Saturday, November 15, 2014

Setelah 37 Tahun... (Maestro Folk Nusantara)

Leo Kristi di anjungan Batak, TMII, Juli 2011
Leo Kristi bertemu kawan lama: Titi Soetopo. Konser pertama mereka setelah 37 tahun. 

“Hampir 30 tahun,” kata Titi Soetopo.

Leo Kristi, yang berdiri di sebelah Titi dengan posisi tak berubah sejak tiga dekade silam, membantah dan mengoreksi jumlah tahun itu sambil memeluk gitar, ”padahal sudah lebih (dari 30 tahun)”.

Sambil membenarkan kaca mata dan membolak-balik buku lirik, Titi meralat ucapannya, “ah, ya, sudah 37 tahun.”

Perdebatan kecil itu membuka malam pertemuan kembali antara Leo Kristi dan Titi Soetopo. Di rumah adat Toba, anjungan Sumatera Utara Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Sabtu (6/7) malam, Leo dan Titi kembali berduet dalam pertunjukan setelah 37 tahun “berpisah”.

Pengurus mailing list penggemar Leo Kristi, LKers, Setiadi, bersama anggota LKers lainnya, menyiapkan konser sederhana itu dengan agak terburu-buru. Pada Minggu (31/7), Leo Kristi datang ke pembukaan taman bacaan Katia-Gusti di rumah Setiadi di daerah Bekasi, Jawa Barat. Karena penggemar Leo belum puas dengan penampilan itu, mereka menyiapkan konser di TMII dalam waktu tiga hari.

“Kerinduan kita sudah cukup lama, kita sudah lama tidak mendengarkan duet Leo Kristi dan Titi Soetopo. Menunggunya sampai 30 tahun,” kata Setiadi.

Terpilihlah anjungan Sumatera Utara. Kebetulan, pengurus anjungan, Tatang Daniel, merupakan penggemar Leo Kristi. Tak ada panggung di ruang mirip pendapa berlantai kayu rumah adat Batak itu. Di tembok, menempel kotak-kotak kaca berisi manekin peraga yang mengenakan pakaian adat Sumatera Utara.

Kotak-kotak manekin itu menjadi latar pertunjukan. Di depannya, dua buah tong (tong menjadi ciri khas setiap pertunjukan Leo Kristi), berdiri. Tempat yang akan menjadi tempat pertunjukan konser Leo Kristi itu di kelilingi 17 buah lilin merah yang menyala. 

Leo tak datang dengan band lengkap. Praktis, satu-satunya musik yang mengiringi pertunjukan malam itu bersumber dari gitar yang dipetik Leo sendiri.

Ketika didaulat untuk naik ke area pertunjukan, Leo berdiri di lantai dengan satu kaki naik ke atas tong. Sekitar 50-an penonton duduk di lantai menunggu aksi Leo. Tak sedikit di antara penonton itu yang membawa anak-anak mereka.

Leo tak langsung menyanyi bersama Titi. Ia membuka pertunjukan itu dengan Kaki Langit Cintaku Berlabuh-sebuah lagu dari album Nyanyian Tanah Merdeka (1978). Lagu yang lirih itu dinyanyikan oleh Riza, penyanyi belia bergaun putih sebatas lutut yang menemani Leo.
 
Riza bernyanyi sekitar lima lagu. Salah satunya adalah lagu milik The Beatles, Across The Universe, yang diiringi petikan gitar ala Leo. Selanjutnya, Leo memanggil teman lamanya, Titi Soetopo. Meski sudah berusia lebih dari 60 tahun, gurat kecantikan belum lekang dari wajah Titi. Titi datang ke tengah pendopo itu dengan mengenakan kaos lengan panjang dan blus berwarna gelap.

Leo mempersilahkan Titi duduk di tong yang lebih tinggi di sebelah kanannya. Penonton beringsut mendekati area pertunjukan. Jarak antara Leo-Titi dan penonton hanya sekitar 4 meter.

Joan Baez
Saya tak mengenal lagu pertama yang dinyanyikan Titi, sebuah lagu berbahasa Inggris. Tetapi, dari lagu pertama, saya sadar bahwa saya sedang menyaksikan permata terpendam di negeri ini. Teknik dan warna suaranya mengingatkan kita pada penyanyi folk terkemuka Amerika Serikat yang pernah akrab dengan Bob Dylan, Joan Baez. Di masa kini, apalagi di negeri ini, sulit menemukan penyanyi perempuan yang memiliki cara bernyanyi seperti Titi. 

“Dia menyanyi dengan sepenuh jiwa,” kata Setiadi.

Tak cuma itu, Titi bisa menjadi penyeimbang Leo. Leo, sebagaimana banyak orang tahu, adalah seorang bohemian dan eksentrik. Mood-nya mudah turun-naik. Jika mood Leo sedang tak enak, pertunjukan juga ikut tak enak dilihat. “Mbak Titi adalah salah satu penyanyi yang bisa mengikuti mood mas Leo,” kata Setiadi, di sela pertunjukan.

Leo dan Titi bernyanyi sebanyak lima lagu. Tak ada satu pun lagu ciptaan Leo. Saya hanya mengenal dua dari lima: Scarborough Fair milik duo Amerika era 1960-an, Paul Simon dan Art Garfunkel, dan Donna-Donna, sebuah lagu teater Yahudi berjudul Esterke (1940-1941) yang dibawakan ulang oleh Joan Baez.
Paul Simon & Art Garfunkel

Agaknya lima lagu pertama adalah nostalgia antara keduanya. Saya jadi tahu, semasa muda, Titi dan Leo adalah penggemar musik folk Amerika yang menjadi cikal bakal musik hippies Amerika pada 1960-an. Jika kita hendak menyebut musisi Indonesia era awal yang terinspirasi musik hippies, Leo dan Titi adalah dua nama yang tak boleh dilupakan.
***
Saya menonton konser Leo Kristi untuk kali pertama sekitar tahun 2004 di gedung Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Leo datang dari Surabaya lengkap bersama personil band-nya. Beberapa bulan setelahnya, saya datang ke sebuah kantor di jalan Diponegoro, Jakarta, kembali untuk menyaksikan Leo Kristi.

Selanjutnya, saya mengikuti beberapa konsernya. Salah satunya di Warung Apresiasi Bulungan, Jakarta Selatan, dan konser Agustus di teater kecil Taman Ismail Marzuki. Tetapi, di masa itu, saya tak mengenal Titi Soetopo. Yang saya kenal hanya Leo Kristi. Musik dan suara perempuan yang cukup berperan dalam lagu-lagu Leo saya anggap sebagai latar. Bintangnya tetaplah Leo Kristi.

Saya beruntung datang ke konser sederhana di anjungan Sumatera Utara, TMII, malam minggu di bulan Ramadhan itu. Setelah saya melihat dan mendengar Titi bernyanyi, saya jadi tahu, Leo ternyata tak sendiri. Ia memiliki kawan sepadan. Bersama Titi, Leo yang slenge’an tampak lebih kalem dan cenderung mengalah. Termasuk mengikuti lagu yang ingin dinyanyikan Titi. Leo harus membagi kebintangannya dengan Titi.

“Lagu-lagu yang mau dinyanyikan ditentukan oleh dia (Titi) sendiri. Dia tahu cikal bakal lagu-lagunya Mas Leo,” kata Setiadi.

Leo dan Titi. Keduanya berasal dari Surabaya, Jawa Timur. Keduanya saling mengenal sejak usia 12 tahun. Dan bagi orang yang mengenal lagu-lagu Leo Kristi, Titi adalah penyanyi terbaik yang turut sumbang suara dalam album-album terbaik Leo Kristi.

Menurut Setiadi, Titi tak lagi turut bersama Leo pada konser Rakyat tahun 1976. Titi kembali terlibat dalam album Nyanyian Cinta (1979). “Album Nyanyian Cinta merupakan puncak-puncaknya album Leo. Oleh pengamat musik, album itu disebut melebihi zamannya,” kata Setiadi.

Titi mengaku tak pernah bernyanyi setelah berpisah dari Leo. Yang ia ingat, konser terakhirnya bersama Leo dilakukan di Bandung, Jawa Barat. Setelah itu, ia menetap di Surabaya. “Saya hanya bernyanyi sama Mas Leo,” kata Titi usai pertunjukan. 

Selama perpisahan itu, Leo tetap menjalankan aktivitas bermusiknya dengan menggelar Konser Rakyat hampir setiap tahun. Beberapa tahun terakhir, sebagian konser Leo diselenggarakan oleh penggemarnya yang tergabung dalam mailing list LKers. Bahkan, anggota LKers pernah menjadi pemusik yang mengiringi Leo dalam sebuah konser di Taman Ismail Marzuki.

Lalu apa perasaan Titi kembali berduet dengan Leo di pertunjukan setelah 37 tahun? “Saya lega dan senang!” kata Titi.

Namun Titi tak menjawab banyak saat saya minta berkomentar tentang sosok Leo saat ini. “Saya mengenal Leo sejak umur 12 tahun. Jadi saya tidak bisa bilang apa-apa,” kata Titi sambil mengerlingkan matanya ke arah Leo yang sedang berfoto bersama penggemarnya. Seolah-olah, ekspresi itu hendak mengatakan kepada saya, “ya itulah Leo, kamu bisa lihat sendiri bagaimana dia sekarang.”

Setelah lima lagu yang bukan ciptaan Leo, Titi akhirnya datang lagi ke Leo. Beberapa lagu hits dari album Leo di periode 1975-1980, dibawakan secara duet bersama Titi. Setelah banyak lagu dinyanyikan, setiap lagu habis Leo melihat ke Titi. Saya menduga, itu isyarat dari Leo bahwa pertunjukan sudah selesai. Tetapi Titi terus saja membolak-balik kertas lirik seolah-olah pertunjukan masih berlangsung sampai tengah malam. Leo, sekali lagi, mengikuti kemauan Titi.

Penonton larut dalam lagu Siti Komariah Ikal Mayang, Lenggang-lenggung Badai Lautku, Salam dari Desa, Anna Rebanna, dan lagu yang pernah diaransemen ulang oleh band rock Surabaya, Boomerang: Kereta Laju. 

Namun Leo tetaplah Leo. Pertunjukan berlangsung hampir 2,5 jam. Di lagu penutup berjudul Bulan Separuh Bayang, Leo mengulang-ngulang bait yang menjadi jatahnya dengan gayanya yang jenaka. Sebuah lagu yang memang dinyanyikan secara duet. Lagu yang seharusnya sudah selesai itu, terus diulang-ulang Leo. Kini berbalik, Leo yang tak mau berhenti menyanyi, “Belahan hatiku katakan/kita takkan berhenti/tegak di sini nyatakan/teguhlah cinta suci/Putra-putri pertiwi/jiwa petani sejati/kaki-kaki sendiri/guratan sedalam hati ti ti ti.” 

Mau tak mau, dengan raut yang riang, Titi menyambut bait yang merupakan jatahnya, “Sujudku/pada tanah kotor negeri ini/rumah putih berawan hitam/di mana kau dan aku dilahirkan/tiada alas tidur/selain tangan penuh kasih”

Dan penonton pun menyambut dengan menyanyikan reffrein secara meriah, “bulan separuh bayang/bulan separuh bayang/mulai tertutup awan….” 


*Artikel ini pernah dimuat di www.vhrmedia.com pada Agustus 2011 dan mengalami sejumlah penyuntingan.



Monday, October 6, 2014

Oh Sweet Nuthin'

Katakan satu kata untuk Jimmy Brown
Dia sama sekali tak punya apa-apa
Tidak juga selembar baju yang menutupi punggungnya
Dia sama sekali tak punya apa-apa


Katakan satu kata untuk untuk Ginger Brown
Yang berjalan dengan kepalanya di tanah
Mencopot sepatu di kakinya
Untuk bocah miskin di jalanan


Dan inilah yang dikatakannya
Oh ketiadaan yang indah
Dia sama sekali tak punya apa-apa
Oh ketiadaan yang indah
Dia sama sekali tak punya apa-apa


Katakan satu kata untuk Polly May
Dia tidak bisa menceritakan tentang malam sejak hari itu
Mereka melemparnya ke jalanan
Tapi, seperti seekor kucing ia mendarat dengan kakinya


Dan katakan sebuah kata untuk Joanna Love
Dia sama sekali tak punya apa-apa
Karena setiap hari dia jatuh cinta
Dan setiap malam dia jatuh ketika dia melakukannya


Dia berkata
Oh ketiadaan yang indah
Kau tahu dia sama sekali tak punya apa-apa
Oh ketiadaan yang indah
Dia sama sekali tak punya apa-apa


Oh biarkan aku mengatakannya padamu!

Katakan satu kata untuk Jimmy Brown
Dia sama sekali tak punya apa-apa
Tidak juga selembar baju yang menutupi punggungnya
Dia sama sekali tak punya apa-apa


Katakan satu kata untuk untuk Ginger Brown
Yang berjalan dengan kepalanya di tanah
Mencopot sepatu di kakinya
Untuk bocah miskin di jalanan


Dan inilah yang dikatakannya
Oh ketiadaan yang indah
Dia sama sekali tak punya apa-apa
Oh ketiadaan yang indah
Dia sama sekali tak punya apa-apa
Dia sama sekali tak punya apa-apa
Oh ketiadaan yang indah


Dia sama sekali tak punya apa-apa
Dia sama sekali tak punya apa-apa
Dia sama sekali tak punya apa-apa 


Lou Reed/The Velvet Underground - Loaded (1970)  

Tuesday, August 5, 2014

The End

Ini adalah akhir
Wahai teman yang indah
Ini adalah akhir
Temanku satu-satunya, akhir

Untuk rencana-rencana kita, inilah akhir
Untuk semua yang berdiri, inilah akhir
Tak ada keamanan atau kejutan, inilah akhir
Aku tak akan pernah melihat ke dalam matamu…lagi

Dapatkah kau menggambarkan apa yang akan terjadi
Yang terbatas dan bebas
Putus asa saat membutuhkan…beberapa…tangan orang asing
Di atas…tanah yang putus asa

Tersesat dalam sebuah (mitologi) Roman…keliaran rasa sakit
Dan semua anak-anak sinting
Semua anak-anak sinting
Menunggu hujan musim panas, yeah

Ada bahaya di tepi kota
Bergerak di jalan raya Raja, duhai sayang
Adegan aneh di dalam pikiran emas
berjalan di jalan raya barat, duhai sayang

Menunggangi ular, menunggangi ular
Menuju danau, danau yang kuno, sayang
Ular yang panjang, tujuh mil
Menunggangi ular…dia tua, dan kulitnya dingin

Barat adalah yang terbaik
Barat adalah yang terbaik
Kemarilah, dan kita akan beristirahat

Bus berwarna biru memanggil kita
Bus berwarna biru memanggil kita
Pengendara, kemanakah kau bawa kami

Pembunuh terjaga sebelum fajar, dia menyiapkan sepatu boot-nya
Dia membawa seraut wajah dari galeri kuno
Dan dia berjalan di dalam aula
Dia pergi menuju ruang di mana saudarinya tinggal, dan…kemudian dia
Menebus dengan sebuah kunjungan terhadap saudaranya, dan kemudian dia
Dia berjalan di dalam aula, dan
Dan dia datang ke sebuah pintu…dan dia melihat ke dalam
Ayah, ya Nak, Aku ingin membunuhmu
Ibu…Aku ingin…menidurimu

Mari sayang, ambillah kesempatan bersama kami 
Mari sayang, ambillah kesempatan bersama kami 
Mari sayang, ambillah kesempatan bersama kami 
Dan temui aku di belakang bus biru
Melakukan sebuah hentakan biru
Di atas sebuah bus biru
Melakukan hentakan biru
Mari, yeah

Bunuh, bunuh, bunuh, bunuh, bunuh, bunuh

Ini adalah akhir
Duhai teman yang indah
Ini adalah akhir
Temanku satu-satunya, akhir

Menyakitkan untuk membebaskanmu
Namun kau tak akan pernah mengikutiku
Di akhir tawa dan dusta yang lembut
Di akhir malam saat kita mencoba untuk mati

Inilah akhir

Jim Morisson/The Doors - The Doors (1967) 



Monday, June 9, 2014

Partai Politik Terakhir

Johannes Gutenberg
Siapa nama penemu itu? Siapa? Johannes Gutenberg? Beginilah nasibnya hari ini: dia adalah penyelamat bagi orang yang muak dengan obrolan tentang pemilihan presiden. Politik pun, kawan, punya juga kultur hipster-nya. Dan Gutenberg membuat orang bisa mengambil posisi untuk berada di dalam kemuakan itu. Tidak setuju, tidak keluar, dan tidak pula lari!

Catatan ini ditulis ketika pemilihan presiden langsung yang ketiga sejak kejatuhan Soeharto pada 1998 sedang menghitung mundur kurang dari 30 hari. Selama itu, alangkah membosankannya hari-hari mendengar obrolan yang itu-itu saja. Kukatakan yang itu-itu saja, jika kau adalah seseorang yang tak bisa menghindar dari masyarakat.

Dan Gutenberg adalah penemu mesin cetak. Revolusi komunikasinya - watak jenius dalam teknologinya - telah pula mempertontonkan kebodohan dan kerendahan. Dan sayangnya, itulah yang menyebabkan pemilihan presiden serta segala pembicaraan tentangnya menjadi memuakkan. Tulisan ini memang membicarakan pemilihan presiden, namun dari segi kemuakan terhadapnya!

Harian Kompas, adalah anak kandung Gutenberg yang sulit dibantah keberadaannya. Inilah surat kabar yang paling elegan mengarungi beberapa kali transisi politik. Mengapa pula Kompas harus dipersoalkan? Sederhana saja, karena dia memiliki kekuasaan. Sesuatu yang dimiliki oleh segelintir kecil individu saja di negeri ini, bahkan di seluas bumi ini. Dan, media massa lain di Indonesia pantas iri dengan Kompas.

Bagaimana dia menjalankan kekuasaannya, itu pulalah yang menyebabkan bagaimana dia bisa bertahan dalam pertarungan kekuasaan. Haha…kawan, tentu saja kita harus membicarakan kekuasaan milik Kompas dalam posisinya sebagai produk mesin cetak, bukan seperti nada bicaramu di alam yang “melampaui” Gutenberg: internet.

Rabu, 28 Mei 2014. Itu adalah tanggal terbit Harian Kompas nomor 320 tahun ke-49. Dan dengan itulah aku akan memulai caraku berbicara.

Harian Kompas edisi Rabu 28 Mei 2014
Di halaman paling muka, tanpa kita perlu menebak-nebak sehari sebelumnya, ada potret dua kandidat presiden dan wakil presiden. Masing-masing potret itu berukuran kira-kira lebih besar sedikit dari ukuran pas foto 4x6. Mereka tampil mulai dari kepala hingga dada dengan latar berwarna merah. Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa ada di posisi kiri, kontra dengan rival di sisi kanan, Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Potret masing-masing pasangan itu diletakkan secara vertikal dengan kandidat presiden berada di sisi atas.

Di antara dua sisi potret itu, inilah pokoknya, tertera nama-nama “Tim Kampanye Nasional Capres-Cawapres”. Percayalah, nama-nama di sana akan membuat sejarah politik dalam pengetahuan politik yang kau telan dengan benakmu selama ini, akan rubuh seperti sebuah gedung tua yang diruntuhkan hingga menjadi debu.

Di sisi kiri, ada nama-nama Dewan Penasihat seperti “Amien Rais, Akbar Tanjung, Ustaz Hilmi Aminuddin, Hashim Djojohadikusumo, Zulkifli Hasan, Agung Laksono, dan Jenderal (Purn) Djoko Santoso, dll.” Ketua: Mahfud Md. Wakil Ketua: Jend (Purn) George Toisutta, Letjen (Purn) Burhanuddin, Laksdya (Purn) Moekhlas Sidik, KH Masduki Baidowi.

Aku kira, kita tak perlu meneruskan siapa-siapa orang yang berada di 14 kategori dalam struktur organisasi di bawahnya. Kini semuanya serba terbuka. Dan dengan melihat tiga posisi tertinggi, posisi di bawahnya hanya menjadi teks basa-basi.

Di sisi kanan, Penasihat adalah Megawati Soekarnoputri, Surya Paloh, Muhaimin Iskandar, Wiranto, dan Sutiyoso. Ketua Tim diduduki oleh Tjahjo Kumolo. Wakil Ketua: Patrice Rio Capella, Imam Nachrawi, Dossy Iskandar, Wiranto, dan Sutiyoso.

Mereka bukanlah orang-orang yang setia! Sebab kesetiaan adalah relatif dalam politik, begitulah falsafah mereka tentang politik. Atau, seperti dikatakan oleh seseorang seperti Benedict Anderson, konsep kekuasaan dalam masyarakat Jawa.

Dan ini bukan pula hal yang ingin kupenjarakan dalam kategori salah-benar. Aku hanya ingin mengambil posisi untuk menghadapi falsafah orang-orang yang tidak setia itu. Jawa, dalam hal ini, tidak perlu dilihat dalam alam pemikiran kesukuan-negatif yang turun-temurun, sehingga sikap yang tak setia itu tidak pula perlu dilihat dengan perasaan anti-Jawa. Jika kita melihat Jawa dengan cara Benedict Anderson, maka kita tak perlu takut mengatakan bahwa konsep kekuasaan dari kebudayaan Jawa telah mendominasi sejarah dengan segala sebab-akibatnya tanpa menyinggung perasaan orang bersuku Jawa.

Benedict Anderson
Sudah sejak Pemilihan Umum 1955, dan teori Benedict Anderson itu akhirnya bertemu dengan zaman internet. Pemilu, yang merupakan anak dari kebudayaan barat, menuntut politik membagi diri ke dalam identitas-identitas yang seakan-akan diterima begitu saja sebagai warisan masa lampau. Antropolog Clifford Geertz membagi tiga kelompok yang menjadi “batas” lalu menjelma dalam persetujuan ideologi partai politik peserta pemilu. Yang tiga itu adalah: Abangan, Santri, dan Priyayi.

Suasana menjelang Pemilu 1955
Secara sederhana, Abangan adalah sebutan untuk kaum petani yang menjalani hidup mengikuti kepercayaan nenek moyang, Santri adalah kaum agama, dan Priyayi adalah bangsawan serta orang-orang pemerintahan. Aku tidak akan membahas perbedaan dan konflik ketiganya. Jelas tidak enak rasanya dianggap sebagai objek dalam sebuah penelitian seorang ilmuwan sosial. Aku hanya ingin mengatakan, zaman pasca mesin cetak membuat orang bisa keluar dari tiga kategori itu dan membentuk kategorinya secara pribadi, tanpa berkeinginan untuk mengejewantahkan diri dalam kekuatan partai politik ala barat.

Clifford Geertz (1926-2006)
Internet telah membuat orang boleh menciptakan ideologinya sendiri. Dan karena politik selalu diajarkan sebagai sesuatu yang meniscayakan ketidaksetiaan, maka dengan sendirinya pembagian yang dikatakan Geertz sudah menjadi pengetahuan masa lalu.

Kalau kau tak percaya, coba lihat kembali nama-nama dalam tim kampanye Capres-Cawapres yang ada di halaman muka harian Kompas edisi Rabu 28 Mei 2014.

Di kubu Prabowo, Amien Rais adalah nama pertama. Ia adalah pendiri Partai Amanat Nasional, Ketua Umum Muhammadiyah ke-12 (1995-1998), seorang akademisi, dan berada pada barisan reformis pada reformasi 1998. Dia jelas wakil kaum Santri. Lalu ada Akbar Tanjung, aktivis Himpunan Mahasiswa Islam dalam transisi politik 1966, bekas Ketua Umum Golkar, dan menteri di era Orde Baru. Akbar adalah contoh kelompok Priyayi.

Satu kategori lain yang menurutku adalah warisan kultur militer Soeharto adalah kaum Militer, di mana di sana ada mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Djoko Santoso. Nama lainnya adalah Zulkifli Hasan (PAN) dan Agung Laksono (Golkar). Dua nama ini pernah menjabat menteri.

Lalu di mana watak Abangan dalam tim ini? Posisi ini nyaris tak punya wakil, karena satu-satunya warna Abangan terletak pada citra yang ingin ditunjukkan Prabowo sebagai ciri partai politik yang didirikannya, Gerindra. Gerindra menjual kepedulian terhadap petani dan masyarakat kelas bawah sebagai misinya. Kasus Abangan dalam Gerindra ini menggambarkan semakin buramnya kategori Geertz karena latar belakang Prabowo sebenarnya lebih dekat dengan kalangan Priyayi dan Militer.

Di kubu sebelahnya, ada Megawati Soekarnoputri, mantan Presiden dan Wakil Presiden, tokoh PDI-P. PDI-P, inilah partai yang secara sejarah pewaris kelompok Abangan, partainya para petani. Namun, Megawati sendiri, sebagai seorang simbol, sebenarnya sudah lahir di alam Priyayi karena pernah tidur di kamar Istana Negara sebagai seorang putri Presiden Soekarno. Surya Paloh adalah bos media pendiri partai debutan, Nasional Demokrat. Dia boleh disebut wakil Priyayi karena sebelumnya dia adalah tokoh Golkar, bahkan pernah turut dalam konvensi calon presiden partai itu di masa lalu. Begitu pula Wiranto, wakil kelompok Militer yang kini berdiri dengan partai yang ingin tampil sebagai kelompok Abangan, Hanura. Dari kelompok Santri, ada seorang menteri sekaligus pemimpin partai berbau Nadhlatul Ulama yang didirikan oleh mantan presiden Abdurrahman Wahid, Muhaimin Iskandar untuk Partai Kebangkitan Bangsa.

Komposisi itu membawa kita pada kondisi di mana konflik Abangan, Santri, dan Priyayi yang termahsyur itu sudah tak ada lagi. Maksudnya, persetujuan ideologi yang mereka jadikan sebagai keputusan untuk mendukung salah satu partai politik dalam pemilihan umum yang datang dari dunia barat, sudah tidak lagi dipertimbangkan oleh elit-elitnya.

Ada Golkar di kubu Prabowo melalui Akbar Tanjung, tapi ada Golkar juga di kubu Joko Widodo dengan sosok Jusuf Kalla. Entah di mana Golkar berdiri dalam kompetisi ini. Ada PAN dan PKS di sisi Prabowo. Tetapi ada juga PKB karena Ketua tim kampanye adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang dibesarkan oleh PKB, Mahfud MD. Entah bagaimana caranya dia dan rekan sekaumnya, Muhaimin Iskandar, berdiri di kubu yang berseberangan.

Aku harap kau tidak bosan membaca komposisi itu. Karena kita memang harus mengurainya dengan melihat mereka melalui alat dari barat yang mereka gunakan untuk kekuasaan: partai politik. Sudah sejak pemilu 2004 sebagai pemilu pertama di mana aku diizinkan untuk mencoblos, aku lebih memilih tidur. Dan itu tak berubah hingga kini.

Seorang penyanyi dangdut dalam kampanye Pemilu 2014
Jikalau kontestan dan sebab pemilihan umum itu diwakili oleh sesuatu yang abstrak bernama partai politik, maka kenyataan koalisi Pemilihan Presiden 2014 menunjukkan kesia-siaan bagi mereka yang memutuskan untuk menggunakan hak suaranya dua bulan yang lalu. Koalisi kedua kandidat tak menunjukkan perbedaan identitas seperti dalam pembagian Abangan, Santri, dan Priyayi. Aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Namun doktrin ketidaksetiaan dalam politik membuat partai politik boleh-boleh saja meletakkan dua kaki terhadap masing-masing kandidat.

Sampai kini, aku tak menemukan alasan yang mendasari mengapa mereka memilih kecenderungan ke arah ke salah satu kandidat. Alasan itu penting bagiku karena itu adalah alasan yang membuat warga negara memilih partai yang menjadi alat bagi mereka dalam pemilihan parlemen. Sekaligus alasan untuk menemukan arti partai politik bagi mereka yang memutuskan untuk memberikan suaranya.

Bagiku, partai politik sebenarnya sudah tidak ada. Mungkin sudah lama tidak ada. Aku bingung menyebutkannya karena ini akan jatuh kepada klise: yang ada hanyalah tawar-menawar. Mereka menyebutnya dengan ”sharing power”, sebuah keniscayaan yang tampaknya diperlakukan sama seperti anggukan terhadap ketidaksetiaan dalam politik.

Aku memang orang yang pesimistis, tetapi aku mencintai misteri masa depan. Aku lebih suka memikirkan masa depan ketimbang bernostalgia. Maka, apa yang terjadi hari ini seringkali kutempatkan di masa depan. Yang menarik bagiku, setelah partai politik hari ini tak ada artinya dan pemilu hanyalah basa-basi untuk meneruskan takdir demokrasi, adalah keingintahuanku terhadap apa yang akan terjadi di masa datang sebagai akibat dari semuanya hari ini.

Kau silahkan meneruskan pembicaraanmu tentang pemilihan presiden kali ini. Tapi, aku tidak pernah mendapatkan alasan untuk menjadi seperti engkau.

Jakarta, 10 Juni 2014






  
   




Friday, May 23, 2014

With God on Our Side

Oh namaku bukanlah sesuatu
Usiaku belumlah seberapa
Negeri dari mana aku datang
Disebut dengan Midwest
Itulah yang diajarkan dan disebarkan di sana
Hukum yang dipatuhi
Dan tanah tempat ku hidup
Memiliki Tuhan di sisinya

Oh buku sejarah menceritakannya
Mereka menceritakannya dengan baik
Kavaleri bekerja
Para Indian jatuh
Kavaleri bekerja
Para Indian mati
Oh negeri yang masih muda
Bersama Tuhan di sisinya

Perang Spanyol-Amerika
memiliki harinya
Dan Perang Sipil juga
Segera terbentang
Dan nama para pahlawan
Memang menjadi kenangan
Dengan senjata di tangan mereka
Dan Tuhan di sisi mereka

Perang Dunia Pertama, oh Nak
Datang dan pergi
Alasan untuk bertarung
Tak pernah kudapatkan
Namun aku belajar untuk menerimanya
Menerimanya dengan rasa bangga
Agar kau tidak menghitung yang mati
Ketika Tuhan di sisimu

Perang Dunia Kedua
Datang dan berakhir
Kami memaafkan orang Jerman
Dan kini kami berteman
Meskipun mereka membantai enam juta
Dalam oven tempat mereka mengeringkannya
Jerman sekarang juga
Memiliki Tuhan di sisi mereka.

Aku sudah belajar membenci orang Rusia
Di seluruh hidupku
Jika ada perang lain yang datang
Adalah mereka yang harus kita perangi
Untuk berlari dan bersembunyi
Dan menerima itu semua dengan berani
Bersama Tuhan di sisiku

Namun sekarang kita memiliki senjata
Debu kimia
Jika ditembakkan ke mereka kita memaksa
Lalu saat menembak mereka kita harus
Menekan satu tombol
Dan sebuah tembakan dilepaskan ke seluruh dunia
Dan kau tidak pernah bertanya
Ketika Tuhan berada di sisimu

Di dalam banyak jam-jam gelap
Aku berpikir tentang ini
Bahwa Yesus Kristus
Telah dikhianati oleh sebuah ciuman
Dan aku tidak bisa berpikir untukmu
Kau harus memutuskan
Apakah Judas Iscariot
Memiliki Tuhan di sisinya

Kini saat aku pergi
Aku sudah sangat lelah
Kebingungan yang kurasakan
Tak ada lidah yang bisa menjelaskan
Kata-kata menjatuhi kepalaku
Dan jatuh  ke lantai
Dan seandainya Tuhan ada di sisi kita
Dia akan menghentikan perang berikutnya.
Bob Dylan - The Times They Are A-Changin' (1964)

Monday, May 19, 2014

Semerah Warna Shampoo

Cristiano Ronaldo adalah peraih Ballon D’Or edisi terakhir. Di negerinya, penghargaan itu disambut oleh bintang penghargaan yang diberikan Presiden Portugal, Anibal Cavaco Silva. Dalam momen “kemenangan” itu, pesepakbola berusia 29 tahun itu memerankan dua peran sekaligus: sebagai individu dan lambang negara.

Mari melihat kabar-kabar itu melalui penampakan Ronaldo di dalam iklan. Ini bukan kalimat propagandis yang terobsesi dengan pembicaraan tentang iklan. Dengan membicarakannya melalui iklan, sekurang-kurangnya kita bisa melihat sepakbola negeri kita sendiri.

Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia menyaksikan sosok “CR7” – julukan Ronaldo – dalam laga-laga Real Madrid dan tim nasional Portugal yang disiarkan di televisi swasta, dan, iklan.

Salah satu yang familiar adalah iklan shampooClear”. Dalam tayangan iklan Clear di televisi, Ronaldo tampil sesuai dengan identitas profesionalnya, yakni sebagai pesepakbola. Salah satu adegan dalam iklan tersebut adalah Ronaldo menggeleng-gelengkan kepala untuk menunjukkan rambutnya yang bersih dan bebas dari ketombe.

Sebagai iklan, adegan tersebut sangatlah wajar. Karena iklan pada dasarnya adalah alat untuk memancing konsumen membeli produk yang diiklankan. Jadi, janji “bebas ketombe” adalah petanda permukaan yang memenuhi sifat dasar iklan sebagai alat perdagangan.

Pada akhirnya, gambaran tersebut menghasilkan “mitos” tentang sepakbola. Ronaldo hanyalah aktor dalam sejarah besar bernama sepakbola. Maka, simbol-simbol sepakbola dalam iklan itu haruslah dipertimbangkan sebagai cara untuk melihat politik pemilihan pemeran dan apa yang ingin ditampilkannya.

Jersey atau kaos tim sepakbola adalah simbol yang paling cepat merebut perhatian penonton iklan. Salah satunya karena kaos adalah fashion, dan fashion sebenarnya bukanlah “kemewahan” seperti yang digambarkan oleh majalah fashion internasional yang terbit di Indonesia dalam bahasa Indonesia. Kaos, adalah bentuk dari salah satu komponen primer – pangan, sandang, dan papan – dan karena itu kaos adalah kebutuhan pokok. Mengapa fashion tiba-tiba menjadi ekslusif padahal kata itu berkaitan erat dengan sesuatu yang bersifat umum: pakaian?

Jersey Ronaldo dalam iklan itu menggunakan warna netral: hitam. Warna itu tak melambangkan klub juga negaranya. Dalam urusan dagang itu, Ronaldo menjual citra pribadinya sebagai bintang sepakbola. Dia memainkan peran hanya sebagai pribadinya saja.

Iklan shampoo Clear lain yang disiarkan di periode yang sama dibintangi oleh sejumlah pemain tim nasional Indonesia. Di beberapa toko swalayan, konsumen bisa menyaksikan foto tiga pemain tim nasional Indonesia, Raphael Maitimo-Andik Vermansyah-Ahmad Busthomi, di rak tempat botol shampoo Clear dipajangkan. Slogan yang tertulis di sana adalah, “Ayo, Indonesia Bisa!”

Di televisi, Andik mendapatkan peran utama. Faktor kebintangan tentu saja berperan dalam pemilihan Andik sebagai bintang utama Clear. Andik, Arek Suroboyo kelahiran 1991 itu adalah winger yang dikenal saat membela klub Persebaya Surabaya. Kelincahannya menyerang dari sisi sayap adalah keunggulannya yang paling mencolok. Kebetulan, posisi itu adalah posisi pemain idola Andik yang membintangi iklan produk yang sama, Cristiano Ronaldo.

Saat LA Galaxy melakukan uji coba melawan Indonesia Selection, pemain yang baru-baru ini hijrah ke klub Malaysia, Selangor FC, mendapat ruang yang cukup luas dalam pemberitaan. Saat itu, Andik berhasil menggocek legenda Inggris, David Beckham. Selain itu, Andik termasuk dalam tim nasional U-23 yang tampil untuk cabang sepakbola dua Sea Games terakhir. Status-status itu telah menempatkan Andik dalam kapasitasnya sebagai bintang.

Andik saat diganjal Beckham di GBK pada 2011
Mari melihat mitos sepakbola dalam iklan yang dibintangi Andik. Seperti di iklan Clear versi Ronaldo, jersey adalah salah satu yang digunakan untuk membentuk citra produk. Yang membedakan keduanya adalah konsep yang digunakan untuk membentuk citra tersebut.

Di iklan versi Ronaldo, warna hitam dipilih untuk mencari kenetralan dari lembaga yang berkaitan dengan Ronaldo, yaitu Real Madrid dan Portugal. Di iklan versi Andik, jersey justru sengaja menghindari kenetralan dari struktur besar yang memiliki posisi politis.

Pertama, mencolok pada warna. Warna merah dalam jersey yang dipakai Andik, Maitimo, dan Busthomi, dengan mudah menghubungkan memori masyarakat terhadap warna jersey tim nasional sepakbola Indonesia. Iklan itu tidak menjual tim nasional Indonesia sebagai “brand” secara resmi seperti Manchester United menjual brand klub kepada perusahaan penyedia pulsa, 3 (Three).


Penggunaan citra negara melalui kesamaan warna dengan jersey tim nasional Indonesia bahkan dilakukan dengan cara yang lebih terbuka melalui tagline “Ayo, Indonesia Bisa!”. Iklan itu secara terang-terangan telah menggunakan kata yang merupakan nama sebuah negeri dan negara, Indonesia, sebagai simbol dagang.

Di televisi, iklan itu menampilkan Andik sedang berjalan di jalan raya, mengenakan sweater biru. Adegan itu diselingi dengan adegan lain di mana Andik sedang berada dalam sebuah pertandingan dan gagal mencetak gol. Adegan itu menggambarkan pikiran Andik saat sedang berjalan di jalanan.

Tiba-tiba, di belakang Andik sudah berkumpul puluhan orang yang membawa bendera merah-putih serta berdiri di belakang spanduk putih bertuliskan “Ayo, Indonesia Bisa!” Simbol yang digunakan seperti bendera merah-putih mengesankan bahwa kumpulan orang itu adalah suporter tim nasional Indonesia. Andik, sebagai anggota tim nasional, merasa mendapat dukungan melalui sorak-sorai kumpulan orang itu. Itu membuatnya bangkit, membelai rambutnya, dan berlari ke stadion. Di stadion, ia tampil bersama Busthomi dan Maitimo. Meski tanpa lambang Garuda di dada kiri, jersey itu berwarna merah.

Tak ada penjelasan secara rinci tujuan akhir Andik dan sekelompok orang itu. Penonton diajak untuk menganggap tujuan mereka sebagai sebuah fatamorgana yang berarti simbol kejayaan Indonesia. 

Tak ada hukum formal yang menyalahkan cara seperti itu untuk menggambarkan Indonesia dan sepakbolanya. Karena iklan adalah dunia simbol. Dan simbol merupakan sesuatu yang tak mungkin hidup tanpa penafsiran. Oleh sebab itu, hukum yang menuntut kepastian sulit berlaku dalam dunia penafsiran yang serba relatif.

Bagaimanapun saya menutup-nutupinya, saya tetap mengalami ketegangan moral menghadapi iklan itu. Indonesia, dan negara, bukanlah sesuatu yang diperdagangkan. Keterwakilan negara dalam sepakbola tak lebih dari seluas simbol, yang pada akhirnya disebut dengan nasionalisme.

Andik, Maitimo, dan Busthomi, adalah pemain tim nasional Indonesia. Memang bukan tugas mereka untuk sibuk mengawasi remeh-temeh seperti warna dalam iklan yang akan mereka bintangi. Semuanya menjadi rumit karena simbol-simbol itu menjadi alat pertarungan, ekonomi, dan mendapatkan tempat di media massa.

Kenyataannya, siapapun yang membintangi iklan shampoo “Clear”, tujuannya tetaplah menjual cairan kental pembersih rambut yang terbungkus apik dalam kemasan. Shampoo tetaplah shampoo. Tetapi shampoo “mencuci” pengertian negara (baca: nasionalisme) melalui iklan-iklannya.

Harus diingat pula, iklan itu diluncurkan menjelang tim nasional U-23 - di mana Andik adalah salah satu anggotanya - berlaga di Sea Games Myanmar 2013. Faktanya, Indonesia takluk di final oleh Thailand dengan skor 1-0. Dan, Andik hanya bermain sebagai starter di dua laga awal. Tampil di bawah standar saat dikalahkan 4-1 oleh Thailand di fase grup memaksa sang bintang harus duduk di bangku cadangan hingga akhir kompetisi.



Kelapa Dua - Di sela-sela Sea Games 2013