau dipengaruhi oleh sesuatu yang dipengaruhinya. “Ini adalah secubit seperti Smells Like Teen Spirit,” kata Davies. “Kita lupa bagaimana luar biasanya puisi ini dan bagaimana masa ketika dia mampu mengejutkan.”

Sekrup dan palang dalam Howl, sama berpengaruhnya seperti akibat sosial. Seperti Patti Smith dan Dylan sebelum dia, Davies menulis dalam teknik-teknik verbal Ginsberg. “Saya secara akut menulis bunyi dalam metrik dan kalimat dan bagaimana Howl sebagai tentang spontanitas dan ekspresi yang diimprovisasikan; komposisinya meresap ke dalam karya saya,” katanya.

Ginsberg bermain dengan kata-kata, menggunakan mereka untuk menciptakan sasis puisi, bagian pertama yang dibangun di atas kata “who”. “Saya bertahan dengan kata who untuk menjaga beat, sebuah fondasi untuk mempertahankan tindakan, kembali dan pergi lagi menuju serangan penemuan yang lain,” tulisnya pada 1959.

Devendra Banhart (1981 - )
Devendra Banhart tumbuh di California pada 1990-an dan mengingat Howl membelokkannya menuju perpuisian. “Itu adalah pertamakali saya membaca sebuah puisi yang membuat saya berkeringat, pertamakali saya membaca sebuah puisi yang juga berarti saya tidak mampu berbicara. Saya memukul kepala saya. Ini adalah sebuah kekuatan. Di dalamnya ada sebuah kehidupan, pengalaman yang mendalam di dalam kata-kata.”

Peristiwa itu, sekaligus, adalah gerbang ketertarikan Banhart menuju Buddhisme; dan Ginsberg adalah sebuah gerbang bagi sejumlah generasi musisi barat untuk mengeksplorasi agama-agama timur, yang dialihkan menuju musik rock dalam suatu dunia spiritualisme dan mistisisme baru yang luas.

Namun, setelah 60 tahun puisi ini ditampilkan, masihkah ia relevan? “Dia tidak berbunyi dalam batas waktu yang sedikit ,” kata Banhart. “Allen menulis tentang ketidakadilan dan ketidakadilan masih tetap ada; dia menulis tentang kebebasan, kebutuhan terhadap kebebasan masih tetap ada; dia menulis tentang kehausan terhadap perdamaian, kemerdekaan, revolusi, semua hal-hal itu tetap menjadi perhatian utama pada masa kita. Sebagai sesuatu, dia telah membesar. Howl tidak memiliki masa kadaluarsa.” 

Artikel ini ditulis oleh Lucy Jones. Dimuat di situs The Guardian dengan judul 'A Rocket up The Backside of Conformity'-How Ginsberg's Howl Transformed Pop pada 8 Oktober 2015.
     

Saturday, September 12, 2015

Pemberhentian

Waktu kita berkendara ke desa kita tiba di atas
titik bertemunya kebiasaan-kebiasaan lama: di sana
ada sebuah rumah kosong dengan pintu yang ternganga.


Para lelaki desa menyeret sebuah lemari ke dalam rumah.
Para lelaki desa mengangkut sebuah meja ke dalam rumah.
Para lelaki desa menghela sebuah ranjang ke dalam rumah.


Dan para perempuan desa membawa
peralatan makan dan piring dan gelas untuk
membuat ranjang bisa diletakkan di dalam rumah.


Para lelaki mendorong putranya ke dalam.
Belajar menyalakan api, kata mereka,
belajar mematikan api, kata mereka,
kami menyelot palang penutup.


Dan para perempuan mendorong putrinya ke dalam.
Belajar untuk menjadi panas, kata mereka,
belajar untuk menjadi dingin, kata mereka,
kami membarikade pintu.


Diterjemahkan dari bahasa Belanda ke bahasa Inggris dengan judul ‘Destination’ oleh Jaquelyn Pope.
Hester Knibbe (1946 - )


 




Wednesday, June 17, 2015

Quaestio De Centauris




oleh Primo Levi

Ayahku memasukkannya ke dalam sebuah kandang, karena dia tidak tahu ke mana lagi harus meletakkannya. Dia diberikan kepada ayahku dari seorang teman, seorang kapten pelaut, yang mengatakan bahwa dia membelinya di Salonika; meski demikian, aku mengetahui langsung darinya bahwa dia lahir di Colophon.

Aku dilarang keras pergi ke tempat manapun yang berdekatan dengannya, karena, seperti yang sudah kukatakan, dia mudah marah dan suka menendang. Tetapi, berdasarkan pengalaman pribadiku, aku bisa memastikan bahwa itu hanyalah takhayul lama, dan sejak masa aku adalah seorang remaja, aku tidak pernah mengindahkan larangan dan justru menghabiskan banyak waktu-waktu yang tak terlupakan bersamanya. Terutama pada musim dingin, dan masa-masa indah pada musim panas, ketika Trachi (demikianlah namanya) dengan tangannya menaikkanku ke punggungnya dan membawaku dengan sebuah lompatan gila menuju hutan di lembah-lembah. 

Dia mempelajari bahasa kami dengan sangat mudah, tapi tetap mempertahankan sedikit aksen Levantine. Meski dia berusia dua ratus enam puluh tahun, wujudnya sangat muda, pada aspek kemanusiaannya dan kekudaannya. Apa yang akan aku ceritakan di sini adalah buah dari percakapan panjang kami.

Asal-usul centaur bersifat legenda, namun legenda-legenda yang terjadi di antara mereka sendiri jauh berbeda dari kisah klasik yang kita ketahui.

Yang menarik, tradisi mereka juga merujuk pada penemu dan penyelamat seperti Nuh, seorang dengan kecerdasan tinggi yang mereka panggil dengan Cutnofeset. Namun, tak ada satu centaur pun di dalam bahtera Cutnofeset. Tidak juga, bagaimanapun, dalam “tujuh pasang dari setiap spesies binatang bersih, dan sepasang dari setiap spesies binatang tidak bersih.” Tradisi centaurian lebih rasional ketimbang bersifat pewahyuan, hanya berisi binatang-binatang pertama, spesies-spesies kunci, yang selamat: manusia tetapi bukan kera; kuda tetapi bukan keledai atau keledai liar keledai liar: unggas dan gagak tetapi bukan burung bangkai atau hoopoe atau gyrfalcon.

Bagaimana, kemudian, spesies-spesies itu muncul? Tak lama setelah itu, kata legenda. Ketika air surut, sebuah bentangan lumpur hangat yang dalam menutupi bumi. Lalu, lumpur ini, yang melabuhkan semua enzim dari hal-hal yang rusak saat banjir dalam endapannya, adalah kesuburan yang luar biasa: secepat matahari menyentuhnya, lumpur ini ditutupi oleh pancaran yang membuat setiap jenis rerumputan dan tetumbuhan bersemi kemudian; dan, selanjutnya, kelembutannya, kelembaban permukaannya menyelenggarakan perkawinan dari semua spesies yang selamat di bahtera. Itu adalah sebuah masa, yang tak bisa diulang, liar, dengan kesuburan yang bergelora, di mana seluruh semesta jatuh cinta begitu hebatnya sehingga demikian dekat untuk kembali kepada kekacauan. 

Itu adalah hari-hari di mana bumi bersanggama dengan langit, ketika semuanya bertunas dan semuanya berbuah. Tidak hanya pada setiap perkawinan, tetapi juga setiap persatuan, setiap sentuhan, setiap perjumpaan, bahkan perkonvoian di laut, bahkan antara spesies berbeda, bahkan antara binatang dan bebatuan, bahkan antara tetumbuhan dan bebatuan, subur, dan memproduksi keturunan tidak hanya dalam beberapa bulan namun hanya dalam beberapa hari. Lautan lumpur hangat itu, yang menyembunyikan suhu dingin bumi, yang berwajah pemalu, adalah suatu ranjang perkawinan tak terpisahkan, seluruh kesurutan itu dipanaskan oleh gairah dan diramaikan sorak-sorai benih-benih.

Penciptaan kedua adalah penciptaan yang sebenarnya, karena, berdasarkan apa yang telah terjadi di antara para centaur, tak ada cara lain untuk menjelaskan sejumlah kemiripan dan sejumlah pertemuan yang disaksikan oleh semuanya. Mengapa lumba-lumba mirip dengan ikan, dan melahirkan serta merawat keturunannya? Karena dia adalah anak dari seekor tuna dan seekor sapi. Mengapa para kupu-kupu memiliki warna yang memesona dan kemampuan untuk terbang? Karena mereka adalah anak-anak dari sekuntum bunga dan seekor lalat. Para kura-kura adalah anak-anak dari seekor katak dan sebongkah batu. Para kelelawar adalah seekor burung hantu dan seekor tikus. Kerang-kerangan adalah seekor siput dan sebuah kerikil mengkilap. Kuda nil adalah seekor kuda dan sebuah sungai. Burung bangkai adalah seekor cacing dan seekor burung hantu. Dan ikan paus, para leviathan—bagaimana menjelaskan wujud mereka yang luar biasa besar? Tulang-belulang kayu mereka, kulit mereka yang hitam dan berminyak, dan nafas mereka yang bergelora adalah pengakuan hidup terhadap persatuan yang patut dihormati di mana—bahkan ketika akhir dari semua yang berdaging telah diputuskan—lumpur asal-mula yang sama menjadi serakah dengan menguasai pembalikan kapal oleh perempuan, membuat kayu gopher dan menutupi sisi dalam dan luar dengan tanah lapang yang bersinar.



Demikianlah asal-usul setiap wujud, entah yang hari ini masih hidup atau punah: para naga dan para bunglon, para chimera dan harpy, para buaya dan para minotaur, para gajah dan para raksasa, yang membiarkan tulang-belulang masih ditemukan hari ini, untuk ketakjuban kita, di dalam jantung pegunungan. Dan juga untuk para centaur sendiri, yang sejak dalam festival asal-usul ini, dalam panspermia ini, beberapa keluarga manusia yang selamat juga terlibat.
Chimera


 
Harpy



Minotaur

Terutama, Cam, seorang bocah lelaki cabul, terlibat: generasi pertama para centaur muncul dalam gairah liarnya terhadap seekor kuda Thessalia. Sejak awal, keturunannya sangat mulia dan kuat, memiliki hal terbaik dari kuda dan bakat manusia. Sekali waktu mereka bijaksana dan pemberani, murah hati dan cerdas, unggul saat berburu dan bernyanyi, saat perang besar dan saat mengamati langit. Tampaknya, dalam kenyataan, itu terjadi pada hampir semua persatuan yang bahagia, di mana jasa para orang-tua meluas dalam keturunannya, sejak, setidak-tidaknya pada awal-awalnya, mereka menjadi lebih kuat dan pelari yang lebih cepat ketimbang para ibu Thessalia mereka, dan seorang bijaksana yang baik dan lebih cerdik ketimbang Cam hitam dan para ayah manusia mereka. Ini juga menjelaskan, berdasarkan beberapa pihak yang telah memberikan penandaan terhadap kebiasaan makan mereka, tentang hidup mereka yang panjang di mana aku akan masuk ke dalam sebuah peristiwa. Atau, umur panjang mereka secara sederhana bisa merupakan sebuah rencana di sepanjang masa pembentukan vitalitas hebat mereka, dan tentang ini aku, juga, percaya penuh (dan kisah ini kuceritakan untuk membuktikannya): bahwa dalam lingkup keturun-temurunan, kekuatan herbivora kuda tak tertandingi ketimbang ketakutan terhadap merah saat berdarah dan pantangan untuk mengalami kejang, peristiwa dalam kesempurnaan manusia-liar di mana centaur disembunyikan.

Apapun yang mungkin kita pikirkan tentang ini, siapapun yang mempertimbangkan tradisi klasik para centaur tidak bisa membantu menunjukkan bahwa ke-centaur-an sama sekali tidak pernah disinggung. Sebagaimana yang kupelajari dari Trachi, secara faktual mereka tidak ada.

Persatuan lelaki-kuda betina, yang merupakan perkawinan yang sangat jarang hari ini, melahirkan dan hanya melahirkan para centaur lelaki, yang untuk ini seharusnya menjadi sebuah alasan mendasar, meskipun saat ini hal itu menghindari kita. Seperti juga sebaliknya, persatuan antara kuda jantan dan perempuan, hampir tidak pernah terjadi dan masuk ke dalam kecemasan terhadap perusakan perempuan, yang secara alamiah tidak menikung ke arah penciptaan.

Dalam beberapa kasus pengecualian di mana perkawinan adalah kesuksesan pada sejumlah persatuan langka ini, sebuah keturunan perempuan yang dualistis telah diproduksi, dua bakat mereka, bagaimanapun, berwujud sebagai kebalikan. Mahkluk-mahkluknya memiliki kepala, leher, dan kaki depan seekor kuda. Namun, punggung dan usus mereka adalah manusia perempuan dan kedua kaki belakang mereka adalah manusia.

Selama hidupnya yang panjang Trachi telah berjumpa dengan beberapa dari mereka, dan dia meyakinkanku bahwa dia tidak merasa tertarik terhadap para monster rendah ini. Mereka tidak “berharga diri dan gesit” juga tidak cukup penting; mereka tidak subur, malas, dan fana: mereka tidak bisa terbiasa dengan manusia atau belajar mematuhi perintah-perintahnya namun hidup secara menyedihkan di hutan-hutan lebat, tidak dalam kawanan tetapi dalam kesunyian dusun terpencil. Mereka makan rumput dan buah-buahan, dan ketika mereka dikejutkan oleh seorang manusia mereka memiliki keingintahuan dengan kebiasaan selalu memunculkan kepala mereka terhadap manusia terlebih dahulu, jika mereka malu dengan keseparo-manusiaan mereka.

Trachi lahir di Colophon dari persatuan rahasia antara seorang lelaki dan seekor kuda dari kelompok Thessalia yang masih liar di pulau itu. Aku khawatir seandainya ada di antara pembaca catatan ini merupakan mereka yang menolak memercayai keterangan ini, karena sejak sains resmi, menembusnya sebagaimana yang tetap pada hari ini dengan Aristotelianisme, menolak kemungkinan sebuah persatuan perkawinan antara spesies berbeda. Namun, sains resmi sering kali kurang rendah hati: seperti sejumlah persatuan, sesungguhnya, yang secara umum tidak subur, namun seberapa sering pencarian bukti-bukti? Tidak lebih dari beberapa kali saja. Dan sudahkah itu semua dilakukan di seluruh pasangan yang memungkinkan dan tak terhitung banyaknya? Tentu saja tidak. Sejak aku tak memiliki alasan untuk meragukan apa yang Trachi katakan padaku tentang dirinya, aku harus mendorong ketidakpercayaan untuk mempertimbangkan ada lebih banyak hal di langit dan di atas bumi dibandingkan yang diimpikan dalam filosofi kita.   

Dia hidup hampir sendirian, membiarkan dirinya, yang merupakan takdir umum untuk mereka yang sepertinya. Dia tidur di alam terbuka, berdiri dengan keempat tapaknya, dengan kepalanya di atas lengannya, yang akan dia sandarkan ke sebatang dahan rendah dan sebongkah batu. Dia merumput di kebun-kebun dan tanah lapang di tengah hutan dalam pulau itu, atau mengumpulkan buah-buahan dari dahan-dahan; pada hari-hari paling panas dia akan turun ke salah satu pantai berpasir, dan di sana dia mandi, berenang seperti seekor kuda, dengan dada dan kepala tegak, kemudian dia akan melompat-lompat selama beberapa saat, mengaduk-ngaduk pasir basah dengan kerasnya.

Namun, sebagian besar waktunya, dalam setiap musim, adalah menyediakan makanan: pada kenyataannya, selama mas paceklik Trachi dalam kekuatan mudanya sering memikul beban melewati batu karang gersang dan jurang-ngarai pulau aslinya, dia selalu, mengikuti naluri untuk berhati-hati, membawa, melipat di bawah lengannya, dua ikatan besar rumput atau daun-daunan, dan mengumpulkannya di waktu-waktu istirahat. 

Meskipun para centaurmembatasi diri sebagai vegetarian diet yang ketat berdasarkan kekuasaan undang-undang perkudaan, harus diingat bahwa mereka memiliki dada dan kepala seperti manusia, yang mengharuskan mereka mengenali mulut kecil manusia untuk mempertimbangkan jumlah rumput, jerami, atau gandum untuk kebutuhan memelihara tubuh besar mereka. Makanan mereka, terutama terbatas pada nilai gizi, juga mengharuskan pengunyahan, sejak gigi manusia tidak bisa beradaptasi dengan baik untuk menghancurkan makanan kuda.

Kesimpulannya, kegiatan makan para centaur adalah sebuah proses kerja; dengan kebutuhan fisik, mereka menghabiskan tiga-perempat waktu mereka untuk memamah. Fakta ini tidak lemah dalam sejumlah pengakuan di bawah perintah, pertama dan terdahulu dari Ucalegon of Samos (Dig. Phil., XXIV, II–8 and XLIII passim), yang memasukkan peribahasa bijaksana para centaur ke dalam tata cara makan mereka, yang mengatakan sekali makan berkelanjutan dari fajar hingga senja; ini menahan mereka dari kesiaan-siaan atau aktivitas yang mencelakakan, seperti menggosip atau mencari kekayaan, dan menyumbangkannya untuk kebiasaan pengendalian hawa-nafsu mereka. Bede juga beberapa kali menyebutkan ini dalam karyanya “Historia Ecclesiastica Gentis Anglorum.”  
Bede
Justru menjadi aneh bahwa tradisi mitologi klasik mengabaikan karakteristik centaur ini. Kebenarannya tertinggal dalam bukti yang dapat dipercaya, dan, sebagaimana sudah kita perlihatkan, ini bisa jadi disimpulkan oleh sebuah pertimbangan sederhana filsafat alamiah.

Kembali kepada Trachi, pendidikannya, berdasarkan kriteria kita, terpisah-pisah. Dia mempelajari Yunani dari para penggembala di pulaunya, yang mempekerjakannya dengan sesekali mencarinya, meskipun dia pemalu dan memiliki bakat pendiam. Dari pengamatannya sendiri, dia mempelajari banyak hal yang halus dan akrab tentang rumput, tumbuhan, binatang-binatang hutan, air, gugusan awan, bintang-bintang, dan planet-planet; aku sendiri mengingat bahwa, bahkan setelah penangkapannya, dan di bawah langit yang asing, dia bisa merasakan datangnya topan atau bahaya badai salju beberapa jam sebelum itu benar-benar tiba. Meski demikian, aku tidak bisa mengatakan bagaimana, tidak juga dia sendiri, bahwa dia juga merasakan gandum tumbuh di ladang-ladang, dia bisa merasakan getaran air di bawah arus, dan dia menyadari terkikisnya sungai-sungai karena banjir. Ketika sapi milik keluarga De Simone melahirkan di tempat yang berjarak dua ratus meter dari kami, dia merasakan sebuah refleks dalam ususnya; hal yang sama terjadi ketika anak perempuan petani penyewa tanah melahirkan. Juga, pada suatu senja di musim semi, dia memberitahuku bahwa ada sebuah kelahiran yang terjadi di, dan sangat tepat, sebuah sudut gudang jerami; kami pergi ke sana dan menemukan seekor kelelawar telah membawa enam monster kecil yang masih buta ke dunia, dan memberi mereka sejumlah porsi kecil dari susunya.

Semua centaur mengalami ini, seperti yang dia katakan padaku, setiap pertunasan, binatang, manusia, atau sayur-sayuran, sebagai sebuah gelombang kebahagiaan yang mengalir menuju urat-urat nadi mereka. Mereka juga mengamati, dalam wilayah yang hangat, dan dalam bentuk kerinduan dan ketegangan yang bergetar, setiap gairah dan setiap pertemuan seksual yang melanda kemurnian mereka; oleh karenanya, meskipun mereka biasanya suci, mereka masuk ke dalam sebuah situasi agitasi yang bersemangat selama musim kawin. 

Kami tinggal bersama dalam waktu yang lama: dalam beberapa hal, aku bisa mengatakan bahwa kami tumbuh bersama. Meski usianya lebih tua, dia sebenarnya seorang makhluk yang muda dalam setiap hal yang dikatakan dan dilakukannya, dan dia mempelajari hal-hal begitu mudah meski tampaknya tak ada gunanya (untuk tidak menyebut kaku) mengirim dia ke sekolah. Aku sendiri yang mendidiknya, nyaris tanpa bantuan, memberinya pengetahuan yang kupelajari dari guru-guruku.

Kami tetap menyembunyikan dia sebisa mungkin, khususnya karena keinginannya yang diungkapkannya secara terbuka, karena bentuk eksklusif dan perasaan cemburu yang kami semua rasakan untuknya, dan karena percampuran rasionalitas dan intuisi yang menganjurkan kami untuk melindungi dia dari persentuhan yang tidak perlu dengan dunia manusia.  

Memang, pembicaraan tentang kehadirannya di gudang kami bocor ke lingkungan para tetangga. Awalnya, mereka menanyakan banyak pertanyaan, beberapa justru mengganggu, namun kemudian, seperti yang bakal terjadi, keingintahuan mereka berkurang karena jumlah makanan yang sedikit. Beberapa teman dekat kami izinkan untuk melihatnya, yang pertama di antaranya adalah keluarga De Simone, dan mereka dengan cepat mulai berteman juga. Hanya sekali, ketika gigitan lalat kuda menyebabkan benjolan di pinggulnya, membuat kami memerlukan keahlian seorang dokter hewan. Namun dokter itu adalah seorang lelaki yang pengertian dan bijaksana, yang dengan sangat berhati-hati berjanji untuk menjaga rahasia profesionalnya dan, sejauh yang kuketahui, tetap memegang janjinya. 

Situasi menjadi berbeda dengan pandai besi. Saat ini, para pandai besi kurang laku bahkan jarang: dalam satu-dua jam kami menemukannya, dan dia adalah seorang kampungan, bodoh, dan kasar. Ayahku sia-sia berusaha melakukan pendekatan untuk memintanya mempertahankan semacam pemeliharaan tertentu, dengan membayarnya sepuluh kali lipat untuk jasanya. Namun itu tidak membuat perbedaan; setiap Minggu di kedai minuman dia mengumpulkan kerumunan orang dan mengatakan kepada seluruh desa tentang klien anehnya. Untungnya, dia menyukai anggurnya dan sudah menjadi kebiasaannya menceritakan kisah panjang ketika dia mabuk, jadi dia tidak terlalu dianggap serius.  

Aku mulai merasa sakit untuk menulis kisah ini. Ini adalah sebuah kisah yang berasal dari masa remajaku, dan aku merasa dengan menulisnya aku bisa mengusirnya dari diriku, dan kemudian aku akan merasa kehilangan sesuatu yang kuat dan suci.

Pada suatu musim panas, Teresa De Simone, teman kecil dan anggota gerombolanku, pulang ke rumah orang tuanya. Dia pergi ke kota untuk sekolah, dan aku tidak bertemu dengannya selama bertahun-tahun; aku melihat dia sudah berubah, dan perubahan itu menjadi masalah bagiku. Mungkin aku jatuh cinta, namun dengan sedikit kesadaran terhadapnya: apa yang kumaksud adalah, aku tidak mengakuinya pada diriku sendiri, bahkan tidak juga menduga-duga. Dia sangat menarik, pemalu, tenang, dan cerah.   

Seperti yang sudah kusebutkan, keluarga De Simone merupakan salah satu dari sedikit tetangga yang kami gauli dengan beberapa aturan. Mereka mengetahui Trachi dan menyukainya.

Selama kepulangan Teresa, kami menghabiskan sore yang panjang bersama, kami bertiga saja. Itu adalah situasi yang unik, senja yang tidak akan pernah bisa terlupakan: bulannya, para kecoa, bau kental jerami, hawa yang tetap dan hangat. Kami mendengar nyanyian dari kejauhan, dan tiba-tiba Trachi mulai bernyanyi, tanpa melihat kepada kami, seakan-akan dia sedang bermimpi. Itu adalah sebuah lagu yang panjang, iramanya berani dan kuat, dengan lirik yang tidak kumengerti. Sebuah lagu Yunani, kata Trachi; namun ketika kami memintanya untuk menerjemahkan lagu itu dia mengalihkan pandangannya dan menjadi diam.

Kami semua diam untuk waktu yang lama; lalu Teresa pulang. Esok paginya, Trachi menarikku ke samping dan mengatakan ini: “Oh, sahabatku tersayang, waktuku sudah tiba. Aku jatuh cinta. Perempuan itu masuk ke dalam diriku, dan memilikiku. Aku ingin menemuinya dan mendengar suaranya, bahkan mungkin menyentuhnya, dan tidak ada lagi yang lain; karenanya aku menghasratkan sesuatu yang tidak mungkin. Aku mengecil menjadi satu hal: tidak ada yang tersisa dariku kecuali hasrat ini. Aku berubah, aku telah berubah, aku telah menjadi sesuatu yang lain.”

Dia mengatakan hal-hal lain kepadaku dengan baik, yang aku merasa bimbang untuk menulisnya, karena rasa-rasanya kata-kataku akan menghakiminya. Dia bilang kepadaku bahwa, sejak malam lalu, dia menjadi sebuah “medan perang”; bahwa dia memahami, yang tidak pernah dia miliki sebelumnya, eksploitasi nenek-moyangnya yang keras, Nessus, Pholus; bahwa seluruh keseparuh-manusiaannya dipenuhi dengan mimpi-mimpi, dengan kemuliaan, terhormat, dan fantasi yang luas; bahwa dia ingin melengkapi kepahlawanannya yang berani dan bertarung untuk keadilan dengan kekuatan tangannya, membinasakan hutan-hutan lebat dengan nafsu kehebatannya, berlari menuju ujung bumi, menemukan dan menaklukkan tanah-tanah baru, dan menciptakan kerja-kerja untuk sebuah peradaban kesuburan di sana. Semua ini, yang masih gelap bahkan bagi dirinya sendiri, ingin dia tunjukkan di depan mata Teresa De Simone: melakukan itu untuknya, mempersembahkan itu untuknya. Akhirnya, dia bilang padaku, dia menyadari kesia-siaan impiannya pada setiap tindakan memimpikannya, dan ini adalah isi dari lagu di senja yang lalu, sebuah lagu yang dia pelajari dulu sekali, selama masa remajanya di Colophon, dan yang tak pernah dia pahami dan nyanyikan hingga saat ini. 

Selama beberapa pekan, tak ada yang terjadi: kami semakin sering menemui keluarga De Simone, tetapi perilaku Trachi tidak menyingkapkan apapun dari badai yang bergejolak di dalam dirinya. Itu adalah situasi aku, dan tidak ada seorang lain pun, yang menyebabkan keruntuhan.  

Pada sebuah senja di bulan Oktober, Trachi berada di tempat si pandai besi. Aku bertemu Teresa, dan kami berjalan-jalan bersama di hutan. Kami berbicara, dan hanya kami sementara Trachi? Aku tidak mengkhianati kepercayaan diri sahabatku, tapi aku melakukan yang lebih buruk.

Aku langsung mengerti bahwa Teresa tidak sepemalu sebagaimana dia ingin terlihat: dia memilih, seandainya ada kesempatan, sebuah jalan setapak kecil yang mengarah ke bagian hutan-hutan yang rimbun; aku tahu itu adalah sebuah jalan buntu, dan juga tahu bahwa Teresa mengetahuinya. Ketika jalan setapak berakhir, dia duduk di atas dedaunan kering dan aku melakukan hal yang sama. Menara lonceng di lembah berdentang tujuh kali, dan dia bersandar kepadaku dengan gelagat seperti membebaskanku dari semua keraguan. Dia saat kami pulang, malam sudah jatuh, namun Trachi belum kembali.

Segera kusadari bahwa aku sudah bertindak buruk; sebenarnya, aku menyadari itu selama melakukannya, dan sampai hari ini itu tetap terasa menyakitkan. Meski aku juga tahu bahwa tidak semua merupakan kesalahanku, tidak juga salah Teresa. Trachi bersama kami: kami mencelupkan diri kami ke dalam auranya, kami ditarik menuju dunianya. Aku tahu ini karena aku sendiri menyaksikan kemanapun dia berjalan, bunga-bunga bermekaran sebelum waktunya, dan serbuk sari berterbangan dalam derunya saat dia berlari.

Trachi tidak kembali. Setelah beberapa hari berikutnya, kami mengerjakan reka-ulang kisah terakhirnya berdasarkan pengamatan saksi dan jejak-jejaknya. 

Setelah sebuah malam yang mencemaskan menanti kami semua, dan sebuah rahasia menyiksaku, aku pergi mencarinya di tempat pandai besi sendirian. Si pandai besi tidak berada di rumah: dia di rumah sakit dengan tengkorak yang bolong, dan tidak bisa bicara. Aku bertemu dengan pembantunya. Dia bilang padaku bahwa Trachi datang sekitar pukul enam untuk memasang tapalnya. Dia diam dan sedih, namun tenang. Tanpa menunjukkan ketidaksabaran barang sedikitpun, dia membiarkan dirinya dirantai seperti biasa (praktek tak beradab ini dilakukan oleh si pandai besi, yang, beberapa tahun sebelumnya, mengalami pengalaman buruk dengan seekor kuda yang gelisah; kami telah berusaha, sia-sia, untuk meyakinkan dia bahwa tindakan pencegahan ini dalam sudut manapun absurd dalam rasa hormat terhadap Trachi). Tiga dari kakinya sudah mengenakan tapal ketika sebuah tindakan kekerasan yang cukup panjang dilakukan terhadapnya. Si pandai besi meneriakinya dengan nada kejam yang sering dilontarkan kepada kuda; ketika teriakan terhadap Trachi sepertinya mulai meningkat, si pandai besi melecutnya dengan sebuah cambuk.  

Trachi tampaknya berusaha tenang, ”namun kedua matanya berputar seolah-olah dia sedang marah, dan dia sepertinya mendengar suara-suara.” Tiba-tiba, dengan sekali bantingan ngamuk, dia menarik rantai dari dinding, dan salah satu ujungnya mengenai kepala si pandai besi, membuat dia jatuh pingsan di lantai. Trachi kemudian menarik dirinya melawan pintu dengan semua kemampuannya, pertama kepalanya, lengannya menyilang di depan kepalanya, dan melompat menuju lembah-lembah sementara empat utas rantai, tetap terikat di kakinya, bergemerincing, dan melukainya berulang-ulang.

“Pukul berapa kejadiannya?” Aku bertanya, dengan sebuah firasat yang menganggu.

Pembantu itu tidak yakin: belum terlalu malam, tapi dia tidak bisa menyebutkan secara persis. Ya, sekarang dia ingat: beberapa detik sebelum Trachi menarik rantai dari dinding, jam berdentang dari menara lonceng, dan bosnya berkata kepadanya, dalam sebuah dialek sehingga Trachi tidak akan memahaminya,”sudah pukul tujuh! Jika semua klienku bengis seperti yang satu...”

Pukul tujuh!

Tidak sulit, sayangnya, untuk mengikuti kemana Trachi pergi dalam amarahnya; bahkan andaikan tak seorangpun melihat dia, ada beberapa jejak darahnya yang menarik perhatian, pecahan rantai yang merusak batang pohon dan bebatuan di tepi jalan. Dia tidak bergerak pulang, atau menuju rumah keluarga De Simone: dia telah menyingkirkan pagar kayu setinggi dua meter yang mengelilingi properti Chiapasso, dan langsung menyeberangi kebun anggur dengan sebuah amarah buta, menjatuhkan tonggak-tonggak dan pohon-pohon anggur, memutuskan kawat baja tebal yang menopang pohon anggur. 

Dia sampai ke halaman gudang dan menemukan pintu gudang tertutup palang dari luar. Dia bisa membukanya dengan mudah menggunakan tangannya; alih-alih, dia mengangkat sebuah ambang pintu tua, mengangkat dengan baik beban lebih dari lima puluh kilo, dan melemparkannya ke arah pintu, menjadikannya berkeping-keping. Hanya ada enam ekor sapi, beberapa ekor ayam dan kelinci di gudang. Trachi segera meninggalkannya dan, tetap dengan lompatan yang gila, bergerak menuju perkebunan Baron Caglieri. 

Sekurang-kurangnya itu berjarak enam setengah kilometer, terletak di sisi lain lembah, namun Trachi sampai di sana hanya dalam beberapa menit. Dia melihat kandang kuda: dia belum mendapatkannya dengan pukulan pertama, namun setelah dia menggunakan tapal dan bahunya untuk merobohkan sejumlah pintu. Apa yang dia lakukan di kandang kami ketahui dari seorang saksi-mata, seorang bocah penjaga kandang, yang, saat mendengar suara pintu hancur, memiliki kesadaran yang tepat untuk bersembunyi di dalam jerami dan dari sanalah dia melihat semuanya.

Trachi ragu sejenak di ambang pintu, terengah-engah dan berdarah. Sejumlah kuda, tidak nyaman, mengombang-ambingkan kepala mereka, mengamuk dalam kandang mereka. Trachi menerkam seekor kuda betina putih berusia tiga tahun, dalam sebuah serangan dia memutuskan rantai yang mengikatkan kuda betina itu ke kolam, dan menyeretnya dengan rantai yang membawanya ke luar. Kuda betina itu tidak memberikan perlawanan apapun, yang menjadi aneh, seperti yang dikatakan bocah penjaga kandang kepadaku, sejak itu kuda betina itu memiliki karakter yang lebih galak dan malas, dan tidak hangat.  

Mereka melompat bersama sejauh mungkin ke arah sungai: di sana Trachi tampak berhenti, menampungkan tangannya, mencelupkannya ke dalam air, dan minum berulang-ulang. Kemudian mereka berjalan bersisian menuju hutan. Ya, aku mengikuti jejak mereka, menuju hutan yang sama, jalan setapak yang sama, ke tempat yang sama di mana Teresa memintaku untuk melakukannya bersama dia.

Dan di sana, sepanjang malam, Trachi pasti telah merayakan perkawinan raksasanya. Aku menyaksikan tanah tergali keluar, dahan-dahan patah, surai kuda berwarna coklat dan putih, rambut manusia, dan banyak darah. Tak jauh dari sana, karena suara napasnya yang bermasalah, perhatianku tertarik dan kutemukan kuda betina itu. Dia berbaring di atas tanah, terengah-engah, jubah kebesarannya tertutup tanah dan rumput. Saat mendengar langkah kakinya dia mengangkat kepalanya sedikit, dan mengikutiku dengan tatapan mengerikan seekor kuda yang ketakutan. Dia tidak terluka tetapi layu. Delapan bulan kemudian dia melahirkan seekor anak kuda: seperti yang sudah kukatakan, semuanya normal. 

Di sini jejak Trachi menghilang. Namun, seperti yang mungkin diingat oleh beberapa orang, beberapa hari setelah itu sejumlah surat kabar melaporkan serangkaian jejak kasak-kusuk kuda, semua dilakukan dengan teknik yang sama: merobohkan pintu, kandang dibuka atau rusak, binatang (selalu seekor kuda betina dan selalu sendirian) dibawa ke pintu terdekat, dan ditemukan di sana dalam keadaan lelah. Hanya sekali si pelaku tampaknya menemui perlawanan: pasangannya malam itu ditemukan sekarat, lehernya patah.

Ada enam episode, dan itu semua dilaporkan terjadi di tempat-tempat berbeda di semenanjung, antara satu yang lainnya terjadi di utara ke selatan—di Voghera, di Lucca, dekat Danau Bracciano, di Sulmona, di Cerignola. Yang terakhir terjadi di dekat Lecce. Lalu tak ada lagi. Namun mungkin kisah ini berhubungan dengan sebuah laporan aneh yang diterbitkan pers berdasarkan keterangan seorang kru pemancing di Puglia: ketika sampai di Corfu, mereka datang saat “seorang lelaki mengendarai seekor lumba-lumba”. Pemandangan khayal aneh ini berenang dengan teguh menuju timur, para pelaut meneriakinya, menunjuk seorang lelaki dan hewan berpinggul abu-abu menyelam ke dalam air, menghilang dari pandangan. ♦

Naskah asli kisah ini ditulis dalam bahasa Italia. Diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Jenny McPhee. Penerjemahkan ke bahasa Indonesia melalui versi bahasa Inggris.

Primo Levi (31 Juli 1919 - 11 April 1987)




Monday, March 30, 2015

Band Cover di Bar Kecil


Mereka membuatnya terasa seperti kemarin,
Yang merupakan seluruh gagasan: Sabtu lain 
Yang tak terikat di lantai dasar Charter Club,
Minum bir dan mendengarkan sebuah band cover Trenton
Memainkan lagu-lagu Top Four: “Sugar Pie Honey Bunch,”
“It’s the Same Old Song.” Mereka menduduki pikiranku
Pada 1966 dalam makan malam bersama Robbie di Del Pezzo, lalu
Di Vassar Club dan di atas sebuah pesiar di sekitar Manhattan
Untuk ulang tahun pernikahan orang tua Peter Mahony.
Seleraku “mengembang”: lebih Stax, sedikit Motown,
Kemudian The Velvet Underground dan rock I.Q.—
Tuhan, aku adalah seorang sombong.
Dan kini Lou Reed sudah mati 
Dan Aku duduk di Art Bar di Milwaukee,
Jauh melewati waktu tidurku yang biasa—aku tidak akan bertahan sampai larut
Tak ingin kemanapun / Aku pulang sekitar jam delapan, hanya aku
Dan radioku—mendengarkan lagu-lagu kesukaanku lagi,
Mendengarnya seperti pertama kali? Tidak sama sekali:
Mereka terlalu familiar, Aku terlalu khusyuk bersama mereka,
Sekalipun tubuh ini tetap mengikuti—bergoyang
Sedikit di meja, mendongak dan mengangguk
Menuju kenangan “The Pale Blue Eyes.” 

John Koethe (1945 - )