Setiap Jumat siang, selalu saja, aku tak dapat tidak harus melintasi jalan di depan gedung Walikota itu. Ketika melintas, aku selalu memilih melangkah di trotoar seberang gedung. Dan aku akan berjalan mengendap-ngendap sembari menyembunyikan diri di balik pohon penyejuk yang berjajar di sepanjang trotoar.
Sungguhlah mereka yang setiap Jumat terik ada di depan gedung Walikota itu adalah orang-orang berkepala batu. Mereka masih saja bersetia berteriak-teriak ke arah gedung yang tak pernah menjawab itu. Mereka mengibar-ngibarkan spanduk dan panji-panji sambil menuntut yang mati hidup kembali.
“Kembalikan kawan kami! Kembalikan ayah kami! Hidupkan lagi suamiku!”
Dengarlah kawan, ke mana pun kalian pergi, takkan pernah ada orang mati bisa kembali hidup. Dongeng-dongeng mukjizat yang dapat mengembalikan nyawa manusia itu hanya ada di kitab-kitab usang. Kisah-kisah itu hanyalah perumpaan kaum bijaksana agar rakyat dapat dituntun. Namun soal kebenarannya, jelas itu dusta belaka.
Karena kehidupan takkan kembali setelah kematian yang mutlak datang, kita pun memakamkan jenazah. Sebenarnya, apalah gunanya makam dan nisan? Makam dan nisan hanyalah isyarat bahwa kita sebenarnya tak begitu rela dengan hilangnya sesuatu yang pernah hidup di sekitar kita. Mengunjungi makam dan menatap lekat-lekat sebuah nisan, hanyalah cara bagi kita untuk mengatasi kerinduan yang tak mungkin terpuaskan terhadap yang mati.
Padahal, manusia mungkin seperti sepokok beringin di tengah taman kota yang hidup ratusan tahun. Berapapun banyaknya sejarah dan peristiwa yang menyertai beringin itu, dia juga akan rebah dengan sendirinya jika kematian sudah menamatkan. Beringin mati, dan kita memakluminya lebur bersama tanah tanpa memberi tanda dan bersedih.
Tapi kematian bukan demikian bagi orang-orang yang berkumpul di depan gedung Walikota setiap Jumat itu. Bagi mereka, kematian dapat dan harus dikembalikan lagi. Dan orang-orang yang ada di gedung itu dihujat dan dituntut agar dapat menghidupkan kembali. Benar-benar pekerjaan gila!
Namun, semuak-muaknya aku terhadap mereka yang berteriak-teriak itu, aku tetap tidak bisa melewatkan satu Jumat pun dengan tidak melintas di jalan itu. Tentu selalu dengan mengendap-ngendap.
***
Aku si cantik. Itulah pengetahuan tentang diriku yang paling kuketahui sejak kukenal pergaulan dengan orang lain. Sewaktu masih kanak-kanak, tak kumengerti benar apa dan akibat apa yang harus kuterima disebabkan “aku si cantik” itu.
Teranglah kemudian, ketika kali pertama aku masuk ke sekolah menengah, nyaris semua mata kakak kelasku yang lelaki menuju padaku. Mata yang dulu tak kumengerti. Mata dengan niat yang sama. Saat menatapku, mereka tak lagi punya bola mata. Yang ada hanya labirin warna yang tak berhenti berputar seperti lingkar obat nyamuk tanpa ujung.
Keadaan itu terus berlangsung hingga aku dewasa. Mula-mula kunikmati itu. Sebagai perempuan, siapa yang menolak puji-puja? Bukankah perkataan “kamu cantik” dari lelaki buaya mana pun tetap saja membuat diri melambung dan melayang-layang lupa turun?
Namun, dari sekian banyak lelaki tukang puja itu, bagiku satu saja. Aku memang tak menolak pujaan siapa pun. Dan sekali-sekali kutanggapi juga pujaan itu dengan bersedia berkencan sekedar nonton bioskop atau makan malam. Tapi, tentang siapa sebenarnya yang menyebabkan aku sungguh-sungguh merasa menjadi perempuan, aku tak punya nama lain selain “Juan.”
Juan menyenangkan. Dulu, dialah laki-laki yang kuanggap paling gila. Dia atraktif, ekspresif, selalu berpikiran ringan. Berada di dekatnya, aku merasa dunia selalu menghadirkan kegembiraan yang tak pernah usai. Dia suka pesta, namun tidak suka ke diskotik. Dia doyan mabuk, menenggak alkohol, dan menghisap marijuana. Dan dia adalah gitaris blues yang menawan. Hal yang sulit hilang dari kenanganku adalah saat dia mengecup bibirku untuk pertama kali. Dia mengecup sambil menitikkan air mata dan berbisik, “aku lumpuh tanpa kamu.”
Sejak itu, tak ada hari tanpa Juan. Kebahagiaanku mencapai puncak. Jika kebanyakan perempuan cantik sulit menemukan cinta karena hanya tubuhnya yang menonjol, aku sudah menemukannya. Aku tak perlu jauh-jauh memikirkan siapapun, aku cukup membayangkan Juan, lelaki kurus pemabuk yang pemberontak itu. Semakin kularang dia mabuk, semakin membelotlah dia, dan semakin dalam perasaanku padanya.
Namun hidup memang menyediakan tikungan tajam tak terduga. Hidup memang enggan memberikan kebahagiaan dengan gampang. Lewat “waktu”, hidup menghajarku hingga babak belur. Aku pun mulai meragu, sebenarnya tak ada kebahagiaan dalam hidup. Yang ada hanyalah perburuan demi perburuan mencari bahagia. Dan manusia, senantiasa terjebak dalam perburuan tanpa akhir itu.
Hajaran “waktu” datang pada suatu pagi. Ibu membangunkanku lebih awal. Tanpa berbasa-basi, ibu memintaku mandi dan merias diri secantik mungkin. “Dandan yang cantik. Kita ke rumah pamanmu. Sudah ditunggu,” kata ibu.
Awalnya aku menolak. Sebab hari itu aku ada jadwal kuliah. Dan yang lebih penting lagi bertemu dengan Juan. Juan, pasti, dan akan selalu pasti, menjemputku. Dengan sepeda motor tuanya, selepas kuliah Juan biasanya mengajakku menyusuri kota. Atau mengunjungi rumah sahabat lamanya di pinggir kota, meminjam kamar beberapa saat untuk bercumbu-cumbuan.
Namun ibu seperti tak peduli. Tanpa merasa perlu menjelaskan banyak hal, dia hanya memerintahku untuk membersihkan diri dan bersolek. Itu saja!
Dan taksi yang kami tumpangi pun sampai ke rumah paman. Sebagai saudagar peternak ikan, paman mampu membeli rumah yang besar, halamannya luas dan teduh. Semasa kanak, aku sering berkunjung ke tempat paman. Menghabiskan hari bersama Ani dan Linda, anak perempuan paman yang usianya sedikit di bawahku.
Di halaman belakang rumah, paman dan tante menyambut kami. Di meja, sudah tersedia makanan dan minuman yang menerbitkan selera. Ani dan Linda yang kini sudah dewasa pun sudah mengambil tempat masing-masing.
Namun, ada yang berbeda kali ini. Mata ibu, paman, tante, Ani, dan Linda, tak seperti biasanya. Bukan tatapan sebagaimana dulu aku datang untuk menghabiskan hari dengan berlari-larian di halaman. Ada cahaya yang ganjil dari wajah mereka semua.
Dalam suasana ganjil yang sedikit hening itu, paman memecah keadaan dengan meminta tante memanggil Patra. “Suruh dia kemari,” kata paman dengan nada sedikit memerintah.
Maka datanglah Patra. Lelaki tinggi kurus yang setengah rapi itu duduk di salah satu kursi dengan mata yang tak peduli.
“Patra, kamu ingat Aida bukan. Lihat, Aida, anak tante Marni. Dia cantik dan menjadi kembang di mana pun,” ujar Paman.
Sebenarnya aku tak suka dengan perkataan paman. Dia seperti menawar-nawarkan aku kepada Patra. Dia seperti menyuguh-nyuguhkan aku dengan anak sulungnya itu.
O ya, mengenai Patra, sejak bocah aku tak terlalu suka dan terlalu peduli dengan dia. Patra, yang usianya terpaut dua tahun di atasku itu, terlalu pendiam. Dia terlalu banyak tinggal di kamarnya, membaca buku. Sepenglihatanku, dunianya hanyalah buku-buku. Sesekali aku menganggapnya mengidap kelainan jiwa. Jikalau aku dan Linda dan Ani berlarian di halaman, dia hanya sesekali melongok ke luar. Namun, tatapannya tidak menuju padaku, Ani, atau Linda. Tatapannya seperti menuju langit, menuju arah yang tak bersimpul.
Kemudian hari, tahulah aku ihwal perjumpaan di halaman belakang rumah paman pada pagi itu. Ibu memintaku (untuk tidak menyebut memaksaku) menikah dengan Patra. Alasannya, paman khawatir dengan tindak-tanduk Patra. Sejak dia mulai belajar di perguruan tinggi, Patra semakin jarang di rumah. Dan sejak itu pula, paman seringkali merasa rumahnya diintai orang.
Paman merasa pernikahan barangkali dapat menghentikan tindak-tanduk Patra. Setidaknya, dia akan lebih sering di rumah, ada teman berbicara. Jika punya anak, dia akan terikat dengan tanggung jawab, dan hidupnya akan lebih aman.
Sebagai perempuan, satu yang tak bisa kubantah: perintah ibu. Hanya dengan alasan paman yang menghidupi kami dan menyekolahkanku sejak ayahku meninggal belasan tahun yang lalu, aku dipaksa. Paman adalah sahabat terbaik ayahku. Kata ibu, ayahku pernah menyelamatkan paman ketika hidup paman masih miskin. Dan ketika ayah dijemput maut, paman berjanji akan menanggung kehidupan kami.
Sejak pertemuan di rumah paman itu, sekali lagi, aku yakin hidup benar-benar tak membahagiakan. Ia hanya menjerumuskan manusia ke dalam perburuan-perburuan kebahagiaan yang tak berhenti. Dan aku terjebak dalam pusarannya.
Betapa tidak? Aku harus meninggalkan dan kehilangan Juan. Laki-laki pembelot yang kucintai sepenuh hati. Dan secara tiba-tiba aku dipaksa hidup dan bersetubuh dengan laki-laki pendiam yang tak peduli pada dunia sekelilingnya. Juanku harus digantikan dengan seorang laki-laki pengidap kelainan jiwa.
Dan benarlah, hari pertama pernikahan kami, tatapan matanya masih seperti tak peduli, masih melayang ke arah entah. Dia tak menyentuhku malam itu, dan aku pun enggan disentuhnya.
Sebagaimana dulu kukenal semasa kanak, Patra tetaplah pendiam dan tenggelam dalam buku-buku. Ia seperti manusia yang tak bergairah. Ia jelas tak ada apa-apanya dibanding Juan. Aku mengira ia sama sekali tak pernah jatuh cinta, bahkan terhadap lelaki sekali pun.
Jika perasaan “aku cantik” itu muncul, aku benar-benar muak dengan Patra. Aku, si cantik, kembang taman yang tiada banding, seharusnya bisa hidup lebih indah. Jika tidak menjadi istri seorang pengusaha atau selebritas, aku pastilah perempuan yang dapat diandalkan dalam karir. Sementara itu, setiap hari aku harus berhadapan dengan kutu buku yang tak peduli dan jarang bicara. Patra berbicara sedikit banyak hanya ketika di ranjang. Itu pun lebih banyak kudengar lenguhnya saja.
Pada suatu malam yang mendung, aku masih lelap di atas ranjang selepas bersetubuh dengan Patra. Tidurku tiba-tiba terjaga karena petir begitu kerasnya. Hujan pun begitu derasnya, ibarat sejuta dewa menitikkan air mata dari langit.
Itulah untuk kali pertama aku menyaksikan Patra, tepatnya, menyaksikan sesuatu yang tak pernah kutemui dari Patra. Saat kelopak mataku terbuka lamat-lamat, kusaksikan Patra duduk bertekuk lutut di pojok ranjang sambil menatapku. Tatapannya begitu dalam, menelusup pesat ke hatiku yang paling lubuk. Aku sampai-sampai tak sanggup membalas tatapannya.
Patra berkemas. Dia memasukkan sejumlah buku dan beberapa setel pakaian ke dalam tas ransel. Sebelum pergi, ia mengecup keningku.
***
Hujan belum sepenuhnya habis menitikkan air dari langit. Masih pukul setengah tujuh pagi. Pintu rumahku diketuk dengan cara yang sopan, namun tak berhenti. Saat daun pintu kukuak, dua orang yang mengaku polisi mengabarkan padaku:
“Nyonya Aida, maaf mengganggu Anda pagi-pagi. Sebelumnya kami mohon maaf dan berduka cita, suami Anda, tuan Patra Harun, beberapa jam lalu tewas ditembak. Pembunuhnya masih kami cari. Siang ini kami minta Anda datang ke kantor kami untuk dimintai keterangan.”
Sesaat setelah dua polisi itu berlalu, giliran wartawan menyerbuku dengan sejuta pertanyaan. Ternyata, mereka datang bersama polisi dan memberikan polisi kesempatan lebih dulu menyatakan maksud.
“Mbak Aida, bagaimana perasaan Mbak dengan peristiwa ini? Apa pesan terakhir mas Patra sebelum kematiannya? Apakah Mbak merasakan keganjilan sebelum kematiannya, misalnya, rumah Anda diteror, atau Anda sendiri yang diteror?” tanya seorang wartawan yang bertampang cerdas namun kucel dan serius.
“Apakah yang paling berkesan dan Anda ingat dari rumah tangga Anda? Apakah dia suami yang baik? Apakah Anda mencintai dia? Anda berniat menikah lagi? Mengapa Anda tidak pernah tampil di hadapan publik?” tanya wartawan yang berwajah bodoh namun kucel dan tampak suka mengurus perceraian rumah tangga orang.
Selepas semua wartawan itu pergi, aku duduk menekuk lutut di balik pintu. Mereka, wartawan-wartawan itu, pastilah pulang dengan tangan hampa. Mereka juga tak dapat menemukan air muka sedih di wajahku. Ya, aku hanya terkejut mendengar kabar itu. Tak ada rasa kehilangan, bahkan aku tak menitikkan air mata setitik pun.
Aku tak pernah bisa menjawab seluruh pertanyaan itu. Semua pertanyaan, meski terdengar untuk kepentingan investigasi, lebih terdengar seperti ocehan tetangga yang ingin mengusik rumah tanggaku. Bagaimana aku bisa menjawab apakah ada teror sedang aku sendiri tak tahu dan tak mau tahu kehidupan Patra di luar rumah? Dia memang suamiku, tapi pekerjaannya yang kutahu hanyalah pemilik peternakan ikan yang diwariskan ayahnya.
Memang, sekali-sekali kudengar juga kabar bahwa dia adalah orang yang disegani oleh banyak petinggi kota, bahkan negara. Sekali-sekali, kudengar juga kabar bahwa Patra dibenci banyak orang kuat. Tapi, aku tidak terlalu tahu dan tidak mau tahu. Aku tak pernah menaruh perasaan yang dalam padanya. Rumah tangga kami seperti rumah tua tak berpenghuni yang nyaris roboh.
Aku pun diseret-seret ke kantor polisi dan pengadilan. Di tempat-tempat yang tidak pernah kukunjungi sebelumnya itu, kudengar wartawan berbisik-bisik, “gila, istrinya cantik juga ya. Kasihan, istri secantik itu ditinggal suami.”
Atau, sering kutemui polisi atau aparat yang tampak begitu simpati padaku. Bukan karena aku menjadi janda muda tanpa anak karena suamiku mati dibunuh, tapi karena mereka terpesona dengan kecantikanku. Pada saat-saat itu, aku mulai merasakan kejayaanku yang dulu: aku si cantik. Ternyata, kebebasanku kudapat setelah Patra tiada. Dan aku kembali menjadi kembang yang gemilang.
Sesaat setelah aku dimintai keterangan yang entah keberapa kali oleh polisi, aku langsung berusaha mencari Juan.
***
Manisnya ciuman Juan masih berbekas di bibirku. Sore kemarin, aku mengunjungi rumah kosnya di pojok kota. Tak banyak yang berubah dari penampilan tempat tinggalnya itu. Masih saja berantakan: abu rokok berserak-serak di lantai, poster Jimi Hendrix yang terpampang di salah satu bidang tembok, satu gitar akustik, satu gitar elektrik sekaligus amplifier, dan ranjang yang seprainya tak pernah rapi.
Juan tetaplah Juanku yang dulu. Dia masih periang dan membuatku selalu bahagia di sisinya. Namun demikian, dari matanya yang selalu gembira itu, aku tetap merasakan kepedihannya karena pernikahanku dengan Patra. Ayolah kekasih, aku kini bebas kembali. Mari kita bersama lagi dan tak ada yang mampu menceraikan kita.
Semula Juan memang agak segan padaku. “Di mataku, Kau masih tetap istri orang,” katanya. Tapi aku tahu, Juan kesepian. Bagi laki-laki liar seperti dia, kesepian adalah hal yang menyakitkan. Semakin dia liar, semakin tajam rasa sepinya. Dulu, akulah yang menyebabkan kesepiannya seimbang. “Sejak Kau pergi, aku tak pernah punya perempuan,” tuturnya sambil menundukkan wajah.
Aku tak mampu mengelabui hatiku, aku masih mencintainya. Maka kudekatkan tubuhku padanya, kuusap rambutnya sebagaimana dulu. Kukecup ubun-ubunnya, kuraih bibirnya, dan aku menyerah padanya agar kami masuk ke dalam kenangan kebahagian di masa lampau.
Setidaknya, sejak kematian Patra dua tahun yang lalu, tiga kali seminggu aku selalu mengunjungi Juan. Berulang kali kuminta dia menikahiku. Juan hanya menjawab, “nanti, pasti aku akan menikahimu,” kata dia. Dia hanya ingin meyakinkan diri bahwa aku benar-benar hanya memikirkan dia dan melupakan Patra. Dan baiklah, aku maklum. Dan dia pun maklum dengan kebutuhanku terhadap sentuhannya.
Sebenarnya, ada satu rahasia yang tak kuungkap kepada Juan: aku selalu melintas di trotoar di seberang kantor Walikota setiap Jumat siang. Mengapa itu selalu kulakukan, itu pun masih misteri bagiku. Selalu ada perasaan yang mendorongku untuk melintas di jalan utama itu setiap Jumat. Dan entah kenapa, aku selalu ingin merahasiakannya dari Juan.
Lagi-lagi, untuk yang keberapa kali, kusempatkan melintas ke jalan di depan gedung Walikota itu. Siang kali ini tak terik, tapi mendung. Awan hitam bergayut-gayut menunggu saat menjadi hujan. Dan kilat menyala-nyala meramaikan petir yang bersabung-sabungan.
Aku sudah berdiri di pangkal jalanan. Sebagaimana biasa, orang-orang yang tak sampai jumlahnya dua puluh itu masih berteriak-teriak menuntut yang mati kembali hidup. Aku tak mengenal mereka. Televisi dan media massa hanya menyebut mereka sebagai sahabat-sahabat terbaik aktivis pembela rakyat yang tersohor hingga ke Eropa dan Amerika Serikat bernama Patra. Protes ini pun sebenarnya juga dilakukan di ibukota negara, di depan Istana Kepresidenan.
Dengan pakaian hitam-hitam, mereka mencaci maki gedung Walikota yang angkuh itu. “Kembalikan kawan kami! Kembalikan ayah kami! Hidupkan lagi suamiku!”
Memang bukan Patra seorang yang mereka minta untuk dihidupkan lagi. Di sana ada ibu-ibu tua yang menginginkan anak lelakinya yang hilang, anak kecil yang kehilangan ayah, dan beberapa perempuan yang kehilangan suami. Namun Patralah yang menjadi simbol utama. Gambar Patralah yang tercetak paling besar di spanduk dan bendera protes.
Dan entah kenapa, dalam kunjunganku yang satu ini, firasatku tak baik. Memang aku selalu mengendap-ngendap dari pohon ke pohon yang berjajar di trotoar. Itu kulakukan, karena aku tidak ingin orang-orang berpakaian hitam itu melihatku.
Lalu hujan benar-benar turun. Orang-orang berpakaian hitam itu masih tetap tegak di sana. Satu persatu titik air membasahi baju mereka, melunturkan cat di spanduk, dan menghancurkan kibar panji karena bendera basah menjadi layu. Tapi mereka masih berteriak. Suara protes dari pengeras suara kian hilang karena harus bertempur dengan deru hujan dan gelegar petir.
Jantungku berdegup kencang. Aku masih mengendap-ngendap. Saat melintas di antara satu pohon ke pohon yang lain, aku dikejutkan oleh suara yang membentak: “heh! Kenapa kau kemari! Dasar perempuan pengkhianat! Istri yang tidak berbakti! Perempuan murahan!”
Aku tak berani melihat wajah yang membentak. Dengan penuh rasa takut dan malu, kupacu kedua kakiku sekencang lari kuda meninggalkan jalan itu, meski aku tahu, mereka tak berniat mengejarku, apalagi membunuhku.
Jakarta, 11 Oktober 2009