Friday, January 29, 2016

Lidah Pahit untuk Manuskrip Sepi



Sebuah buku, baik dalam pengertian fisik juga maya yang dikenal dengan istilah e-book, adalah sebuah proses yang berlipat ganda. Proses pertama adalah proses privat di mana sang penulis menyempatkan diri bergaul dengan dirinya sendiri saat menulis tulisan yang kelak dibukukannya. Selanjutnya, proses kedua sebagai pelipatgandaan proses pertama adalah ketika si penulis memutuskan untuk melepaskan karangan yang “masih” menjadi rahasia pribadinya itu bersentuhan dengan publik. Dan bagi publik, buku diterima sebagai hasil kerja proses yang kedua. 

Sebagai anggota publik, demikianlah saya mempertimbangkan buku kumpulan puisi seorang penyair kelahiran tahun 1988 yang menerbitkan bukunya secara independen–dalam pengertian membiayai penerbitan bukunya secara mandiri tanpa bergantung pada kekuasaan modal penerbit. Penerbit dalam model pembiayaan penerbitan seperti ini hanya berfungsi sebagai legitimasi dan “bendera” distributor.

Judul kumpulan puisi ini adalah “Manuskrip Sepi” karangan Nissa Rengganis yang diterbitkan melalui penerbit “indie” Gambang Buku Budaya yang berbasis di Yogyakarta. Penyairnya mengaku mencetak 300 eksemplar dalam cetakan pertama yang dilepaskan ke publik pada Juli 2015. Sekaligus mengaku tidak mencetak buku dengan motivasi industri di mana dia berharap bisa mendapatkan keuntungan dari penjualan bukunya. Mulanya, dia hanya mencetak buku itu untuk dibagi-bagikannya secara gratis kepada kolega dan teman-temannya. 

Berkat promosi di media sosial, buku itu mendapat sambutan dari koleganya, dan sebagian dari mereka membelinya. Penyairnya semakin tidak mempersoalkan masalah untung-rugi karena dua bulan setelah diterbitkan, Manuskrip Sepi terpilih sebagai salah satu dari lima buku puisi pilihan dalam Sayembara Yayasan Hari Puisi 2015. Penghargaan ini membuat Nissa mendapatkan hadiah uang sebesar Rp10 juta rupiah.

Pamflet Sayembara Yayasan Hari Puisi 2015

Menurut pengakuannya pula, Manuskrip Sepi tak pernah dimaksudkan untuk diikutsertakan dalam sayembara manapun. Keikutsertaan dalam Sayembara Yayasan Hari Puisi 2015 adalah keputusan penerbit Gambang Buku Budaya. 

Suka atau tidak, Manuskrip Sepi menaikkan popularitas Nissa Rengganis sebagai seorang penyair. Sekurang-kurangnya, buku kumpulan puisinya yang pertama ini dibaca dan dipilih oleh dewan juri sekaligus penyair dan kritikus populer dalam sejarah dan industri sastra di Indonesia: Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, dan Maman S Mahayana.

Sutardji Calzoum Bachri
Abdul Hadi WM
Maman S Mahayana

Dari lima buku pilihan, Nissa adalah rookie karena empat buku pilihan lainnya ditulis oleh pengarang yang sudah “mapan” dalam industri sastra Indonesia: Aspar Pasturusi (Perahu Badik Membaca Laut), Gus tf Sakai (Susi), Hamdy Salad (Tasbih Merapi), dan Taufik Ikram Jamil (tersebab daku melayu). 

Sementara itu, hadiah utama jatuh kepada dua nama yang sama mapannya dengan empat peraih penghargaan buku pilihan selain Nissa, yakni Sonny Farid Maulana (Arus Pagi), dan Yudhistira ANM Massardi (99 Sajak). Dua penyair ini berhak atas hadiah uang Rp25 juta. Dan bagi Nissa, hadiah Rp10 juta sudah lebih dari modal yang dia keluarkan untuk menerbitkan Manuskrip Sepi.

Sebagai seorang rookie, Nissa menghadapi cemoohan dalam komunitas pergaulan keseniannya sehubungan dengan terpilihnya Manuskrip Sepi di antara penyair lain yang rata-rata lahir di tahun 1960-an dalam Sayembara Yayasan Hari Puisi. Sebagian orang menganggap Manuskrip Sepi menang karena salah seorang dewan jurinya, Maman S Mahayana, berasal dari daerah yang sama dengan daerah asal Nissa, yakni Cirebon. Cemoohan ini menghantam kepercayaan dirinya. Sekaligus menganggap dewan juri tidak berlaku obyektif dalam pemilihan Manuskrip Sepi sebagai salah satu buku puisi pilihan. 

Manuskrip Sepi dan Nissa Rengganis menjadi “lubang” bagi sebagian orang untuk meragukan kredibilitas Sayembara Yayasan Hari Puisi 2015. Sekaligus juga meragukan kredibilitas Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, dan tentu saja, Maman S Mahayana.

Keputusan Nissa untuk mempersentuhkan Manuskrip Sepi dengan publik telah membawanya pada situasi di mana sebagian orang menunjukkan ketidakpercayaannya terhadap penilaian penyair tua yang lahir di tahun 1940-an dan salah seorang di antaranya bahkan dijuluki sebagai avant-gardian dalam sejarah industri sastra Indonesia. 

Saya menimang Manuskrip Sepi dengan pengetahuan bahwa buku ini menarik perhatian publik melalui Sayembara Yayasan Hari Puisi 2015. Apakah saya akan bersikap sama seperti orang-orang yang mencemooh Manuskrip Sepi?

Saya tidak akan mencemooh, tapi saya harus mengatakan bahwa sebagai sebuah “buku” yang dipresentasikan ke publik, Manuskrip Sepi memiliki sejumlah kecacatan yang bisa menjadi jalan bagi para pencemooh. Sebagai contoh, saya menemukan ketidakkonsistenan ejaan setidaknya pada 20 halaman dari buku setebal 85 halaman yang berisi 49 puisi plus epilog yang ditulis oleh dosen filsafat Universitas Indonesia yang cukup populer, Rocky Gerung. 

Dan saya harus mengatakan, ketidakkonsistenan ejaan adalah soal yang sangat menganggu. Sebagian orang boleh bilang bahwa aturan ejaan adalah hal yang membosankan. Namun, ejaan berfungsi untuk keindahan tulisan dalam bentuk dan fungsinya yang paling dangkal: simbol.

Saya harus menelusuri aturan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (PU-EBIYD) yang ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hasan pada 1987 hanya untuk memastikan bagaimana sebenarnya aturan penulisan “di” sebagai awalan dan “di” sebagai kata depan. Dalam pedoman itu, dikatakan bahwa kata depan di, ke, dan dari ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya, kecuali di dalam gabungan kata yang sudah lazim dianggap sebagai satu kata seperti “kepada” dan “daripada”. 

Buku PU-EBIYD Terbitan Balai Pustaka

Beberapa contoh di antaranya adalah:

Kain itu terletak di dalam lemari.

Bermalam sajalah di sini.

Di mana Siti sekarang? 

Pada bagian imbuhan, “di” sebagai awalan ditulis “serangkai dengan kata dasarnya.” Contoh yang digunakan misalnya, “dikelola”.

Spasi pada “di” dalam “terletak di dalam lemari” memberikan makna yang jauh berbeda ketika spasi itu ditiadakan dalam “dikelola”. 

Tetapi, apalah artinya spasi yang jaraknya mungkin tak sampai satu sentimeter namun terabaikan (atau diabaikan?) pada baris ketiga di bait kedua puisi Nissa Rengganis yang berjudul Menuju Senja di Kotamu (halaman empat) yang tertera seperti ini

Aku disini. Di kotamu yang bising. 

Hanya dalam dua kalimat berdekatan, di sebagai awalan yang menunjukkan tempat yakni “di sini” dan “di kotamu” justru ditulis dengan cara yang berbeda: di tanpa spasi pada disini namun di dengan spasi pada di kotamu.

Masalah ini muncul lagi ketika “di” yang seharusnya tidak diberi jarak spasi karena berfungsi sebagai imbuhan diterakan dengan “Di tenggelamkan percakapan kita” pada baris ketiga bait kedua puisi Aku Laut Padamu (halaman sebelas). 

Cacat seperti ini masih ada di sejumlah halaman lainnya. Ditambah lagi misalnya dengan kerancuan menulis leksikon asing seperti Sysiphus di mana PU-EBIYD menyebutkan bahwa serapan “y” ditulis “i” jika lafalnya adalah i dan “ph” ditulis dengan “f”. Sehingga, seharusnya, Sysiphus pada Puisi Pohon Ek (halaman 64) ditulis dengan

Aku Sisifus yang menertawakan hidup. 

Tetapi, aturan ejaan ini memang membosankan. Mungkin mirip dengan betapa membosankannya mempelajari bahasa Inggris ketika harus menghadapi penggunaan “of” atau “on” atau “in” yang terlalu rumit karena maknanya bisa berubah-rubah mengikuti kata yang mengawali atau mengikutinya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online milik Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui situs http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi juga memudahkan pendeteksian ini. Melalui situs ini, saya mencari pengertian kata “orange” dari puisi Perkenalan Pelukis dan Penulis (halaman 62) yang tertera pada kalimat

Di balik gunung-gunung tenang dan matahari orange

Mesin pencari tidak menemukan pengertian untuk kata orange. Lalu saya mengikuti intuisi saya tentang kelaziman bunyi kata ini dengan mengubah huruf “g” menjadi “y”, dan mesin pencari memunculkan kata “oranye” yang artinya adalah “warna merah kekuning-kuningan; jingga.” 

Kasus yang mirip seperti ini muncul lagi ketika KBBI tidak menyediakan arti kata instant, mall, dan caffe dalam puisi Juni untuk Sapardi (halaman 74) yang diterakan dengan

Di kota yang serba instant ini/Kami terseret pada mall dan caffe 

KBBI hanya menyediakan pengertian untuk instant dengan penulisan “instan”, mall dengan “mal,” dan caffe dengan “kafe.”

Baik, saya tidak akan meneruskan tetek-bengek kecacatan ejaan yang membosankan ini. Apalah artinya aturan-aturan bahasa yang dilembagakan oleh seseorang yang ditunjuk melalui sebuah proses politik lalu mendapatkan jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan? Bukankah kekuasaan juga menggunakan proses ini untuk melembagakan status quo dengan memanipulasi bahasa? 

Bagi saya soal ini adalah sesederhana bahwa konsistensi ejaan menunjukkan kedisiplinan penulis pada prinsip-prinsip dasar bahasa yang digunakan di negara tempat dia lahir, tumbuh, dan menjadi dewasa. Lebih sederhana lagi, konsistensi ejaan memudahkan dan memanjakan mata pembaca saat menerjemahkan susunan abjad. Bayangkanlah jika tidak ada pembedaan antara “di” sebagai kata depan dan “di” sebagai imbuhan sementara dalam percakapan lisan tak ada bedanya antara bunyi “di” dalam “dipotong” dan “di” dalam “di rumah”. Menulis jelas berbeda dengan berbicara lisan. Menulis menyempatkan waktu untuk berpikir sebelum mengungkapkan maksud, sementara bicara adalah soal spontanitas.

Kritik ini akan saya kembalikan pada apa yang saya katakan di awal tulisan ini, yakni proses berlipat ganda pada sebuah buku yang bersentuhan dengan publik. Tak ada gunanya menyalahkan sesiapa dalam kecacatan ini. Namun, sebagai sebuah produk, buku Manuskrip Sepi merupakan kerja kolektif yang melibatkan penulis, penyunting, penata letak, desainer, juga penerbit sebagai sebuah institusi. Penulisnya bisa saja abai atau bosan dengan ejaan dan tata bahasa, namun sebagai sebuah produk yang dijual–dan menjadi bagian dari industri–kesalahan yang kita temukan di dalam Manuskrip Sepi juga merupakan tanggung jawab penyunting dan penerbitnya. 

Tetapi, agaknya ketidakkonsistenan dalam urusan ejaan bukanlah kasus spesial dalam industri perbukuan di Indonesia. Karena saya pernah kecewa membeli novel klasik karangan salah seorang pengarang besar dan cukup dihormati di Indonesia karena cetakan terbarunya yang diterbitkan oleh salah satu penerbit raksasa Indonesia memuat banyak kesalahan ketik. Jika kesalahan ini merupakan error dalam kerja kreatif penulis, maka penulis bersangkutan bertanggungjawab untuk memperbaikinya. Namun, apalah gunanya seorang penyunting jika tidak memperhatikan kesalahan-kesalahan seperti ini? Yang lebih menyakitkan, kesalahan seperti ini terjadi pada karangan pengarang besar yang naskah aslinya jauh lebih disiplin, beberapa kali dicetak-ulang, dan penerbit menerbitkan cetakan terbaru yang “merusak” naskah asli akibat ketidakprofesionalan penyunting yang bekerja untuk penerbit. 

Kekuasaan Yurisdiksi Gaya 

Dan puisi, jelas salah satu jenis tulisan yang tidak saja memperjelas perbedaan maksud kata dalam kesamaan bunyi pada bahasa lisannya, namun memberikan makna gaib yang berada di balik aturan-aturan gramatika yang membosankan itu: makna sastrawi.

Dan mau tak mau, para pencemooh harus berhadapan dengan makna sastrawi yang ditawarkan oleh Manuskrip Sepi. Makna, yang menurut saya, barangkali menjadi pertimbangan juri Sayembara Yayasan Hari Puisi 2015 untuk memilih Manuskrip Sepi sebagai salah satu buku pilihan. 

Saya mendengar Manuskrip Sepi sebagai judul kumpulan puisi Nissa Rengganis sebelum saya membaca isinya dalam sebuah buku. Dan menggunakan kata “sepi” sebagai judul sebuah kumpulan puisi sama sekali tidak mengejutkan. Karena sepi adalah kata yang sering ditemukan dalam lintasan puisi sejarah arus utama industri sastra di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah

Semua sepi sunyi sekali (Subuh, Amir Hamzah)

Sepi di luar menekan mendesak (Hampa, Chairil Anwar) 

sepi di bumi priangan/sepi menghadapi mati (Tanah Kelahiran, Ramadhan KH) 

Sambil menyeberangi sepi/kupanggil namamu, wanitaku (Kupanggil Namamu, WS Rendra) 

Aku pun tahu: sepi kita semula/bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata (Di Beranda Ini 
Angin Tak Kedengaran Lagi, Goenawan Mohamad) 

Ia hanya ingin/Menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di/Lorong sepi pada suatu pagi (Pada Suatu Pagi Hari, Sapardi Djoko Damono)

sebelas duri sepi (Mantera, Sutardji Calzoum Bachri) 

Waktu selalu melimpahi langit sepi dengan kabut dulu (Dini Hari Musim Semi, Abul Hadi WM)

Dan sungai Siak jadi sepi, jadi lebih dalam lagi dari Gurindam Duabelas (Buku Harian dari Gurindam Dua Belas, Afrizal Malna) 

Tuhan datang malam ini/di gudang gulita yang cuma dihuni cericit tikus/dan celoteh sepi (Tuhan Datang Malam Ini, Joko Pinurbo)

Dan, beginilah sepi yang dituliskan Nissa Rengganis dalam bait puisi yang dijadikan judul buku puisinya, Manuskrip Sepi: 

Tidak ada puisi cinta untukmu/hanya sedih dalam luka nyeri/hanya sedih dalam luka sepi 

Puisi Manuskrip Sepi sekaligus menjadi puisi pertama yang disajikan dalam Manuskrip Sepi. Nissa telah memilih sepi sebagai “kesimpulan umum” dari kumpulan puisinya. 

Lalu, apakah dengan mengetahui bahwa sepi ternyata adalah klise dalam perpuisian Indonesia membuat Manuskrip Sepi jatuh pada klise pula? Saya lebih suka memulai pertanyaan ini dengan melihat pengertian kata sepi dalam KBBI.

Sepi: sunyi; lengang: duduk di tempat yg --; 2 tidak ada orang (kendaraan dsb); tidak banyak tamu (pembeli dsb); tidak ada kegiatan; tidak ada apa-apa; tidak ramai: sudah sepekan ini pasar karet --; negeri itu sudah --; 3 dianggap tidak ada apa-apa; tidak dihiraukan sama sekali: -- dr (gangguan, bahaya, dsb), tidak ada atau terlepas dr (gangguan, bahaya, dsb); tidak -- dr (gangguan, bahaya, dsb), selalu ada (gangguan, bahaya, dsb); tidak terlepas dr (gangguan, bahaya, dsb); 

Dan ternyata, KBBI memberikan pengertian kata sepi dengan kata, bukan dengan kalimat, yakni “sunyi” dan “lengang.” Sementara sisanya menunjukkan pengertian sepi dengan memberikan contoh dalam penempatannya di kalimat tertentu. Ini berarti, sepi merupakan kata yang pengertiannya sangat bergantung pada konteksnya.

Dan sepi, sebenarnya merupakan sebuah klise yang memiliki sinonim yang jauh lebih klise lagi ketimbang kata ini sendiri dalam perpuisian Indonesia: sunyi. Itupula sebabnya, KBBI memberikan pengertian pertama pada kata sepi dengan kata sunyi. Lalu, apa pula kata KBBI tentang pengertian sunyi? 

Sunyi: tidak ada bunyi atau suara apa pun; hening; senyap: malam yg --; 2 kosong (tt rumah dsb); tidak ada orang; lengang; sepi: baru pukul 22.00 jalanan sudah --; rumah itu -- sekali; 3 tidak banyak transaksi (persetujuan jual beli); tidak banyak pembeli (dl perdagangan): pasar uang mulai --; 4 bebas (lepas, lekang, terhindar): tiada manusia yg -- dr kesalahan; 

Untuk kata sunyi, KBBI memberikan jawaban dengan kalimat, yaitu “tidak ada bunyi atau suara apa pun; hening; senyap”. KBBI menunjukkan sepi sebagai sub-pengertian dari kata sunyi. Sehingga, ketika kita mencari pengertian kata sepi, KBBI mengarahkan kita untuk mencari pengertian kata sunyi. 

Dan kata sunyi, jauh lebih mudah ditemukan dalam puisi Indonesia. Lihatlah Amir Hamzah yang memilih Nyanyi Sunyi sebagai judul buku puisinya yang paling terkenal. Lalu, Chairil Anwar menulisnya dengan “Nasib adalah ke-sunyi-an masing-masing... Anda bisa menambahkan daftar penyair yang menggunakan kata sunyi dengan mudah pada pengarang-pengarang setelah Amir Hamzah.

Apa yang ingin saya katakan adalah, Manuskrip Sepi berada di jalan setapak yang sudah “menjalur” dalam sejarah sastra modern Indonesia. Menggunakan kata sunyi, sepi, sepertinya menjadi standar bagi siapapun yang menulis puisi dalam bahasa Indonesia. Dan, untuk standar ini, sastra Indonesia harus berutang pada Amir Hamzah. Dalam Manuskrip Sepi, kita bisa melihat campur-aduk gaya di bawah pengaruh sejak Amir Hamzah. 

Amir Hamzah

Di titik ini, gaya yang dominan dalam sastra menunjukkan pertaliannya dengan batas hukum suatu wilayah politik, yaitu negara. Manuskrip Sepi, ditulis dan dibahasakan untuk publik yang berada dalam yurisdiksi sastra (negara) “Indonesia”. Penyairnya belum menghasratkan untuk melakukan pemberontakan sejarah dengan keluar dari jalur setapak sejarah sastra Indonesia dengan cara meninggalkan jalur yang sudah dibentangkan oleh HB Jassin sejak Hamzah Fansuri sampai penyair kelahiran 1990-an yang karyanya mulai banyak dimuat di surat kabar-surat kabar penahbis status kepenyairan seseorang.

Dan, Nissa melakukan kerja kreatif dengan mengaduk berbagai gaya dalam yurisdiksi sejarah sastra Indonesia pada Manuskrip Sepi. Cara yang paling sederhana adalah dengan melihat jejak-jejak gaya umum sastra Indonesia dalam puisi-puisi Nissa. 

Salah satu yang saya rasakan adalah betapa cepat ingatan saya melayang pada puisi Chairil Anwar “Senja di Pelabuhan Kecil” ketika saya membaca bait terakhir puisi Nissa yang berjudul Nelayan Pantai Utara.

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
serta temali
(Senja di Pelabuhan Kecil


Sementara itu, Nissa menulis

Pada akhirnya
Dermaga, kapal tua, dan gudang
Adalah sarang bagi sepi
(Nelayan Pantai Utara


Atau lihatlah pengaruh Goenawan Mohamad yang cukup dominan dalam Manuskrip Sepi seperti yang terlihat pada penggunaan kalimat tanya dalam puisi Pertanyaan dan Perempuan yang Membakar Sepi. Jika Goenawan Mohamad menulis

Apa yang berharga pada tanah liat ini
Selain separuh ilusi?
(Kwatrin Tentang Sebuah Poci


Maka Nissa menulis

Adakah yang berharga
Setelah puisi ini selesai dituliskan?
(Perempuan yang Membakar Sepi


Atau kombinasi antara Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono pada puisi Lembarannya adalah Waktu. Ketika membaca judul “Lembarannya adalah Waktu”, saya langsung teringat dengan judul puisi Sapardi yang berjudul “Yang Fana Adalah Waktu”. Di dalam puisi ini, Nissa menulis

Suaramu lirih
Memintaku jangan menulis puisi tentang gerimis
Memintaku tak perlu menunggu hujan jatuh 


Saya merasakan pengaruh kental puisi Goenawan Mohamad yang berjudul Pagi dalam puisi di atas. Goenawan menulis 

Gerimis seperti jarum-
jarum jatuh. Pada seng
dan subuh, seribu gugur
dari sebuah jam yang jauh. 


Goenawan Mohamad

Selain itu, yurisdiksi sejarah sastra Indonesia juga membuat Nissa melakukan apa yang telah dilakukan oleh penyair-penyair sebelum dia seperti menulis puisi untuk penyair yang lebih dulu dan terkenal. Puisi-puisi seperti ini, sering ditujukan sebagai rasa kekaguman terhadap penyair pendahulu, atau ingin menunjukkan pemaknaan pribadi sang penyair bersangkutan terhadap ide-ide penyair yang dituju dalam puisinya, atau juga rasa persabahatan. Nissa menulis puisi berjudul Malam Chairil dan Juni untuk Sapardi, seperti juga Goenawan Mohamad menulis puisi berjudul Potret Taman untuk Allen Ginsberg yang merujuk kepada penyair Amerika Serikat yang dikenal sebagai salah satu eksponen Beat Generation, Allen Ginsberg, atau Afrizal Malna yang menulis Penyair Anwar merujuk pada Chairil Anwar, juga Joko Pinurbo yang menulis Penyair Tardji tentang Sutardji Calzoum Bachri. Dan sejumlah kecenderungan lain yang serupa juga bisa dirasakan secara dominan dalam Manuskrip Sepi.

Kemampuan meramu berbagai macam gaya dari sejumlah penyair terkemuka dalam sejarah sastra Indonesia juga merupakan pencapaian pula. Saya menduga, kemampuan Nissa mencampurkan gaya yang sangat menonjol dari penyair-penyair pendahulu yang menonjol pula, menjadi pertimbangan utama yang membuat dewan juri Sayembara Yayasan Hari Puisi 2015 memilih Manuskrip Sepi sebagai salah satu buku pilihan. 

Bau Kelam Pantai Utara 

Tanpa terasa, apa yang saya pikirkan tentang Manuskrip Sepi lebih banyak pada soal teknis dan gaya yang seringkali terasa membosankan ketimbang kenikmatan yang ditawarkan oleh puisi: makna. Dan Manuskrip Sepi diselamatkan dari kecacatan teknis dan keklisean lingkungan gaya oleh makna yang dikandungnya. 

Bagi saya secara pribadi, puisi terasa sebagai puisi ketika saya bisa merasakan renungan yang dilakukan seorang penyair ketika saya membaca puisi yang ditulisnya. Ketika sebuah puisi bisa membuat saya merenung untuk memahami maknanya, pada saat itulah puisi itu bekerja pada mental dan pikiran saya.

Saya tidak akan membahas puisi tertentu dari Manuskrip Sepi. Namun, setelah melihat betapa dominannya pengaruh kekuasaan yurisdiksi gaya sejarah arus utama sastra Indonesia, memudahkan saya untuk mencari kenikmatan dalam Manuskrip Sepi. 

Jika Nissa menggunakan sepi sebagai copywrite dalam judul Manuskrip Sepi, saya akan mengakui bahwa buku puisi ini telah menawarkan sebuah suasana yang tidak berbeda dengan judulnya. Saya bisa merasakan sepi dalam gambaran Nissa tentang suasana. Misalnya

Barat atau utara sama saja
Perjalanan kita tak lagi menemui senja
Hanya lampu berpantulan
(Perjalanan


Betapa sepinya suasana pada petikan puisi di atas ketika “hanya” ada (cahaya) lampu berpantulan dalam perjalanan yang tak menemui senja.

Atau ketika ia merasa sepi yang terasa sebagai keterasingan di dalam keramaian saat ia menulis 

Kotaku bising
Dan aku tetap asing
(Pulang


Juga betapa heningnya ketika

Badai kecil menyapu perahu-perahu nelayan yang lalai
(Pada musim ketiga di Laut Utara


Dan keterangan-keterangan tempat dan waktu di mana-kapan sebuah puisi ditulis yang dicantumkan Nissa di bawah beberapa puisinya seperti Cirebon 2011, Purwokerto 2009, juga Yogyakarta, dan Tasikmalaya, membantu pikiran untuk memasuki dunia imaji dalam puisi-puisi Nissa. Nissa agaknya sangat terpesona pada kehidupan dan kultur tempat tinggalnya sebagai sebuah area dan identitas kreatif. Ia bercerita tentang nelayan dan laut yang dengan jelas menunjukkan suasana Pantai Utara di mana Cirebon adalah salah satu kawasan pesisirnya–kota di mana Nissa lahir, tumbuh, dan menjadi tempat kediamannya hingga kini.

Peta Cirebon

Saya termasuk orang yang pembosan dan tidak percaya dengan status quo seperti “sejarah sastra Indonesia”. Gairah saya terhadap sesuatu yang baru tidak tercapai ketika saya membaca buku kumpulan puisi yang ditulis oleh generasi baru seperti Nissa Rengganis. 

Kenapa saya memilih kata yurisdiksi untuk sub-bagian sebelumnya dari artikel ini, adalah untuk menggambarkan betapa pengetahuan tentang sejarah sastra Indonesia–yang sudah mapan sebelum saya dan mungkin penyair muda seperti Nissa lahir–membatasi wilayah kreatif seorang penyair–secara sadar atau tidak–seperti yurisdiksi yang membatasi aturan hukum bagi seseorang yang berada dalam sebuah negara.

Wilayah kreatif dalam Manuskrip Sepi dengan mudah bisa dicapai batas-batasnya karena Nissa Rengganis mungkin belum menyadari bahwa sastra adalah dunia bebas yang seharusnya menjadi pendobrak yurisdiksi-yurisdiksi sejarah sastra sebuah negara. Tentu saja seorang penyair tidak bisa lepas dari sejarah sastra yang menguasai lingkungannya, namun biarlah itu mengalir seperti pengetahuan tentang bahasa ibu yang diajarkan oleh orang-tua dan keluarga kepada seorang bayi. Maksud saya, biarlah pengetahuan tentang sejarah sastra Indonesia menjadi sesuatu yang given. Tetapi, memilih tetap bertahan di dalam yurisdiksinya, itu adalah kemunduran. 

Kenapa kemunduran? Karena kini orang tidak lagi percaya pada kualitas sastra Indonesia, semudah para pencemooh yang meragukan penilaian penyair besar seperti Sutardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi WM karena memilih Manuskrip Sepi sebagai buku pilihan Sayembara Yayasan Hari Puisi 2015. Belum lagi keluhan generasi masa kini yang beredar beberapa tahun belakangan bahwa mereka tidak lagi menemukan sesuatu yang baru karena kebaruan itu sudah ditelan oleh penyair pendahulu dan terkemuka dalam yurisdiksi sejarah sastra Indonesia.

Pengakuan generasi terkini yang mengaku tidak lagi mampu menemukan gaya baru adalah bentuk inferioritas sebagai efek kejiwaan masyarakat pasca-kolonial ditambah kepengecutan penyair mapan untuk merobek zona nyamannya setelah namanya ditulis dalam apa yang disebut sejarah sastra. Budaya menghormati orang yang lebih tua, pada gilirannya digunakan oleh orang yang lebih tua untuk membuat generasi di bawahnya tunduk sebagaimana ketundukan seorang anak di bawah kekuasaan ayah-ibunya. 

Maka, seorang penyair muda akan menganggap kualitas Chairil Anwar adalah sesuatu yang tak terkejar, Goenawan Mohamad adalah dewa, dan Sutardji Calzoum Bachri adalah presiden para penyair. Jika cemooh adalah bakat umum para sastrawan atau orang-orang yang bergaul di dalam komunitas kesenian di Indonesia, maka saya akan menggunakan cemooh untuk mencemooh mereka, mencemooh kecenderungan keinginan untuk dihormati dalam diri penyair mapan dengan menganggap generasi muda selamanya adalah pemula dan tidak akan mampu melampaui pencapaian mereka. 

Dalam yurisdiksi yang membosankan itu, saya menganggap Chairil Anwar adalah penyair terbaik. Namun, saya tidak mau berada di belakang jalur mengikuti jejak Chairil Anwar karena Chairil Anwar datang kepada saya tanpa saya minta. Chairil Anwar adalah sesuatu yang given. Kemanapun penyair generasi masa kini menghadap, maka Chairil tak bisa dihindari.

Chairil Anwar

Namun saya menganggap hal itu sebagai anugerah. Tidak ada salahnya memiliki Chairil dalam diri kita. Namun, merasa bahwa Chairil tidak bisa dilampaui, itu adalah yurisdiksi yang memerosotkan kepercayaan diri. Itulah sebabnya, kian hari politik sastra jauh lebih menarik perhatian ketimbang obsesi terhadap kualitas karya yang melampaui. 

Saya melihat Manuskrip Sepi sebagai representasi kepercayaan diri yang selalu merasa berada di belakang jejak yang sudah ada. Bagi orang yang memutuskan menulis puisi dan mempublikasikannya seperti Nissa, tidak sulit baginya untuk melakukan hal yang umum seperti ini. Semudah saya menemukan pengaruh sejumlah penyair tua yang merasa tak ada generasi baru yang bisa melampaui mereka selama generasi baru itu menulis dalam bahasa Indonesia.

Nissa Rengganis sudah menjalani takdirnya untuk terjebak dalam status quo sejarah sastra Indonesia, dan Manuskrip Sepi adalah hasil keterjebakan dalam takdirnya itu. Namun, dia punya bekal yang didapatnya dengan pengalaman yang tidak mudah. Saya punya harapan terhadap penyair ini, karena sebagai seorang perempuan yang menerbitkan buku puisinya di usia yang belum genap 27 tahun, dia membiarkan dirinya masuk dalam situasi yang bisa membuatnya melampaui apa yang sudah dilakukannya saat ini: kemiskinan. 

Saya mencium bau kemiskinan yang kental dalam suasana kelam Pantai Utara pada Manuskrip Sepi. Abad informasi bagi Indonesia adalah puisi yang dianggap sebagai aktivitas kolot oleh sebagian besar generasi muda yang lebih senang dengan gadget dan obsesi terhadap pemalsuan identitas yang dimanjakan oleh fenomena media sosial. Jika seorang perempuan muda masih menulis tentang kemiskinan di negaranya yang bising disertai masyarakat yang menganggap kemiskinan sebagai aib yang harus ditutup-tutupi, maka dia akan menjadi sepi, dekat dengan penderitaan, dan bersama penderitaanlah para penyair pemula melampaui cemoohnya.

Manuskrip Sepi adalah modal untuk menyadari bahwa ada yang salah dengan sejarah sastra Indonesia. Kesalahan yang tampak pada kecenderungan mutakhir di mana para sastrawan terkemuka mempertontonkan kekotoran politik (elit) sastra ketimbang memberitahu tentang menyelami penderitaan sebagai bagian dari obsesi terhadap kualitas kehidupan demi proses kreatif para generasi muda yang lugu. Penyair muda selalu jadi korban karena menganggap kesalahan itu sebagai sebuah kewajaran hanya karena dilakukan oleh orangtua yang terkenal. Bagi penyair muda, membuka jalan di rimba yang tak bisa diperkirakan adalah satu-satunya jalan agar tidak dilecehkan di hari tuanya. Betapa indahnya! Karena jalan rimba itu harus dibuka dengan tangan telanjang, tanpa harus peduli terhadap siapakah atau adakah yang akan mengambil jalur di jejaknya. 

Jakarta, 23-24 Januari 2016