Jika Anda
adalah seorang pengangguran yang hanya menggantungkan hidup pada pekerjaan
paruh-waktu yang tak pasti dan bantuan dari saudara serta teman, maka hari
libur tiada bedanya dengan hari biasa.
Akhir tahun
ini, akhir 2015, hari libur bagi yang memiliki pekerjaan tetap menjadi sesuatu
yang menggembirakan. Bukan saja karena berlibur saja sudah membuat gembira,
namun susunan tanggal merah di kalender membuat liburan akhir tahun cukup
panjang.
Libur
dimulai pada 24 Desember yang merupakan hari peringatan Maulid Nabi Muhammad
SAW, disusul dengan hari Natal, dan kebetulan diikuti dengan hari libur reguler
karena 26-27 Desember adalah hari Sabtu dan Minggu.
Seorang
teman, yang memiliki pekerjaan reguler, mengajak saya menghabiskan libur ke
kampung halamannya di Desa Gentawangi, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah. Dia
bersedia menanggung akomodasi karena dia tahu saya seorang pengangguran.
Kami
berjanji bertemu di Stasiun Tebet, Jakarta Selatan, karena saya harus menumpang
komuter dari Lenteng Agung untuk mencapai titik tengah karena teman saya ini
tinggal di wilayah Sunter, Jakarta Utara. Kami berangkat dengan Vespa PX-Piaggio keluaran 1994 yang cat body-nya sudah dikerik. Vespa ini cukup mencolok karena body-nya tampak seperti kaleng.
Saya tidak
terlalu handal dalam urusan mengemudikan kendaraan. Saya pernah mengendarai Vespa tetapi itu sudah lama sekali dan
sudah beberapa tahun ini sebagian besar transportasi yang saya lakukan
menggunakan angkutan umum. Maka, dengan kondisi seperti itu, teman saya yang
mengambil posisi sebagai pengendara.
Kami meninggalkan
Tebet pada pukul 00.30 dini hari. Menjelang simpang empat Metropolitan Mal,
Bekasi, kami berhenti karena ada seseorang yang mendorong sepeda motornya
sambil berjalan. Ternyata seorang petugas Go-Jek, seorang perempuan. Teman saya
bertanya kepadanya apakah dia kehabisan bensin. Dia menjawab ya. Dan teman saya
menuangkan bensin cadangan dari sebuah galon yang digantungkannya di cantelan
helm di dekat jok ke tangki motor perempuan tersebut. Seorang perempuan lain,
tampaknya penumpang Go-Jek tersebut, menunggu sambil memainkan telepon
genggamnya.
Dua jam
kemudian kami sampai di Cikarang, Jawa Barat. Karena lapar, kami mampir di
sebuah warung nasi uduk di tepi jalan. Penjualnya adalah seorang perempuan
setengah baya dibantu seorang lelaki yang tampaknya bertugas sebagai asisten.
Di meja, tersedia berbagai macam lauk dan makanan yang boleh dibilang cukup
beragam.
Kami makan
dan sepertinya warung itu cukup ramai. Mereka melayani para pejalan juga para
sopir. Kami berangkat setelah saya membeli empat batang rokok kretek Sampoerna
di warung yang tak jauh dari situ.
Suasana
Jakarta semakin meredup ketika kami menjelang sampai di Karawang. Pohon-pohon
di tepi jalan dan sawah-sawah yang menghampar setelahnya, juga bulan yang
memancar di langit, membuat saya mengusulkan berhenti sesaat untuk melakukan
semacam “kriminal kecil”.
Kami
berhenti dan memarkir Vespa di sebuah
jalan kecil yang merupakan jalur menuju sawah. Dalam kegelapan dan sesekali diterpai
oleh cahaya lampu kendaraan yang lalu-lalang dalam jarak yang cukup hening,
kami mengelupaskan sambungan kertas penggulung rokok kretek Sampoerna dari
tembakaunya, dan menggunakannya untuk melinting ganja. Oh, cimeng, Bro!
Ganja,
bagaimanapun, selalu membuat jantung berdebar. Sifat kriminal yang dilekatkan
pada dirinya membuat saya selalu punya paranoia ketika menghisapnya di tempat
terbuka, dan apalagi, yang tidak saya kenal betul. Debar itu mengencang ketika
seseorang dengan sepeda motor dari tepi jalanan masuk ke jalan kecil dan
mengarah ke tempat kami berdiri.
Saya dan
teman saya bersigap menyembunyikan ganja yang kami letakkan di atas jok Vespa. Yang datang adalah seorang
lelaki yang tampaknya berusia di atas 50 tahun dan sedang menuju sawah atau
ladangnya. Lelaki itu menyapa kami dan teman saya menjawabnya dengan mengatakan
bahwa kami parkir di sana karena lampu Vespa
kami bermasalah.
Tak lama
setelah itu, seorang petani lainnya, datang berjalan kaki, juga menuju
sawahnya. Saat kembali melihat ke arah atas jok, saya melihat serpihan ganja
terserak karena kertas koran pembungkusnya robek akibat saya menggenggamnya
terlalu keras.
Saya
menghisap ganja itu sendirian. Agak sedikit susah dihisap karena sepertinya
lintingan saya tidak sempurna. Teman saya tidak mau menghisap ganja yang
notabene adalah miliknya. Saya menghabiskan lintingan itu dengan terburu-buru.
Pagi
harinya, kami sampai di sebuah pantai di kawasan Indramayu. Mampir ke sana dan
beristirahat di gubuk bambu yang berdiri menjorok ke laut sekitar sepuluh meter
dari tepian yang diawali dengan bebatuan. Di sana, teman saya bilang dia ingin
ganja. Lalu saya melintingnya. Dan kami membakarnya.
Tak lama
kemudian, perut saya mengisyaratkan ingin buang air besar. Tak jauh dari sana,
ada toilet umum yang tidak perlu saya ceritakan bagaimana kondisi
kebersihannya, dan saya membayar tiga ribu rupiah untuk sekali buang air besar
di sana.
Saya kembali
ke gubuk, di sana kami merebahkan badan dan berbicara tentang komposisi lagu “Photograph” yang diciptakan oleh Ringo
Starr, juga perilaku musisi lokal seperti Dadangnya Dialog Dini Hari. Teman
saya bertanya apakah saya menyukai Dialog Dini Hari, saya jawab secara jujur,
tidak.
Kami lanjut
lagi dan berhenti menjelang Cirebon setelah teman saya melihat tulisan”empal
gentong” di papan-papan sepanjang jalan. Dia bertanya kepada saya apakah saya
pernah tahu tentang “empal gentong”, saya menjawab yang saya tahu hanya
“empal”, yaitu daging goreng.
Vespa
menepi di sebuah warung dengan balai bambu. Di sana ada gerobak “empal gentong”
dengan kendi besar di atas bara mirip seperti gerobak tongseng yang bisa
ditemui di Jakarta. Empal gentong ternyata adalah daging dan tetelan yang
dimasak dengan santan dalam gentong dari tanah liat yang dipanaskan bara dan
dimakan dengan lontong yang dibungkus daun pisang. Satu porsi harganya Rp12
ribu. Yang memasak dan melayani kami adalah seorang perempuan yang sepertinya
berusia di atas 50 tahun dan memiliki warung kerupuk dan keripik di seberang
warung tempat kami makan empal gentongnya.
Di kota
Cirebon, Vespa mogok tepat di depan
para penggali jalan yang sedang bekerja. Teman saya menggunakan bensin
cadangannya. Cirebon betapa panasnya disertai beberapa penggali jalan yang
memperhatikan kami dengan tatapan tak peduli.
Perjalanan
berlanjut dan ketika sampai di Brebes sekitar pukul 14.30, kami berbelok ke
jalan alternatif menuju Purwokerto. Langit semakin mendung ketika kami sampai
di kecamatan A dan berhenti di sebuah SPBU. Di emperan bangunan kantor SPBU,
kami makan nasi bungkus sambil ‘ngobrol dengan petugas parkir di sana. Petugas
parkir itu sempat bertanya pada saya dengan bahasa Jawa yang saya pahami
berarti “pulangnya ke mana, Mas?”
Saya jawab,
“ke Jatilawang”.
Lalu dia
menjawab dalam bahasa Jawa, “wis pereg”.
Karena dia
melihat raut saya yang mungkin memancarkan ketidakmengertian, dia bertanya
lagi, “iso ngomong Jowo, Mas?”
Saya jawab,
“bisa, ‘dikit-dikit.”
Lalu dia
bertanya tentang dari mana saya berasal, dan ke tempat siapa tujuan saya dalam
perjalanan kali ini. Dan yang jelas, dia tampaknya tertarik dengan Vespa teman saya.
Perjalanan
dari tempat ini diwarnai hujan dan macet. Saya bertanya-tanya dalam hati,
bagaimana bisa di daerah pedesaan yang hijau seperti ini bisa ada kemacetan
kendaraan yang hampir tak ada bedanya dengan yang terjadi di Jakarta? Teman
saya bilang, kemacetan kali ini mendekati seperti yang terjadi di masa lebaran.
Mungkin efek kalender tanggal merah yang panjang.
Ketika
melihat gundukan tanah berumput di tepi sungai, kami mampir, duduk di bawah
sebuah pohon, dan lagi-lagi menghisap ganja di sana.
Kami
berhenti lagi di kecamatan Wangon, di sebuah SPBU, ketika teman saya hendak
melakukan shalat Ashar. Saya tidak shalat. Dua orang pemuda yang mengaku hendak
pulang ke Cilacap menawari saya makanan. Saya menolaknya.
Dari Wangon,
teman saya bilang tujuan kami tinggal setengah jam waktu tempuh lagi. Dalam
perjalanan, dia sudah merasakan atmosfir desanya. Jalanan yang kami tempuh
berada di antara perbukitan, sawah, dan hutan.
Kami belok
kiri di Jatilawang masuk ke arah desa Gentawangi. Di jalan desa ini, seperti
kebanyakan jalan di desa Jawa, diwarnai dengan hamparan sawah, bukit, dan
pohon-pohon di batas antara sawah-parit dan aspal. Desa itu sedang ramai karena
masyarakat sedang menonton pengaspalan jalan kampung.
Kami tiba di
rumah teman saya sekitar pukul 17.00 wib. Di beranda rumah, ayahnya sedang
duduk sendiri sambil menghisap rokok.
Di malam hari, kami berkeliling desa
mengendarai sepeda motor ayah teman saya, sebuah Honda Astrea Prima yang sangat terawat. Kami masuk ke jalan-jalan
kecil di samping rumah-rumah. Teman saya bilang dia ingin melihat
perubahan-perubahan di kampungnya setelah sekian tahun tinggal di Jakarta.
Teman saya
bertemu dengan seseorang yang menurutnya adalah salah satu teman sebayanya.
Mereka berbicara dalam bahasa Jawa yang tidak terlalu saya pahami.
Dari sana,
kami membeli kertas papir merk Wayang yang satu paknya dijual dengan harga
Rp500 di sebuah warung. Jenis papir ini mengeluarkan bau yang menyengat, yang
mampu membuat kita benar-benar merasakan suasana Jawa. Di Jakarta, orang-orang
menyebut jenis papir ini dengan “Papir Jawa.”
Lalu kami
bergerak menuju lapangan sepakbola kampung. Kami duduk di beton parit yang
membatasi lapangan dan sawah. Di sana kami menghisap ganja lagi.Suasana malam
di desa itu terlalu tenang. Demikian tenangnya, suara satu sepeda motor saja
bisa terasa terlalu mencolok. Namun kebisingan bukannya tidak ada. Itu datang
dari anak-anak muda. Misalnya, mereka seperti terbiasa dengan anak muda yang
mengendarai motor agak sedikit kencang dan menimbulkan suara yang cukup
berisik. Atau, sepelemparan batu dari tempat kami duduk, sekelompok anak muda sedang
berkumpul dan kami bisa mendengar tawa mereka yang sama mencoloknya dengan
suara motor.
Lalu kami
pulang. Kelelahan membuat saya tidak sulit untuk tidur.
Teman saya
membangunkan saya sekitar pukul 04.30 pagi. Jadwal hari itu adalah ke pantai!
Setelah mandi, kami sarapan di beranda rumah bersama ayah dan ibu teman saya.
Menu pagi itu adalah lontong yang ukurannya cukup besar dan bakwan jagung.
Hanya dengan sepuluh ribu rupiah, lontong dan bakwan jagung itu cukup membantu
ketika kami kelak lapar di pantai.
Ke pantai,
kami menuju Bunton. Pantai Bunton terletak di kabupaten Cilacap. Dari
Jatilawang, letaknya sebelum kota Cilacap. Dari Gentawangi, perjalanan menuju
Bunton membutuhkan waktu sekitar 30-45 menit.
Di pantai
tak ada yang kami lakukan selain duduk menikmati matahari pagi, berbincang, dan
menghisap ganja. “What a beautiful
mornin’”. Lagi-lagi, paranoia itu datang ketika tiga orang terus-menerus
bermain-main dengan air laut sambil mendekati tempat kami duduk. Karena terlalu
berhati-hati, saya meremas lintingan ganja yang ada di tangan saya.Seiring
dengan menanjaknya matahari dan terganggunya privasi, kami meninggalkan
pantai.
Dari Bunton,
teman saya mengambil jalur menuju Purwokerto dan berbalik-arah di kecamatan
Rawalo. Rawalo adalah daerah yang indah. Di satu sisi, jalan raya akan diwarnai
dengan hutan pinus dan diseberangnya adalah sungai Serayu dan PLTA Serayu.
Karena ingin
mencari tempat yang aman dan asyik untuk membakar ganja, kami mencari tempat di
tepi sungai.
Ada sebuah
tepian dengan warung-warung bambu yang sepi. Tepian itu dibatasi oleh sebuah
pohon besar yang kerindangannya menjorok ke arah daratan. Di bawah rindangan
pohon itu, kami melihat tiga orang lelaki sedang membuat perahu. Salah seorang
dari mereka menyelipkan pensil di sela telinganya, mungkin dia adalah perancang
perahu itu.
Saya di atas
batu besar duduk melihat konstruksi perahu itu, teringat kayu
tengah “keelson”-nya bahtera Nuh yang
oleh sebagian orang dianggap sebagai kelson
yang ditulis oleh Walt Whitman dalam salah satu masterpiece-nya. Pembuat perahu itu berbincang dengan teman saya.
Dari teman saya, saya mengetahui bahwa laki-laki yang menyelipkan pensil di
sela telinganya itu mendapatkan ilmu membuat perahu secara turun-temurun dan
otodidak. Luar biasa!
Tak jauh
dari sana, ada dataran yang dipenuhi oleh balok-balok kayu. Saya membayangkan
kami duduk di atas balok-balok itu dan menghisap ganja. Namun, cuaca terlalu
panas dan kami bergerak menuju tepi sungai Serayu yang berbatasan dengan kebun
penduduk.
Di tepinya,
Serayu dilindungi bebatuan. Di sana, ada sebuah pohon tempat kami berlindung
dari panas matahari. Di sana, kami mengunyah lontong-bakwan jagung sisa sarapan
pagi tadi. Saya meminum air kali Serayu langsung dari alirannya.
Sampai di
Gentawangi sekitar pukul 11.00 wib. Kami mampir di rumah BuDe alias kakak
perempuan ayah teman saya. Di rumah itu sedang ramai karena malam harinya akan
ada acara syukuran. Hari itu, cucu Bu De teman saya disunat. Dalam situasi
seperti ini saya sering mengalami perasaan sebagai orang asing. Bukan saja
asing karena saya baru kali pertama datang ke desa ini, sekaligus juga saya
tidak terlalu mengerti bahasa Jawa yang digunakan oleh orang-orang di sini.
Ada beberapa
perempuan yang secara usia tampak seusia ibu atau bibi saya di sana. Ada juga
yang seusia nenek saya yang sudah meninggal dunia. Di sana mereka menanyakan
kabar teman saya. Lalu, ketika teman saya dipanggil ibunya dari ruang belakang
dekat dapur, saya menghadapi situasi di ruang depan sendirian. Saya
mendengarkan ibu-ibu di sana menyebut-nyebut kata “Jambi”. Saya menduga-duga
saja bahwa mereka sedang membicarakan saya karena di malam sebelumnya saya
menceritakan kepada orang tua teman saya bahwa saya berasal dari Jambi yang
terletak di pulau Sumatera.
Tak lama
kemudian, kami kembali ke rumah teman saya yang hanya berjarak tiga rumah dari
rumah Bu De-nya. Sesampainya di rumah, teman saya bilang dia harus pergi shalat
Jumat karena hari itu adalah hari Jumat. Saya bingung lagi. Saya memang jarang
shalat. Tetapi karena perasaan saya sebagai orang asing, saya bertanya-tanya,
“haruskah saya ikut dengan teman saya shalat Jumat?” Pertimbangan saya adalah,
saya sulit sendirian di rumah teman saya kalau dia tidak ada. Saya termasuk
orang yang sulit membuka pembicaraan dengan orang lain dan cenderung diam
ketika berada di lingkungan yang tidak terlalu saya kenal. Selain itu, pepatah
dari kampung halaman yang mengatakan “di mana bumi dipijak, di situ langit
dijunjung” membuat saya merasa agak risih jika penduduk di desa ini melihat
saya tidak pergi ke mesjid ketika orang-orang berada di sana.
Tetapi, saya
punya naluri yang lain juga. Bahwa, shalat Jumat kali ini adalah momen pribadi
antara ayah dan anak dalam dunia teman saya dan ayahnya. Teman saya akhirnya
pergi shalat Jumat bersama ayahnya.Mereka memaklumi keinginan saya untuk tidak
ikut sekaligus maklum pula bahwa saya pasti mengalami kesulitan ketika
sendirian tanpa teman saya. Sementara itu, saya melihat ketegangan seperti itu
sebagai urusan keluarga.
Sebelum
berangkat, teman saya menganjurkan saya untuk pergi ke tepi sungai Tajum yang
berjarak hanya sekitar 30-40 meter dari beranda rumahnya. Maka setelah saya
berpamitan dengan ibu teman saya, saya pergi menikmati tepian sungai Tajum.
Ke sungai
Tajum, saya harus melewati kebun pisang, pepaya, singkong, dan palawija
lainnya. Ada seorang nenek yang sedang memisahkan daun pisang kering dari
batang pelepahnya yang masih tersangkut di pohon. Saya berusaha menyapa si
nenek dengan berharap dia melihat ke arah saya saat saya melihatnya. Nenek itu
tampak cukup sibuk, saya berlalu.
Di tepi
sungai Tajum ada kerangka bangunan beton setinggi sekitar dua meter. Saya
memilih duduk di atas beton itu, di tempat yang teduh di dekat rumpun pohon
pisang. Waktu saya sampai di sana, azan shalat Jumat sedang berkumandang. Di
seberang, tampak beberapa petani beristirahat. Saya berpikir, ternyata saya
tidak sendirian. Petani-petani itu juga tidak shalat Jumat.
Saya
melinting ganja dan membakarnya di sana. Petani di seberang sepertinya
memperhatikan saya. Bagaimana tidak? Saya tidak bisa tetap merasa seperti di
Jakarta dimana kepadatan membuka peluang bagi saya untuk berusaha “tidak
terlihat”. Di desa ini, mereka mengenal satu-sama lainnya, dan mereka pasti
akan memperhatikan orang asing seperti saya.
Hari itu
saya mengenakan kaca-mata hitam. Sementara beberapa petani di seberang sana
bertepuk-tangan sambil berteriak, seolah-olah hendak berbicara dengan orang
yang ada di seberang sini. Saya merasa teriakan itu ditujukan kepada saya.
Seolah-olah, teriakan itu dimaksudkan bahwa saya tidak sedang sendirian di sana
dan tidak bisa mendapatkan “privasi” begitu saja.
Apa yang
saya cari di sana memang privasi. Privasi untuk menikmati alam yang belum
pernah saya datangi sambil menghisap ganja sambil mengenakan kacamata hitam.
Tetapi, saya seringkali merasa gagal mendapatkan privasi itu ketika asap ganja
sudah menguasai kepala saya. Ganja adalah paranoia.
Ketika suara
khotbah di mesjid sudah berhenti, dan sepertinya orang-orang sudah mulai
shalat, ketidaknyamanan itu semakin menjadi-jadi. Sayup-sayup saya mendengar
suara orang sedang merobek atau mengumpulkan daun. Suara itu semakin lama
semakin dekat. Saya memutuskan pergi dari sana dan ketika saya menemukan sumber
suara kerisik daun itu, ternyata itu berasal dari si nenek yang saya temui
ketika saya datang tadi. Si nenek tetap dingin. Saya tak berani menyapanya.
Dari sungai
Tajum, saya menempuh jalan setapak mendaki untuk sampai di jalan aspal.
Kemudian saya duduk di beranda rumah teman saya sambil menunggu dia pulang.
Ketika melintasi jalanan, saya juga melihat seorang kakek duduk di beranda
rumahnya sendirian justru ketika orang-orang sedang berada di mesjid. Saya
ternyata tidak sendirian.
Teman saya
akhirnya datang bersama ayahnya. Setelah itu, teman saya mengajak saya kembali
ke sungai Tajum. Di sana kami mandi-mandi, menghisap ganja, dan membicarakan
kontras antara kehidupan di desa teman saya dengan Jakarta. Juga masalah
pekerjaan dan beberapa hal-hal pribadi.
Kami kembali
ke rumah dan berencana ke Purwokerto malam itu. Di beranda rumahnya, sedang
berkumpul kerabat dan tetangga teman saya. Saya masuk ke kamarnya, tidur,
sambil mendengar samar-samar orang-orang berbicara di beranda.
Menjelang
senja saya bangun, mandi. Usai mandi, saya melihat tiga helai baju batik yang
terlipat dengan rapi di atas tempat tidur. Teman saya memberitahu saya bahwa
kami akan pergi ke rumah Bu De-nya untuk menghadiri syukuran. Saya diminta
memilih satu dari tiga helai kemeja batik itu. Saya memilih salah satu yang
berwarna coklat.
Dalam
syukuran itu, seperti yang pernah saya lihat di kampung halaman saya, adalah
untuk kaum lelaki. Di ruang utama, para lelaki duduk bersila-bersandar ke
dinding rumah, di depan mereka sudah tersaji piring-piring berisi makanan.
Sementara itu, kaum perempuan berkumpul di dapur untuk menyiapkan sajian.
Teh tawar
hangat diedarkan ke dalam lingkaran, lalu piring makanan yang berisi lauk
seperti ayam, telur, dan tempe. Di tengah lingkaran, membentang jejeran daun
pisang, di atasnya ada nasi yang dicampur kelapa yang diatasnya juga ditutupi
daun. Kata pembuka disampaikan oleh lelaki yang dipanggil “Eyang Kakung”, lalu
seseorang memimpin doa, dan makan.
Yang berbeda
dengan syukuran di kampung halaman saya, tamu tidak membawa oleh-oleh atau yang
dikenal di Jakarta dengan istilah “besek”.
Makan diselesaikan di rumah yang punya hajat. Kami membawa pulang tiga besek, satu di tangan saya, satu di
teman saya, dan satu pada ayahnya.
Setelah itu,
kami ke Purwokerto. Ke Purwokerto, sayalah yang mengendarai Vespa. Kami melewati hutan pinus Rawalo
yang kami lalui tadi pagi dan sampai di Purwokerto sekitar pukul 20.00 wib. Di
perjalanan, saya bertanya mengkonfirmasi kepada teman saya tentang keramaian di
beranda sore tadi ketika saya tidur.
Teman saya
bilang, dia berbincang-bincang dengan sejumlah kerabat dan “mbah”. Salah satu yang mereka bicarakan
adalah kisah tentang PKI. Saya tidak terlalu jelas menangkap keterangan teman
saya tentang kisah yang disampaikan mbah-nya.
Dia bilang, di masa PKI masih ada, di desanya ada tujuh polisi desa yang
disebut dengan “Tujuh Setan Desa”. Tujuh Setan Desa merupakan target pembunuhan
oleh PKI. Namun, anehnya, salah seorang dari Tujuh Setan Desa ini pernah ikut
dalam salah satu rapat PKI. Dan “setan desa yang seorang” itu masih termasuk
kakek teman saya. Saya sulit memahami alur ini.
Dari ibunya,
teman saya mendapat kisah bahwa di masa penangkapan orang-orang yang dianggap
terlibat dengan PKI, banyak burung hantu bermunculan. Di malam hari, burung-burung
hantu itu ramai-ramai bersuara menjadi suara latar suasana desa.
Tentang
kisah PKI, saya tidak aneh. Karena jauh sebelum saya mengenal teman saya, saya
pernah mendengar cerita tentang PKI di wilayah Banyumas dalam novel Ronggeng
Dukuh Paruk karangan Ahmad Tohari. Saya juga tahu bahwa Ahmad Tohari tinggal di
Jatilawang. Dan dari teman saya, saya tahu bahwa “Dukuh Paruk” yang dimaksud
oleh Ahmad Tohari adalah pseudo-namedari
desa Ciparuk. Di seberang sungai Tajum, kata teman saya, di sanalah desa
Ciparuk.
Mari kembali
ke perjalanan... Purwokerto ternyata kota yang cukup maju. Setidaknya jika
dibandingkan dengan kota kampung halaman saya. Kami melewati alun-alun kota
yang ramai, lalu melintasi STM Negeri tempat teman saya dulu bersekolah.
Setelah berputar-putar, kami berhenti di sebuah angkringan di samping STM Negeri bekas sekolah teman saya.
Di titik
itu, Purwokerto terlihat sangat terawat. Jalan raya di depan saya adalah jalan
yang baik dan lurus. Di seberang, berdiri kantor pajak setempat. Jalan ini
mirip jalan protokol di sebuah kota. Menurut teman saya, jika dibandingkan
dengan Jakarta, jalan ini layaknya jalan HR Rasuna Said-Kuningan.
Sekitar
pukul 21.30 wib, kami pulang ke Jatilawang.
Sebagai
laki-laki, saya harus jujur bahwa kami pulang ke Gentawangi dalam kondisi perut
mulas. Sampai di desa, teman saya mengajak saya ke jalan di tepi sawah untuk
mencari tempat buang air besar. Kami berhenti di tepi parit dekat sawah. Di
sana, ada dua jamban yang dipisahkan oleh rumpun pisang. Di sanalah kami buang
air besar. Untuk membersihkan pantat, ada tangga yang bisa dituruni menuju
parit yang dialiri air.
Kami sampai
di rumah dalam keadaan lelah. Teman saya mematikan lampu beranda. Saya
melinting, dan kami pun membakar ganja sebelum tidur.
Dalam perjalanan ke Purwokerto, saya
mengusulkan ke teman saya untuk mengunjungi desa Ciparuk yang diduga merupakan setting yang digunakan Ahmad Tohari
dalam Ronggeng Dukuh Paruk. Kami
berencana berangkat kembali ke Jakarta pada pagi hari. Saya mengusulkan kepada
teman saya untuk melewati Ciparuk sebelum pergi.
Namun saya
punya kesulitan bangun pagi. Apalagi tubuh masih lelah karena perjalanan. Saya
tidur dan bangun di siang menjelang sore. Lalu mandi dan makan. Vespa sudah disiagakan, barang-barang
sudah dipak. Saya, teman saya, dan ayah-ibunya, berbincang-bincang di beranda
hingga sekitar pukul 16.00 wib.
Seorang mbah yang tinggal persis di sebelah
rumah teman saya, yang menurut teman saya berusia 95 tahun, turut melepas kami.
Vespa pun bergerak!
Setelah
menempuh satu jam perjalanan, kami terjebak macet yang membosankan. Saya
berjalan ke arah depan untuk mencari tahu penyebab kemacetan. Ternyata, ada
buka-tutup jalan sehubungan pengaspalan jalan.
Saya duduk
di dalam sebuah pos ronda desa. Tak jauh dari sana, ada sebuah warung. Antara
pos ronda dan warung dibatasi jalan desa yang berkerikil. Sawah menghampar di
kedua sisi jalan itu.
Di warung
ada beberapa orang pemuda. Salah seorang di antaranya menghampiri saya,
menanyakan tujuan saya, dari mana saya berangkat, dan mereka heran ketika saya
bilang saya dan teman saya berangkat ke Jakarta dengan Vespa. Selepas kemacetan itu, hampir tak ada lagi kemacetan berarti
yang kami temui di sepanjang perjalanan.
Sebagian
besar perjalanan kami habiskan di malam hari. Sesekali saya mengendarai Vespa. Kami berhenti untuk makan, tidur,
menghisap ganja, buang air besar, mengisi bensin, dan menawarkan bantuan jika
ada orang yang mendorong motor di jalanan karena kehabisan bensin. Sepanjang
malam saya mencatat dua kali kami berhenti untuk menghisap ganja. Sekali di
antaranya hanya saya yang melakukannya.
Pagi hari menjelang
Karawang, perut kami kembali bermasalah. Kami mencari tepian sungai yang
memungkinkan kami untuk buang air besar. Kami berjalan terus sampai memasuki
kota Karawang. Tibalah kami di sebuah sungai yang dilewati jembatan rel kereta
api. Dan untuk sampai ke sana kami harus melewati pasar tradisional yang ramai
dan becek.
Di sebuah
gang, kami berbelok. Di sana ada gubuk-gubuk yang dindingnya terbuat dari papan
dan triplek. Vespa diparkir, saya dan
teman saya mencari tempat untuk buang air besar. Di tepi sungai, ada rakit yang
bisa digunakan untuk mandi dan “berjongkok”.
Bagi saya,
buang air besar adalah privasi. Saya memilih untuk mencari tempat yang agak
menjauh agar saya tidak dilihat oleh siapapun saat buang air besar. Dengan
ringannya saya melangkah di tanah tepi sungai. Dan tiba-tiba, jeblos!,kaki saya terbenam dalam lumpur
basah sebatas mata kaki. Ternyata lumpur yang tampak kering itu terlalu lembab
untuk dilewati.
Saya membuka
sepatu dan berjalan dengan kaki telanjang. Ketika saya mendapatkan tempat yang
saya anggap privat, kaki saya kembali tenggelam ke dalam lumpur. Tepian yang
saya inginkan tak bisa dijadikan untuk tempat berjongkok.
Akhirnya
saya pergi ke daratan. Ke tanah yang bukan kebun karena yang tumbuh di sana
adalah tumbuhan semak. Di sanalah saya buang air besar dengan cara seperti itu
untuk terakhir kalinya setelah saya melakukannya di masa kanak-kanak dan
remaja.
Dengan
sangat terpaksa saya membasuh pantat saya di atas rakit tempat teman saya tadi
berjongkok. Setelah itu membersihkan lumpur yang menempel di kaki, sepatu, dan
celana saya. Teman saya berenang di dalam air.
Kami pergi
setelah sarapan dengan bekal yang dibuatkan oleh ibu teman saya. Saya melinting
ganja, seorang penduduk setempat berjalan ke tepi sungai. Saya menyembunyikan
lintingan yang sudah jadi, berpura-pura tak melakukan apa-apa. Kami bertegur-sapa.
Lelaki itu sepertinya penjala setempat yang bersiap turun ke sungai.
Saya tetap
merasa seperti diawasi. Laki-laki itu duduk di sana bertelanjang dada,
bercelana pendek, dan menghisap rokok sambil menghadap ke arah seorang penjala
lain yang sedang menjala di sungai. Saya melihat tato dengan tinta berwarna
biru di lengan sebelah kanannya.
Laki-laki
itu kemudian turun ke sungai. Dan kami membakar ganja.
Pemberhentian terakhir adalah Rumah Sakit
Hermina, Bekasi. Kami berencana mampir ke rumah seorang teman. Di depan rumah
sakit, kami menghubungi teman kami yang menurut teman saya tinggal di dekat
sana. Namun, tak ada jawaban ketika kami menghubunginya.
Teman saya
menawarkan pilihan untuk langsung pulang. Saya menyetujuinya. Vespa pun diaktifkan kembali, ketika
gigi satu ditarik, Vespa tak mau
berjalan. Tidak mogok, tetapi rodanya tak berputar ketika menyentuh jalanan.
Kami
terpaksa mendorong Vespa sambil
berharap menemukan bengkel. Soalnya lagi,
Vespa tak bisa diperbaiki di bengkel yang bukan khusus Vespa. Teman saya mencari tahu bengkel Vespa terdekat atau mobil pick-up
yang bisa mengangkut Vespa ke
bengkel.
Sementara
itu, saya tidur di sebuah bangku kayu panjang di bawah sebuah pohon dekat
warung di depan Asrama Haji Bekasi, Bekasi. Dalam tidur yang ala kadarnya itu,
teman saya memanggil saya dari atas Vespa,
dan mengajak saya ke bengkel.
Jalan keluar
hari itu adalah membayar salah seorang pekerja Go-Jek yang sedang berkumpul di
warung dekat tempat Vespa diparkir
untuk menarik Vespa ke bengkel. Saat
saya bangun di bangku kayu, Vespa
sudah terikat tali yang menghubungkannya dengan motor Go-Jek. Saya naik di motor
Go-Jek. Teman saya sudah berada di atas Vespa.
Kami sampai
di sebuah bengkel tak jauh dari Stasiun Bekasi. Sebuah bengkel yang sepertinya
milik warga Tionghoa. Selain ciri fisik, itu tampak dari cara pelanggan
memanggil lelaki bercelana pendek dengan kemeja berkerah berwarna putih
keabu-abuan yang bersikap seperti majikan. Mereka memanggilnya dengan “Koh”.
Di dalam
bengkel, ada sofa yang bisa diduduki pelanggan. Dari tempat itu, saya mencium
aroma garu, sesuatu yang sering saya cium ketika saya berkunjung ke rumah teman
saya keturunan Tionghoa di kampung halaman.
Sekitar satu
jam kami berada di sana, Vespa
akhirnya bisa dikendarai lagi. Bagi saya yang awam soal otomotif, saya
mengetahui masalah pada Vespa itu
adalah gerigi tromolnya sudah aus sehingga besi as tidak bisa mendorong putaran
roda. Tromol pun harus diganti baru.
Tak lama
sebelum Vespa usai diperbaiki, teman
yang hendak kami kunjungi datang. Lalu kami bergerak ke rumahnya.
Di rumah
teman kami, kami beristirahat, makan, minum, menikmati sajian tuan rumah
seperti kopi hitam panas dan makanan kecil. Teman kami kemudian melinting
ganja. Lalu kami duduk di beranda. Hanya beberapa langkah dari beranda, warga
setempat dan kerabat keluarga teman kami sedang bercengkerama. Sesekali
ditandai dengan gelak-tawa.
Di rumah
teman kami, saya menghisap ganja di kamar mandinya. Dan menghilangkan baunya
dengan menyemprotkan pengharum ruangan di sana.
Bagaimana?
Apakah ganja masih merupakan paranoia?
Beginilah
jadinya: saya dan teman saya berkemas untuk pulang dari rumah teman kami. Saya
membasuh muka sebelum keluar dari kamar mandi. Di beranda, saya mengenakan
sepatu, lalu menyalami setiap orang yang ada di dekat sana.
Di tempat Vespa diparkir, teman saya bilang,
“lo ramah abis skab*.” Saya menjawabnya, “justru bagus dong.”
Teman kami
melepas kami keluar dari gang.
Saya dan
teman saya berpisah di putaran dekat Stasiun Tebet. Sebelum berpencar, teman
saya memberikan saya uang. Saya menerimanya.
Jakarta, Desember 29-30 2015
*skab, bahasa slang untuk menghisap ganja.