Wednesday, June 23, 2010

Yang Hidup dalam Mati, Kurt Cobain


Suatu hari, sekitar 9 April 1994, di pulau Kalimantan. Seorang kawan berangkat ke sekolahnya, sebuah Sekolah Menengah Atas. Seperti pagi yang biasa, ia berangkat bersama udara pagi yang berembun. Tak ada yang istimewa.

Sesaat setelah memasuki gerbang sekolah, ia mulai merasakan ada yang ganjil. Tiang bendera yang selalu tegak kokoh di tengah lapangan seakan menjadi layu. Tak ada suara-suara riuh-rendah remaja tanggung yang biasa membahana di kelas-kelas SMA. Saat dilihatnya kawan-kawannya, semua tampak lesu.

“Ada apa sih? Kok semua lesu?” Dia bertanya pada seorang kawannya.

“Kurt Cobain meninggal.”

Kawan saya langsung terkejut mendengar jawaban itu. Tanpa sadar, ia pun terbawa pada situasi muram yang baru ia sadari apa sebabnya.

Saya mendengar pengakuan kawan saya itu setelah dia berusia lewat 30 tahun, di Jakarta, tahun lalu. Menurut dia, kematian Kurt Cobain menyebabkan remaja seusianya kehilangan idola. “Generasi waktu itu seperti kehilangan orang yang diidolakan. Kami generasi yang kacau, dan Kurt Cobain menyuarakan itu,” kata dia.

***

Lake Washington, tak jauh dari Seattle, Washington, Amerika Serikat, 8 April 1994. Kabar itu datang dari Gary Smith, seorang tukang listrik dari Veca Electric. Gary menemukan jenazah di atap garasi rumah yang dikunjunginya. Dari Gary, dunia mengetahui seseorang yang berpengaruh terhadap generasinya telah mati. Gary menemukan Kurt Cobain, vokalis plus gitaris Nirvana-band yang digilai nyaris seluruh anak muda di dunia saat itu.

Dalam pengakuannya, Gary tak melihat tanda trauma atau depresi pada paras Cobain. Gary seperti melihat Cobain sedang tertidur dengan darah yang mengucur dari telinga. Berdasarkan hasil otopsi, diketahui Cobain meninggal 5 April 1994 dengan meledakkan peluru pistol di kepalanya.

Kita tahu, jarak antara Seattle dan Kalimantan itu ribuan mil. Kita tahu, bahasa dan adat orang Seattle berbeda dengan orang Kalimantan. Kita tahu, Seattle dan Kalimantan itu adalah hal yang jauh berbeda. Pertanyaannya? Mengapa kepergian Cobain bisa membuat muram anak-anak di SMA kawan saya di sebuah kota kecil Kalimantan? Mengapa Cobain yang jauh itu bisa begitu dekat dalam batin anak-anak di Kalimantan itu?

Lupakan dulu soal gaya berpakaian Kurt yang bersahaja, lupakan dulu soal liarnya dia di panggung, lupakan soal kharisma Kurt, lupakan segala soal yang berada di luar musiknya bersama Nirvana. Sebagaimana Chairil Anwar yang harus dinilai dari sajaknya ketimbang kehidupan pribadinya yang eksentrik, kita juga harus mencermati sekedar “musik” Kurt Cobain.

Masalahnya pula, menyelami musik Kurt Cobain dan mencoba menelisiknya lewat literatur umum yang mudah diperoleh di internet, tidak bisa tidak mengajak kita kembali pada masa lalunya. Saya mencoba memadatkan masa lalu Cobain. Mari simak:

Kurt Donald Cobain lahir dari keluarga kelas pekerja pada 20 Februari 1967 di Grays Harbor Hospital, Aberdeen, Washington. Ibunya, Wendy Elizabeth Fradenburg, adalah seorang pelayan keturunan Kuba, Spanyol, Irlandia, Jerman, dan Inggris. Sedangkan ayahnya, Donald Leland Cobain, adalah seorang mekanik otomotif keturunan Skotlandia, Irlandia, dan Prancis. Nenek moyang Kurt hijrah ke daratan Amerika dari County Tyrone, Irlandia Utara, pada 1875

Sejatinya, Kurt adalah bocah yang periang, bergairah, dan peduli. Bakat sebagai musisi besarnya tampak sejak usia delapan tahun. Ia juga senang menggambar tokoh-tokoh film seperti Aquaman, dan karakter ciptaan Walt Disney seperti Donald Bebek, Mickey Tikus, dan Pluto.

Guncangan pertama pada jiwanya terjadi pada usianya Sembilan tahun, saat ayah dan ibunya bercerai. Kurt berubah drastis: menjadi pembangkang dan suka menyendiri. Dalam sebuah wawancara pada 1993, Kurt menuturkan perasaannya saat itu:

“I remember feeling ashamed, for some reason. I was ashamed of my parents. I couldn't face some of my friends at school anymore, because I desperately wanted to have the classic, you know, typical family. Mother, father. I wanted that security, so I resented my parents for quite a few years because of that.”

Dari pengakuannya ini, tampaklah bahwa Kurt adalah orang yang emosional dan penuh perasaan. Kasus perceraian bukanlah hal baru di dunia ini, terlebih di negara seperti Amerika. Ada banyak anak-anak korban perceraian di dunia ini. Tetapi, Kurt tetaplah seorang bocah biasa yang membutuhkan orang tua. Ia membawa pengalamannya itu jauh ke dalam dasar jantungnya.

Dalam kesunyian masa kanaknya, Kurt bergaul dengan keluarga kristen yang alim, keluarga teman mainnya, Jesse Reed. Hidup di keluarga demikian, ia menjadi anak yang saleh. Agama, memainkan peranan penting dalam hidup Kurt, pun pada karyanya. Lagu “Lithium” dari album Nevermind disebut-sebut berkisah tentang keluarga Jesse yang religius.

Bahkan, nama “Nirvana” dicomot Kurt dari konsep Buddhisme. Kurt menggambarkan konsep nirvana sebagai “kemerdekaan dari rasa sakit, penderitaan, dan dunia luar.” Penggambaran ini sejalan dengan etika punk rock dan menjadi semacam ideologi.

Kajian pertama Kurt sebagai pemusik bisa dimulai dari sini. Dengan melihat sosok Kurt melalui apa dia tampil pada kita (televisi, internet, video, literatur), kita bisa mengetahui bahwa Kurt adalah sosok yang filosofis. Memang, setiap pemusik selalu punya semacam “asumsi kebijaksanaan” saat memberi nama band-nya, namun cara Kurt memilih nama Nirvana berikut menjelaskan konsep Nirvana menurut pikirannya itulah yang menunjukkannya sebagai seseorang yang khas.

Selain memilih secara filosofis, Kurt pandai memilih nama yang gampang didengar dan disebutkan. Nirvana hidup dalam agama Buddha. Nirvana adalah kata dalam bahasa sanskrit. Sanskrit adalah bahasa resmi di India. Dan menyebut Nir-Va-Na tidaklah sulit bagi orang Asia seperti Indonesia. Dengan demikian, dari cara memilih nama, Kurt cermat membuat nama band-nya akrab di telinga penduduk dunia.

Kembali ke kisah hidup Kurt. Setelah sempat hidup bersama ayah dan ibu tirinya, Kurt tinggal bersama ibunya mulai semester kedua pada tahun keduanya di SMA. Dua pekan setelah ujian kelulusan, Kurt dinyatakan tak lulus karena nilainya tak cukup. Kepada Kurt, ibunya memberi dua pilihan: cari pekerjaan atau pergi dari rumah.

Sepekan setelah itu, Kurt menemukan pakaian dan beberapa barang pribadinya terbungkus dalam sebuah kotak. Sejak itu, Kurt hidup menumpang dari rumah ke rumah temannya. Sesekali ia menyelinap ke lantai dasar rumah ibunya.

Dalam masa tuna wisma-nya, Kurt mengaku tinggal di bawah jembatan Sungai Wishkah. Basis Nirvana, Krist Novoselic, mengisahkan, “dia berada di sana, tapi anda tidak bisa hidup di pinggir sungai yang becek, dengan air yang kadang pasang kadang surut. Itu adalah revisionismenya (Kurt).” Pengalaman hidup di bawah jembatan kelak dibukukan Kurt dalam sebuah single di album Nevermind, “Something in the Way”.

Penghujung 1986, Kurt pindah ke sebuah apartemen setelah memperoleh penghasilan sebagai pekerja di Polynesian, sebuah resort pinggir pantai yang berjarak 20 mil dari Aberdeen. Selama masa ini, Kurt kerap mengunjungi Olympia, Washington, untuk menyaksikan konser rock. Selama kunjungannya ke Olympia, Kurt mengencani Tracy Marander, yang disebut-sebut sebagai “girl” dalam single dari album Bleach bertajuk “About A Girl.”

Lepas dari Marander, Kurt bertemu Tobi Vail, seorang pengurus punk zine dan gitaris sebuah band bernama Bikini Kill. Usai bertemu Vail, Kurt tergila-gila pada gadis itu. Vail kelak menjadi inspirasi dalam lirik “love, you so much it makes me sick,” dari lagu Aneurysm.

Bisa dibilang, Vail adalah salah satu perempuan terpenting dalam hidup Kurt Cobain. Bersama Vail, Cobain merasakan kenyamanan “keibuan”. Vail adalah intelektual yang dihormati sebagai pejuang jender dalam komunitas punk. Kurt dan Vail menghabiskan waktunya untuk mendiskusikan isu politik dan filsafat. Vail disebut-sebut sebagai inspirasi sebagian besar lirik pada album Nevermind.

Suatu kali, Vail sedang mendiskusikan tema seputar anarkisme dan punk rock bersama temannya Kathleen Hanna. Vail menyemprotkan cat semprot di tembok apartemennya. Semprotan itu membentuk kalimat yang berbunyi “Kurt Smells Like Teen Spirit”. Hanna berkelakar, tulisan itu berarti Kurt menyukai bau ketiak Vail. Sebab, Teen Spirit merupakan merek deodorant Vail.

Kurt peduli dengan tulisan itu dan menafsirkannya sebagai slogan yang memiliki makna revolusioner. Dari tulisan tembok yang disemprot Toby Vail itulah kini Nirvana sampai pada kita sebagai Smells Like Teen Spirit.

***

Saya sengaja tidak memperpanjang kisah hidup Kurt. Mengulang biografi Kurt hari ini adalah pekerjaan sia-sia jika tak mempunyai data yang baru. Sebab, ada banyak orang yang sudah mendalami Kurt. Sebagaimana saya singgung di bagian pembuka tulisan ini, membicarakan masa lalu Kurt hanyalah untuk melihat Kurt sebagai pemusik.

Saya menemukan satu kata “intens.” Banyak orang, mungkin banyak pemusik, lebih senang mengatakan “intenslah dalam bermusik jika ingin sukses di musik.” Bagi saya, Kurt bukanlah orang yang seperti itu, Kurt memang intens, tapi intensitasnya terlebih dulu bukan pada musik, tapi pada kehidupan.

Dari sejarah masa lalunya yang jejak-jejaknya dapat kita temukan pada karya-karyanya, tampak Kurt begitu dekat dengan peristiwa-peristiwa dalam hidupnya. Perceraian orang tuanya, pengalamannya di bawah jembatan sungai Wishkah, hingga bertemu dengan setiap perempuan dalam hidupnya, membekas pada dirinya secara mendalam.

Menurut saya, Kurt tidak lari dari kehidupannya saat mendekati musik. Kehidupannya yang ia jalani sejak masa kanak hingga kematiannya itulah yang ia ceritakan dalam musiknya. Dan Kurt berhasil! Itulah sebabnya, dengan menyimak satu persatu lagu Nirvana, kita seperti diajak menyusuri lika-liku kehidupan Kurt. Kurt menyajikan siapa dirinya di dalam musik. Dan memang demikianlah seharusnya pemusik!

Kurt begitu dekat dengan lirik dan musik yang dikarangnya. Seperti Friedrich Nietzsche, ia “tidak melarikan diri” dari segala kenyataan hidupnya. Kurt malah berjabat tangan dengan kehidupan, menantangnya, menyelaminya, dan berhasil menampilkan kehidupan itu dalam bakat terbesarnya. Kurt, adalah eksistensialis yang menjadi juru bicara bagi generasinya.

Kurt menggerakkan zaman. Kurt menjadi simbol keresahan anak muda, terutama anak muda Amerika yang mengalami masa lalu seperti Kurt. Karena kejujuran dan kedekatannya dengan karyanya, ia pun dengan sendirinya dekat dengan “kapitalisme” yang mendekatkannya pada anak-anak muda di seluruh dunia.

Tentu saja, tak ada orang yang ingin meniru kisah hidup Kurt. Makanya, sejak awal saya menegaskan untuk membicarakan musik semata. Apa yang perlu diambil dari Kurt adalah cara dia memperlakukan hidup yang kemudian menjadi semacam “imannya” dalam bermusik.

Bagi siapapun yang percaya musik adalah bahasa universal yang menghubungkan manusia antar benua, iman “mendekati kehidupan” yang diterapkan Kurt dalam musiknya, boleh menjadi ilham. Siapapun yang mencintai musik, baik pemusik atau pun bukan, harus mengembalikan musik pada kehidupan. Karena musik itu adalah “sejenis” kehidupan yang tidak mungkin kita tolak.

Jika Kurt masih hidup, mungkin dia tak mau dianggap serumit ulasan ini. Tapi, tugas manusia yang hidup, adalah membaca jejak kebijaksanaan dari segala yang sudah lalu. Pun kebijaksanaan itu diliputi tragedi dan bunuh diri. Kurt, menurut saya, pantas dimasukkan dalam masa lalu yang menjadi tugas manusia yang hidup untuk membaca kebijaksanaannya.

Kurt bunuh diri, dan mati, karena ia terlalu akrab dengan kehidupannya.

Jakarta 22 Mei 2010

Jika Angklung Di Tangan Anak-Anak


Kalau dunia tak adil, itu sudah pasti. Tapi kalau tentang keadilan dunia, itu cuma proses dan usaha: untuk itulah manusia hidup.

Ada yang tak terjangkau dalam keadilan. Dan itu menyusup dalam suara angklung yang dimainkan oleh sekelompok anak-anak sekolah dasar di museum negara ini. Anak-anak itu menunjukkan “kelasnya” dalam wacana keadilan melalui musik.

Saya masuk ke museum ketika pagi di ibukota menjadi pagi yang damai. Dalam perjalanan sekitar lebih dari setengah jam menuju museum, ibu kota negara sepi. Jalanan lengang. Maklumlah, hari Minggu, sebagian besar orang libur. Semua orang yang bertindih-tindih saban hari di setiap penjuru sedang melupakan jalanan, macet, asap knalpot, dan ambisi.

Saya tak usah sebut acara apa yang membuat saya datang ke museum. Sebab, pada akhirnya, acara itu tidak terlalu penting selain soal keadilan yang menyeruak lewat musik angklung yang dimainkan anak-anak sekolah dasar itu. Yang pasti, niat utama saya bukan untuk menziarahi benda-benda kuno.

Paling tidak, di panggung sederhana itu, saya menyaksikan sekitar 30 anak berusia 7-9 tahun. Mereka datang sebagai murid dari sekolah dasar berlabel internasional. Internasional dan berlabel nama salah satu negara besar di Eropa Barat. Jelas, tak semua anak di kota yang sesak ini bisa bersekolah di tempat tersebut. Yang saya ingat, anak pasangan mantan presenter berita di salah satu televisi nasional dan seorang pengamat politik kondang, ada di panggung itu.

Lalu, tibalah saat yang menggetarkan saya: anak-anak menggetarkan angklung. Dengan angklung, mereka memainkan sebuah lagu populer dari Austria yang berjudul “Edelweiss”. Soalnya, mengapa lagu yang dipilih itu berjudul Edelweiss? Apakah anak-anak di sekolah tak terurus di sudut kota ini juga mengenal lagu berjudul Edelweiss? Atau, jangan-jangan, mereka sama sekali belum pernah mendengar kata Edelweiss? Apa lagi mengetahui sebenarnya Edelweiss adalah bunga yang tumbuh indah di atas gunung?

Musik tetaplah musik. Di dalamnya, kita bisa merasakan harmoni, nuansa, emosi, dan imajinasi. Betapa beradabnya manusia saat menikmati musik. Musik menyajikan kedamaian. Tapi, saat itu saya tidak bisa menyimak musik sebatas musik. Musik, saat dimainkan oleh orang dalam situasi dan keadaan tertentu, bisa menyiratkan politik, dan juga ketidakadilan. Demikian pula ketika lagu Edelweiss itu dimainkan oleh anak-anak dari sekolah mewah itu.

Edelweiss adalah lagu yang lembut dan indah. Ketika anak-anak tersebut menggetarkan setiap angklung sebagai penanda nada secara bergantian, musiknya tampak sebagai sebuah keteraturan. Itulah kemenangan anak-anak dari sekolah internasional itu. Mereka bisa memainkan sebuah keteraturan dalam musik, mereka mengenal harmoni, mereka merasakannya, dan mereka melakukannya. Saat melihat anak-anak itu memainkan nada demi nada, yang ada dalam batin saya adalah “betapa beradabnya anak-anak ini.”

Mereka beradab karena sejak kanak-kanak sudah melakukan sesuatu secara bersama dalam disiplin keindahan. Dalam musik, setiap orang yang memegang instrumen mendapat gillirannya masing-masing sesuai dengan skenario urutan nada sebuah lagu. Dalam musik, seberapa banyak giliran setiap orang memainkan instrumennya bukan berdasarkan siapa yang lebih lihai. Dalam musik, yang dikejar adalah harmoni, keindahan. Bayangkan, anak-anak itu menggetarkan angklung pada giliran masing-masing demi harmoni, demi keindahan. Mereka, sadar atau tidak sadar, sedang menjadi makhluk berbudaya. Mereka bekerja sama menggunakan perasaan, pikiran, mengikuti aturan, demi tujuan mencapai keindahan.

Lalu apakah anak-anak di sekolah tak terurus di kampung kumuh tak berhak menjadi beradab dan berbudaya? Apakah mereka tak berhak memainkan Edelweiss dan menjadi pelaku kebudayaan dalam harmoni musik?

Anak-anak, sebagaimana musik, tetaplah anak-anak. Dunia anak-anak, sebagaimana novelis Ayu Utami menulis dalam salah satu novelnya, dunia yang terpisah dari orang dewasa. Saat manusia menyadari menjadi dewasa, ia lupa kapan imajinasi kanak-kanaknya itu terputus. Anak-anak sekolah internasional itu sama dengan anak-anak di sekolah tak terurus, sama-sama anak-anak.

Dengan alasan apa pun, orang dewasa tak berhak mendendam pada anak-anak dari sekolah mewah itu. Mungkin, dengan alasan ketidakadilan, hanya anak-anak dari sekolah kumuhlah yang berhak iri pada anak-anak di museum itu. Hanya anak-anak yang berhak iri terhadap anak-anak lainnya.

Tapi, bagi saya, beradabnya anak-anak sekolah internasional itu, bukan karena keinginan mereka sendiri. Adalah dunia orang dewasa yang membentuknya. Orang dewasalah yang merumuskan bahwa musik dapat membuat seorang anak belajar berbudaya. Orang dewasalah yang memasukkan anaknya dalam kegiatan bermusik dengan niat agar anaknya berbudaya.

Demikian pula, beradab atau tidaknya anak-anak di sekolah kumuh bukan kemauan mereka. Dunia orang dewasalah yang memaksakannya. Mereka, semiskin-miskinnya, berhak mengetahui dan menyaksikan karya besar bernama Monalisa yang dilukis Leonardo Da Vinci. Mereka, semelarat-melaratnya, berhak mendengarkan Fur Elise gubahan Ludwig Von Beethoven. Sekalipun sehari-hari mereka menikmati pop melayu murah yang melayang-layang di televisi. Sekalipun mereka sehari-hari diajarkan menepuk rebana dalam kasidah atau marawis sekedar penerus kebiasaan. Mereka berhak!

Lalu saya perhatikan wajah anak-anak yang main angklung itu, betapa lembut, betapa ranum, betapa murni. Lalu saya kenangkan wajah saya sendiri semasa kanak, wajah anak-anak di sekolah tak terurus di pojok gang di utara Jakarta. Saya bayangkan wajah anak-anak yang memainkan musik dengan kecrekan dari tutup botol di perempatan jalan. Saya bayangkan semuanya.

Semakin jauh saya membayangkannya, saya lupa kalau saya sedang berada di museum negara. Saya lupa kalau museum adalah tempat untuk membuat setiap anak di bangsa ini bangga terhadap negeri dengan menziarahi masa lalu. Saya lupa kalau harga tiket masuk museum untuk anak-anak tidak terlalu mahal, cuma dua ribu perak. Saya lupa caranya menikmati musik. Saya lupa apa sebenarnya tujuan awal saya ke sini.

Seorang kawan perempuan yang saya bayangkan menjadi istri saya, berdiri di sebelah saya. Tujuan kami sama, tapi saya tak akan menyebutkannya. Sebab saya terlanjur terpukau oleh Edelweiss yang keluar dari getar angklung, saya terpesona karena yang memainkannya adalah anak-anak sekolah dasar. Dalam permenungan saya yang semakin ketat, kawan perempuan yang saya bayangkan menjadi istri saya itu menepuk pundak saya. Saya tersentak. Lalu dia bilang pada saya, “berhentilah menjadi orang yang sinis. Mereka cuma anak-anak.”

Saya diam. Dalam hati, saya bilang, “ya, aku cinta padamu.”

Jakarta, 3 Mei 2009

Tuesday, May 4, 2010

Antara Hans Christian Andersen dan Aku


Suatu kali di masa kanak.

Seorang temanku mendapatkannya entah dari mana. Dia sebuah buku. Tebalnya kira-kira sepanjang jari tengah kiriku. Yang pasti, sampulnya menarik mata. Latarnya berwarna coklat cat lukis, bukan cat komputer. Kalau tak salah, di atasnya ada gambar bidadari, kurcaci, angsa, dan sebuah danau di tengah padang rumput.

Jelas gambar-gambar itu asing. Di beranda rumah salah satu teman-tempat kami bermain nyaris setiap hari-aku menyaksikan pohon nyiur, ikan mas dalam kolam beton yang berlumut, jalan tanah, rumput, ayam kampung, kucing kampung, dan batu kerikil. Tak ada angsa, danau dan padang rumput, apalagi kurcaci apalagi bidadari.

Tapi buku itu benar-benar menarik hati. Kepada temanku yang mengaku menemukan buku itu dalam tong sampah di depan rumah orang kaya, aku meminta izin meminjam sebagai yang pertama. Izinku dikabulkan sebab temanku tak terlalu suka buku. Dia bilang dia sudah puas dengan melihat gambar-gambar di antara tulisan yang ada di dalamnya.

Di dalamnya, aku menemukan cerita Anak Itik Buruk Rupa, Putri Duyung, Tom si Jempol, Prajurit Porselen, dan Putri Salju. Maka melanglanglah khayalanku sejak kisah-kisah itu tandas kubaca. Dalam tidur, dunia antah-berantahku menjadi berbeda dari biasanya. Aku kadang tiba di jembatan separo bulat di atas sebuah danau. Di dalam danau, angsa-angsa putih berenang dengan damai. Sekali-sekali aku sedang berlari di padang rumput dengan kincir angin dan kebun sapi.

Dunia mimpi kanakku sudah mulai campur aduk dengan dunia yang “lain” dari yang kuhuni sehari-hari. Saat dewasa, aku sadar, buku terjemahan yang tercampakkan itu telah menanamkan dalam ingatanku tentang suatu daerah di belahan dunia yang jauh: Eropa. Pelakunya adalah Hans Christian Andersen, pengarang idiosinkretik berkebangsaan Denmark yang hidup pada abad ke-19.

Memang, dari teman-temanku di masa kanak, hanya aku yang terbius dengan buku Andersen itu. Apa sebabnya? Aku tak pernah tahu.

Di rumah, ayah atau ibuku tak punya kesadaran bahwa membaca itu penting. Yang kutahu, ibuku senang membaca, tapi ia tak sadar bahwa membaca adalah investasi pengetahuan. Maka dari itu, membaca bukan (disadari sebagai) kebiasaan di rumah kami. Ibuku hanya membaca apa yang dia temukan di sekitarnya. Mungkin Al Quran, mungkin buku agama, mungkin komik, mungkin koran bekas bungkus teri sepulang ibuku belanja dari pasar.

Lalu, apa akibat Andersen padaku?

Khayalanku agak melenceng dari teman-temanku. Imajinasiku sudah “tercemar” oleh sesuatu yang datang padaku tanpa kuminta dan tanpa tanda-tanda. Buku tebal itu hanyalah sampah bagi orang kaya. Lagi pula, agaknya hanya orang kaya dan bukan orang-orang dari lingkungan tempat tinggalku yang akrab dengan buku.

Khayalanku tak lagi sekedar nyiur dan kolam ikan. Khayalanku bercampur di antara gaun gadis-gadis eropa, salju, dan musim gugur. Khayalanku melewati batas sehari-hariku. Mungkin inilah pertamakalinya pikiran dan alam bawah sadarku menjadi, sebutlah, kosmopolit.

Saat dewasa, aku sadar bahwa imajinasi dapat menghantarkan seorang anak manusia ke tengah-tengah dunia. Imajinasi yang membuat seorang anak dari daratan melayu yang tak terbiasa dengan pengetahuan tentang “sesuatu yang luar” dapat menjadi warga dunia.

Tapi ketegangan jua yang dihasilkannya. Andersen telah membawaku pada ketegangan antara primordialku sebagai melayu dan imajinasiku yang mulai merambah Eropa. Pikiranku tak lagi tulen. Barangkali itulah sebabnya aku dinilai agak melenceng saat berkhayal bersama teman-teman, aku membayangkan sapi di samping gubuk dekat kincir angin.

Sepertinya gejala itu juga yang mau dijelaskan Goenawan Mohammad dalam esainya yang terkenal, “Potret Penyair Muda Sebagai si Malin Kundang”. Dalam esai itu, Goenawan menyebut dirinya sebagai penyair yang terlalu jauh berjalan dari ranah aslinya. Ia, yang merantau ke Jakarta dari pedesaan di pesisir Jawa Tengah, mulai rasuk oleh nilai-nilai kota dan universitas. Sementara “kedesaan” sebagai asal yang tak mungkin dibantah, tetap menunjukkan diri dengan tegas. Ia berada dalam “ketegangan identitas.”

Waktu itu ia tak tahu. Waktu itu ia tak tahu bahwa khayalan-khayalannya menggelikan kawan sepermainannya, ketika untuk beberapa lama, sambil bermain bola dibayangkannya padang-padang Prairie, meskipun yang mengitarinya hanyalah lapangan rumput dan bekas pabrik, di mana sebatang randu tua tegak dan pohon-pohon mangga menggelebat.

Dalam soal Andersen, entahlah, barangkali ia berhasil menggambarkan keindahan Eropa padaku. Ia menyebut danau dan angsa, serta padang rumput, dan aku membayangkannya sebagai tempat yang indah. Bukankah ini sebenarnya penjajahan pikiran untuk menegaskan bahwa Eropa selalu lebih indah? Kucurigai diriku bahwa aku termakan rayuan Andersen sehingga kebun karet, sungai yang tenang, hutan durian, menjadi tidak terlalu indah (lagi) bagiku.

Tapi mengapa teman-temanku tidak menganggap Eropa sebagai keindahan? Masalahnya mungkin mereka tidak tertarik dengan buku itu dan tidak mau membacanya. Sebab itu, mereka tidak masuk ke dalam alam dan kisah Andersen tentang orang-orang di benua Eropa. Dengan demikian, mereka secara tidak sadar tak perlu melakukan perbandingan keindahan alam dan keadaan sosial tempat tinggalnya dengan dongeng-dongeng Andersen. Pendeknya, teman-temanku tidak tercampak dalam “ketegangan identitas” itu.

Kebetulan, ya, kebetulan temanku mengais buku itu di tong sampah orang kaya. Kebetulan aku bertemu dengan temanku saat dia membawa buku itu. Kebetulan aku tertarik dengan gambar buku itu. Lalu kebetulan aku membaca kisah-kisah di dalamnya. Dan aku diseret imajinasiku untuk berada di tengah-tengah dunia bernama Eropa.

Belakangan, aku menyelidiki siapa sebenarnya Hans Christian Andersen yang meracuni pikiran masa kanakku. Dari sejarah yang umum, beginilah kuketahui tentang dia:

Andersen lahir di kawasan kumuh Odense, selatan Denmark, 2 April 1805. Ayahnya, Hans Andersen adalah seorang pembuat sepatu yang miskin dan buta huruf yang merasa dirinya masih keturunan bangsawan. Sedangkan ibunya, Anne Marie Andersdatter, bekerja sebagai buruh cuci.

Ayahnya meninggal pada 1816. Sejak itu, ia menjalani masa sulit dengan bekerja pabrik rokok, menjadi penenun dan penjahit, serta kerja serabutan. Pada 1819 ia merantau ke ibukota Denmark, Kopenhagen, dengan niat menjadi aktor. Dalam tiga tahun masa sulitnya di Kopenhagen, Andersen bertemu dengan raja Denmark, Frederik VI. Karena tertarik dengan penampilan Andersen, Frederik VI mengirimkan Andersen ke sekolah bahasa di Slagelse dan Elsinore. Andersen menjalani pendidikannya ini hingga 1927.

Pada 1872, Andersen jatuh sakit dan terbaring tanpa daya selama tiga tahun di Rolighead, dekat Kopenhagen. Menyedihkan, ia meninggal dunia tanpa pernah menikah. Perempuan yang disebut-sebut sebagai “cinta mati” Andersen, Riborg Voigt, menolak cintanya dan menikah dengan lelaki lain pada 1831. Pengalaman cintanya itu pernah dituangkan Andersen dalam kumpulan puisi berjudul Phantasier og Skisser. Pada 14 Agustus 1875, Andersen mati dalam keadaan bujang dan diliputi cemburu.

Setelah mengetahui sejarah hidup Andersen, barulah aku mulai menyadari apa yang menyebabkan kisah-kisah Andersen begitu berkesan dalam pikiran masa kanak-kanakku. Latar belakang ekonomi keluarga Andersen dan keluargaku tak jauh berbeda. Itulah sebabnya, mungkin, meski dongeng-dongeng Andersen berlatar Eropa, tapi mengena padaku.

Andersen senantiasa memunculkan tokoh-tokoh miskin dan tertindas dalam tiap tokoh-tokohnya. Mungkin, meski aku tak pernah merumuskannya waktu masih anak-anak, masa kanak-kanakku adalah masa yang tak berbeda dengan tokoh-tokoh rekaan Andersen. Andersen datang padaku menjadi teman, bahwa dalam hidupku yang sepi di masa kanak, ada bagian dunia lain yang juga menghadapi soal yang sama dengan apa yang kuhadapi. Andersen mendamaikan kesusahan hatiku dengan mengajakku bertualang ke Eropa, meski di dunia khayal.

Dan mengenang kembali Andersen pada saat masa remaja dan dewasa, lagi-lagi kutemui apa yang dialami Andersen. Yakni, sepi pada perempuan dan selalu diliputi cemburu. Andersen, kau membuatku mengakui apa yang tak mau kuakui. Terima kasih racunku, teman masa laluku, dan teman masa depanku.

Jakarta, April 30 2010

Thursday, April 29, 2010

Nikmat yang Berjarak


Bayangkan seorang penyerang belia dalam sebuah pertandingan sepakbola penting. Katakanlah, sebenarnya ia adalah penyerang penuh bakat yang baru mulai mampu membukakan mata dunia akan kebesaran bakatnya.

Dan pertandingan penting ini bukan saja penting bagi karir kesepakbolaannya, tapi juga penting bagi jati dirinya, bahkan bagi rasa malu bangsa dan negaranya. Sebagai seorang pemain muda, tak ada jalan lain baginya selain memasukkan gol sebanyak-banyaknya ke gawang lawan.

Hingga menit-menit genting, tak ada satu pun gol tercipta. Lawan memang tangguh, tapi kesebelasan tempat sang penyerang belia bernaung pun tak kalah tangguh. Pertarungan yang seru dan seimbang!

Hingga pada suatu ketika, ketika sorak sorai penonton riuh-rendah karena menahan tegang dan mengendalikan harapan, sang penyerang belia mendapatkan sebuah kesempatan yang tak terduga.

Bayangkan saja, ia berhasil mengelabui pemain belakang lawan, terus membawa bola, juga mengelabui penjaga gawang. Ia yakin, 99 persen kakinya akan menghasilkan gol, lalu kemenangan berlari menjemput kesebelasannya, memberikan ia jati diri, dan memberikan kebanggaan bagi bangsa dan negaranya.

Alhasil, tendangan yang tak kencang namun mengecoh itu hanya membentur tiang. Hanya tiga kali ia mendenguskan nafas, wasit meniup peluit panjang tanda usainya pertandingan. Kebahagiaan yang sudah berpandang-pandangan dengannya tiba-tiba menutup mata, lalu terbang menjauh bak lelayang putus yang tak terkejar karena lenyap ditelan langit.

Babak perpanjangan waktu pun digelar. Namun tak ada bola yang bersarang di gawang. Nasib buruk, adu pinalti menaklukkan kesebelasan si penyerang belia. Dalam gemilang tepuk tangan dan sorak pendukung lawan, sang penyerang belia lunglai: menjatuhkan lutut ke tanah sambil membiarkan air mata runtuh menyentuh rumput.

Kelak, berpuluh tahun kemudian, setelah ia gemilang sebagai pemain profesional, bahkan sempat menjadi pelatih yang melegenda, bayangkan ia menulis sajak berdasarkan kenangannya atas pertandingan penting itu. Demikian bunyi sajaknya:

Nikmat

Segala hasrat
Tapi tak didapat
adalah nikmat
yang paling padat

Tentu saja, tokoh penyerang belia itu adalah fiktif, pun kesebelasan dan bahwa ia menulis sajak yang berjudul “Nikmat.” Namun sajak sederhana dan kuat-ketat itu bukan fiktif. Ia sajak yang nyata dan ditulis oleh pengarang yang benar-benar ada. Sajak pendek itu ditulis oleh penyair negeri jiran bernama A Samad Said. Samad Said lahir di Durian Tunggal, Malaka, pada 1935.

Lalu apa hubungan tokoh fiktif dengan segala masalahnya dengan sajak A Samad Said?

Untuk menjawabnya, mari lontarkan lagi pertanyaan: bagaimananya caranya menjelaskan penderitaan dalam dunia yang sedang mengusung “nikmat” sebagai peristiwa utama?

Sajak pendek namun padat karangan penyair kenamaan negeri jiran itu dalam pembuka tulisan ini telah membawa saya ke dalam dunia kepenyairan yang penuh simbah peluh dan darah. Ia agaknya sedang berfilsafat tentang kehidupan sehari-sehari seorang penyair dalam dunia yang tak mungkin kering dalam puisi: penderitaan. Yakni penderitaan yang dapat dijelaskan sebagai “kenikmatan yang paling padat adalah segala hasrat yang tak didapat.”

Samad Said membenturkan wawasan kenikmatan yang berarti kesenangan dengan rasa sakit sebagai hasrat yang tak pernah didapat. Kepada pembaca, ia sedang memberikan gelanggang di mana pembaca dipaksa untuk menilai penderitaannya sebagai (mungkin) kenikmatan terbaik dalam kehidupan.

Sebagian penyair mungkin lebih senang menyebut penderitaan itu sebagai “momen puitik.” Momen di mana suatu peristiwa meninggalkan jejak yang dalam dan dapat digubah menjadi puisi.

Dan momen puitik pun menyergap penyerang belia yang tak jadi mencetak gol dalam pertandingan itu. Seluruh proses pertandingan, bahkan latihan yang ia jalani sebelum pertandingan, boleh jadi ia lakukan hanya demi pertandingan penting yang menyakitkan itu. Dalam saat genting, saat ia membawa bola sendirian, berhasil mengecoh pemain belakang berikut penjaga gawang, lalu dengan doa yang penuh menyepak bola, adalah peristiwa yang sensasional. Namun, sensasi itu kian berlipat ganda setelah gol itu tak jadi sebab bola membentur gawang. Sensasi menjadi luka setelah pertarungan itu diakhiri adu pinalti yang dimenangkan lawan.

Andaikan ia berhasil mencetak gol tunggal dan memenangkan pertandingan itu, tentu sensasinya tak kalah gila. Sebab ialah pahlawan bagi bangsa dan negaranya, serta di tempat dan waktu itulah ia menemukan “siapa dirinya.” Kemenangan itu juga membawa kesan serta akan terkenang sepanjang hidupnya.

Tapi, bukankah penderitaan selalu lebih lekat dalam ingatan ketimbang rasa senang?

Rasa girang yang hanya dalam sekejap pada diri pemain belia itulah pengalaman puitik. Ia yang hampir saja berlarian ke tepi lapangan untuk merayakan golnya harus mundur terus-menerus sampai ke titik duka terdalam. Gol dan kemenangan bagi penyerang belia itu adalah “segala hasrat yang tak didapat”. Beberapa saat usai pertandingan itu, mungkin ia menganggap kiamat membentang di seluruh tribun penonton dan langit di atas stadion: ia sama sekali tak mengalami nikmat.

Namun, tak mudah menghentikan kehidupan dalam keadaan duka yang paling basah sekalipun. Sang penyerang harus tetap hidup, jatuh cinta pada perempuan, beranak-pinak, menjadi uzur, sakit, lalu pergi mengunjungi ajal. Dalam rentang waktu yang membuat ia mengendapkan kenangannya itu, ia mulai mengenangnya dengan senyum. Itulah saat rasa sakitnya mulai berubah menjadi kebanggaan. Kebijaksanaan yang sudah mulai kokoh dalam jiwa membuatnya merasakan kenikmatan atas kegagalannya mencetak gol.

“Jarak.” Itulah yang menjadi rahasia bagaimana sang pemain dapat menyuling rasa sakit menjadi sejenis kenikmatan? Dalam dunia puisi, penyair Sutardji Calzoum Bachri mengatakan, “maka itu wahai penyair, jika engkau kebanjiran, menulislah di atas atap agar engkau tidak mudah tenggelam.”

Bagi Sutardji, seorang penyair yang terjebak dalam situasi kebanjiran, harus naik ke atap, dan membangun jarak dengan banjir itu sendiri untuk meraih kearifan yang akan dieksepresikan dalam puisi. Dari atas atap, penyair mungkin dapat melihat dari kejauhan sebatang pohon kelapa yang tenggelam separuh, sumber air serta arus yang tak kencang, suara orang-orang yang bahu-membahu menyelamatkan harta benda, tangis anak kecil. Di atas atap, ia mungkin terharu mendengar tangis bayi yang kedinginan, mungkin juga ia mengutuk pemerintah yang tak becus mengatur sistem air, mungkin juga ia kian mengagumi alam yang kehendaknya tak dapat dibantah.

Jika ia berada di dalam air, tentu ia tak sempat melihat hal-hal yang mengharukan hatinya itu. Sebab ia sibuk menyelamatkan diri, kerabat, atau harta bendanya. Dengan berada di atas atap, ia seperti masuk ke dalam apa yang disebut Sutardji “realitas lain” melalui realitas keseharian/peristiwa.

Dalam kehidupan penyerang belia, ia mungkin tak dapat melihat makna yang arif saat ia tertunduk layu sesaat setelah adu pinalti. Namun, hidup tetap memberikannya jarak pada rasa sakitnya. Jarak itu dapat dikatakan rentang usia saat ia mengalami kegagalan mencetak gol dengan saat ia menulis sajak tentang kegagalannya. Lewat jarak usia itu, barangkali saja ia bisa berpikir bahwa untuk menemukan keberhasilan, ia harus mempertaruhkan jati diri serta harga diri bangsa dan negaranya.

Mungkin ia akan menitikkan air mata untuk yang kesekian kali. Namun, air mata itu sudah menjadi air mata yang berbeda. Ia adalah air mata yang mengalir dari mata air yang jauh dan melewati berpuluh tahun perjalanan kehidupan. Dalam setiap persinggahannya, air mata itu terus-menerus berusaha menjadi “kristal”. Kristal itulah yang menjelma sebagai “nikmat terpadat dari segala hasrat yang tak didapat.”

Dan penderitaan, adalah sejarah yang tak akan pernah habis dalam kehidupan manusia. Barangkali, cara melihat kegagalan yang digunakan penyerang belia yang sudah menjadi tua itu dapat kita pinjam untuk kelak mengenang ketidakterdugaan yang mutlak dalam hidup ini. Sebagaimana juga cara Samad Said, sebagaimana juga cara Sutardji Calzoum Bachri.

Jakarta, April 23 2010






Wednesday, April 21, 2010

Kejelataan


Kekejaman yang paling keji adalah kemiskinan (Mahatma Gandhi)


Kemiskinan adalah mayoritas. Dan negara dunia ketiga adalah rumahnya yang utama. Sebab itu, segala soal tentang kemiskinan menjadi penting. Yang miskin selalu menjadi buah bibir, selalu menjadi soal dengan membangkitkan setiap musuhnya demi menghidupkan pertentangan.

Karena yang miskin adalah mayoritas, maka ia tak dapat dianggap enteng. Itulah sebabnya banyak penguasa, dan calon penguasa, di tempat mana pun, mencoba-coba membahas kemiskinan. Kemiskinan menjadi penting karena ia adalah modal besar untuk dipertukarkan dalam padang kekuasaan yang tak bertuan.

Namun, dunia menyelipkan tangan kanannya untuk menuju ke kiri tubuh melewati punggung. Kemiskinan itu dibahas namun di saat bersamaan diringkus ke dalam karung bolong hingga tak pasti lagi tampak lekuk tubuhnya. Inilah situasi di mana kemiskinan itu dibenci namun ditarik ke gelanggang untuk mencapai kemenangan-kemenangan.

Yang miskin itu disederhanakan dengan nama “angka kemiskinan”, atau “pendapatan per kapita”, atau “jumlah minimal dollar sebagai pendapatan minimal per hari setiap warga di suatu negara.” Yang miskin, dalam diskursusnya sebagai mayoritas, bukan lagi orang-orang dengan kulit yang nyaris bersisik, wajah yang berminyak karena akrab dengan polusi. Tapi ia adalah angka-angka dalam mulut seorang menteri bidang ekonomi atau bidang kesejahteraan.

Dan malanglah yang miskin, sebab model hidup seperti yang mereka tampilkan pada dunia menjadi model yang kotor. Tak ada satu negeri pun di bumi ini yang mencita-citakan masyarakatnya menjadi miskin. Terminologi miskin menyala sebagai kata sifat untuk dijadikan musuh. Dari sana, negara pun mulai mengatur-ngatur bagaimana yang miskin dapat dilenyapkan.

Tapi, apakah kemiskinan itu hilang meski semua pemimpin bercita-cita tentang hilangnya kemiskinan?

Negara dunia ketiga adalah akuarium yang jernih untuk melihat keadaan itu. Pun, pengertian kemiskinan dalam akuarium itu baru bisa muncul setelah ada sesuatu di luar akuarium yang bisa menyimpulkannya sebagai kemiskinan. Boleh jadi, sesuatu dari luar akuarium yang pandai bicara itu kita sebut dengan Barat.

Dan kemiskinan adalah “given” dalam jiwa kehidupan. Maka dari itu, tak ada jiwa yang tak kenal dengan kemiskinan, pun anak raja yang sejak lahir hingga mati tetap jadi raja. Kemiskinan adalah wajah dunia sebenarnya. Sementara kesejahteraan, hanyalah upaya yang terus-menerus diupayakan.

Dan hal itu tidak terdengar sebagai keputusasaan. Sebab, justru dalam upaya yang abadi pengertian sejahtera itu bisa diperoleh. Segalanya terukur dalam sebuah pusaran yang berputar tak menentu-sejumlah perubahan kecil juga signifikan. Sementara orang-orang yang berjarak dari pusaran itu, selamanya akan menjadi miskin.

Yang miskin sebagai orang-orang jelata, sebagaimana yang sering bergulung dalam air ludah menteri bidang keuangan atau bidang kesejahteraan, tentu adalah pihak yang merugi berlipat ganda. Jelata, tidak saja miskin secara harta, tapi juga kemiskinan hartanya itu merusak jiwa.

Itulah sebabnya perilaku-perilaku jelata seperti mencuri ayam, merampok toko, mencopet di pasar tradisional, menjambret di bis, memalak, selalu dijahanamkan. Kemiskinan, rentan jatuh pada kegiatan yang melompat ke luar batas norma.

Friedrich Nietzsche dalam Zarathustra episode Tentang Rakyat Jelata, bahkan dengan sinis mengomentari jelata sebagai orang kehausan, menjijikkan, dan penyakitan.

Kehidupan adalah air mancur kegembiraan; tetapi di mana para jelata juga minum, semua sumur menjadi teracuni…Aku mencintai semua yang bersih tetapi aku tidak suka melihat mulut-mulut menyeringai dan kehausan dari orang-orang penyakitan.

Bagi jelata yang sebenar-benar jelata, memang pernyataan ini menyakitkan. Kerugian yang mereka terima berlipat ganda: mental dan material. Tetapi, mari kita bersihkan kata “jelata” itu sehingga sekedar menjadi kata sifat. Dan mari kita gunakan “sifat jelata” itu untuk menunjukkan kejelataan.

Sifat jelata, atau sifat sebagai yang miskin, itulah yang sebenarnya berbahaya. Miskin sebagai sifat itulah yang menyebabkan tak ada orang di dunia ini yang benar-benar tak miskin. Seseorang boleh jadi adalah pengusaha atau politikus terkenal, tapi tidakkah dalam banyak atau sedikit waktu mereka menggunakan cara-cara yang merugikan orang lain? Jika seorang pengusaha dinilai oleh buruhnya tak adil, maka ketidakadilan itu adalah sifat miskinnya. Sebab, bukankah yang miskin adalah pihak yang rentan bertindak mengambil sesuatu yang bukan haknya? Bukankah dia sendiri menjadi tidak adil?

Untuk itulah, Zarathustra berkata:

Dan aku balikkan punggungku terhadap aturan-aturan bilamana aku melihat apa yang kini mereka sebut sebagai peraturan: tukar-menukar dan tawar menawar demi kekuasaan-dengan jelata!

Tapi, lagi-lagi, jelata itu adalah wajah dunia yang sebenarnya. Berkata Zarathustra, dan banyak orang yang berpaling dari kehidupan, sebenarnya berpaling dari para jelata: mereka tidak ingin berbagi sumur dan api dan buah dengan jelata itu.

Kini sifat kemiskinan itu menampakkan wajahnya yang ganda, yang bersisian ibarat kembar siam yang mati kedua-duanya jika dipisahkan. Kemiskinan dan kejelataan adalah musuh, di sisi lain, dia pulalah yang menjadi pupur di wajah kita.

Bagi jelata yang ada dalam angka-angka di mulut menteri bidang keuangan atau bidang kesejahteraan, kehidupan adalah dunia dan dirinya sendiri sebagai manusia yang terlanjur lahir. Hidup bernilai sebagai kegagalan penciptaan.

Tetapi, hukum ini juga berlaku bagi mereka yang mampu keluar dari air liur menteri bidang keuangan atau bidang kesejahteraan. Mereka memang tak akan dihantui rasa lapar dan mandi di air yang kumuh, tetapi kemiskinan yang tak punah di sekelilingnya akan menyebabkan kesejahteraan bukan sesuatu yang mutlak. Segalanya terancam. Dan hidup dalam keadaan terancam adalah hidup yang kekurangan, sementara hidup dalam kekurangan adalah kemiskinan, lalu kemiskinan adalah jelata.

Saya menganggap rasa jijik Zarathustra terhadap jelata sebagai inspirasi. Ini bisa dilakukan jika kita membelokkan pikiran kita sesuai arah yang kita mau pada pernyataan-pernyataannya yang sekali didengar akan menghunjam ulu hati jelata.

Jadi, biarlah kita hidup di atas mereka bagaikan angin-angin teguh, bertetangga dengan elang-elang, bertetangga dengan salju, bertetangga dengan matahari: demikianlah angin kuat itu hidup.

Lebih dari seabad sejak kematian sang filosof, kemiskinan yang ia hentakkan sampai terbenam ke bumi itu tak jua lenyap, malah makin terbang menyaingi sayap “elang-elang” di “angin-angin teguh.” Tentulah, ia bercerita tentang cita-cita. Lazimnya cita-cita, adalah inspirasi, perangsang yang membuat kehidupan bergerak menghasilkan zaman. Itulah inspirasi mencibir kemiskinan agar kemiskinan itu lenyap. Meski perasaan belum pasti, sebab yang miskin masih bercakap-cakap dengan jelas di dekat lubang telinga kita.

Jakarta, April 19 2010

Penjajahan Air Conditioner


“Enak juga ya, semilirnya,” ujar seorang kawan yang matanya setengah mengantuk di bawah lubang penyejuk ruangan (air conditioner/ac).


“Lho, kok semilir?” protes saya. Saya tiba-tiba tersengat dan merasa terganggu dengan kata semilir untuk angin yang berasal dari mesin penyejuk ruangan itu. Buat saya, “semilir” terlalu indah untuk menunjuk hembusan angin dari ac.

Apa sebab?

Barangkali benar kata para ahli linguistik itu, bahwa bahasa adalah juga sebuah dunia. Bahasa, dalam sistemnya, memiliki aturan mainnya sendiri yang tidak (selalu) bisa diterabas begitu saja oleh masyarakat yang menggunakannya.

Bagi masyarakat Indonesia, apa yang terbayang ketika mendengar kata “se-mi-lir?” Jika ia digunakan untuk hubungannya dengan angin, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya sebagai “sejuk karena ada angin yg bertiup perlahan-lahan.”

Jika kata semilir itu dibaca secara kaku menurut pengertian yang tercantum dalam kamus, maka tak ada yang salah dengan “angin yang semilir dari lubang ac.” Lagi-lagi, karena bahasa adalah sebuah dunia-semacam organisme, ia terikat dengan segala situasi yang melingkunginya.

Bahasa, atau kata, merupakan abstraksi dari benda-benda dan peristiwa. Dengan menyebut suatu kata, maka ia memunculkan imaji dalam pikiran yang mengasosiasikan kata tersebut pada sesuatu yang konkrit. Misalnya, kata semilir akan menunjuk pada peristiwa nyata adanya angin yang bertiup perlahan.”

Tapi apakah peristiwa bertiupnya angin itu sama sekali bebas dari situasi? Apakah ia lahir tanpa masyarakat? Tidakkah mungkin ada pohon, manusia, rumput, bukit, gedung, pesawat terbang, anak kecil, layang-layang, atau antene, di saat angin perlahan itu muncul? Di titik inilah bahasa menggugat: ia tidak bisa digunakan disembarang tempat. Jika pun digunakan, ia akan menggugat pertalian wawasan kultural dan kebahasaan masyarakat yang menggunakannya.

Semilir, dalam kenangan saya, akrab dengan alam pedesaan Indonesia yang tropis, hijau, penuh pohonan, padang rumput dan gembala, serta pantai. Kenangan saya itu menjadi wajar karena memang demikianlah alam asli Indonesia. Dan kata semilir itu digunakan masyarakat Indonesia jauh sebelum teknologi bernama ac masuk dalam keseharian masyarakat Indonesia.

Bagi saya, ac dan angin di padang rumput adalah sesuatu yang sangat jauh bedanya. Di padang rumput, angin bukanlah hasil rekayasa, setidaknya, demikianlah kita membayangkan angin saat dilekatkan dengan kata semilir. Sementara ac, adalah teknologi yang memanipulasi angin.

Lalu, apa kata yang tepat dalam bahasa Indonesia untuk menyebut angin perlahan yang berhembus dari ac? Inilah pelik bahasa. Tidak semua kata dari bahasa Inggris dapat diterjemahkan ke bahasa Indonesia sesuai konteks tanah air di mana kata itu lahir. Pendeknya, tak semua bahasa asing itu memiliki ungkapan yang pas dalam lidah melayu kita. Akibatnya, kita dipaksa untuk memadan-madankan bahasa asli kita pada benda yang datang dari jauh itu.

Gejala ini tak bisa dipandang sebagai masalah pelik bahasa semata. Saya melihatnya sebagai penjajahan bahasa (saya kira ada ahli yang menjelaskan soal ini, sayang wawasan saya soal teori linguistik tak luas).

Teknologi seperti ac, sebagai produk masyarakat barat, ia juga akan membentuk pola hidup pada kita. Memang, tak bijak jika hanya dengan alasan mempertahankan keaslian tradisi, teknologi dari barat hendak ditolak mentah-mentah. Masalahnya, apakah kita berada dalam “posisi yang setara” dengan teknologi yang asing itu saat menyambutnya.

Masalahnya lagi, dunia sudah tampil secara tak seimbang. Gagap barat dan teknologinya (sekaligus memujanya) memang sudah kita lewatkan gonjang-ganjingnya sekitar dua-tiga dekade lalu. Tapi, ia tetap berlangsung dalam bentuk yang lebih ajeg dan smooth: di alam bawah sadar. Dan, karena sudah terlanjur tak seimbang, saya yakin, itu adalah penjajahan yang ideologis. Sebagaimana seorang kawan saya yang menggunakan kata semilir tanpa merasa ada yang ganjil saat menyebutnya untuk ac.

Apakah kita berada pada posisi yang seimbang saat menggunakan semilir untuk ac? Tidakkah sebenarnya kita harus menahan benda mati seperti ac di pintu rumah kita sebelum kita mencarikannya tempat yang justru menambah indah rumah kita? Kasus seperti semilir dan ac saya kira bukan satu-satunya dalam problem kebahasaan kita. Dan penjajahan terselubung itu masih berjalan dengan dingin seperti aliran sungai bawah tanah.

Berhati-hatilah dengan benda mati di sekeliling kita! Sebab, pada dirinya terkandung sesuatu hegemoni yang mampu menjajah kesadaran manusia melalui bawah sadar. Jika Louis Althusser menyebut manusia tidak mungkin lahir ke dunia yang nir-ideologis, maka kini, benda-benda juga lahir ke dunia dan menciptakan ideologi.

Jakarta, April 7 2010

Thursday, February 25, 2010

Antara Naluri (Indonesia) Dan Kemakmuran (Singapura)


“LKY (Lee Kuan Yew), begitu dia dikenal di Singapura, lebih dari sekedar ‘bapak bangsa.’ LKY adalah penemu, seolah dia yang merumuskan secara ilmiah negeri itu dengan racikan yang pas antara Republic karya Plato, latar belakangnya yang pendidikan tinggi Inggris, represi tangan besi yang kuno.”


Demikianlah cara majalah National Geographic (NG) edisi bahasa Indonesia memuji LKY. Majalah geografi internasional itu mencantumkan pujian bagi LKY sebagai bagian alinea pembuka artikel bertajuk “Kisah Sukses Singapura” edisi Februari 2010.

Apa yang ingin dikatakan oleh feature NG tentang kemegahan negeri kecil itu adalah sebuah taktik untuk mengarahkan masyarakat dalam suatu disiplin bersama. Disiplin yang diyakini akan membawa kemakmuran. Ada dua kata kunci mengenai itu: “LKY” dan, menggunakan istilah NG, “rekayasa masyarakat.”

LKY adalah pioneer yang merancang Singapura hingga mengundang decak kagum sebagaimana pulau di ujung selatan semenanjung Malaya itu tampil seperti sekarang. Ia memimpin Singapura selama 26 tahun sebelum turun takhta pada 1990. Namun gaungnya sebagai tokoh bagi rakyat Singapura, barangkali dapat disamakan dengan Leo Tolstoy semasa hidup bagi Rusia.

Sejak memimpin Singapura pada 1965, LKY berhasil membuat warga Singapura tidak membuang sampah sembarangan. Ia juga mampu menjadikan Singapura sebagai negara industri tersukses di Asia Tenggara. Bagaimana LKY melakukan semua itu?

Saya ingat, LKY datang ke Indonesia saat Soeharto meninggal dunia. LKY datang sebagai seorang sobat lama yang mengunjungi seorang kawan yang lebih dulu berpulang. Dalam beberapa hal, LKY dan Soeharto memiliki keyakinan bersama dalam memandang apa yang perlu dilakukan bagi masyarakatnya. Keyakinan itu adalah rekayasa masyarakat.

Kata rekayasa, mengasumsikan ada sesuatu yang “asli” untuk kemudian “dipalsukan” demi suatu kepentingan. LKY merekayasa Singapura yang semula daerah kumuh dan penuh pengangguran menjadi surga belanja. Tentu saja, memalsukan keaslian (meski dianggap mengarah pada kebaikan) menciptakan sejumlah problem. Dan problem yang seolah menjadi cacat dalam keberhasilan Singapura adalah soal kebebasan dan demokrasi. Beberapa hal yang dapat disebutkan mengenai cacat itu adalah minimnya kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.

Namun, LKY tentu dapat saja menangkis itu dengan mengasumsikan bahwa ketidakbebasan itu membuahkan kemakmuran ekonomi. Masyarakat tidak perlu turun ke jalan untuk berbicara soal kemiskinan, karena kemiskinan itu sudah teratasi. Tetapi, tidakkah masyarakat makmur tanpa kebebasan adalah masyarakat yang sakit? Sebab, naluri menjadi bebas itu adalah salah satu naluri yang paling manusiawi dalam diri setiap manusia?

Untuk menjawabnya, mari mengalihkan pandang ke negeri besar di seberang Singapura dengan jarak tempuh satu jam 45 menit perjalanan kapal ferry. Dalam waktu yang tak sampai dua jam itu, warga Singapura akan sampai di Batam, sebuah pulau kecil yang masuk dalam bagian negara Indonesia.

Jika malam turun, masyarakat Batam dapat melihat kelap-kelip lampu-lampu Singapura. Betapa gemerlapnya! Dari Singapura, Batam mungkin juga kelihatan. Tapi, apakah lampu-lampu Batam tampak
segemerlap Singapura? Saya yakin Batam tidak lebih terang dari Singapura.

Perbandingan gemerlap antara dua pulau berdekatan itu seolah menjelaskan perbandingan dua negara. Batam akan menyaksikan gemerlapnya lampu-lampu Singapura sebagai lambang kemakmuran. Lampu yang gemerlap itu dapat menjadi tanda untuk menafsirkan keadaan negara itu secara keseluruhan.

Sebaliknya, Singapura akan menyaksikan Batam sebagai kampung kecil yang redup. Jika Batam bisa menafsirkan kemeriahan lampu-lampu Singapura sebagai simbol kemakmuran, maka bukan tidak mungkin Singapura menafsirkan lebih redupnya Batam dalam pengertian sebaliknya, yakni ketidakmakmuran. Uniknya, ketidakmakmuran Batam tidak saja menjadi definisi bagi Batam, tapi bagi negeri besar yang menaunginya, yakni Indonesia.

Di sini terkandung ironi: jika Batam membaca lampu-lampu (pulau) Singapura untuk membaca keseluruhan negeri, maka seharusnya, Singapura tidak bisa membaca Indonesia melalui Batam saja. Lagi-lagi, inilah ironi, dalam soal ketidakmakmuran, tidak lebih terangnya lampu-lampu Batam ketimbang Singapura, dapat menjelaskan keadaan umum seluruh Indonesia: kemiskinan.

Lalu, apakah Indonesia tidak pernah merekayasa masyarakat demi kemakmuran seperti yang dicapai Singapura?

Sekali lagi, kita akan menyaksikan pertemuan antara LKY dan Soeharto. Garis singgung itu bernama “tangan besi.” Dalam hal ini, LKY dan Soeharto, menggunakan tangan besi untuk menggeser sesuatu, meminjam istilah yang digunakan Robertus Robet, yang antropologis menjadi semata-mata politis.

Soeharto menghabiskan waktu 32 tahun untuk proyek rekayasa masyarakatnya. Jika LKY dicatat sebagai pemimpin yang berhasil, maka Soeharto jatuh dari kekuasaan dengan label “diktator.” Perbedaan ini dapat dijelaskan dengan sederhana dalam sarana pelayanan publik. LKY sampai pada kemakmuran karena tangan besinya berbanding lurus dengan baiknya sarana pelayanan publik. Sementara Soeharto tak kunjung sampai pada kemakmuran (menyeluruh) karena tangan besinya justru mengabaikan sarana pelayanan publik.

Permaafan boleh saja diajukan, bahwa tak mudah mengurus negeri seluas dan semajemuk Indonesia. Namun di situ pula masalahnya muncul: rekayasa masyarakat yang dijalankan dengan tangan besi bagi negeri yang luas dan majemuk bagaikan menimbun api dalam sekam.

Robertus Robet dalam artikel bertajuk “Gagasan Manusia Indonesia dan Politik Kewargaan Indonesia Kontemporer” (majalah Prisma, edisi Juni 2009) mengatakan, orde baru menggunakan istilah “manusia Pancasila dan manusia Indonesia seutuhnya” sebagai cara untuk mengintegrasikan wilayah mental-biologis menjadi politis.

“Sejak itu, muncul istilah ‘aspek-aspek’, yakni semacam pembidangan yang membagi manusia berdasarkan bagian-bagian tertentu: aspek moral, aspek mental, aspek fisik, aspek emosional. Istilah tersebut sangat digemari dalam diskursus manusia di Indonesia dan biasanya dipakai untuk menegakkan ciri partikular manusia Indonesia, misalnya, bahwa ‘manusia Indonesia’ sebagai ‘orang timur’ harus memiliki aspek ‘rasa’ selain aspek akal. Singkatnya, melalui konsep itu, Orde Baru bisa secara sewenang-wenang menentukan siapa saja yang ‘warga indonesia’ dan ‘bukan warga Indonesia’, siapa saja ‘warga yang baik’ dan ‘warga yang tidak baik’”(Robertus Robet, Prisma edisi Juni 2009;27-28).

Rekayasa masyarakat ala Soeharto mereduksi eksistensi etnografis sebagai sesuatu yang inheren dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Sebuah ambisi totalitas nilai (yang juga dilakukan LKY) yang seringkali diprasangkai sebagai “Jawanisasi”. Orde Baru menjadi juru dandan untuk penampilan dan ekspresi kultural warga negara.

“…kita bisa menyimpulkan bahwa melalui proyek ‘manusia Indonesia seutuhnya’, Orde Baru tidak hanya menghancurkan etnografi, tetapi secara filosofis Orde Baru juga bermaksud menghancurkan subjektivitas. Di dalam Orde Baru, subjektivitas tidak dibiarkan menjadi pencarian eksistensialis per individu, dia dibentuk dan diobjektivikasikan. Di dalam Orde baru, individu tidak mencari dirinya. Negaralah yang membentuk dan mengisi siapa dan apa makna kediriannya secara keseluruhan, bahkan hingga ke kehidupan spiritual”(Robet, Prisma edisi Juni 2009;28).

Di Singapura, perlawanan terhadap totalitas filosofis tersebut terwujud dalam penggunaan “Singlish” (bahasa melayu Singapura yang bercampur bahasa Inggris). Mark Jacobson, penulis artikel “Kisah Sukses Singapura” di NG, mengomentari penggunaan Singlish sebagai perlawanan terhadap represifitas total pemerintah. Mark menulis, “Singlish tampak seperti serangan subversif yang cemerlang terhadap pengekangan yang, menurut pemerintah, sedang diusahakan untuk ditangani.”

Di Indonesia, perlawanan terhadap totalitarian itu muncul dalam banyak bentuk. Perlawanan itu menemukan momen puncaknya pada gerakan reformasi 1998. Lalu apakah yang kita hasilkan dari momen yang belum dialami oleh masyarakat Singapura itu? Jawabannya adalah “sebagian” kebebasan.

Di Indonesia, para demonstran yang menghujat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kaitannya dengan dugaan aliran dana Bank Century boleh tertawa ngakak menyaksikan demonstran Singapura yang hanya diperbolehkan berdemonstrasi di sebuah taman. Di negeri ini, hampir semua tempat (terutama gedung-gedung pemerintahan dan parlemen) dapat dijadikan tempat demonstrasi.

Baik, (sebagian) kebebasan itu memang telah kita peroleh. Namun, apakah kita sudah terbebas dari rekayasa masyarakat yang gagal dilakukan Soeharto? Apakah dengan lubernya tanggul kebebasan itu kita bebas mengaku bahwa kita tidak sakit seperti masyarakat Singapura? Apakah kita memang tidak lagi memerlukan istilah rekayasa masyarakat itu?

Rangkaian pertanyaan itu bagaikan menempatkan kita sebagai pelaut pemula di tengah lautan penuh badai dan gelombang. Segalanya sulit diprediksi, karena waktu memprediksi itu habis buat mengendalikan kemudi dan mengatur layar. Setiap waktu adalah setiap resiko, karena kehidupan dalam badai adalah kehidupan (sekedar) untuk menyelamatkan diri dari kematian dan berharap perjalanan sampai di tujuan.

Tidak seperti masyarakat Singapura, penyakit masyarakat kita bukan muncul karena diredamnya “naluri kebebasan”, tetapi tampak dari cara kita yang liar mengungkapkan kebebasan. Betapa liarnya!

Monday, February 15, 2010

Milik Minah atau Prita?


Entah merendah atau sekedar pemanis dalam retorika, Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin pernah mengakui ia tidak lebih paham isi Das Kapital karya Karl Marx ketimbang buruh yang tunggang-tunggit di balik pabrik.

Barangkali tokoh pusat atas berdirinya Republik Komunis Uni Soviet itu termasuk orang yang sentimentil. Pengakuannya itu menunjukkan bahwa ia menganggap penghayatan dengan perasaan jauh lebih berharga ketimbang tajamnya analisa pikiran.

Buruh, kata Lenin, menghayati teori-teori yang ditulis Karl Marx dalam empat jilid Das Kapital-nya dengan perasaan. Mengapa demikian? Karena apa yang ditulis Marx adalah segala sesuatu yang mereka (buruh) temukan setiap hari. Pendeknya, Marx menulis segala sesuatu yang berkenaan dengan hidup yang dirasakan buruh itu sendiri.

Anggapan Lenin barangkali memang tak berlebihan. Sebab, siapapun manusia di bumi ini cenderung lebih gampang memahami tulisan yang berkenaan dengan kehidupan mereka sendiri. Dan Das Kapital adalah tentang buruh. Mengikuti logika itu, maka dapat dipahami kerendahhatian Lenin yang mengatakan siapapun yang bukan buruh, tidak akan dapat begitu saja memahami Das Kapital. Marx saja yang bukan berasal dari kelas buruh, kata Lenin, harus mencapai perasaan seperti buruh dengan perjalanan bertahun-tahun, bahkan harus mengorbankan keluarga dan dirinya sendiri.

Lenin mungkin ingin mengatakan, kelas borjuis sebagai penyambung perasaan kelas buruh tidak selamanya diperlukan. Dan di titik inilah Lenin bertentangan dengan pengarang besar Rusia yang menjadi sahabat sekaligus musuhnya, Maxim Gorky. Bagi Gorky, kelas borjuis tetap dibutuhkan karena kesadaran dan aksesibilitasnya terhadap ilmu pengetahuan dan fasilitas mendukung revolusi. Masyarakat kelas borjuis masih diperlukan untuk membahasakan perjuangan kelas buruh.

Dan saya tiba-tiba menemukan kebenaran dalam sikap Gorky itu di zaman ini. Untuk itu, mari mengalihkan mata ke dalam geliat demokrasi di Indonesia. Saya menemukannya dalam pengumpulan poin dukungan untuk Prita Mulyasari. Dan saya juga menemukannya dalam kasus pencurian tiga buah kakao yang dilakukan nenek Minah di Banyumas.

Di Asia Tenggara, kita boleh berbangga dalam soal kebebasan. Di daratan melayu dan indocina, barangkali tak ada negara dengan kebebasan sebesar yang kita miliki di Indonesia. Indonesia begitu tanggap dengan teknologi kontemporer. Dan ini mau tidak mau mempengaruhi denyut kebebasan di negeri ini.

Sebut saja jejaring sosial semacam facebook. Dalam waktu yang tak terlalu jauh jaraknya, dua peristiwa besar yang menandai intervensi masyarakat sipil terhadap negara dicapai (salah satunya) lewat facebook. Kemenangan fenomenal masyarakat sipil pertama adalah dihentikannya status tersangka dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Riyanto-Chandra M Hamzah. Peristiwa kedua adalah dikumpulkannya koin untuk Prita Mulya Sari yang dihukum membayar denda karena dituduh mencemarkan nama RS Omni Internasional.

Partisipasi publik yang mewabah dengan pesat itu, tentu tak bisa dilepaskan dari facebook. Tumpukan manusia ”maya” yang menunjukkan diri dalam akun-akun pribadi itu sudah dipertimbangkan sebagai sebuah kekuatan politik. Prita adalah sebuah contoh yang baik dan mengundang decak kagum bagi penggemar demokrasi. Dalam kasus ini, demokrasi sudah menggeliat di Indonesia.

Di sisi lain, kita juga harus mengajukan pertanyaan, kenapa kasus nenek Minah yang dihukum karena mencuri 3 buah kakao tak segemilang kasus Prita di media massa? Pertanyaan ini bukan sekedar mempertanyakan magnitude sebuah pemberitaan, tapi juga menguji kembali apa sebenarnya demokrasi bagi negeri ini?

Dan saya menemukan satu benda: facebook! Lewat ”tongkrongan” maya itu, kasus Prita secepat kilat menyebar ke pojok-pojok, secepat kilat kasus Bibit-Chandra! Jika demikian, bisakah kita mengajukan hipotesa: nenek Minah tak terlalu ramai diperhatikan karena dia tinggal di daerah nun jauh dari Jakarta dan dalam wawasannya tak mengenal facebook?

Bagi saya, kemiskinan selalu menciptakan drama yang seringkali akal sehat kemanusiaan tak sanggup menyaksikannya. Kasus nenek Minah dan tiga buah kakao tak lain adalah soal kemiskinan. Dan kasus nenek Minah jauh lebih dramatis ketimbang kasus Prita.

Tentu saja tidak ada niat saya untuk mempertentangkan secara berhadap-hadapan antara pembelaan terhadap Prita dan nenek Minah. Kasus Prita tetaplah preseden yang baik untuk sejarah demokrasi kita. Namun, di sisi lain, tidak terlalu gemerlapnya kasus nenek Minah juga membuat kita bertanya, untuk siapakah demokrasi itu? Dan siapakah yang bisa menggerakkan demokrasi itu?

Jelaslah, perbandingan Prita dan nenek Minah menunjukkan demokrasi itu masihlah milik dan digerakkan oleh kelas menengah. Dalam khasanah marxian, kelas menengah disebut dengan borjuis. Prita dan facebook adalah fenomena demokrasi paling kontemporer di negeri ini. Prita dan facebook adalah simbol kelas menengah. Bukankah facebook adalah mainan manusia perkotaan yang relatif bermental kelas menengah?

Dengan demikian, kemenangan yang kita dicapai masyarakat sipil beberapa waktu terakhir ini masihlah kemenangan kelas menengah, kemenangan kaum borjuis. Demokrasi di negeri ini, masihlah bahasa kelas menengah, dan kelas menengah belum mampu menerjemahkan demokrasi itu ke dalam kegelisahan kelas jelata semacam nenek Minah.

Di sinilah sikap Maxim Gorky dalam perseteruan prinsip dengan Lenin berbicara. Demokrasi, sebagai anak dari pemberontakan borjuis, masih memerlukan borjuis. Sebab borjuis, dengan kesadaran kelasnya mampu menggunakan dan menggerakkan fasilitas ala borjuis demi kepentingan demokrasi.

Lalu, apakah Gorky ingin mengatakan, pencerahan dalam diri buruh, petani miskin, dan jelata seperti nenek Minah mustahil terwujud? Sehingga kita membutuhkan kelas menengah yang saban hari tenggelam dalam layar facebook untuk mengancam pemerintah?

Hati saya sebenarnya ingin sepakat dengan Lenin, bahwa kaum buruh (dan petani dan jelata) jauh lebih mudah memahami Das Kapital ketimbang anak-anak kampus yang setiap hari membahas revolusi di negara dunia ketiga. Oleh sebab itu, dalam suatu masa, kaum buruh, petani, dan jelatalah yang akan memimpin revolusi dan menggerakkan demokrasi yang dibahasakan dengan kebudayaan buruh, petani, dan jelata.

Tapi, di Indonesia yang gerak majunya seperti keong ini, kapan kita menunggu orang-orang seperti nenek Minah punya kesadaran bahwa ada makhluk baru bernama media massa, teknologi informasi, jejaring sosial dunia maya, sebagai salah satu senjata untuk membela hak-haknya?

Barangkali Gorky benar, kaum borjuis masih diperlukan dalam demokrasi. Hanya saja, mendidik kaum borjuis untuk memahami logika dan penghayatan hidup sebagaimana masyarakat jelata itulah yang lebih penting. Dengan demikian, apa yang disebut dengan kesadaran kelas ”jelata” itu dapat bersemayam dalam pikiran dan sanubari borjuis. Jika sudah demikian, meskipun yang dianiaya adalah nenek Minah di pojok Banyumas, dengan intervensi kelas menengah melalui teknologi, gaungnya bisa menggetarkan daun jendela kamar tidur Barack Obama di Gedung Putih sana.

Uh! Tiba-tiba saya melihat kampus-kampus itu seperti rumah kaca yang penghuninya tak sadar bahwa ada ”dunia besar” bernama tata surya yang menaungi rumah kacanya! Uh, betapa lelap mereka dalam hari raya sebagai anak muda! Uh Lenin! Uh Gorky!

Desember 17 2009

Tentang Normal


Kamar mandi, yang nyaris kita kunjungi setiap hari, adalah tempat yang diandaikan sebagai wilayah pencucian, penyucian. Kamar mandi, adalah tempat membuang segala yang hina pada tubuh. Ia tempat melemparkan yang kumuh, sekaligus menjadi tempat yang membuat kita merasa tubuh kita kembali cemerlang.

Dalam kegiatan kamar mandi, entah itu mandi, entah itu buang tai, entah itu kencing, entah itu masturbasi, entah itu menangis, entah itu melenyapkan duka, kita seolah mengandaikan suatu ritual tentang ketidaknormalan. Dalam pengertian umum, yang dianggap tidak normal, selalu menjadi subversi, marjinal. Maka itu, yang tidak normal, seringkali kita singkirkan.

Maka itulah, nyaris saban hari, saban pagi, saban sore, kita mengunjungi kamar mandi untuk membuang apa yang dianggap tubuh kita sebagai sesuatu yang tidak normal. Daki dan tai misalnya. Lalu, sejauh mana sebenarnya yang normal dalam mekanisme biologis tubuh kita yang otomatis itu dapat bertahan?

Ternyata, kata normal itu tak lepas pula dari lingkungan masyarakat. Ia diciptakan, tentu saja, tidak untuk sekedar menandai sesuatu peristiwa dengan begitu saja. Kata normal seringkali dibebankan oleh kepentingan untuk menilai sesuatu (di luar diri) sebagai sesuatu yang tak normal, dan sesuatu (di dalam diri) sebagai yang normal. Dengan demikian, kategori normal menjadi relatif.

Misalnya, apakah kamar mandi menjadi sesuatu yang normal bagi orang yang hidup di jalan? Sementara mereka barangkali tak pernah mandi dalam sebulan. Atau, apakah makna kamar mandi bagi masyarakat pedesaan yang masih terbiasa buang air di sungai? Masihkah normalitas ala kamar mandi itu berada pada pengertian yang sama.

Dalam situasi ini, sebenarnya normalitas itu tidak pernah ada. Ia, hanya ada, ketika kita mempersandingkannya dengan apa yang kita sebut dengan tidak normal. Orang jalanan yang tidak mandi berhari-hari dapat menjadi pembanding bagi kita bahwa “mereka” tidak normal, maka itu janganlah meniru hidup yang seperti itu. Sebab, penyakit akan terlalu gampang merasuk tubuh.

Tapi, jika dalam suatu masyarakat yang belum mengenal standar kesehatan “normal”, apakah penyakit yang datang itu dinilai sebagai sesuatu yang datang dari lubuk ketidaknormalan karena pola hidup yang tak bersih? Di titik ini, yang “normal” mungkin masih dapat diterima sebagai nilai bersama.

Tapi, lagi-lagi, apakah benar kehidupan normal sungguh-sungguh ada? Ataukah kita setiap hari sebenarnya hanya mengandaikan kehidupan yang normal sebagai “ide” sembari mencoba mencocok-cocokkan kehidupan ini dengan ide itu?

Misalnya dengan pernyataan, “hidup saya lurus-lurus saja. Saya berpendidikan, meraih gelar sarjana tepat waktu, bekerja di perusahaan dengan upah yang lumayan, punya suami tampan/istri cantik, anak-anak yang sehat dan cerdas tanpa kekurangan. Tidak ada yang aneh-aneh, normal saja.”

Benarkah “normal” dalam hidup yang sebenarnya itu tercermin dalam pernyataan itu? Ataukah itu, sekali lagi, cuma pengandaian?

Sesuatu yang berjalan normal, biasanya tak disadari sebagai sesuatu yang normal. Misalnya, kita (hampir) tidak pernah mengatakan bahwa matahari terbit dari timur sebagai sesuatu yang normal. Dengan begitu saja, tidak ada pembanding terhadap peristiwa alam tersebut. Misalnya, tidak pernah ada pembanding bahwa matahari terbit dari barat (kecuali dalam kisah kiamat) sebagai sesuatu yang menjadi tak normal dalam keseharian kita. Kita cukup mengatakan, “matahari terbit dari timur” tanpa harus membebaninya dengan kategori normal atau abnormal.

Demikian pula hidup. Jika kita masih menyematkan sesuatu di sekitar kita dengan kata normal, maka sebenarnya kita sedang berada dalam ketidaknormalan. Yang normal, hanyalah harapan kita, ideal bagi kita. Sebab, jika yang normal itu memang sudah berjalan begitu adanya tanpa interupsi, barangkali kita tak pernah mengenal istilah normal dalam wawasan itu.

Agama adalah salah satu bentuk nyata dari ide tentang yang normal itu. Kehidupan ini, diandaikan sebagai sesuatu yang tak normal dan sarat konflik. Kisah digodanya Hawa menelan buah khuldi hingga ia dan Adam dicampakkan ke dunia merupakan salah satu bentuk ketidaknormalan dalam asal mula kehidupan. Kita, dipaksa untuk memahami kehidupan dalam situasi konflik. Kehidupan selalu bermula dari konflik. Dan konflik adalah suatu ciri dalam situasi yang tidak normal.

Dan agama, dengan segala ajarannya, membawa pengandaian tentang yang ideal tentang normal itu agar manusia dapat terbebas dari rangkaian konflik yang tak kunjung henti dengan sedikit luka dan darah.

Bukankah itu yang kita jalani hingga kini? Yakni, membayang-bayangkan normalitas sebagai pemandu dan sensor diri terhadap situasi. Yang normal itu, hanyalah konsep, dan kita terus-menerus bertarung dengan kehidupan yang tak terduga ini untuk mewujudkan konsep.

Masalahnya adalah, “normalitas” yang ideal itu seringkali dengan begitu saja dianggap ada dalam kehidupan sehari-hari. Jika yang ideal dan tak nyata itu itu hendak diwujudkan, kepentingan sepihak akan tampil di sana. Maka akan muncul situasi normal “menurut kehendak siapa”. Lambat laun, yang “normal” menurut kehendak siapa itu disadari sebagai keinginan bersama.

Dalam esainya Ideological State Aparatus, gagasan Louis Althusser tentang ideologi dapat dibaca sebagai situasi yang menganggap normal “menurut kehendak siapa” itu menjadi hal yang normal begitu saja apa adanya. Namun, sesungguhnya, semakin dalam dan semakin lama yang normal menurut kehendak siapa itu dipertahankan, maka kita seluruhnya, umat manusia di bumi ini, tidak pernah hidup dalam situasi yang normal.

Kini, di negara ini, dengan situasi politik yang tak terduga dan berubah secara ekstrem, bukankah perasaan kita dibuat selalu berada dalam ketidaknormalan. Mereka, generasi yang menyadari krisis moneter dan orde baru, akan cenderung menganggap negara sedang berada dalam situasi tidak normal.

Dan abnormalitas itu, sebagai situasi sesungguhnya, kini sudah mulai berubah menjadi “ide” sebagaimana yang terjadi pada normalitas. Misalnya, kita akan gampang dan pesimistis mencerca tim nasional kesebelasan sepakbola Indonesia yang miskin prestasi. Selanjutnya, masalah itu akan dikaitkan dengan ketua PSSI yang terlibat korupsi. Lama-lama, kita mulai memberikan idiom general bernada penghukuman pada apa saja yang terlintas di depan mata kita. Itu tampak pada begitu seringnya kita mendengar bahwa “bangsa kita tertinggal, bangsa kita cenderung pemalas, politisi pasti makan uang, dan polisi lalu lintas pasti makan sogok di pinggir jalan.”

Bagi saya, inilah sebenarnya hidup. Sejak digemakan oleh Friedrich Nietzsche pada abad 19, situasi itu tak pernah berubah. Kita, yang hidup di negara dunia ketiga, adalah laboratorium ketidaknormalan umat manusia. Oleh sebab itu, kini, apalah gunanya menyebut-nyebut soal normal dan abnormal, sedangkan kehidupan itu sendiri adalah pertempuran antara yang normal dalam awang-awang dan yang abnormal dalam kehidupan nyata.

Manusia, dicampakkan dalam episode-episode ketidaknormalan. Dan absennya normalitas, membuat kita ditugaskan merumuskannya di dalam kepala, dan berjuang mewujudkannya di kehidupan nyata. Semakin tak terwujud yang ideal itu, semakin cintalah kita pada kehidupan, karena semakin kuat lagi kita berusaha mewujudkannya.

November 23 2009

Kebosanan Yang Tak Terlumpuhkan


Matahari terbenam, dan kehidupan yang sebenarnya baru saja dimulai. Malam adalah ancaman. Karena malam menyebabkan setiap manusia kembali ke rumahnya, menggauli ranjang, dan berbicara dengan dirinya sendiri.

Malam adalah ancaman, sebab, sepi jua yang ditawarkannya. Betapa hidup ini mau diidentifikasi secara intens pada malam hari. Siang adalah waktu mabuk. Mabuk dalam hura-hura mencari nafkah. Saat siang, manusia tenggelam dalam situasi yang nyaris membuatnya alpa dari “kegiatan bersama dirinya sendiri.”

Seberapa pun hebat air mata yang membasahi bantal di malam hari, siang mampu membiusnya. Siang, dengan segala kemeriahannya, membuat manusia terbang dan lupa dengan malam yang menusuk-nusukkan dingin. Siang, adalah narkotika yang menimbun kesadaran diri-pribadi secara kejam. Sebab, kesadaran diri-pribadi itu hanya ditimbun, dia tidak mati, dia masih tersimpan di bawah, dan selalu menjadi ancaman ketika setiap malam datang.

Maka, sudah berapa botolkah air alkohol yang masuk ke perut kita saban malam datang? Narkotika siang, yang melumpuhkan kita dari kesadaran diri-pribadi, hanya bertahan sebelum kelelawar mulai mengepakkan sayap membelah-belah langit. Narkotika siang, mampus ketika bulan mulai memancar.

Apakah kehidupan itu membosankan? Mengapa kebosanan itu harus didefinisikan sebagai kebosanan? Mengapa kebosanan itu harus disadari sebagai kebosanan? Tidakkah kebosanan itu adalah sesuatu yang tak bermakna? Apakah hidup itu tak bermakna?

Inilah sebuah perbandingan: jika siang membius manusia dalam kemeriahan aktivitas dan membuat manusia mabuk-tak sadar dari “diri-pribadi”-nya, maka malam menghasut manusia untuk lari dari kesadaran “diri-pribadi” dan mabuk-tak sadar dari aktivitas siangnya.

“Bicaralah pada dirimu sendiri!” Itulah ungkapan malam yang membuat setiap manusia ketakutan. Siang telah membuat manusia mabuk dari “kesepiannya”, dan kemabukan itu diperoleh dengan rencana-rencana pagi hari yang dirancang pada jejak pertama saat meninggalkan rumah. Mabuk di siang hari, dilakukan seolah tanpa sadar, namun sistemik dan begitu awet hingga ia berubah menjadi keyakinan yang perlu diyakini tanpa dasar sekalipun.

Sedangkan mabuk di malam hari, dilakukan dengan sepenuhnya sadar. Ia juga bisa menjadi sistemik dan awet justru dengan kesadaran. Mabuk di malam hari sebagai cara untuk mengelak dari tuntutan malam untuk bicara pada diri sendiri, bekerja dalam mekanisme psychedelia dan biologis. Mabuk di malam hari membutuhkan “picu” dari luar, seperti alkohol, untuk mengatasi kesadaran “diri-pribadi” yang di dalamnya mengandung takdir kebosanan.

Semakin keras manusia bertanya apa yang akan terjadi esok hari, maka sesungguhnya manusia itu sedang bertarung melawan takdir kebosanan, takdir keputusasaan, takdir keterputusan impian, takdir kesemrawutan jalan panjang yang memanjang di depan.


Lari Adalah Pengecut!

Jika rasa bosan adalah takdir, maka hidup ini tak lain dari pada upaya untuk mengingkari takdir agar hidup tak membosankan. Manusia kemudian menggelar sejumlah perayaan, menggelar pertarungan, menggelar kategori, menggulirkan rasa sakit dan hasrat. Manusia, menurut Friederich Nietzsche, melakukan segala sesuatu karena kehendak untuk berkuasa.

Kehendak untuk berkuasa adalah motif manusia untuk menghindari kebosanan. Bukankah, mencari uang dan kemakmuran dalam satuan terkecil adalah upaya untuk menguasai diri sendiri dari pemberontakan atas kepapaan? Bukankah hidup benar-benar membosankan tanpa politik demi kekuasaan? Bukankah hidup menjadi tanpa isi jika tak ada acara tangkis dan serang?

Namun, seringkali manusia tak pernah mampu berbicara secara jujur tentang pertarungan melawan kebosanan itu. Manusia menciptakan ilusi seperti agama, rasio, teori, dan semua apa yang dihujat Nietzsche sebagai metafisika. Upaya manusia untuk menghindari kebosanan dan mengoptimalkan apa yang paling potensial dari manusia-akal budi-berubah menjadi ilusi, mirip seperti alkohol dan narkotika yang menimbun kejamnya kenyataan yang menghinggap dalam kesadaran diri, mirip juga dengan terbenamnya manusia dalam aktivitas siang harinya untuk menomerduakan malam.

Sebagai contoh: seorang kawan memberikan anjuran, “kau harus mencari tahu apa masalahmu, dan carilah solusinya”. Bah! Lihatlah, pernyataan ini sangat “metafisis” dan merupakan taktik untuk melarikan diri dari kenyataan hidup yang sepahit empedu. Kalimat tersebut terdiri dari dua unsur utama yang bertentangan, “masalah dan solusi”. Apakah setiap masalah ada solusinya? Baik, jika sebagian masalah ada solusinya, bagaimana menjelaskan masalah yang tak terpecahkan? Misalnya, apakah penderita AIDS yang menunggu ajal akan merasa anjuran untuk tetap “semangat dan berdoa” sebagai sebuah solusi? Solusi bagi sebuah penyakit, adalah obat penyembuh. Jika obat penyembuh belum ada, apapun itu bukanlah solusi.

Mengapa semua masalah harus dianggap dapat diselesaikan dan harus diselesaikan dengan solusi. Permainan bahasa dalam soal “solusi dan masalah” itu tak lain adalah cara untuk melarikan diri dari kesakitan yang tak terpecahkan. Kebosanan hidup, ingin dengan gampang saja diselesaikan dengan konsep abstrak (metafisika) masalah dan solusi. Metafisika itu tak lain adalah ilusi yang menyebabkan manusia justru tidak keluar dari masalah, namun mabuk dalam kategori-kategori abstrak yang mengabaikan dirinya, tubuhnya.

Nietzsche menghujat Sokrates dalam soal melarikan diri dari kebosanan hidup itu. A Setyo Wibowo dalam diskusi tentang Nietzsche baru-baru ini di Jakarta menjelaskan, Sokrates menganggap manusia menjadi manusia paling manusia ketika mampu mengoptimalkan keutamaannya. Apa yang utama dari manusia adalah akalnya, intelejensinya, rasionya. Pendeknya, Sokrates mau mengatakan, manusia mencapai keutamaan hidupnya jika ia mengoptimalkan kodratnya, yakni akalnya.

Di satu sisi, pernyataan Sokrates bisa jadi bermanfaat. Dengan meyakini kemuliaan rasio, maka ia dapat melawan penilaian status sosial yang dangkal seperti kaya-miskin. Pernyataan “kecerdasan akan membuatmu terhormat ketimbang kekayaan” dapat dikatakan bermanfaat dalam situasi masyarakat yang mengukur segalanya dari harta.

Namun, Nietzsche menikung lebih tajam lagi dari Sokrates. Baginya, Sokrates dengan memuliakan kategori rasio hanya melarikan diri dari situasi terburuk yang ia (Sokrates) sendiri tak menginginkannya. Sokrates, kata Nietzsche, memuliakan kecerdasan (rasio) karena secara fisik ia buruk rupa. Untuk mengatasi kodratnya sebagai seseorang yang buruk rupa, maka ia melarikan diri ke dalam penganggungan rasio (Setyo Wibowo menilai genealogi Nietzsche atas Sokrates ini diungkapkan secara berlebih-lebihan).

Karena pemuliaan rasio, karena setiap masalah selalu diasumsikan harus diselesaikan dengan solusi, maka kehidupan ini terjebak dalam kategori-kategori. Misalnya, apa yang tidak sesuai dengan pemuliaan rasio, bukanlah sesuatu yang baik. Dan masalah yang tak memiliki solusi adalah buruk.

Kecenderungan memastikan kategori ini, tidak lain adalah ilusi dan mitos yang dibangun untuk melarikan diri dari kenyataan hidup yang tak mau diajak kompromi. Rasa sakit karena kesepian dan kebosanan ingin diatasi begitu saja dengan konsep abstrak solusi dan rasio. Nietzsche menyebut orang-orang ini (termasuk Sokrates) sebagai dekaden yang tak berani menghadapi kenyataan hidup yang sebenarnya.

Tidak semua masalah ada solusinya? Terkadang, berada di tengah pertempuran dengan masalah yang tak tahu kapan henti itu adalah hakikat dari kehidupan!

Nietzsche dan Shypilis

Tidak seperti Sokrates, Nietzsche tidak berusaha lari pada metafisika, teori abstrak, selubung rasio, untuk mengatasi betapa pahitnya hidup. Nietzsche, tidak mau keluar dari dirinya sendiri, ia tidak mau keluar dari darah dalam pembuluh tubuhnya, keluar dari daging jantungnya yang berdenyut.

Sokrates telah mengandaikan kemuliaan akal sebagai alat untuk membuat hidup ini bermakna, sementara kata akal itu sendiri, jauh di awang-awang. Setyo Wibowo memberikan jawaban yang menarik saat ditanya bagaimana “Anda menerapkan genealogi dalam diri Nietzsche sebagaimana Nietzsche menerapkan genealogi pada diri Sokrates.”

Setyo menyebut shypilis yang diderita Nietzsche sebagai asal-usul gaya filsafatnya. Semasa mahasiswa, Nietzsche pernah beberapa kali mengunjungi pelacuran. Dari kunjungannya itu, Nietzsche mengidap shypilis yang harus ia tanggung hingga akhir hayatnya. Keadaan kesehatan yang tak stabil itulah yang menyebabkan Nietzsche menjadi inspirasi hingga kini.

Shypilis pada zaman Nietzsche belum memiliki obat penyembuh. Ia harus hidup dengan penyakitnya. Ia harus bergelut dengan tubuhnya sendiri. Kalau Sokrates berupaya mencari jawaban pada rasio-sesuatu yang bukan tubuh- maka Nietzsche berfilsafat pada tubuhnya sendiri.

Nietzsche tidak lari dari rasa sakit akibat shypilisnya. Sebagaimana ia mengecam Sokrates yang melarikan diri ke rasio, ia menganggap mencari-cari sesuatu untuk melupakan rasa sakitnya menyebabkan dirinya menjadi dekaden. Untuk itu, ia menjawab tantangan penyakitnya, ia siapkan dirinya melawan shypilisnya, ia melawan tanpa harus lari pada teori, pada kategori yang abstrak. Ia menjawab shypilis yang melekat pada tubuhnya dengan tubuhnya sendiri.

Pengalamannya atas shypilis ini yang menyebabkan ia mengafirmasi atau berkata “Ya” pada kehidupan yang tak terduga ini.

Nietzsche di Tengah-tengah Kita

Mengapa kita menyenangi alkohol? Mengapa kita stress tanpa pekerjaan? Mengapa kita menenggelamkan diri dalam pekerjaan pada siang hari? Mengapa kita harus pulang ke rumah? Mengapa tiba-tiba otak berpikir sejenak tentang hidup beberapa saat sebelum tidur malam? Mengapa malam begitu indah sekaligus mencemaskan?

Hidup itu jenuh dan nihil. Tapi, manusia terus menerus menghindar dari kejenuhannya. Menghindar, berarti menolak bertemu, menolak bertempur. Nietzsche memberikan usulan lain pada kita: menghadapi hidup yang jenuh itu. Menghadapi berarti bersedia bertemu, bersedia bertempur, menghindari ilusi metafisika dan teori yang abstrak.

Mari, kalau harus menyambut alkohol, lakukan demi hidup itu sendiri, demi yang menubuh itu sendiri. Kalau pun harus sibuk di siang hari, lakukan demi rasa lapar itu sendiri, demi nafsu birahi itu sendiri. Lakukanlah segalanya dengan sopan. Bertempurlah dengan sopan. Tantanglah hidup ini dengan santun.

Jika tiba masa pahit yang paling empedu, maka menarilah dalam kolam empedu yang melumpur itu. Tidak semua masalah harus dihancurkan dengan kasak-kusuk membolak-balik arti kata “solusi?”