The Dobbie Brothers |
Pendapatan tiket masuk Rock and Roll Hall of Fame
di Cleveland meningkat pada pekan ini. Sepertinya karena pengunjung Konvensi
Nasional Republikan boleh mengunjungi secara gratis pameran “Louder Than Words: Rock, Power, and Politics”
yang menyewa-penuh lantai paling atas area ini. Hal ini tampak seperti sebuah
ide bagus. Selama beberapa dekade, kampanye Republikan menyalahartikan,
seringkali secara riuh, ideologi musik rock paling penting dan berpengaruh,
yang dibuktikan dengan pengelakan tanpa akhir mereka terhadap disiplin pembangkangan
dan pembantahan dari musisi yang tidak ingin teriakan pemberontakan mereka
diasosiasikan, bahkan meski untuk sementara, dengan agenda-agenda konservatif.
Kadang saya membayangkan ada satu gelak-terkekeh dari seorang DJ gondrong yang bertanggung jawab atas pemogokan kekacaubalauan musik: dia muncul dari belakang panggung, menghisap toke untuk kesehatan, cekikikan, dan memberi isyarat untuk “Born in the USA” untuk Ronald Reagan atau “This Land Is My Land” untuk George HW Bush. Tahun ini, “Dream On” milik Aerosmith, sebuah lagu berat yang menspiral tentang kematian, pada akhirnya mengharuskan Donald Trump berhenti menggunakannya setelah sang band memprotes berulangkali. (“Sekalipun saya memiliki hak resmi untuk menggunakan lagu Steven Tyler, dia meminta saya untuk tidak melakukannya,” tulis Trump di akun Twitter-nya. “(Lagu) ini menjadi lebih baik di ajang ini! Steven Tyler mendapatkan publisitas lebih atas permintaan lagunya ketimbang yang didapatkannya dalam sepuluh tahun terakhir. Hal yang baik untuknya!)
Dari sekian banyak hal saya menemukan pembingungan tentang mekanisme internal Partai Republik, yang ditegaskan dengan menyebarkan anthem-anthem kontrakultur rock sebagai soundtrack kampanyenya—bahkan kini, setelah sekian banyak gugatan—barangkali adalah yang paling membingungkan saya. Tapi saya menduga di sana ada sebuah kebenaran yang terbentang: dalam konteks tertentu, ini bukan soal apakah ada celah yang tampak antara apa yang benar-benar dimaksudkan dan apa yang diinginkan oleh seseorang tentang bagaimana itu dimaksudkan. Persoalannya adalah hal itu terdengar cool.
Tahun ini, Konvensi Republikan melangkah jauh dengan menggabungkan separo dari body gitar listrik dalam logo resmi mereka. Namun, seperti seekor anak anjing yang dengan tidak sabar membuntuti seseorang yang lewat tanpa rasa ketertarikan, cinta terhadap musik rock yang aneh dari Partai Republik hampir seluruhnya tak berbalas. Pada Senin malam, ketika memperkenalkan istrinya, Trump melangkah ke panggung dengan “We Are The Champions” milik Queen. Akun Twitter resmi Queen dengan segera mengeluarkan respon (“Penggunaan tanpa meminta izin di Konvensi Republikan bertentangan dengan kehendak kami – Queen”).
Menjadi masuk akal bahwa nenek moyang dari sebuah genre yang diasosiasikan dengan pembangkangan dan penentangan merasa dongkol dengan pasangan-pasangannya ini. Ketika berkeliaran di Rock Hall pada Selasa pagi, saya menemukan sejumlah ironi yang nyaris terlalu gawat untuk dicatat: sejumlah baliho bertuliskan “Musik Menentang Pembatasan” mengecam hambatan-hambatan saat ini. Satu kelompok delegasi mandat (Partai Republik) berkerumun di depan potret hitam-putih Janis Joplin (lagu “Mercedes Benz”-nya, sebuah lagu rock-folk tentang kesepian dari tahun 1970, meratapi konsumerisme yang merajalela) sementara lagu Missy Elliot, “Get Ur Freak On” (sebuah penghormatan, dari 2001, tentang bentuk kebebasan seks) dimainkan melalui pengeras suara. Para pengunjung bisa menuangkan bercangkir-cangkir kopi gratis dari sebuah jambang berwarna perak yang ditempatkan langsung di bawah sosis sepanjang 15 kaki berwarna baja dan berbusa yang menguasai asap ganja dari band jamming, Phish. Toko hadiah menjual cenderamata dengan brand Konvensi Partai Nasional di samping singlet bertuliskan judul lagu AC/DC, “Money Talks.” Suatu rangkaian keramahtamahan ditempatkan di belakang sebuah replika besar dinding bata dari sampul album Pink Floyd, “The Wall”, sebuah album konsep dari tahun 1979 tentang isolasi dan penyalahgunaan. Seorang lelaki mengenakan setelan dan seikat tali yang kusut memanjat sebuah tangga melingkar dengan lirik “We’re Not Gonna Take It” yang tertera di dinding.
Di sana, tentu saja, ada sejumlah pengecualian—band-band country yang bersandar pada rock yang sesuai dengan idealisme Republikan, atau setidaknya tak menunjukkan cemooh terhadap mereka: Rascal Flatts, Big & Rich, Lynyrd Skynyrd, dan Kid Rock, dijadwalkan tampil pekan ini. The Doobie Brothers tampil pada pembukaan pesta pada Minggu malam. “Saya berada di konser Doobie Brothers yang aneh atau semacam omong-kosong,” ujar seorang rekan reporter yang mengirimkan saya pesan malam itu. “Atau Three Dog Night, mungkin, saya tak tahu.” Ia lalu mengirimkan gambar program acara tersebut, yang menulis “Headliner” di mana nama band yang menjadi headline seharusnya pergi dari sana. Ketika saya berjalan-jalan melalui Rock Hall, saya bertanya pada seorang penjaga keamanan tentang band yang sedang bersiap di dekat panggung tak jauh dari pintu masuk. Dia mengatakan pada saya mereka adalah Radio, house band AT & T (pensponsoran oleh AT & T mengizinkan gratis tiket masuk). “Namun, Third Eye Blind akan bermain malam ini,” katanya.
“O, ya?” tanya saya.
“Acara pribadi,” ujarnya. Wajahnya menyiratkan permintaan maaf. Esok paginya, saya menemukan vokalis band ini, Stephan Jenkins, sedang berusaha mengusik kerumunan Republikan dengan meneriakkan, “angkat tanganmu jika kau percaya pada ilmu pengetahuan!,” dan kemudian daftar lagu yang akan dibawakan dikurangi secara drastis dan tak ada satu pun yang merupakan lagu hit. Ketika sifat pemarahnya menuai ejekan, dia menjawab, “Anda boleh mengeluarkan semua ejekan yang Anda inginkan, tapi saya adalah motherfucking artist di sini.”
Di luar arena, sekelompok musisi jalanan sedang mendirikan kios, tapi, lebih tampak seperti sejumlah lelaki dan perempuan sedang mendorong keranjang bermuatkan cenderamata pro-Trump, gejolak yang tampak adalah mata-duitan ketimbang kebenaran; pengeras suara publik mereka bertarung dengan lolongan para pendeta jalanan. Saya mengkarakterisasi hasil keributan ini dengan (kebisingan) sebuah cakram-gergaji.
Saya menemukan sebuah kalimat yang terdengar menarik, sungguh. Sebuah boy band dari Columbus, Ohio, dengan sebuah nama GOP yang bersahabat dan luar biasa: Liberty Deep Down. Tak seperti koreografi rapi boy band di akhir 1990-an atau awal 2000-an (Backstreet Boys-mu, ‘N Syncs-mu), Liberty Deep Down mengambil aksinya dari sejumlah pengulangan terakhir (5 Seconds of Summers-mu)—dan yang harus disebutkan, setiap anggotanya memainkan satu instrumen, dan mereka tidak menampilkan tarian rutin yang sudah tersinkronisasi. Saya melakukan sedikit korespondensi dengan band ini melalui Facebook, mencoba untuk mendapatkan pembacaan tentang politik mereka. Tak seperti cabang rock dan R&B lainnya, boy band ini sehat dalam sejarahnya—berpura-pura malu secara hati-hati tentang seks—bahwa mereka tampak seperti tidak membayangkan pengulangan bentuk sayap kanan yang memungkinkan. Mereka bilang mereka lebih ke Maroon 5 dan 1975. “Sampai November kami belum memutuskan partai politik mana yang akan kami pilih,” jawab sang pemain drum, Noah Bouhadana. Saya bertanya apakah mereka sebelumnya memilih Republikan, atau apakah nama band mereka mengkhianati sesuatu hal tertentu. Dia membubuhkan emotikon senyum di akhir kalimatnya.
Tak seperti Third Eye Blind, mereka tampak
bersemangat berada di sini. “Menggairahkan bermain di Cleveland! Sudah lama
sekali! Kami tak pernah bermain di acara politik sebelumnya tapi kami tertarik
untuk menemukan apa yang kami inginkan. Kami berharap ini bisa menjadi
kegembiraan, seperti semua pertunjukan yang sudah kami mainkan,” tulis
Bouhadana.
Kelompok ini sudah dipesan untuk tampil selama dua malam beruntun di museum Grays Armory, satu dari beberapa gedung tertua yang masih berdiri di tengah kota Cleveland; dibangun oleh Cleveland Grays, sebuah perusahaan militer swasta, pada 1893. Pekan ini, Armory diubah menjadi markas sementara Republican Party of Cuyahoga County, dan dilabel-ulang sebagai “Republican Party Central.” Saya masih bingung apakah istilah “party” ini diartikan dalam kesadaran yang terbelah dan lebih tradisional, atau barangkali lebih riang, seperti “lets party!”
Beberapa jam sebelum pertunjukan, sambil berbaring di kamar motel, saya menonton sebuah video promosi singkat di situs mereka—menyebut-nyebut keberagaman, menjelaskan bagaimana “jalan menuju Gedung Putih dilakukan melalui Cleveland,” dan pengkonseptualisasikan ulang GOP sebagai “Growth and Opportunity Party.” Saya sangat tidak mampu memahami estetika musik yang menyertainya—yang membangunkan!—tidak juga dari line-up yang tersisa pekan ini, di mana termasuk di dalamnya pendukung southern-rock, Marshall Tucker Band, pianis dewasa kontemporer dan pembawa acara radio Jim Brickman, dan beberapa macam kandang yang hanya digambarkan sebagai “American Idol vs The Voice.”
Saya memancing seorang rekan sesama reporter—seorang lelaki berusia tiga puluh tahun—menemani saya ke pertunjukan, berusaha agar tidak terlihat oleh anggota Partai bahwa saya berkeliaran mencari anak muda; di New York sebelumnya, ketika saya memesan tiket online (50 dollar selembar), saya diminta memasukkan data kelahiran dan nomor lisensi setiap supir kami. Saya meminta supir kami agar mengirimkan info dirinya ke saya. Dia sangat skeptis. “Lu serius, Bro???” tanyanya. Lalu, “Jesus Christ.” Lalu, “Bisa-bisanya lu ngledek gue.” Dia bisa jadi benar dengan mempertanyakan motif saya. Pada akhirnya, ia menyetujui tanpa bantahan.
Ketika kami sampai, kami menyerahkan tali gantungan plakat-plakat plastik dan berjanji untuk tidak akan pernah mengambilnya. Kami mengosongi saku, merayap melalui detektor metal, dan mendapatkan semua hal tentang kehadiran kami yang ekstrem. Di dalam, seorang lelaki muda menyanyikan lagu kebangsaan di depan satu kelompok kecil kerumunan yang berdesak-desakan. Kepulan asap membubung keluar panggung. Sebuah jaring dengan balon berwarna merah, putih, dan biru, tergantung dari langit-langit, menanti perayaan. Setelah lelaki muda itu menyelesaikan penampilannya—dan sangat mengesankan—dua layar lebar televisi di kedua sisi panggung mulai menayangkan ikrar para delegasi secara langsung. Ketika Trump secara resmi menjadi nominasi (dari Partai Republik), dan “New York, New York” mulai bermain di arena, muncul sejumlah keluhan kenikmatan di kerumunan.
Kami tiba lebih awal. Kami punya beberapa jam untuk membunuh sebelum Liberty Deep Down dijadwalkan bermain. Di luar ada dua truk makanan terparkir yang disebut Manna Truck (“Mereka akan datang menuju airmu...semua yang haus dan lapar, akan dinafkahi di meja surgawi KerajaanNya!”), dan beberapa meja piknik, dan, secara misterius, sebuah iklan lebar Mace menampilkan dua anak di atas sepeda (“Keselamatan dan keamanan adalah tujuan #1 kami dan apa yang membuat kami membuat produk-produk adalah untuk melindungi dan memberikan Anda kekuatan”). Kata kunci Wi-Fi adalah “republican.” Ketika saya tidak menemukan kamar mandi wanita di dalam Armory—meski ada sebuah ruangan terkemuka untuk pria—saya diarahkan ke salah satu gerobak gandeng toilet di dekat gedung. Sebuah howitzer antik (sebuah kanon seperti artileri) ditempatkan di dekat meja di mana para penggembira bisa membeli karcis minum. Kami membeli beberapa karcis minum.
Sekitar pukul 10.30 malam, band (Liberty Deep Down) naik ke atas panggung mengenakan blazer dan skinny jean. “Cleveland, betapa kami merasakan malam ini? Ayo biarkan pesta tetap berputar!” teriak sang vokalis, Dom Frissora. Ruangan itu besar, dan mungkin ada 60 orang di dalamnya, namun bocah-bocah ini benar-benar profesional. Frissora berjingkrakan dan menyentuhkan jarinya ke rambutnya yang indah dan melepas blazer-nya dan menyeret tiang mikrofon berkeliling panggung dan melakukan gerakan itu saat orang-orang menjatuhkan tangannya dan mengayunkan kepala mereka ke belakang di saat bersamaan. Ada solo drum. Ada sejumlah lagu cover: “Sorry” dan “As Long As You Love Me”-nya Justin Bieber, “Larger Than Life”-nya Backstreet Boys, dan “Burnin’ Up”-nya Jonas Brother. Liberty Deep Down tak ada lelahnya..
“Cover-cover ini membius!” teriak rekan saya sambil menyeruput wiskinya. Kami berdiri tak nyaman di dekat panggung.
Tentu saja, boy band, yang dimulai oleh Jackson 5 dan Monkees, selalu menyanyikan lagu-lagu manis tentang mendapatkan gadis, tidak lebih. Ada kesungguhan untuk menciptakan kekaguman semacam itu; kata-kata yang terlintas jarang yang berbicara, dan sebagian besar ketidaksepakatan diselesaikan dengan malu-malu, seringai gigi putih, selalu terpancar dengan tipu daya. Ini bukan sebuah perkiraan tentang realitas melalui sembarang penggambaran, tapi ini bisa menjadi semacam penawar terhadapnya, atau setidaknya semacam balsem: di sini, tersuling, adalah beberapa jenis bentuk perikemanusiaan. Di sini kami tak berdosa. Malam kemarin, (musik) itu terdengar sempurna.
Artikel ini ditulis oleh Amanda Petrusich dengan judul asli "The Republican Party's Unrequited Love of Rock Music" yang dimuat di situs The New Yorker pada 20 Juli 2016.
Kadang saya membayangkan ada satu gelak-terkekeh dari seorang DJ gondrong yang bertanggung jawab atas pemogokan kekacaubalauan musik: dia muncul dari belakang panggung, menghisap toke untuk kesehatan, cekikikan, dan memberi isyarat untuk “Born in the USA” untuk Ronald Reagan atau “This Land Is My Land” untuk George HW Bush. Tahun ini, “Dream On” milik Aerosmith, sebuah lagu berat yang menspiral tentang kematian, pada akhirnya mengharuskan Donald Trump berhenti menggunakannya setelah sang band memprotes berulangkali. (“Sekalipun saya memiliki hak resmi untuk menggunakan lagu Steven Tyler, dia meminta saya untuk tidak melakukannya,” tulis Trump di akun Twitter-nya. “(Lagu) ini menjadi lebih baik di ajang ini! Steven Tyler mendapatkan publisitas lebih atas permintaan lagunya ketimbang yang didapatkannya dalam sepuluh tahun terakhir. Hal yang baik untuknya!)
Dari sekian banyak hal saya menemukan pembingungan tentang mekanisme internal Partai Republik, yang ditegaskan dengan menyebarkan anthem-anthem kontrakultur rock sebagai soundtrack kampanyenya—bahkan kini, setelah sekian banyak gugatan—barangkali adalah yang paling membingungkan saya. Tapi saya menduga di sana ada sebuah kebenaran yang terbentang: dalam konteks tertentu, ini bukan soal apakah ada celah yang tampak antara apa yang benar-benar dimaksudkan dan apa yang diinginkan oleh seseorang tentang bagaimana itu dimaksudkan. Persoalannya adalah hal itu terdengar cool.
Tahun ini, Konvensi Republikan melangkah jauh dengan menggabungkan separo dari body gitar listrik dalam logo resmi mereka. Namun, seperti seekor anak anjing yang dengan tidak sabar membuntuti seseorang yang lewat tanpa rasa ketertarikan, cinta terhadap musik rock yang aneh dari Partai Republik hampir seluruhnya tak berbalas. Pada Senin malam, ketika memperkenalkan istrinya, Trump melangkah ke panggung dengan “We Are The Champions” milik Queen. Akun Twitter resmi Queen dengan segera mengeluarkan respon (“Penggunaan tanpa meminta izin di Konvensi Republikan bertentangan dengan kehendak kami – Queen”).
Menjadi masuk akal bahwa nenek moyang dari sebuah genre yang diasosiasikan dengan pembangkangan dan penentangan merasa dongkol dengan pasangan-pasangannya ini. Ketika berkeliaran di Rock Hall pada Selasa pagi, saya menemukan sejumlah ironi yang nyaris terlalu gawat untuk dicatat: sejumlah baliho bertuliskan “Musik Menentang Pembatasan” mengecam hambatan-hambatan saat ini. Satu kelompok delegasi mandat (Partai Republik) berkerumun di depan potret hitam-putih Janis Joplin (lagu “Mercedes Benz”-nya, sebuah lagu rock-folk tentang kesepian dari tahun 1970, meratapi konsumerisme yang merajalela) sementara lagu Missy Elliot, “Get Ur Freak On” (sebuah penghormatan, dari 2001, tentang bentuk kebebasan seks) dimainkan melalui pengeras suara. Para pengunjung bisa menuangkan bercangkir-cangkir kopi gratis dari sebuah jambang berwarna perak yang ditempatkan langsung di bawah sosis sepanjang 15 kaki berwarna baja dan berbusa yang menguasai asap ganja dari band jamming, Phish. Toko hadiah menjual cenderamata dengan brand Konvensi Partai Nasional di samping singlet bertuliskan judul lagu AC/DC, “Money Talks.” Suatu rangkaian keramahtamahan ditempatkan di belakang sebuah replika besar dinding bata dari sampul album Pink Floyd, “The Wall”, sebuah album konsep dari tahun 1979 tentang isolasi dan penyalahgunaan. Seorang lelaki mengenakan setelan dan seikat tali yang kusut memanjat sebuah tangga melingkar dengan lirik “We’re Not Gonna Take It” yang tertera di dinding.
Di sana, tentu saja, ada sejumlah pengecualian—band-band country yang bersandar pada rock yang sesuai dengan idealisme Republikan, atau setidaknya tak menunjukkan cemooh terhadap mereka: Rascal Flatts, Big & Rich, Lynyrd Skynyrd, dan Kid Rock, dijadwalkan tampil pekan ini. The Doobie Brothers tampil pada pembukaan pesta pada Minggu malam. “Saya berada di konser Doobie Brothers yang aneh atau semacam omong-kosong,” ujar seorang rekan reporter yang mengirimkan saya pesan malam itu. “Atau Three Dog Night, mungkin, saya tak tahu.” Ia lalu mengirimkan gambar program acara tersebut, yang menulis “Headliner” di mana nama band yang menjadi headline seharusnya pergi dari sana. Ketika saya berjalan-jalan melalui Rock Hall, saya bertanya pada seorang penjaga keamanan tentang band yang sedang bersiap di dekat panggung tak jauh dari pintu masuk. Dia mengatakan pada saya mereka adalah Radio, house band AT & T (pensponsoran oleh AT & T mengizinkan gratis tiket masuk). “Namun, Third Eye Blind akan bermain malam ini,” katanya.
“O, ya?” tanya saya.
“Acara pribadi,” ujarnya. Wajahnya menyiratkan permintaan maaf. Esok paginya, saya menemukan vokalis band ini, Stephan Jenkins, sedang berusaha mengusik kerumunan Republikan dengan meneriakkan, “angkat tanganmu jika kau percaya pada ilmu pengetahuan!,” dan kemudian daftar lagu yang akan dibawakan dikurangi secara drastis dan tak ada satu pun yang merupakan lagu hit. Ketika sifat pemarahnya menuai ejekan, dia menjawab, “Anda boleh mengeluarkan semua ejekan yang Anda inginkan, tapi saya adalah motherfucking artist di sini.”
Di luar arena, sekelompok musisi jalanan sedang mendirikan kios, tapi, lebih tampak seperti sejumlah lelaki dan perempuan sedang mendorong keranjang bermuatkan cenderamata pro-Trump, gejolak yang tampak adalah mata-duitan ketimbang kebenaran; pengeras suara publik mereka bertarung dengan lolongan para pendeta jalanan. Saya mengkarakterisasi hasil keributan ini dengan (kebisingan) sebuah cakram-gergaji.
Saya menemukan sebuah kalimat yang terdengar menarik, sungguh. Sebuah boy band dari Columbus, Ohio, dengan sebuah nama GOP yang bersahabat dan luar biasa: Liberty Deep Down. Tak seperti koreografi rapi boy band di akhir 1990-an atau awal 2000-an (Backstreet Boys-mu, ‘N Syncs-mu), Liberty Deep Down mengambil aksinya dari sejumlah pengulangan terakhir (5 Seconds of Summers-mu)—dan yang harus disebutkan, setiap anggotanya memainkan satu instrumen, dan mereka tidak menampilkan tarian rutin yang sudah tersinkronisasi. Saya melakukan sedikit korespondensi dengan band ini melalui Facebook, mencoba untuk mendapatkan pembacaan tentang politik mereka. Tak seperti cabang rock dan R&B lainnya, boy band ini sehat dalam sejarahnya—berpura-pura malu secara hati-hati tentang seks—bahwa mereka tampak seperti tidak membayangkan pengulangan bentuk sayap kanan yang memungkinkan. Mereka bilang mereka lebih ke Maroon 5 dan 1975. “Sampai November kami belum memutuskan partai politik mana yang akan kami pilih,” jawab sang pemain drum, Noah Bouhadana. Saya bertanya apakah mereka sebelumnya memilih Republikan, atau apakah nama band mereka mengkhianati sesuatu hal tertentu. Dia membubuhkan emotikon senyum di akhir kalimatnya.
The Liberty Deep Down |
Kelompok ini sudah dipesan untuk tampil selama dua malam beruntun di museum Grays Armory, satu dari beberapa gedung tertua yang masih berdiri di tengah kota Cleveland; dibangun oleh Cleveland Grays, sebuah perusahaan militer swasta, pada 1893. Pekan ini, Armory diubah menjadi markas sementara Republican Party of Cuyahoga County, dan dilabel-ulang sebagai “Republican Party Central.” Saya masih bingung apakah istilah “party” ini diartikan dalam kesadaran yang terbelah dan lebih tradisional, atau barangkali lebih riang, seperti “lets party!”
Beberapa jam sebelum pertunjukan, sambil berbaring di kamar motel, saya menonton sebuah video promosi singkat di situs mereka—menyebut-nyebut keberagaman, menjelaskan bagaimana “jalan menuju Gedung Putih dilakukan melalui Cleveland,” dan pengkonseptualisasikan ulang GOP sebagai “Growth and Opportunity Party.” Saya sangat tidak mampu memahami estetika musik yang menyertainya—yang membangunkan!—tidak juga dari line-up yang tersisa pekan ini, di mana termasuk di dalamnya pendukung southern-rock, Marshall Tucker Band, pianis dewasa kontemporer dan pembawa acara radio Jim Brickman, dan beberapa macam kandang yang hanya digambarkan sebagai “American Idol vs The Voice.”
Saya memancing seorang rekan sesama reporter—seorang lelaki berusia tiga puluh tahun—menemani saya ke pertunjukan, berusaha agar tidak terlihat oleh anggota Partai bahwa saya berkeliaran mencari anak muda; di New York sebelumnya, ketika saya memesan tiket online (50 dollar selembar), saya diminta memasukkan data kelahiran dan nomor lisensi setiap supir kami. Saya meminta supir kami agar mengirimkan info dirinya ke saya. Dia sangat skeptis. “Lu serius, Bro???” tanyanya. Lalu, “Jesus Christ.” Lalu, “Bisa-bisanya lu ngledek gue.” Dia bisa jadi benar dengan mempertanyakan motif saya. Pada akhirnya, ia menyetujui tanpa bantahan.
Ketika kami sampai, kami menyerahkan tali gantungan plakat-plakat plastik dan berjanji untuk tidak akan pernah mengambilnya. Kami mengosongi saku, merayap melalui detektor metal, dan mendapatkan semua hal tentang kehadiran kami yang ekstrem. Di dalam, seorang lelaki muda menyanyikan lagu kebangsaan di depan satu kelompok kecil kerumunan yang berdesak-desakan. Kepulan asap membubung keluar panggung. Sebuah jaring dengan balon berwarna merah, putih, dan biru, tergantung dari langit-langit, menanti perayaan. Setelah lelaki muda itu menyelesaikan penampilannya—dan sangat mengesankan—dua layar lebar televisi di kedua sisi panggung mulai menayangkan ikrar para delegasi secara langsung. Ketika Trump secara resmi menjadi nominasi (dari Partai Republik), dan “New York, New York” mulai bermain di arena, muncul sejumlah keluhan kenikmatan di kerumunan.
Kami tiba lebih awal. Kami punya beberapa jam untuk membunuh sebelum Liberty Deep Down dijadwalkan bermain. Di luar ada dua truk makanan terparkir yang disebut Manna Truck (“Mereka akan datang menuju airmu...semua yang haus dan lapar, akan dinafkahi di meja surgawi KerajaanNya!”), dan beberapa meja piknik, dan, secara misterius, sebuah iklan lebar Mace menampilkan dua anak di atas sepeda (“Keselamatan dan keamanan adalah tujuan #1 kami dan apa yang membuat kami membuat produk-produk adalah untuk melindungi dan memberikan Anda kekuatan”). Kata kunci Wi-Fi adalah “republican.” Ketika saya tidak menemukan kamar mandi wanita di dalam Armory—meski ada sebuah ruangan terkemuka untuk pria—saya diarahkan ke salah satu gerobak gandeng toilet di dekat gedung. Sebuah howitzer antik (sebuah kanon seperti artileri) ditempatkan di dekat meja di mana para penggembira bisa membeli karcis minum. Kami membeli beberapa karcis minum.
Sekitar pukul 10.30 malam, band (Liberty Deep Down) naik ke atas panggung mengenakan blazer dan skinny jean. “Cleveland, betapa kami merasakan malam ini? Ayo biarkan pesta tetap berputar!” teriak sang vokalis, Dom Frissora. Ruangan itu besar, dan mungkin ada 60 orang di dalamnya, namun bocah-bocah ini benar-benar profesional. Frissora berjingkrakan dan menyentuhkan jarinya ke rambutnya yang indah dan melepas blazer-nya dan menyeret tiang mikrofon berkeliling panggung dan melakukan gerakan itu saat orang-orang menjatuhkan tangannya dan mengayunkan kepala mereka ke belakang di saat bersamaan. Ada solo drum. Ada sejumlah lagu cover: “Sorry” dan “As Long As You Love Me”-nya Justin Bieber, “Larger Than Life”-nya Backstreet Boys, dan “Burnin’ Up”-nya Jonas Brother. Liberty Deep Down tak ada lelahnya..
“Cover-cover ini membius!” teriak rekan saya sambil menyeruput wiskinya. Kami berdiri tak nyaman di dekat panggung.
Tentu saja, boy band, yang dimulai oleh Jackson 5 dan Monkees, selalu menyanyikan lagu-lagu manis tentang mendapatkan gadis, tidak lebih. Ada kesungguhan untuk menciptakan kekaguman semacam itu; kata-kata yang terlintas jarang yang berbicara, dan sebagian besar ketidaksepakatan diselesaikan dengan malu-malu, seringai gigi putih, selalu terpancar dengan tipu daya. Ini bukan sebuah perkiraan tentang realitas melalui sembarang penggambaran, tapi ini bisa menjadi semacam penawar terhadapnya, atau setidaknya semacam balsem: di sini, tersuling, adalah beberapa jenis bentuk perikemanusiaan. Di sini kami tak berdosa. Malam kemarin, (musik) itu terdengar sempurna.
Artikel ini ditulis oleh Amanda Petrusich dengan judul asli "The Republican Party's Unrequited Love of Rock Music" yang dimuat di situs The New Yorker pada 20 Juli 2016.