Sebuah buku,
baik dalam pengertian fisik juga maya yang dikenal dengan istilah e-book, adalah sebuah proses yang
berlipat ganda. Proses pertama adalah proses privat di mana sang penulis
menyempatkan diri bergaul dengan dirinya sendiri saat menulis tulisan yang
kelak dibukukannya. Selanjutnya, proses kedua sebagai pelipatgandaan proses
pertama adalah ketika si penulis memutuskan untuk melepaskan karangan yang
“masih” menjadi rahasia pribadinya itu bersentuhan dengan publik. Dan bagi
publik, buku diterima sebagai hasil kerja proses yang kedua.
Sebagai
anggota publik, demikianlah saya mempertimbangkan buku kumpulan puisi seorang
penyair kelahiran tahun 1988 yang menerbitkan bukunya secara independen–dalam
pengertian membiayai penerbitan bukunya secara mandiri tanpa bergantung pada
kekuasaan modal penerbit. Penerbit dalam model pembiayaan penerbitan seperti
ini hanya berfungsi sebagai legitimasi dan “bendera” distributor.
Judul
kumpulan puisi ini adalah “Manuskrip Sepi” karangan Nissa Rengganis yang
diterbitkan melalui penerbit “indie”
Gambang Buku Budaya yang berbasis di Yogyakarta. Penyairnya mengaku mencetak
300 eksemplar dalam cetakan pertama yang dilepaskan ke publik pada Juli 2015. Sekaligus
mengaku tidak mencetak buku dengan motivasi industri di mana dia berharap bisa
mendapatkan keuntungan dari penjualan bukunya. Mulanya, dia hanya mencetak buku
itu untuk dibagi-bagikannya secara gratis kepada kolega dan teman-temannya.
Berkat
promosi di media sosial, buku itu mendapat sambutan dari koleganya, dan
sebagian dari mereka membelinya. Penyairnya semakin tidak mempersoalkan masalah
untung-rugi karena dua bulan setelah diterbitkan, Manuskrip Sepi terpilih
sebagai salah satu dari lima buku puisi pilihan dalam Sayembara Yayasan Hari
Puisi 2015. Penghargaan ini membuat Nissa mendapatkan hadiah uang sebesar Rp10
juta rupiah.
Pamflet Sayembara Yayasan Hari Puisi 2015 |
Menurut pengakuannya pula, Manuskrip Sepi tak pernah dimaksudkan untuk diikutsertakan dalam sayembara manapun. Keikutsertaan dalam Sayembara Yayasan Hari Puisi 2015 adalah keputusan penerbit Gambang Buku Budaya.
Suka atau
tidak, Manuskrip Sepi menaikkan popularitas Nissa Rengganis sebagai seorang
penyair. Sekurang-kurangnya, buku kumpulan puisinya yang pertama ini dibaca dan
dipilih oleh dewan juri sekaligus penyair dan kritikus populer dalam sejarah
dan industri sastra di Indonesia: Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, dan
Maman S Mahayana.
Sutardji Calzoum Bachri |
Abdul Hadi WM |
![]() |
Maman S Mahayana |
Dari lima
buku pilihan, Nissa adalah rookie karena
empat buku pilihan lainnya ditulis oleh pengarang yang sudah “mapan” dalam
industri sastra Indonesia: Aspar Pasturusi (Perahu Badik Membaca Laut), Gus tf
Sakai (Susi), Hamdy Salad (Tasbih Merapi), dan Taufik Ikram Jamil (tersebab
daku melayu).
Sementara
itu, hadiah utama jatuh kepada dua nama yang sama mapannya dengan empat peraih
penghargaan buku pilihan selain Nissa, yakni Sonny Farid Maulana (Arus Pagi),
dan Yudhistira ANM Massardi (99 Sajak). Dua penyair ini berhak atas hadiah uang
Rp25 juta. Dan bagi Nissa, hadiah Rp10 juta sudah lebih dari modal yang dia
keluarkan untuk menerbitkan Manuskrip Sepi.
Sebagai
seorang rookie, Nissa menghadapi
cemoohan dalam komunitas pergaulan keseniannya sehubungan dengan terpilihnya
Manuskrip Sepi di antara penyair lain yang rata-rata lahir di tahun 1960-an
dalam Sayembara Yayasan Hari Puisi. Sebagian orang menganggap Manuskrip Sepi
menang karena salah seorang dewan jurinya, Maman S Mahayana, berasal dari
daerah yang sama dengan daerah asal Nissa, yakni Cirebon. Cemoohan ini
menghantam kepercayaan dirinya. Sekaligus menganggap dewan juri tidak berlaku
obyektif dalam pemilihan Manuskrip Sepi sebagai salah satu buku puisi pilihan.
Manuskrip
Sepi dan Nissa Rengganis menjadi “lubang” bagi sebagian orang untuk meragukan
kredibilitas Sayembara Yayasan Hari Puisi 2015. Sekaligus juga meragukan kredibilitas
Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, dan tentu saja, Maman S Mahayana.
Keputusan
Nissa untuk mempersentuhkan Manuskrip Sepi dengan publik telah membawanya pada
situasi di mana sebagian orang menunjukkan ketidakpercayaannya terhadap
penilaian penyair tua yang lahir di tahun 1940-an dan salah seorang di
antaranya bahkan dijuluki sebagai avant-gardian
dalam sejarah industri sastra Indonesia.
Saya
menimang Manuskrip Sepi dengan pengetahuan bahwa buku ini menarik perhatian
publik melalui Sayembara Yayasan Hari Puisi 2015. Apakah saya akan bersikap sama
seperti orang-orang yang mencemooh Manuskrip Sepi?
Saya tidak
akan mencemooh, tapi saya harus mengatakan bahwa sebagai sebuah “buku” yang
dipresentasikan ke publik, Manuskrip Sepi memiliki sejumlah kecacatan yang bisa
menjadi jalan bagi para pencemooh. Sebagai contoh, saya menemukan
ketidakkonsistenan ejaan setidaknya pada 20 halaman dari buku setebal 85
halaman yang berisi 49 puisi plus epilog yang ditulis oleh dosen filsafat
Universitas Indonesia yang cukup populer, Rocky Gerung.
Dan saya
harus mengatakan, ketidakkonsistenan ejaan adalah soal yang sangat menganggu.
Sebagian orang boleh bilang bahwa aturan ejaan adalah hal yang membosankan.
Namun, ejaan berfungsi untuk keindahan tulisan dalam bentuk dan fungsinya yang
paling dangkal: simbol.
Saya harus
menelusuri aturan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (PU-EBIYD)
yang ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hasan pada 1987
hanya untuk memastikan bagaimana sebenarnya aturan penulisan “di” sebagai
awalan dan “di” sebagai kata depan. Dalam pedoman itu, dikatakan bahwa kata
depan di, ke, dan dari ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya, kecuali di
dalam gabungan kata yang sudah lazim dianggap sebagai satu kata seperti
“kepada” dan “daripada”.
Buku PU-EBIYD Terbitan Balai Pustaka |
Beberapa
contoh di antaranya adalah:
Kain itu
terletak di dalam lemari.
Bermalam
sajalah di sini.
Di mana Siti
sekarang?
Pada bagian
imbuhan, “di” sebagai awalan ditulis “serangkai dengan kata dasarnya.” Contoh
yang digunakan misalnya, “dikelola”.
Spasi pada “di”
dalam “terletak di dalam lemari”
memberikan makna yang jauh berbeda ketika spasi itu ditiadakan dalam “dikelola”.
Tetapi,
apalah artinya spasi yang jaraknya mungkin tak sampai satu sentimeter namun
terabaikan (atau diabaikan?) pada baris ketiga di bait kedua puisi Nissa
Rengganis yang berjudul Menuju Senja di Kotamu (halaman empat) yang tertera
seperti ini
Aku disini. Di kotamu yang bising.
Hanya dalam
dua kalimat berdekatan, di sebagai awalan yang menunjukkan tempat yakni “di
sini” dan “di kotamu” justru ditulis dengan cara yang berbeda: di tanpa spasi
pada disini namun di dengan spasi
pada di kotamu.
Masalah ini
muncul lagi ketika “di” yang seharusnya tidak diberi jarak spasi karena
berfungsi sebagai imbuhan diterakan dengan “Di
tenggelamkan percakapan kita” pada baris ketiga bait kedua puisi Aku Laut
Padamu (halaman sebelas).
Cacat
seperti ini masih ada di sejumlah halaman lainnya. Ditambah lagi misalnya
dengan kerancuan menulis leksikon asing seperti Sysiphus di mana PU-EBIYD
menyebutkan bahwa serapan “y” ditulis “i” jika lafalnya adalah i dan “ph”
ditulis dengan “f”. Sehingga, seharusnya, Sysiphus pada Puisi Pohon Ek (halaman
64) ditulis dengan
Aku Sisifus yang menertawakan hidup.
Tetapi,
aturan ejaan ini memang membosankan. Mungkin mirip dengan betapa membosankannya
mempelajari bahasa Inggris ketika harus menghadapi penggunaan “of” atau “on” atau “in” yang
terlalu rumit karena maknanya bisa berubah-rubah mengikuti kata yang
mengawali atau mengikutinya.
Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) online milik
Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui situs http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi juga memudahkan pendeteksian ini. Melalui
situs ini, saya mencari pengertian kata “orange” dari puisi Perkenalan Pelukis
dan Penulis (halaman 62) yang tertera pada kalimat
Di balik
gunung-gunung tenang dan matahari orange
Mesin
pencari tidak menemukan pengertian untuk kata orange. Lalu saya mengikuti
intuisi saya tentang kelaziman bunyi kata ini dengan mengubah huruf “g” menjadi
“y”, dan mesin pencari memunculkan kata “oranye” yang artinya adalah “warna
merah kekuning-kuningan; jingga.”
Kasus yang
mirip seperti ini muncul lagi ketika KBBI tidak menyediakan arti kata instant,
mall, dan caffe dalam puisi Juni untuk Sapardi (halaman 74) yang diterakan
dengan
Di kota yang
serba instant ini/Kami terseret pada mall dan caffe
KBBI hanya
menyediakan pengertian untuk instant dengan penulisan “instan”, mall dengan “mal,”
dan caffe dengan “kafe.”
Baik, saya
tidak akan meneruskan tetek-bengek kecacatan ejaan yang membosankan ini. Apalah
artinya aturan-aturan bahasa yang dilembagakan oleh seseorang yang ditunjuk
melalui sebuah proses politik lalu mendapatkan jabatan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan? Bukankah kekuasaan juga menggunakan proses ini untuk melembagakan status quo dengan memanipulasi bahasa?
Bagi saya
soal ini adalah sesederhana bahwa konsistensi ejaan menunjukkan kedisiplinan
penulis pada prinsip-prinsip dasar bahasa yang digunakan di negara tempat dia
lahir, tumbuh, dan menjadi dewasa. Lebih sederhana lagi, konsistensi ejaan
memudahkan dan memanjakan mata pembaca saat menerjemahkan susunan abjad.
Bayangkanlah jika tidak ada pembedaan antara “di” sebagai kata depan dan “di”
sebagai imbuhan sementara dalam percakapan lisan tak ada bedanya antara bunyi “di”
dalam “dipotong” dan “di” dalam “di rumah”. Menulis jelas berbeda dengan
berbicara lisan. Menulis menyempatkan waktu untuk berpikir sebelum
mengungkapkan maksud, sementara bicara adalah soal spontanitas.
Kritik ini
akan saya kembalikan pada apa yang saya katakan di awal tulisan ini, yakni
proses berlipat ganda pada sebuah buku yang bersentuhan dengan publik. Tak ada
gunanya menyalahkan sesiapa dalam kecacatan ini. Namun, sebagai sebuah produk,
buku Manuskrip Sepi merupakan kerja kolektif yang melibatkan penulis,
penyunting, penata letak, desainer, juga penerbit sebagai sebuah institusi. Penulisnya
bisa saja abai atau bosan dengan ejaan dan tata bahasa, namun sebagai sebuah
produk yang dijual–dan menjadi bagian dari industri–kesalahan yang kita temukan
di dalam Manuskrip Sepi juga merupakan tanggung jawab penyunting dan
penerbitnya.
Tetapi,
agaknya ketidakkonsistenan dalam urusan ejaan bukanlah kasus spesial dalam
industri perbukuan di Indonesia. Karena saya pernah kecewa membeli novel klasik
karangan salah seorang pengarang besar dan cukup dihormati di Indonesia karena
cetakan terbarunya yang diterbitkan oleh salah satu penerbit raksasa Indonesia
memuat banyak kesalahan ketik. Jika kesalahan ini merupakan error dalam kerja kreatif penulis, maka
penulis bersangkutan bertanggungjawab untuk memperbaikinya. Namun, apalah
gunanya seorang penyunting jika tidak memperhatikan kesalahan-kesalahan seperti
ini? Yang lebih menyakitkan, kesalahan seperti ini terjadi pada karangan
pengarang besar yang naskah aslinya jauh lebih disiplin, beberapa kali
dicetak-ulang, dan penerbit menerbitkan cetakan terbaru yang “merusak” naskah
asli akibat ketidakprofesionalan penyunting yang bekerja untuk penerbit.
Kekuasaan Yurisdiksi Gaya
Dan puisi, jelas salah satu jenis tulisan yang tidak saja memperjelas perbedaan maksud kata dalam kesamaan bunyi pada bahasa lisannya, namun memberikan makna gaib yang berada di balik aturan-aturan gramatika yang membosankan itu: makna sastrawi.
Dan mau tak
mau, para pencemooh harus berhadapan dengan makna sastrawi yang ditawarkan oleh
Manuskrip Sepi. Makna, yang menurut saya, barangkali menjadi pertimbangan juri
Sayembara Yayasan Hari Puisi 2015 untuk memilih Manuskrip Sepi sebagai salah
satu buku pilihan.
Saya
mendengar Manuskrip Sepi sebagai judul kumpulan puisi Nissa Rengganis sebelum
saya membaca isinya dalam sebuah buku. Dan menggunakan kata “sepi” sebagai
judul sebuah kumpulan puisi sama sekali tidak mengejutkan. Karena sepi adalah
kata yang sering ditemukan dalam lintasan puisi sejarah arus utama industri
sastra di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah
Semua sepi sunyi sekali (Subuh, Amir Hamzah)
Sepi di luar
menekan mendesak (Hampa, Chairil Anwar)
sepi di bumi priangan/sepi menghadapi mati (Tanah Kelahiran,
Ramadhan KH)
Sambil
menyeberangi sepi/kupanggil namamu,
wanitaku (Kupanggil Namamu, WS Rendra)
Aku pun
tahu: sepi kita semula/bersiap
kecewa, bersedih tanpa kata-kata (Di Beranda Ini
Angin Tak Kedengaran Lagi,
Goenawan Mohamad)
Ia hanya
ingin/Menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di/Lorong
sepi pada suatu pagi (Pada Suatu Pagi
Hari, Sapardi Djoko Damono)
sebelas duri
sepi (Mantera, Sutardji Calzoum
Bachri)
Waktu selalu
melimpahi langit sepi dengan kabut
dulu (Dini Hari Musim Semi, Abul Hadi WM)
Dan sungai
Siak jadi sepi, jadi lebih dalam lagi
dari Gurindam Duabelas (Buku Harian dari Gurindam Dua Belas, Afrizal Malna)
Tuhan datang
malam ini/di gudang gulita yang cuma dihuni cericit tikus/dan celoteh sepi (Tuhan Datang Malam Ini, Joko
Pinurbo)
Dan,
beginilah sepi yang dituliskan Nissa Rengganis dalam bait puisi yang dijadikan
judul buku puisinya, Manuskrip Sepi:
Tidak ada
puisi cinta untukmu/hanya sedih dalam luka nyeri/hanya sedih dalam luka sepi
Puisi
Manuskrip Sepi sekaligus menjadi puisi pertama yang disajikan dalam Manuskrip
Sepi. Nissa telah memilih sepi sebagai “kesimpulan umum” dari kumpulan
puisinya.
Lalu, apakah
dengan mengetahui bahwa sepi ternyata adalah klise dalam perpuisian Indonesia
membuat Manuskrip Sepi jatuh pada klise pula? Saya lebih suka memulai
pertanyaan ini dengan melihat pengertian kata sepi dalam KBBI.
Sepi: sunyi;
lengang: duduk di tempat yg --; 2 tidak ada orang (kendaraan
dsb); tidak banyak tamu (pembeli dsb); tidak ada kegiatan; tidak ada apa-apa;
tidak ramai: sudah sepekan ini pasar karet --; negeri itu sudah --; 3
dianggap tidak ada apa-apa; tidak dihiraukan sama sekali: -- dr (gangguan,
bahaya, dsb), tidak ada atau terlepas dr (gangguan, bahaya, dsb); tidak
-- dr (gangguan, bahaya, dsb), selalu ada (gangguan, bahaya, dsb); tidak
terlepas dr (gangguan, bahaya, dsb);
Dan
ternyata, KBBI memberikan pengertian kata sepi dengan kata, bukan dengan
kalimat, yakni “sunyi” dan “lengang.” Sementara sisanya menunjukkan pengertian
sepi dengan memberikan contoh dalam penempatannya di kalimat tertentu. Ini
berarti, sepi merupakan kata yang pengertiannya sangat bergantung pada
konteksnya.
Dan sepi,
sebenarnya merupakan sebuah klise yang memiliki sinonim yang jauh lebih klise
lagi ketimbang kata ini sendiri dalam perpuisian Indonesia: sunyi. Itupula
sebabnya, KBBI memberikan pengertian pertama pada kata sepi dengan kata sunyi.
Lalu, apa pula kata KBBI tentang pengertian sunyi?
Sunyi: tidak
ada bunyi atau suara apa pun; hening; senyap: malam yg --; 2
kosong (tt rumah dsb); tidak ada orang; lengang; sepi: baru pukul 22.00
jalanan sudah --; rumah itu -- sekali; 3 tidak banyak transaksi
(persetujuan jual beli); tidak banyak pembeli (dl perdagangan): pasar uang
mulai --; 4 bebas (lepas, lekang, terhindar): tiada manusia yg --
dr kesalahan;
Untuk kata sunyi, KBBI memberikan jawaban dengan kalimat, yaitu “tidak
ada bunyi atau suara apa pun; hening; senyap”. KBBI menunjukkan sepi sebagai
sub-pengertian dari kata sunyi. Sehingga, ketika kita mencari pengertian kata
sepi, KBBI mengarahkan kita untuk mencari pengertian kata sunyi.
Dan kata sunyi, jauh lebih mudah ditemukan dalam puisi Indonesia.
Lihatlah Amir Hamzah yang memilih Nyanyi Sunyi sebagai judul buku
puisinya yang paling terkenal. Lalu, Chairil Anwar menulisnya dengan “Nasib
adalah ke-sunyi-an masing-masing...“ Anda bisa menambahkan daftar penyair
yang menggunakan kata sunyi dengan mudah pada pengarang-pengarang setelah Amir
Hamzah.
Apa yang ingin saya katakan adalah, Manuskrip Sepi berada di jalan
setapak yang sudah “menjalur” dalam sejarah sastra modern Indonesia.
Menggunakan kata sunyi, sepi, sepertinya menjadi standar bagi siapapun yang
menulis puisi dalam bahasa Indonesia. Dan, untuk standar ini, sastra Indonesia harus
berutang pada Amir Hamzah. Dalam Manuskrip Sepi, kita bisa melihat campur-aduk
gaya di bawah pengaruh sejak Amir Hamzah.
![]() |
Amir Hamzah |
Di titik ini, gaya yang dominan dalam sastra menunjukkan pertaliannya
dengan batas hukum suatu wilayah politik, yaitu negara. Manuskrip Sepi, ditulis
dan dibahasakan untuk publik yang berada dalam yurisdiksi sastra (negara)
“Indonesia”. Penyairnya belum menghasratkan untuk melakukan pemberontakan
sejarah dengan keluar dari jalur setapak sejarah sastra Indonesia dengan cara
meninggalkan jalur yang sudah dibentangkan oleh HB Jassin sejak Hamzah Fansuri
sampai penyair kelahiran 1990-an yang karyanya mulai banyak dimuat di surat
kabar-surat kabar penahbis status kepenyairan seseorang.
Dan, Nissa melakukan kerja kreatif dengan mengaduk berbagai gaya dalam
yurisdiksi sejarah sastra Indonesia pada Manuskrip Sepi. Cara yang paling
sederhana adalah dengan melihat jejak-jejak gaya umum sastra Indonesia dalam
puisi-puisi Nissa.
Salah satu yang saya rasakan adalah betapa cepat ingatan saya melayang
pada puisi Chairil Anwar “Senja di Pelabuhan Kecil” ketika saya membaca bait
terakhir puisi Nissa yang berjudul Nelayan Pantai Utara.
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
serta temali
(Senja di Pelabuhan Kecil)
Sementara itu, Nissa menulis
Pada akhirnya
Dermaga, kapal tua, dan gudang
Adalah sarang bagi sepi
(Nelayan Pantai Utara)
Atau lihatlah pengaruh Goenawan Mohamad yang cukup dominan dalam
Manuskrip Sepi seperti yang terlihat pada penggunaan kalimat tanya dalam puisi
Pertanyaan dan Perempuan yang Membakar Sepi. Jika Goenawan Mohamad menulis
Apa yang berharga pada tanah liat ini
Selain separuh ilusi?
(Kwatrin Tentang Sebuah Poci)
Maka Nissa menulis
Adakah yang berharga
Setelah puisi ini selesai dituliskan?
(Perempuan yang Membakar Sepi)
Atau kombinasi antara Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono pada
puisi Lembarannya adalah Waktu. Ketika membaca judul “Lembarannya adalah Waktu”,
saya langsung teringat dengan judul puisi Sapardi yang berjudul “Yang Fana
Adalah Waktu”. Di dalam puisi ini, Nissa menulis
Suaramu lirih
Memintaku jangan menulis puisi tentang gerimis
Memintaku tak perlu menunggu hujan jatuh
Saya merasakan pengaruh kental puisi Goenawan Mohamad yang berjudul Pagi dalam puisi di atas. Goenawan menulis
Gerimis seperti jarum-
jarum jatuh. Pada seng
dan subuh, seribu gugur
dari sebuah jam yang jauh.
Goenawan Mohamad |
Selain itu, yurisdiksi sejarah sastra Indonesia juga membuat Nissa
melakukan apa yang telah dilakukan oleh penyair-penyair sebelum dia seperti
menulis puisi untuk penyair yang lebih dulu dan terkenal. Puisi-puisi seperti
ini, sering ditujukan sebagai rasa kekaguman terhadap penyair pendahulu, atau
ingin menunjukkan pemaknaan pribadi sang penyair bersangkutan terhadap ide-ide
penyair yang dituju dalam puisinya, atau juga rasa persabahatan. Nissa menulis
puisi berjudul Malam Chairil dan Juni untuk Sapardi, seperti juga Goenawan
Mohamad menulis puisi berjudul Potret Taman untuk Allen Ginsberg yang merujuk kepada
penyair Amerika Serikat yang dikenal sebagai salah satu eksponen Beat
Generation, Allen Ginsberg, atau Afrizal Malna yang menulis Penyair Anwar
merujuk pada Chairil Anwar, juga Joko Pinurbo yang menulis Penyair Tardji
tentang Sutardji Calzoum Bachri. Dan sejumlah kecenderungan lain yang serupa juga
bisa dirasakan secara dominan dalam Manuskrip Sepi.
Kemampuan meramu berbagai macam gaya dari sejumlah penyair terkemuka
dalam sejarah sastra Indonesia juga merupakan pencapaian pula. Saya menduga,
kemampuan Nissa mencampurkan gaya yang sangat menonjol dari penyair-penyair
pendahulu yang menonjol pula, menjadi pertimbangan utama yang membuat dewan
juri Sayembara Yayasan Hari Puisi 2015 memilih Manuskrip Sepi sebagai salah
satu buku pilihan.
Bau
Kelam Pantai Utara
Tanpa terasa, apa yang saya pikirkan tentang Manuskrip Sepi lebih banyak pada soal teknis dan gaya yang seringkali terasa membosankan ketimbang kenikmatan yang ditawarkan oleh puisi: makna. Dan Manuskrip Sepi diselamatkan dari kecacatan teknis dan keklisean lingkungan gaya oleh makna yang dikandungnya.
Bagi saya secara pribadi, puisi terasa sebagai puisi ketika saya bisa
merasakan renungan yang dilakukan seorang penyair ketika saya membaca puisi
yang ditulisnya. Ketika sebuah puisi bisa membuat saya merenung untuk memahami
maknanya, pada saat itulah puisi itu bekerja pada mental dan pikiran saya.
Saya tidak akan membahas puisi tertentu dari Manuskrip Sepi. Namun, setelah
melihat betapa dominannya pengaruh kekuasaan yurisdiksi gaya sejarah arus utama
sastra Indonesia, memudahkan saya untuk mencari kenikmatan dalam Manuskrip
Sepi.
Jika Nissa menggunakan sepi sebagai copywrite dalam judul
Manuskrip Sepi, saya akan mengakui bahwa buku puisi ini telah menawarkan sebuah
suasana yang tidak berbeda dengan judulnya. Saya bisa merasakan sepi dalam
gambaran Nissa tentang suasana. Misalnya
Barat atau utara sama saja
Perjalanan kita tak lagi menemui senja
Hanya lampu berpantulan
(Perjalanan)
Betapa sepinya suasana pada petikan puisi di atas ketika “hanya” ada
(cahaya) lampu berpantulan dalam perjalanan yang tak menemui senja.
Atau ketika ia merasa sepi yang terasa sebagai keterasingan di dalam
keramaian saat ia menulis
Kotaku
bising
Dan aku tetap asing(Pulang)
Juga betapa heningnya ketika
Badai kecil menyapu perahu-perahu nelayan yang lalai
(Pada musim ketiga di Laut Utara)
Dan keterangan-keterangan tempat dan waktu di mana-kapan sebuah puisi
ditulis yang dicantumkan Nissa di bawah beberapa puisinya seperti Cirebon 2011,
Purwokerto 2009, juga Yogyakarta, dan Tasikmalaya, membantu pikiran untuk
memasuki dunia imaji dalam puisi-puisi Nissa. Nissa agaknya sangat terpesona
pada kehidupan dan kultur tempat tinggalnya sebagai sebuah area dan identitas
kreatif. Ia bercerita tentang nelayan dan laut yang dengan jelas menunjukkan
suasana Pantai Utara di mana Cirebon adalah salah satu kawasan pesisirnya–kota
di mana Nissa lahir, tumbuh, dan menjadi tempat kediamannya hingga kini.
![]() |
Peta Cirebon |
Saya termasuk orang yang pembosan dan tidak percaya dengan status
quo seperti “sejarah sastra Indonesia”. Gairah saya terhadap sesuatu yang
baru tidak tercapai ketika saya membaca buku kumpulan puisi yang ditulis oleh
generasi baru seperti Nissa Rengganis.
Kenapa saya memilih kata yurisdiksi untuk sub-bagian sebelumnya dari
artikel ini, adalah untuk menggambarkan betapa pengetahuan tentang sejarah
sastra Indonesia–yang sudah mapan sebelum saya dan mungkin penyair muda seperti
Nissa lahir–membatasi wilayah kreatif seorang penyair–secara sadar atau tidak–seperti
yurisdiksi yang membatasi aturan hukum bagi seseorang yang berada dalam sebuah
negara.
Wilayah kreatif dalam Manuskrip Sepi dengan mudah bisa dicapai
batas-batasnya karena Nissa Rengganis mungkin belum menyadari bahwa sastra
adalah dunia bebas yang seharusnya menjadi pendobrak yurisdiksi-yurisdiksi
sejarah sastra sebuah negara. Tentu saja seorang penyair tidak bisa lepas dari
sejarah sastra yang menguasai lingkungannya, namun biarlah itu mengalir seperti
pengetahuan tentang bahasa ibu yang diajarkan oleh orang-tua dan keluarga
kepada seorang bayi. Maksud saya, biarlah pengetahuan tentang sejarah sastra
Indonesia menjadi sesuatu yang given. Tetapi, memilih tetap bertahan di
dalam yurisdiksinya, itu adalah kemunduran.
Kenapa kemunduran? Karena kini orang tidak lagi percaya pada kualitas
sastra Indonesia, semudah para pencemooh yang meragukan penilaian penyair besar
seperti Sutardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi WM karena memilih Manuskrip Sepi
sebagai buku pilihan Sayembara Yayasan Hari Puisi 2015. Belum lagi keluhan
generasi masa kini yang beredar beberapa tahun belakangan bahwa mereka tidak
lagi menemukan sesuatu yang baru karena kebaruan itu sudah ditelan oleh penyair
pendahulu dan terkemuka dalam yurisdiksi sejarah sastra Indonesia.
Pengakuan generasi terkini yang mengaku tidak lagi mampu menemukan gaya
baru adalah bentuk inferioritas sebagai efek kejiwaan masyarakat pasca-kolonial
ditambah kepengecutan penyair mapan untuk merobek zona nyamannya setelah
namanya ditulis dalam apa yang disebut sejarah sastra. Budaya menghormati orang
yang lebih tua, pada gilirannya digunakan oleh orang yang lebih tua untuk
membuat generasi di bawahnya tunduk sebagaimana ketundukan seorang anak di
bawah kekuasaan ayah-ibunya.
Maka, seorang penyair muda akan menganggap kualitas Chairil Anwar adalah
sesuatu yang tak terkejar, Goenawan Mohamad adalah dewa, dan Sutardji Calzoum
Bachri adalah presiden para penyair. Jika cemooh adalah bakat umum para
sastrawan atau orang-orang yang bergaul di dalam komunitas kesenian di
Indonesia, maka saya akan menggunakan cemooh untuk mencemooh mereka, mencemooh
kecenderungan keinginan untuk dihormati dalam diri penyair mapan dengan
menganggap generasi muda selamanya adalah pemula dan tidak akan mampu melampaui
pencapaian mereka.
Dalam yurisdiksi yang membosankan itu, saya menganggap Chairil Anwar
adalah penyair terbaik. Namun, saya tidak mau berada di belakang jalur
mengikuti jejak Chairil Anwar karena Chairil Anwar datang kepada saya tanpa
saya minta. Chairil Anwar adalah sesuatu yang given. Kemanapun penyair
generasi masa kini menghadap, maka Chairil tak bisa dihindari.
![]() |
Chairil Anwar |
Namun saya menganggap hal itu sebagai anugerah. Tidak ada salahnya
memiliki Chairil dalam diri kita. Namun, merasa bahwa Chairil tidak bisa
dilampaui, itu adalah yurisdiksi yang memerosotkan kepercayaan diri. Itulah
sebabnya, kian hari politik sastra jauh lebih menarik perhatian ketimbang
obsesi terhadap kualitas karya yang melampaui.
Saya melihat Manuskrip Sepi sebagai representasi kepercayaan diri yang
selalu merasa berada di belakang jejak yang sudah ada. Bagi orang yang
memutuskan menulis puisi dan mempublikasikannya seperti Nissa, tidak sulit
baginya untuk melakukan hal yang umum seperti ini. Semudah saya menemukan
pengaruh sejumlah penyair tua yang merasa tak ada generasi baru yang bisa melampaui
mereka selama generasi baru itu menulis dalam bahasa Indonesia.
Nissa Rengganis sudah menjalani takdirnya untuk terjebak dalam status
quo sejarah sastra Indonesia, dan Manuskrip Sepi adalah hasil keterjebakan
dalam takdirnya itu. Namun, dia punya bekal yang didapatnya dengan pengalaman
yang tidak mudah. Saya punya harapan terhadap penyair ini, karena sebagai
seorang perempuan yang menerbitkan buku puisinya di usia yang belum genap 27
tahun, dia membiarkan dirinya masuk dalam situasi yang bisa membuatnya
melampaui apa yang sudah dilakukannya saat ini: kemiskinan.
Saya mencium bau kemiskinan yang kental dalam suasana kelam Pantai
Utara pada Manuskrip Sepi. Abad informasi bagi Indonesia adalah puisi yang
dianggap sebagai aktivitas kolot oleh sebagian besar generasi muda yang lebih
senang dengan gadget dan obsesi terhadap pemalsuan identitas yang
dimanjakan oleh fenomena media sosial. Jika seorang perempuan muda masih
menulis tentang kemiskinan di negaranya yang bising disertai masyarakat yang
menganggap kemiskinan sebagai aib yang harus ditutup-tutupi, maka dia akan
menjadi sepi, dekat dengan penderitaan, dan bersama penderitaanlah para penyair
pemula melampaui cemoohnya.
Manuskrip Sepi adalah modal untuk menyadari bahwa ada yang salah dengan
sejarah sastra Indonesia. Kesalahan yang tampak pada kecenderungan mutakhir di
mana para sastrawan terkemuka mempertontonkan kekotoran politik (elit) sastra
ketimbang memberitahu tentang menyelami penderitaan sebagai bagian dari obsesi
terhadap kualitas kehidupan demi proses kreatif para generasi muda yang lugu.
Penyair muda selalu jadi korban karena menganggap kesalahan itu sebagai sebuah
kewajaran hanya karena dilakukan oleh orangtua yang terkenal. Bagi penyair
muda, membuka jalan di rimba yang tak bisa diperkirakan adalah satu-satunya
jalan agar tidak dilecehkan di hari tuanya. Betapa indahnya! Karena jalan rimba
itu harus dibuka dengan tangan telanjang, tanpa harus peduli terhadap siapakah
atau adakah yang akan mengambil jalur di jejaknya.
Jakarta, 23-24 Januari 2016