Saya
tidak terlalu deg-degan ketika Liliyana Natsir dan Tontowi Ahmad menyelesaikan
perlawanan pasangan asal Malaysia, Chan Peng Soon dan Goh Liu Ying, di final
nomor ganda campuran bulutangkis Olimpiade Rio de Janeiro, Brasil, 2016.
Sekaligus, saya tidak heran dengan reaksi orang-orang terhadap malam medali
emas ketujuh Indonesia dalam sejarah keikutsertaan di Olimpiade musim panas
sejak partisipasi perdana di Helsinki, Finlandia, 19 Juli–3 Agustus 1952.
Pada
Rabu malam 17 Agustus itu, di media sosial seperti Instagram, Path, juga Facebook, saya melihat sejumlah
“ekspresi perasaan menang” atas kesuksesan ini. Unsur emosi dalam respon
anggota media sosial – berusia rata-rata 18-30 tahun – terasa pada salah satu istilah
yang mereka gunakan untuk menggambarkan perasaan mereka atas prestasi Liliyana
dan Tontowi: “merinding.”
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia online milik
Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, merinding berarti “berdiri
bulu roma (atau bulu kuduk) karena takut dan sebagainya: (misalnya) merinding
rasanya melihat jenazah bayi yang tanpa kepala itu.”
Barangkali,
tidak semua orang membaca arti kata merinding di dalam kamus sebelum menggunakannya
dalam percakapan sehari-hari, termasuk di media sosial. Namun, sebagai rujukan
formal, Kamus Besar mencontohkan penggunaan merinding dalam kalimat untuk
menjelaskan sesuatu yang “mistis” seperti “jenazah
bayi yang tanpa kepala itu.”
Disadari
atau tidak apa makna “resmi” merinding seperti yang tertera dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, ekpresi perasaan menang itu menggunakan sebuah istilah yang
lebih sering diasosiasikan dengan peristiwa mistis. Sesuatu yang tak tampak
namun dipercaya keberadaannya. Seperti mitos, sesuatu yang sangat “Nusantara.”
Sekadar
melihat-lihat ke tempat lain, di Olimpiade yang sama, seorang perenang peraih
medali perunggu di nomor 100 meter gaya punggung putri asal Cina, Fu Yuanhui,
digambarkan oleh Jiayang Fan – jurnalis keturunan Cina yang hijrah ke Amerika
Serikat sejak usia delapan tahun – di situs The
New Yorker sebagai “adorkable.”
Mesin pencari Google memberi pengertian
tentang kata ini sebagai gabungan antara “adorable”
dan “dorky” yang berarti “dikagumi”
sekaligus “nyeleneh”.
Fu Yuanhui, perenang ikonik generasi baru Cina saat meraih medali perunggu dalam renang nomor 100 meter gaya punggung putri Olimpiade 2016. |
Maksud besar dari penggambaran Fan tentang atlet kelahiran Hangzou, 7 Januari 1996, ini adalah bahwa Yuanhui memberikan perilaku yang berbeda dari kesan umum yang selama ini ditunjukkan oleh atlet-atlet Cina yang berjasa membesarkan negara mereka. Ekspresi Yuanhui dianggap sebagai ekspresi dari sedikit atlet Cina yang pengalaman olahraganya dijalani tanpa harus memasuki kompleks industrial tekanan politik Cina.
Di
bulu tangkis, salah satu stereotipe yang dianggap sebagai produk politik
penggemblengan masal atlet Cina mungkin adalah Lin Dan. Lin Dan, legenda hidup dalam
sejarah bulu tangkis yang merebut medali emas Olimpiade dalam dua edisi beruntun
(Beijing 2008 dan London 2012), hampir tidak pernah menunjukkan sikap
“nyeleneh” sebagaimana yang ditunjukkan Yuanhui.
“Kapan
terakhir kali kita melihat (sikap nyeleneh) atlet Cina di CCTV?” tulis seorang
komentator dari Beijing setelah melihat betapa ringannya sikap Yuanhui setelah
hanya meraih perunggu di nomor 100 meter gaya punggung putri.
“Di
masa lalu, kegembiraan seperti ini tampak sebagai usaha mengejar ambisi egois,
pendangkalan perjuangan sebuah negara dengan cara tidak patriotik,” tulis Fan.
Bagaimana bisa sikap seorang atlet di media massa digambarkan dalam wacana politik negara di level internasional?
Bagaimana bisa sikap seorang atlet di media massa digambarkan dalam wacana politik negara di level internasional?
Melihat
Yuanhui dan Cina lalu melihat kemenangan Liliyana dan Tontowi yang bikin
merinding bukanlah sebuah perbandingan yang ingin menyederhanakan. Ini adalah
soal politik, dan juga alam bawah-sadar. Fan menafsirkan sikap Yuanhui untuk
menunjuk alam bawah-sadar mayoritas atlet Cina dengan mengaitkannya pada
politik pabrikasi atlet yang membuat negara itu menjadi pesaing terberat bagi
negara mana pun yang berkompetisi di Olimpiade.
Lalu
alam bawah-sadar seperti apa yang bisa dilihat dalam peristiwa medali emas
Liliyana dan Tontowi di Riocentro di malam Hari Kemerdekaan Indonesia ke-71 itu?
Fenomena
media sosial membuka peluang untuk melihat masalah ini dari dua sisi yang di
masa pra-internet sulit dicairkan.
Dua
puluh dua hari sejak kemenangan di Rio, saya membuka akun Instagram pribadi Liliyana di mana atlet kelahiran Manado, 9
September 1985, dengan nama panggilan “Butet” ini memuat foto kartu anggota pelanggan
tetap maskapai penerbangan Air Asia miliknya. Di samping gambar kartu Air Asia
Big berwarna emas itu, Lilyana menulis “Lifetime”
dan “thank you Air Asia.”
“Lifetime” yang diterjemahkan menjadi
“seumur hidup” adalah hal yang ingin ditunjukkan Liliyana dalam komunikasi media
sosialnya. Penafsiran tentang lifetime-nya
Liliyana menjadi berkembang ketika membaca sejumlah respon di bawah tulisan
tersebut.
“Timothea_s@edward_wijaya level
hoki @ferd_1990 kayanya blom sampe sini 😂 mupeenng
😱” atau “natniseKamu pasti iri kan @sweetgaluh @sayhitomeyta ??” atau “nadiaadityoLife time.. kapan
kartu kaya gitu ada di dompet kartu..”
atau yang lebih sinis seperti ini “ handacayooAsikkkkkkkk..
siap dong buat bulan madu yaa ci keliling dunia sama pasangan. Mumpung geretong
ahahahha 😆😆😆😆😆😆😆 @natsirliliyana.”
Ada beberapa kata yang bisa dirasakan sebagai
maksud yang tersimpan di alam bawah sadar dari beberapa komentar itu. Misalnya,
“hoki”, “iri”, “kapan”, atau “mumpung geretong
(selagi gratis).” Rasanya tidak perlu membuka Kamus Besar untuk memeriksa apa
arti sebenarnya dari sejumlah kata itu untuk merasakan maksud dalam nada
bertutur pada kalimat-kalimat itu.
Komunikasi Liliyana dan warga Instagram melalui foto kartu
anggota Air Asia Big itu adalah ciri yang membedakan politik Indonesia dan
Cina. Di Indonesia, atlet tidak diproduksi secara masal sebagaimana di Cina. Terutama
sejak reformasi 1998 plus meningkatnya kecenderungan melakukan pencitraan
melalui internet, politik praktis seakan berjarak dengan pencapaian seorang
atlet dalam kompetisi mewakili negara.
Di Indonesia, sekeping medali emas Olimpiade
setara dengan “energi yang meremangkan bulu kuduk” sebuah negeri. Media sosial
membentangkan “perasaan yang disembunyikan” atas pencapaian level tertinggi.
Dalam sudut pandang tertentu, layaknya sikap
nyeleneh di Cina yang bisa dianggap sebagai ekspresi egois, keputusan Liliyana
memuat Air Asia Lifetime-nya di Instagram bisa dianggap sebagai aksi
pamer yang sengaja membuat orang lain merasa iri. Sementara bagi Liliyana, lifetime adalah aksinya untuk
menunjukkan bahwa maskapai penerbangan Air Asia menghargai prestasinya sebagai
seorang atlet. Baginya, lifetime
adalah soal pengakuan.
Dengan semua yang telah dicapainya, Liliyana
seperti berdiri sendirian dalam sejarah baru bulutangkis Indonesia. Tanpa
mengesampingkan peran dua rekannya dalam spesialisasinya sebagai atlet ganda
campuran, Nova Widianto dan Tontowi Ahmad, juga Vita Marissa untuk ganda putri,
Liliyana adalah legenda hidup yang telah mencicipi nyaris seluruh gelar individual
prestisius yang tersedia di muka bumi: medali emas Olimpiade Rio 2016, juara
dunia 2005, 2007, dan 2013, juara BWF Masters 2006, tiga All England periode
2012-2014, juara Asia 2006 dan 2015, serta medali emas Sea Games dalam periode
2005-2011.
Liliyana semasa masih berpasangan dengan Nova Widianto. |
Dengan semua gelar itu, kesan merinding sebagaimana yang ditunjukkan muda-mudi di media sosial ketika Liliyana bersama Tontowi meledakkan gunung merapi karirnya dengan medali emas Olimpiade Rio 2016, bukanlah sesuatu yang berlebihan. Dalam konteks Indonesia, sekali lagi, sekeping medali emas bernilai setara dengan perasaan sebuah bangsa.
Jika Anda adalah seorang Indonesia, Anda tak
bisa melihat apa-apa pada pembuktian internasional selain dalam bulutangkis.
Secara kebetulan, Liliyana tampil pada hari Kemerdekaan 17 Agustus setelah
Indonesia harus menunggu delapan tahun sejak Markis Kido dan Hendra Setiawan
terakhir kali mempersembahkan keping emas kegembiraan pada Olimpiade Beijing
2008. Mereka menyebut pencapaian ini sebagai “kado di hari kemerdekaan.”
Sebagai
negara dengan penduduk berjumlah 260.581 juta jiwa dalam perhitungan sampai
Juli 2016, sekeping medali emas dalam satu Olimpiade terlalu tidak sebanding.
Jumlah penduduk membuat Indonesia berada di posisi keempat dunia setelah Cina
(1,38 miliar), India (1,33 miliar), dan Amerika Serikat (324,43 juta). Di
Olimpiade 2016, medali emas bulutangkis ganda campuran menempatkan Indonesia di
peringkat ke-46. Meski demikian, setidaknya lebih baik dari India yang berada
di peringkat ke-67 dengan satu perak dan satu perunggu. Juga, setidaknya,
Indonesia membawahi 159 negara lain dari total 205 negara yang berpartisipasi.
Dan sejauh ini, bulutangkis adalah
satu-satunya harga diri Indonesia di Olimpiade. Dan karena Liliyana juga Tontowi
memenangi medali emas Olimpiade paling segar di cabang bulutangkis, itu pula
yang menyebabkan saya tidak merasa deg-degan atas pencapaian terbaik 2016.
Mayoritas mereka yang banyak bereaksi di
media sosial, baik yang merinding atau cemburu, atas kemenangan Liliyana dan
Tontowi, barangkali belum pernah mengalami perasaan superioritas bulutangkis.
Lilyana-Tontowi terlalu unggul di Rio. Mereka sepertinya terlalu siap untuk
beban ini. Enam pertandingan sejak fase grup mereka selesaikan dengan straight set. Medali emas Olimpiade Rio
menawarkan sensasi tidak pada jalannya pertandingan, namun pada saat diputarnya
lagu kebangsaan Indonesia Raya ketika bendera merah putih dikibarkan dalam
seremoni penyerahan medali. Jalannya pertandingan sama sekali tak seimbang, itu
bisa dilihat dari skor akhir 21-14 dan 21-12.
Di final nomor ganda putra Olimpiade Atalanta
1996, pertandingan Ricky Subagja dan Rexy Mainaki versus pasangan asal
Malaysia, Cheah Soon Kit dan Yap Kim Hock, jauh lebih menegangkan dalam
pertarungan tiga set. Walaupun akhirnya Ricky dan Rexy menang juga.
![]() |
Ricky Subagja dan Rexy Mainaki dalam penyerahan medali usai mengalahkan pasangan Malaysia, Cheah Soon Kit dan Yap Kim Hock (kiri), dalam final nomor ganda putra Olimpiade Atalanta 1996. |
Atau, dalam final Piala Uber 1994, ketika bocah berusia 14 tahun yang kelak memilih menjadi warga negara Belanda, Mia Audina, menaklukkan pemenang medali emas tunggal putri Olimpiade Athena 2004 dan Beijing 2008 asal China, Zhang Ning, dalam pertarungan tiga set yang disempurnakan dengan kemenangan tim Piala Thomas Indonesia sehari setelahnya.
Di tahun 1994, saya adalah bocah berusia
sepuluh tahun yang larut dalam hiruk-pikuk dalam rumah ketika tetangga dan
saudara datang ke rumah nenek saya hanya untuk menonton final bulu tangkis.
Jauh sebelum orang-orang menggunakan istilah “nobar” sebagai singkatan “nonton bareng”
pertandingan sepakbola, bulu tangkis sudah mendapatkannya.
Lebih jauh lagi, saya adalah bocah delapan
tahun yang tinggal di sebuah kota kecil di Sumatera ketika dalam ingatan samar
saya melihat Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma diwawancarai secara khusus di
TVRI setelah mempersembahkan medali emas pertama Indonesia di Olimpiade
Barcelona 1992. Sejak menyadari bulutangkis sebagai tontonan pada kegemilangan
Piala Thomas-Uber 1994, sejak itu pula saya memiliki perasaan “tak ada negara
yang lebih hebat dari Indonesia di bumi ini untuk urusan bulutangkis."
![]() |
Mia Audina (paling kiri) bersama legenda Korea Selatan, Bang Soo Hyun, yang mengalahkannya di final tunggal putri Olimpiade Atalanta 1996, juga Susi Susanti yang meraih perunggu. |
Sebagai seorang anak, superioritas bulutangkis itu juga saya rasakan ketika sebuah majalah anak-anak paling populer menerbitkan edisi khusus di mana di dalamnya ada komik yang menceritakan perjalanan Mia Audina sebelum menjadi pahlawan di Piala Uber 1994.
Sejak 1994, Indonesia merebut lima Piala
Thomas beruntun sebelum dihentikan Cina yang membalasnya dengan jumlah sama
dalam periode 2004-2012. Di Piala Uber, kenangan tentang Mia Audina berhenti
setelah Cina mengalahkan Indonesia dalam usaha mencetak hattrick pada final 1998 di Hongkong. Bulutangkis pada periode
1994-1996, telah memberikan perasaan superioritas kepada seorang anak layaknya
seorang bocah Brasil terhadap sepakbola.
Jadi, apa yang harus dikesankan dalam
keberhasilan Liliyana dan Tontowi dua puluh tahun kemudian? Dengan pengalaman
superioritas yang telah menjadi nostalgik akibat ditenggelamkan Cina setelah
Piala Uber 1998 dan Piala Thomas 2004, saya tidak terlalu berharap banyak pada
bulutangkis hari ini. Bukan dalam pengertian bahwa kemenangan Lilyana dan Tontowi
tidak setara dengan kegemilangan masa lalu, namun ini soal “perasaan superior”
sebagai bangsa.
Liliyana adalah mata air kecil dalam
kegersangan perasaan superior yang pernah ada itu. Di hadapan Indonesia kini,
Cina adalah raja bulutangkis, lawan abadi yang dulu pernah dianggap berada di
bawah bayang-bayang kebesarannya.
Anak-anak yang merasa merinding melihat
Liliyana dan Tontowi mengangkat tangannya untuk menghormati bendera merah putih
di Riocentro tepat pada 17 Agustus 2016, adalah produk kegersangan perasaan
superior itu. Sejarah mengabarkan kepada mereka suatu masa penuh kebesaran yang
belum mereka sadari karena ketika itu boleh jadi usia mereka belum cukup untuk
memahami mengapa bulutangkis bisa membuat mereka merinding.
Ekspresi Liliyana Natsir dan Tontowi Ahmad setelah memenangi medali emas nomor ganda campuran bulu tangkis Olimpiade Rio, Brasil, 2016. Foto ini dimuat di akun pribadi Instragam Tontowi Ahmad. |
Sebagai seorang pribadi, saya tidak gegap-gempita dengan medali emas Olimpiade Liliyana dan Tontowi. Bukan dalam pengertian tidak menghargai, namun untuk mempertahankan perasaan bahwa sekeping emas tanpa Piala Thomas dan Uber lebih dari satu dekade bukanlah sejarah yang layak untuk Indonesia.
Justru, dalam situasi ini, Lilyana adalah
legenda. Dia berhak untuk menunjukkan bahwa Air Asia menghargainya dengan
status “seumur hidup” dalam kartu anggota pelanggan maskapai penerbangan asal
Malaysia itu. Para pembenci tidak akan memahami betapa sulitnya mempertahankan
ingatan tentang sejarah besar dalam ketandusan. Tanyalah Liliyana: apa yang ada
di pikirannya ketika dia meninggalkan rumah dan orang tuanya di Manado untuk
hijrah ke Jakarta dan bergabung dengan klub Tangkas Alfamart di usia 12 tahun
hanya untuk menjadi seorang legenda bulutangkis?
Jakarta, 9 September 2016