Saturday, June 15, 2013

A la Tito* (Catatan Seorang Fan 5)

Pep Guardiola akan selalu dirindukan. Namun, Titolah yang hadir di dalam jarak nostalgia itu. Tito dan Pep, bukanlah dua orang yang saling mendekati dalam hubungan sebagai pelatih dan asisten. Dengan sikap yang mereka tunjukkan saat menjadi duet pelatih Barcelona, Tito dan Pep lebih tepat disebut sebagai sepasang sahabat.

Catatan ini ditulis ketika sisa-sisa hujan masih terlalu deras untuk ditahan jika kita ingin pulang ke rumah dengan sepeda motor. Selepas Isya di pekan terakhir November 2012. Soal waktu ini, aku perlu memasukkan bulan dan tahun agar siapa pun yang mungkin membacanya bisa membayangkan situasi sehari-hari mereka pada waktu itu.

Tetapi, bukan itu maksud yang lebih penting. Sifat ketidakpastian dalam sepakbola adalah candu. Tak ada yang bisa menebak apa yang bakal terjadi di dunia sepakbola di masa depan. Kendati demikian, jika peristiwa yang terjadi di masa lampau dunia sepakbola terkenang pada suatu waktu, kronologinya terasa seperti drama yang bisa direka oleh seorang sutradara berbakat.

Tito, jika dia bukan ibarat pasangan Guardiola, beban yang diterimanya akan berbeda. Dia mungkin bisa seperti Roberto DiMatteo yang dipecat bos Roman Abramovich dari kursi pelatih Chelsea ketika Liga di tahun keduanya sebagai pelatih kepala baru menapak pekan ke-12. Tito sudah terlanjur dianggap sebagai “tangan kanan” Guardiola. Anggapan dengan istilah “tangan kanan” itu saya dengar dari media massa.

Apakah tangan kanan itu sekadar ucapan kosong yang bisa dilahap sambil lalu seperti mengunyah kacang goreng? Di pundak Tito, ada buntelan berisi 14 gelar yang diraihnya dalam empat musim sebagai asisten Guardiola. Pertanyaan lainnya, apakah buntelan 14 gelar itu terlihat seperti karung terigu berwarna putih? Jelas tidak! Namun, itulah alamnya! Siapa pun yang besar dalam dunia sepakbola sudah pasti menerima semacam tanggungan: beban sosial.

Di dunia ini, fan Barcelona mungkin merupakan salah satu fan yang beruntung: mencintai tim yang mengajarkan bahwa kekalahan sebaiknya dianggap sebagai oto-kritik. Dalam jarak yang amat tipis, fan bisa saja menganggap kekalahan adalah rasa sakit yang menjadi beban. Siapa bilang ketika Barca disingkirkan oleh Chelsea di Liga Champions 2011/2012 tidak menimbulkan rasa sakit? Terlebih lagi, tak sampai sepekan sebelum itu, Real Madrid mendapatkan kemenangan El Clasico pertamanya dalam empat musim terakhir.

Bayangan Guardiola digambarkan sebagai beban sosial yang diterima Tito. Dia menggantikan Guardiola ketika klub kehilangan La Liga dan Liga Champions. Nasehat lama berlaku lagi: mempertahankan jauh lebih sullit ketimbang merebut! Ketika bench Camp Nou diserahkan ke Tito, Barca mengakhiri musim dengan kegagalan mempertahankan gelar Liga Champions. Sekaligus gagal menciptakan sejarah sebagai tim pertama yang mempertahankan juara Liga Champions di era format baru yang dimulai sejak 1992.

Tetapi, coba lihat bagaimana Tito memulai pekerjaannya? Laga perdananya adalah uji coba versus klub Bundesliga, Hamburg SV, 24 Juli 2012. Laga itu sekaligus menjadi perayaan ulang tahun ke-125 “Rothosen”. Barca unggul 2-0 melalui gol yang dilesakkan Dani Alves dan pemain muda lulusan akademi La Masia yang baru saja membawa Spanyol menjuarai Piala Dunia U-19, Gerard Delofeu.

Tak ada David Villa, Puyol, Messi, Xavi, Iniesta, Pique, Busquets, Valdes, dan Pedro. Kecuali Messi, semua pemain lainnya terhalang cedera dan istirahat sehabis mempertahankan Piala Eropa di Polandia-Ukraina. Situasi itu sekaligus diwarnai dengan sejarah Spanyol menjadi negara pertama yang memenangkan dua turnamen regional (Piala Eropa 2008 dan 2012) dan dunia (Piala Dunia 2010) secara beruntun di zaman internet. Dari sisi pencapaian pemain Blaugrana di tim nasional, nasehat lama seakan tak berlaku lagi: mempertahankan adalah sesuatu yang rasional!

Ketiadaan Messi ternyata menyisakan rasa kecewa bagi publik Hamburg. Mereka merasa mengundang Barca untuk laga pramusim di ajang yang terhormat: perayaan ulang tahun klub yang didirikan satu seperempat abad lalu. Suporter Hamburg ingin menonton Lionel Messi dalam pesta mereka. Tak terlalu jelas alasan “Si Kutu” tidak bisa bermain di laga perdana Tito. Mungkin karena sebelum Piala Eropa dia sibuk bersiap bersama tim Tango untuk sebuah laga “tandingan” untuk Piala Eropa oleh masyarakat benua Amerika. Karena, tepat saat laga Jerman versus Portugal digelar sebagai opera pembuka di Ukraina-Polandia, Argentina melakukan duel klasik menghadapi Brazil di New Jersey, Amerika Serikat. Media barat bahkan menyebut laga persahabatan itu mampu menyaingi gengsi duel Jerman versus Portugal karena dihadiri oleh penonton yang sama banyaknya di stadion. Puncaknya, Messi mencetak gol dari luar kotak penalti gawang Brazil yang memastikan skor 4-3 untuk Albiceleste.

Di Hamburg, Alves mencetak gol. Ia laiknya mentor untuk pemain muda Barca lainnya. Sebelum laga, surat kabar menyebutkan “si anak Brazil” kecewa karena manajemen klub tak berusaha memertahankannya ketika ada berita kecil yang menyebutkan Manchester City dan Chelsea meminatinya. Meski begitu, Tito, seperti yang pernah dilakukan Pep, menyikapi isu itu dengan permintaan maaf untuk Alves sekaligus pengakuan berbentuk pujian yang biasa dilontarkan seorang pelatih. “Saya belum pernah melihat full back yang mampu memengaruhi pertandingan sebesar pengaruh Alves,” ujar Tito.

Tantangan pertama Tito adalah El Clasico. Barca bertemu Real Madrid dalam Piala Super yang mempertemukan Juara Liga dan Copa del Rey. Madrid untuk La Liga, Barca untuk Copa. Fakta menyebutkan, Barca kehilangan gelar Piala Super setelah kalah gol tandang dari Madrid. Di Camp Nou, Los Cules unggul 3-2. Di Santiago Bernabeu, Merengues menang 2-1. Tito memulai pertandingan resminya dengan kehilangan gelar!

Dua hari setelah catatan ini ditulis, Barca bakal melawat ke kandang Levante di Valencia. Dua pekan sebelumnya, di tempat itu Madrid bermain di bawah guyuran hujan. Kejadian lainnya adalah berdarahnya pelipis Cristiano Ronaldo akibat benturan dengan bek Levante, David Navarro. Selain itu, kapten Granotas, Sergio Ballesteros, diisukan memukul bek Madrid, Pepe. Meski begitu, Ronaldo membuka gol pertama Madrid. Pemain muda dari Real Madrid Castilla, Alvaro Morata, mencetak gol kedua yang memberikan kemenangan 2-1 untuk Los Blancos.

Dalam posisi ini, Barca memimpin La Liga dengan poin 34, hasil sebelas kali menang dan sekali seri. Sementara pundi-pundi gol memajangkan angka 39-15. Di Liga Champions, Barca lolos ke fase gugur setelah mengalahkan Spartak Moskow di Rusia dengan skor 3-0. Di peringkat kedua, Atletico Madrid membayangi dengan selisih tiga angka. Di belakangnya, Madrid mengintip dengan jarak delapan angka. Untuk status El Pichichi, Messi memimpin sementara dengan 17 gol dari 12 laga. Di Eropa, “Messiah” bersanding dengan Cristiano Ronaldo karena sama-sama mengoleksi lima gol.

Apakah semua pencapaian itu sudah bisa melepaskan Tito dari bayangan Guardiola dan menjawab beban sosialnya? Tak ada yang bisa memastikan karena kompetisi belum berakhir. Pertanyaan seperti itu tabu untuk diajukan dalam keadaan kompetisi sedang berlangsung. Sementara itu, media massa senang dengan keingintahuan semacam itu. Bahkan, boleh dikatakan, kabar dari urusan seperti itulah yang menjadi “periuk nasinya” media massa olahraga.

Namun, Tito dan Pep bukan sepasang sahabat yang kenal kemarin sore. Mereka tidak dipertemukan oleh urusan pekerjaan. Takdir mereka ada di La Masia di pertengahan 1980-an. Tito lahir pada 17 September 1968, tiga tahun lebih tua ketimbang Pep. Di La Masia, mereka konon memiliki semacam “geng” yang suka mengunjungi rumah petani tak jauh dari sekolah dan asrama mereka. Nama geng itu adalah "La Penya Del Golafres (Batu Serigala)". Di rumah petani, mereka nongkrong sambil membicarakan sepakbola. Asisten Tito saat ini, Jordi Roura, adalah salah satu anggota geng itu.


Di bawah Altimira adalah potret Guardiola

Dalam karir sebagai pemain, Pep lebih beruntung. Tito gagal bersaing untuk masuk ke tim utama Barca. Ia bermain di klub divisi bawah semacam Gramenet dan Elche. Celta Vigo adalah salah satu klub La Liga yang pernah dibela Tito. Pada 2007, keduanya bertemu kembali ketika Pep ditunjuk sebagai pelatih Barcelona B. Di musim 2008, Pep dan Tito “naik kelas” ke kursi utama staf kepelatihan Blaugrana.

Uniknya, Tito lebih dulu mengenal Lionel Messi secara dekat ketimbang Pep. Seperti diakui Messi sendiri, ia mengenal Tito saat sang pelatih masih melatih dirinya di tim anak-anak Barca. Bersama Messi, saat itu Tito juga melatih Cesc Fabregas, Gerard Pique, dan Sergio Busquets. Jadi, hubungan Tito dengan sejumlah pemain utama di Barcelona saat ini sudah terjalin sejak para pemain itu masih kanak-kanak.

Wakil kapten Barca, Xavi Hernandez, mengeluarkan pernyataan yang bisa menjadi modal bagi Tito untuk bisa berdiri dalam dinastinya sendiri di Camp Nou. “Tito memiliki gaya kepemimpinan yang tidak kami perkirakan sebelumnya,” ujar Xavi. Sementara itu, legenda Barca, Johan Cruyff, memuji kinerja Tito. Hanya, kata Cruyff, ujian akan datang ketika Tito memberikan reaksi saat timnya mengalami kekalahan.

Kekalahan yang dimaksud Cruyff mungkin ditujukan untuk catatan tak terkalahkan di La Liga. Sebab, Tito sebenarnya sudah mengalami dua kekalahan di kompetisi lain. Yaitu, takluk dari Madrid di leg kedua Piala Super 2012 dan menyerah saat tandang ke Skotlandia melawan Glasgow Celtic untuk penyisihan grup Liga Champions.

Seorang kawan berkata, Tito tidak mempunyai kharisma seperti Pep atau Jose Mourinho. Saya bilang, kharisma itu akan datang dengan sendirinya ketika Tito mampu mempersembahkan gelar juara bagi Barca. Yang jelas, Tito tampak lebih dingin dan pendiam ketimbang Pep. Sekurang-kurangnya itu terlihat dari kesukaannya memilih pakaian sederhana yang dikenakannya saat berdiri di area bench mendampingi timnya bertanding: t-shirt berkerah berwarna hitam.

*Saya menulis catatan ini pada November 2012. Namun saya mempublikasikannya setelah menyaksikan laga terakhir Barca di La Liga 2012/2013. Ini sengaja saya lakukan untuk merefleksikan musim 2012/2013 yang dilakoni Barcelona.

Ada sejumlah drama yang tersaji dalam laga pekan ke-38 kontra Malaga di Camp Nou, 1 Juni 2013. Pertama, kemenangan 4-1 melawan Malaga menandai sejarah capaian 100 angka La Liga yang pernah disentuh Real Madrid musim lalu. Drama lainnya adalah pertandingan itu menjadi pertandingan terakhir di mana Eric Abidal bermain untuk Barca.

Tak diragukan lagi, Abidal adalah salah satu bek terhebat yang pernah dimiliki Barca. Ia merupakan bagian dalam empat musim Guardiola plus satu musim perdana Vilanova. Dalam rentang waktu itu (2008-2013), Abidal merasakan 15 gelar di mana di antaranya adalah empat gelar La Liga dan dua Liga Champions.

Perjalanan Abidal bersama Barca berakhir musim ini. Barca melepas Abidal sebagai kebijakan transfer musim panas 2013. Tentu saja hal ini sulit dipahami mengingat terlalu banyak yang terjadi untuk Abidal dan Barcelona. Yang terutama adalah kembalinya Abidal ke lapangan sepakbola setelah absen nyaris satu tahun sejak operasi cangkok hati tahun lalu. Kembalinya pria Prancis itu adalah kemenangan terbesar karena Barca mendukung Abidal dalam masa tersulitnya. Kejayaan yang melebihi kemenangan dalam suatu pertandingan sepakbola: kemenangan untuk kehidupan! Merci Abidal!


Abidal diangkat ke udara oleh rekan-rekannya di Barca dalam upacara perpisahan

Abidal dan Gerard, saudara sepupu yang berjasa menyumbangkan ginjalnya

Merci Abidal!


Thursday, May 16, 2013

Madrid Melangkah di Bawah Langit Katalunya (Catatan Seorang Fan 4)

Alangkah cepat waktu berlalu. Rasanya baru kemarin melihat Cristiano Ronaldo berseteru dengan suporter Athletic Bilbao di San Mames. Gelandang bertahan Los Leones yang kini berseragam Bayern Muenchen, Javi Martinez, bahkan harus menghampiri "CR7" untuk mencegah sang megabintang meladeni siulan dari seantero stadion.

Peristiwa itu terjadi saat El Real memastikan gelar La Liga 2011/2012. Laga tengah pekan yang berlangsung pada Selasa, 2 Mei 2012, itu, menjadi milik Madrid setelah Gonzalo Higuain-Mesut Ozil-Cristiano Ronaldo menjebol gawang Bilbao dengan skor akhir 0-3. Tambahan tiga angka dengan dua pertandingan tersisa membuat posisi "Si Putih" tak tergeser karena secara matematis Barca tak akan mampu mengejar capaian itu.

Gelar itu dirayakan secara dramatis saat pemain mengangkat pelatih Jose Mourinho ke udara. Tak pelak, gelar pertama sejak 2008 itu memang direbut dengan susah payah.

Beberapa hari sebelum itu, tepatnya 29 April 2012, atau sepekan setelah Madrid sukses menaklukkan Barca 1-2 di Camp Nou - kemenangan pertama Madrid di Camp Nou sejak 2008 -  sebuah perayaan besar tampaknya sedang dipersiapkan secara terperinci. Madrid menjamu tamu dari Andalusia, Sevilla, di Santiago Bernabeu, dengan jadwal tanding lebih awal. Pertandingan di jornada ke-36 itu digelar siang bolong. Semua berjalan sesuai rencana, Madrid melumat Los Nervionenses dengan skor 3-0. Gol-gol dilepaskan oleh Karim Benzema (2) dan Cristiano Ronaldo (1).

Sehabis laga, kapten Iker Casillas dan sebagian Madridista sudah membicarakan pesta di Plaza La Cibeles. La Cibeles adalah sebuah kompleks bangunan warisan zaman neo-klasik dengan sebuah halaman yang dihiasi patung beserta air mancur. Selain sebagai simbol kota Madrid, La Cibeles juga biasa menjadi tempat suporter Madrid merayakan gelar La Liga.

Tak jauh dari sana, tujuh setengah jam kemudian, Barca akan "melancong" ke Vallecas, kandang klub sekota Los Blancos, Rayo Vallecano. Jadi, bisa dibayangkan! Andaikan Barca jatuh di kandang Rayo, maka gelar La Liga otomatis jatuh ke tangan Madrid. Itu berarti, Los Cules harus meninggalkan stadion yang terletak di tengah pemukiman ibu kota Spanyol itu di antara deru kemeriahan pesta Madrid. Sebagai suporter Barcelona, saya menganggap pengaturan jadwal Madrid bermain pada pukul 12 siang ketika Barca harus menyusul bertandang ke kota yang sama adalah sebuah cara untuk membiarkan skuat Pep Guardiola merasakan kegagalan La Liga di tengah-tengah pesta pora pendukung Madrid, di jantung kota Madrid.

Tetapi rencana itu tak berjalan mulus. Sebab, Barca justru membalasnya dengan cara yang cukup "menyakitkan" bagi suporter Rayo. Blaugrana menaklukkan Rayo dengan skor mencolok, 0-7. Guardiola bahkan mengkritik tarian selebrasi yang dilakukan Thiago Alcantara dan Dani Alves yang membuat suporter Rayo tersinggung. Meski Guardiola tahu, tarian itu sebenarnya ditujukan untuk orang-orang yang berharap pesta terjadi lebih dini di La Cibeles.

Sabtu, 11 Mei 2013. Ironi justru terjadi di pekan ke-35, musim 2012/2013. Madrid harus berkunjung ke Katalunya  tidak untuk melawan pasukan Tito Vilanova. Namun, menghadapi rival sekota Barca, Espanyol. Sebaliknya, Barca harus bertandang ke Madrid esok harinya untuk menghadapi rival "Madrileno" Madrid, Atletico Madrid.Tepat setelah wasit meniup peluit akhir laga, sekurang-kurangnya, satu atau dua petasan akan meletus di langit Barcelona. Skor 1-1 antara Espanyol dan Real Madrid secara otomatis menjadikan Barca "Campeone" 2012/2013. Sisa tiga laga tak lagi berarti karena mereka tertinggal sepuluh angka dari Barca.

Kenangan musim yang lalu meruyak kembali. Setahun silam, El Real memajukan kick-off untuk menunggu kajatuhan Barca di kandang Rayo - sekaligus mengurung Carlos Puyol dan komplotannya dalam gegap-gempita kebahagiaan kota Madrid. Jika Madrid gagal mewujudkan pesta di tahun yang lewat, maka kini merekalah yang harus merasakan kesibukan di bar-bar Katalunya usai bermain imbang kontra Los Periquitos. Madrid versi Jose Mourinho harus meninggalkan Stadion Cornella El-Prat di bawah "kemabukan yang tertahan" kota Barcelona atas gelar La Liga ke-22.

Terkadang, karma dalam sepakbola itu benar adanya. Asalkan dia memang berproses sebagai karma, yaitu sebuah pembalasan sepadan yang tak terlalu dipikirkan, apalagi direncanakan. Visca Barca! Visca Tito! Visca Roura!

Kelapa Dua, Mei 12 2013

Jordi Roura & Tito Vilanova