Tuesday, January 18, 2011

Psychedelia


Ainun tak terlalu ingat di mana ia berada terakhir kali. Barangkali seperti mimpi, yang terbayang adalah rok merah yang belum ia ganti sepulang sekolah. Ia duduk di beranda musholla di pojok kampungnya, tempat tersisih di utara Jakarta.

Sambil memandangi jalan tol, ia juga ingat ibu dan ayahnya yang hidup terlalu datar. Kau mungkin tak percaya, ayah dan ibunya sama sekali tak kenal abjad. Bahkan, setahunya, ayah dan ibunya paling jauh melancong ke Semper, atau Cakung.

Ayahnya hanya menggarap kebon bayam milik juragan tetangganya. Sedang ibunya berdagang nasi uduk di kala pagi. Ia merasa sendiri di tengah keluarganya. Andai saja tak ada Burhan, mungkin Ainun takkan pernah bisa menghalau sepi.

Ouw! Burhan! Siapa dia? Ainun merasa tak pernah punya teman kecil seperti Burhan. Tapi mengapa? Dalam bayangan masa kecil yang sedang ia rasakan, ia sedang duduk di beranda sambil menyaksikan Burhan di halaman musholla. Burhan yang kurus itu sibuk bersiul-siul memanggil angin. Sambil memonyong-monyongkan mulut, Burhan menyentak-nyentak benang yang berujung pada teraju yang terikat di raku layang-layang.

Seperti mimpi, ia menyaksikan layang-layang Burhan terbang tinggi, jauh, menembus awan. Semakin tinggi, layang-layang itu kian tampak bagai elang perkasa yang tak takut badai. Ainun, kau akan kubawa ke langit dengan layang-layangku. Ainun tersenyum mengenang seruan itu. Baginya terasa istimewa.

Langit tiba-tiba mendung. Ainun tak suka hujan. Sebab, setiap kali hujan, air akan menggenangi kamar tidurnya yang sempit. Seperti yang sudah-sudah, keluarganya bersama beberapa tetangga harus mengungsi ke lantai dua musholla.

Ainun memejamkan mata. Ia mencoba melepaskan diri dari fantasi masa lalu yang tak jelas dari mana asalnya itu. Saat ia menempuh perjalanannya menuju alam hidupnya yang dianggapnya nyata, ia berhenti tiba-tiba. Ia tak mau menganalisis dan membaca situasinya. Tapi entah mengapa, bayangan di tengah-tengah itu membuatnya takut. Baginya itu terlalu nyata.

Tapi Ainun tak bisa untuk tak hirau. Yang tampak padanya adalah padang rumput berbukit dan permai. Ia merasa tempat ini seperti peternakan sapi. Tapi yang jelas, ia merasa damai di tempat itu. Walaupun ia tahu, ia tampak sangat asing di tengah keramaian orang-orang.

Di tempat yang dianggapnya nyata itu, Ainun merasa itu bukan tanah airnya. Udara di tempat itu terlalu dingin bagi Ainun. Lagi pula, tak ada pohon kelapa dan sinar mataharinya terlalu redup. Anehnya, jika di keluarganya ia merasa sendirian, di tempat itu ia justru melebur dengan ratusan ribuan orang yang hadir.

Ainun melihat perempuan-perempuan berparas Eropa mengenakan gaun-gaun sederhana yang indah. Mereka juga manis karena berpakaian seolah-olah menyerupai orang Indian. Satu hal yang paling mempesonanya, perempuan-perempuan manis itu menyematkan bunga di sela rambut.

Di dalam alam pikiran tengahnya itu, Ainun tiba-tiba merasa ia juga semanis perempuan-perempuan berambut panjang itu. Saat dilihatinya penampilannya, alamak! Ainun memuji dirinya setinggi langit. Ternyata, aku yang tercantik.

Ainun tahu ia meniru pakaian perempuan-perempuan lain yang ada di situ. Tapi, ia memang yang paling cantik. Kulitnya yang langsat dan tubuhnya yang ramping itu menunjukkan kekhasannya. Ia bak permata yang menyelinap dari ujung tenggara Asia untuk mempesona laki-laki berambut panjang dan bertampang cerdas yang berseliweran di tempat ini.

Lalu ia ingat, di suatu malam, ia berjalan sendirian, dan kedinginan. Di sana-sini dilihatnya orang-orang membakar api unggun, memasang tenda, berbicara sambil telanjang, bahkan bersanggama. Tapi ia sama sekali tak risih. Justru merasa akrab.

Dari kejauhan, Ainun melihat panggung yang terang. Dari panggung itu, mengalun musik pemberontakan yang membius. Semua orang yang menikmati musik di sekitar Ainun, bergerak seolah-olah berdansa dengan rohnya sendiri. Ainun tergoda.

Sebuah mobil minibus biru muda tegak di tengah padang rumput. Memang, di tempat ini bukan hanya minibus itu saja yang parkir. Tapi, entah mengapa, bulan melimpahkan cahayanya yang utama terhadap minibus biru itu. Minibus itu seperti aktor teater yang disorot lampu sendirian di atas pentas.

Di pintu minibus yang terbuka, Ainun melihat Burhan. Ya, Burhan! Ainun melihat Burhan sedang membakar sejenis rokok, atau mungkin mariyuana. Burhan melihat Ainun dengan mata yang sayu. Dari mana saja kau, Ainun? Setengah mati aku menahan rindu.

Dari mana Burhan datang? Tapi ia merasa akrab dengan Burhan. Ia melihat Burhan sebagai orang paling tampan di tempat itu. Burhan berkulit sawo matang, sama seperti dirinya. Laki-laki itu tampak sangat jenius.

Ainun melipat-lipat lagi pikirannya, mencoba memutuskan keakrabannya dengan Burhan. Tapi ia hanya menampar awang-awang. Burhan hadir di sana tanpa alasan.

Ainun menghampiri Burhan. Ia duduk di bagian belakang mobil. Pintu yang terbuka membuat ia ingin memeluk Burhan dari samping. Dan tanpa alasan, Ainun melakukan itu setelah ia memaksa Burhan menempelkan sesuatu di langit-langit mulutnya. Dia terlalu dekat padaku.

Ainun, kita ini sebenarnya apa? Sebenarnya, siapa yang membawa kita ke sini? Tidakkah kau lihat, kita seperti orang yang datang dari negeri paling jauh. Tapi, semua orang-orang di sini seolah menganggap kita sepasang muda-mudi yang bersemangat dari New York.

Pertanyaan demi pertanyaan terus diajukan Burhan. Ia merasa, perbincangannya dengan Burhan adalah situasi yang paling sering ia temui dalam hidupnya. Keabadian baginya adalah saat ia menjawab pertanyaan demi pertanyaan Burhan. Terus-menerus.

Burhan, tahukah kau? Terlalu sering sadar itu membuat manusia menjadi lebih kejam. Mereka menggunakan pikiran sadarnya untuk menghitung kesempatan hidup. Apa yang terjadi? Mereka mengirim anak muda yang jenius seperti kau ke medan perang. Aku kira, takdir membawa kita ke sini untuk melawan kesadaran itu. Kita dipilih untuk ada di sini. Aku, dan juga kau.

Ainun dan Burhan tidur bersebelahan di dalam minibus. Mereka menutup pintu belakang sekaligus menutup jendela dengan kain warna-warni. Cahaya bulan dari luar membuat kain warna-warni itu memancarkan cahaya. Dan Ainun pun kembali memejamkan mata. Ainun tertidur.

Dalam mimpinya, Ainun merasa dirinya semakin tua. Tapi tetap sadar, gurat pesona pada wajahnya tak akan lekang. Ia duduk di pintu rumahnya menjelang senja. Daun pintu rumah itu tidak memiliki engsel. Jika ingin menutup pintu, Ainun harus mengangkat daun pintu sejajar dengan rongga pintu. Tetap saja, pintu tidak tertutup dengan sempurna dan sangat gampang dibuka.

Tapi Ainun adalah orang yang ikhlas. Ia yakin tak ada orang jahat yang mau mencelakainya di rumahnya yang sempit. Lagi pula, di rumahnya hanya ada televisi berwarna 14 inchi, vcd rusak, ranjang tua dan kasur kapuk yang sudah kempes, kompor gas pemberian pemerintah, satu meja makan, dan dua kursi kayu.

Benda lain yang ada di rumahnya adalah jam dinding rusak dan beberapa buku bacaan Burhan yang tergeletak di rak bawah meja. Burhan! Mana Burhan? Mengapa jam segini Burhan belum juga pulang? Apakah ia sempat pulang ke rumah dari sekolah sebelum pergi lagi. Ataukah Burhan tawuran lagi? Ah, mengapa sekarang Burhan terasa seperti anak lelaki semata wayangku.

Sebelum azan maghrib, dari ujung gang Ainun melihat sebuah mobil bak berhenti. Ia melihat Burhan turun dari bak mobil yang penuh. Allahuakbar! Burhan mengapalkan tinjunya pada orang-orang di bak mobil yang ia tumpangi saat mobil itu pergi.

Seperti pertemuannya yang sudah-sudah, Burhan selalu jarang bicara. Di depan pintu rumah, Burhan hanya menatap Ainun. Ainun merasa Burhan adalah remaja lelaki SMA yang cerdas. Tapi satu yang tak dipungkirinya, kedekatannya dengan Burhan di alam pikirannya yang manapun tak berubah derajat. Burhan boleh berubah peran, tapi Ainun merasa selalu akrab dengannya.

Malam itu Ainun tak bisa tidur. Ia memicing-micingkan matanya agar lelap. Ia tak terbiasa tidur tanpa Burhan. Di rumah sempit dan reot itu, ia hanya tinggal bersama Burhan. Semoga saja, ini semua mimpi. Tapi ia tetap gelisah.

Selepas makan malam, Burhan pamit lagi pada Ainun. Kali ini Ainun ingin sekali melarang Burhan pergi. Tapi, ia tahu, sejak dulu ia tak pernah bisa memaksa Burhan. Ia terlalu cinta terhadap Burhan. Burhan, kumohon, malam ini tinggallah denganku. Apa sebenarnya yang kau cari?

Sederhana saja! Aku ingin masuk televisi. Dan Burhan pun pergi dengan pakaian khusus: jubah putih beserta sorban.

Dalam kegelisahannya itu, Ainun merasa dirinya semakin tua lagi, lagi, dan lagi. Ia memaksakan diri menonton televisi. Tak ada apa-apa. Yang ada hanyalah film Rambo, kuis berhadiah telepon genggam, siaran tunda sepakbola, serta kabar tentang perceraian artis.

Ainun tiba-tiba berhenti pada siaran berita tengah malam. Ia melihat berita tentang bentrokan antara sekelompok orang berjubah-bersorban dan sekelompok centeng sebuah rumah judi. Pertempuran itu menjadi pertempuran berdarah yang pernah ia tahu dari televisi.

Jantung Ainun tersirap. Ia melihat Burhan berdarah dalam pertempuran itu. Ainun buru-buru mematikan televisi. Ia kembali berusaha tidur untuk menghilangkan rasa cemasnya. Hampir subuh, Ainun mendengarkan sekelompok orang mengetuk-ngetuk pintu rumahnya. Ia merasa semakin aneh dan takut, sebab jelas itu bukan Burhan. Burhan tak pernah menutup pintu rumah. Burhan selalu menggeser pintu jika pulang malam.

Ainun tak mau menjawab panggilan dari luar rumah. Ia merasa dirinya terus menua. Ia menderita seperti perempuan kesepian yang kehilangan separuh nyawa. Ia hanya punya satu harapan. Semoga ini cuma mimpi.

Dan Ainun terus memaksa untuk tidur dalam mimpinya.

Kelapa Dua, 19 Januari 2011

Thursday, January 13, 2011

Dan Nirvana akan Menjadi Lebih Baik Ketimbang The Melvins!

Setelah berselancar kesana kemari di dunia maya, saya menemukan artikel pertama yang memperkenalkan Nirvana ke masyarakat luas. Artikel ini dimuat di fanzine yang berbasis di Seattle, Washington, Amerika Serikat. Fanzine ini diurus seorang perempuan bernama Dawn Anderson.

Dawn agaknya jeli dengan bakat besar Kurt Cobain. Saat artikel ini diterbitkan pada September 1988, Nirvana-yang baru memiliki single pertama dengan dua lagu-untuk pertama kali tampil di acara Sub Pop. Kurt baru berusia 21 tahun waktu itu. Namun, Nirvana batal tampil karena mereka masih gugup.

Dari artikel ini, Dawn sudah menangkap spritualitas musik Nirvana. Spritualitas ini kemudian melekat dalam diri Nirvana dan terus-menerus dibicarakan orang di seluruh dunia. Dan yang paling penting, Dawn sudah mencium gelagat band anak bawang bernama Nirvana bakal lebih besar ketimbang jagoan Seattle saat itu, The Melvins.

Saya menerjemahkan artikel ini secara kasar dan menambahkan sejumlah catatan kaki. Yuk, kita simak, bagaimana Nirvana sewaktu mereka masih “di bumi”.

Bisa Jadi Setan dan Bisa Jadi Tuhan, Tapi Sudah Pasti Bukan Manusia

Oleh Dawn Anderson

Ah, Aberdeen – sebuah kota di mana tak ada yang bisa dilakukan selain menenggak fish-beer[i] dan memuja setan. The Melvins[ii] berasal dari Aberdeen. Ingat, kan? Sekarang beberapa fans The Melvins mulai menggeber kocokan gitar yang berat dan mempesona ala band itu. Mereka menyebut diri mereka Nirvana, sebuah nama yang bisa berarti “ada dan tiada”. Jika anda tidak memahami nama ini, anda bisa mengambil kursus di bidang agama-agama dunia, atau anda bisa menyaksikan pemunculan Nirvana yang berikutnya di kota yang lebih besar.

Maha guru Nirvana Kurt Cobain tinggal di Olympia[iii] saat ini. Namun ia pertama mencoba gaya kocokan gitar The Melvins/Soundgarden di kota itu (Aberdeen), termasuk mempelajari semua yang ia ketahui dengan menonton latihan The Melvins. Terus-menerus.

“Gue udah lebih dari seratus kali ngelihat latihan Melvins,” kata Kurt. “Gue nyupirin mobil van mereka saat tur. Semua orang membenci mereka. Dan gue menggunakan kartu nama yang sama dengan Matt (Matt Lukin-basis Melvin terdahulu), kita nyaris kayak orang nikah.”

Nirvana, yang terdiri dari Kurt pada posisi gitar dan vokal, Krist Novoselic pada bass, dan Chad Channing di posisi drum, masih tergolong band baru. Tapi jalan yang mereka pilih membuat mereka begitu cepat menjadi pengikut Buddha, atau paling tidak Bodhisattvas[iv], di komunitas musik rock-suram dari wilayah Northwest.

Sejak sejumlah orang mulai berpikir Backlash adalah panduan konsumen (seperti novel!), rasanya saya agak sia-sia memberi tahu tentang band ini jika anda tidak menyukai The Melvins. Atau jika anda tidak menyukai The Melvins tapi menganggap musik Leadbelly[v] tidak termasuk dalam pembahasan ini, anda sudah pasti tidak menyukai Nirvana. Namun, penting juga untuk menekankan bahwa kelompok ini bukan band kloningan The Melvins atau Leadbelly.

Grup ini bersiap melakukan sesuatu yang mematikan dalam penulisan lagu dan, beresiko dianggap menghina tuhan. Tapi saya yakin, dengan latihan keras, Nirvana akan menjadi…lebih baik ketimbang the Melvins!

“Ketakutan utama kita pada permulaan ini adalah orang akan berpikir kami hanya penerus Melvins secara totok,” kata Kurt.

Sebenarnya, bisa saja anggapan itu menjadi keuntungan untuk band ini. Namun Nirvana merekam sebuah demo tape yang bisa memecah telinga dan dengan segera menggetarkan bibir setiap pencandu suara bising di kota ini sebagai harapan besar aliran grunge masa depan…dan ini mungkin tidak akan menyakiti Melvins Dale yang duduk di kursi penggebuk drum (sebelum Channing bergabung).

Seharusnya, penampilan pertama band ini dengan nama Nirvana di Sub Pop Sunday[vi] di Vogue. Tapi mereka tak siap.

“Kita grogi,” kata Kurt. “Ini nggak kayak yang terlihat di pertunjukan yang sebenarnya. Kita merasa seperti dihakimi, setiap orang orang punya papan nilai. Ditambah lagi gue sakit. Gue muntah-muntah hari ini. Excuse yang keren kan?!”

“Kita sudah punya beberapa lagu yang diputar di radio,” tambah Krist. “Semua orang ngomongin kita. Itu jadi tekanan banget.”

Sayang, Kurt gugup sebelum naik panggung malam ini. Tapi saya sudah menyaksikan mereka dua kali dan mereka semakin kompak. Mereka akan menjadi band yang bisa merubah semua penonton menjadi manusia zombie berkepala kacang polong semata-mata hanya dengan kekasaran (ini adalah pujian).

Satu-satunya kritik saya adalah Kurt tidak bernyanyi sebaik yang ia lakukan di dalam rekamannya sejak ia memainkan gitar sambil bernyanyi. Tapi saya yakin dia pasti bisa mengatasinya. Nah, sekarang waktunya, rasakan salah satu single band pendatang baru Sub Pop, dengan satu lagu mereka sendiri dan cover lagu Shocking Blue[vii], Love Buzz.

Dan jangan alihkan kuping anda dari Aberdeen, sebab kota yang hening itu adalah tempat berlatih para Setan.

Sumber: Backlash-September 1988. Versi asli bisa disimak di www.kurtcobain.com

[i] Sejenis bir yang terbuat dari ikan. Jepang adalah salah satu produsen bir jenis ini. Yang menarik, pagi setelah bom atom dijatuhkan sekutu di Hiroshima pada Perang Dunia II, Tosa Kuroshio, bos produsen bir ikan Jepang menyatakan produknya meledak di pasaran.

[ii] Band hardcore-punk yang terbentuk di Aberdeen, Seattle, Washington, pada 1983. Band yang beranggotakan tetap Buzz Osborne (gitar-vokal) dan Dale Crover (bass) ini memiliki dua penggebuk drum. Mereka dikenal sebagai “The Godfather of Grunge Music”.

[iii] Kurt tinggal di Olympia, Washington, pada periode pra-Nirvana. Di tempat itu ia kerap mengunjungi konser musik dan mengencani seorang perempuan bernama Tracy Marander.

[iv] Bodhisattva dalam ajaran Buddha adalah mahkluk yang mendedikasikan hidupnya untuk kebahagiaan manusia di alam semesta sebelum menuju Nirvana. Bodhisattva juga berarti mengambil jalan hidup seperti Buddha. Dari artikel ini, tampak Dawn Anderson menganggap Nirvana sebagai musisi yang spiritual; bermain musik layaknya orang yang tengah menjalani hidup seperti Buddha.

[v] Leadbelly adalah pemusik yang hidup di Louisiana pada 1888-1949. Ia dikenal sebagai pemusik yang mencampur musik folk amerika dan blues. Sikapnya yang temperamental menyebabkan dia tiga kali dijebloskan ke dalam penjara sepanjang hidupnya. Pada 1915, dia ditangkap atas tuduhan kepemilikan senjata api dan keterlibatan dalam sebuah geng. Tiga tahun berselang ia kembali masuk bui karena membunuh temannya sendiri akibat masalah perempuan-ia bebas pada 1925. Pada 1930, Leadbelly kembali mendekam di penjara karena percobaan pembunuhan-menusuk pria kulit putih dalam satu perkelahian. Leadbelly merupakan salah satu inspirasi Kurt Cobain. “Where did You Sleep Last Night” merupakan lagu ciptaan Leadbelly yang dibawakan Kurt secara impresif dalam konser MTV Unplugged di New York, 1994.

[vi] Sub Pop adalah label rekaman independen yang berawal dari fanzine yang dikelola Bruce Pavitt. Pavitt mendirikan Sub Pop sebagai label rekaman pada 1986 di Seattle. Sub Pop tercatat sebagai label rekaman yang berada di balik kejayaan grunge dan Seattle Sound. Sub Pop mengorbitkan sejumlah band grunge seperti Sonic Youth, The Melvins, Sound Garden, Green River, Mudhoney. Sub Pop Sunday adalah panggung unjuk gigi musisi keluaran Sub Pop. Sejak kesuksesasan Nirvana, 49 persen saham Sub Pop dimiliki oleh Warner Music.

[vii] Shocking Blue merupakan band rock asal Hague, Belanda, yang berdiri pada 1967. Salah satu yang membuat band ini istimewa karena suara vokalis perempuan Mariska Veres. Shocking Blue dianggap satu-satunya band dari luar daratan Amerika Serikat dan Inggris yang setara dengan band rock n roll dari daratan di era kejayaan Flower Generation seperti The Beatles, Jimi Hendrix, Jefferson Airplane, dan Rolling Stones. Hits terbesar mereka, Venus, menduduki posisi pertama chart Billboard pada Februari 1970. Pada 1973, penjualan rekaman mereka mencapai 13,5 juta di seluruh dunia. Band ini bubar pada 1974. Mariska Veres meninggal akibat kanker pada usia 59 tahun pada 2 Desember 2006.

Backlash adalah fanzine yang dikelola Dawn Anderson dan terbit selama 1987-1991. Dawn sendiri adalah seorang penikmat musik dan penulis. Backlash memuat scene musik rock underground dari Seattle yang berciri khas distorsi kotor dan tebal. Dawn semula menulis di majalah musik bulanan berbasis di Seattle, The Rocket. Ia mendirikan Backlash untuk mempublikasi musik underground Seattle yang tak tersentuh The Rocket.

Backlash memuat band punk, metal, underground rock, grunge sebelum dikenal sebagai grunge, dan sejumlah kelompok hip-hop lokal. Backlash juga dikenang sebagai media massa pertama yang memperkenalkan Nirvana.

Pada 1991, Backlash berhenti terbit seiring dengan meledaknya Nirvana. Salah satu penggemar Dawn menganggap keputusan Dawn menghentikan Backlash karena ia merasa sudah melaksanakan tugasnya dan Nirvana tak memerlukan buah tangannya lagi untuk populer.

Januari 8 2011

terjemahan ini bisa disimak di http://www.jurnallica.com/



Mie Instan

Siang ini saya (masih) berhadapan dengan semangkuk mie instan, telor, dan setangkup nasi. Menu itu, mie instan, sudah menemani hidup kita selama puluhan tahun. Dalam waktu yang tak sebentar itu, mie instan mendapatkan simbolnya sendiri dalam masyarakat. Dia mendapatkan konotasinya.

Saya bisa menyebut makna konotasi mie instan sebagai lambang persaudaraan antar lelaki muda yang tak banyak memiliki uang. Mie instan adalah menu penyambung hidup bagi sekelompok pemuda yang tinggal bersama dan tak memiliki uang.

Dan pikiran saya hari ini sedang rumit, kalau tidak dibilang sedih dan ngawur.

Dalam kesedihan yang ngawur itu, tiba-tiba saya kembali memikirkan hubungan antar lelaki muda dalam suatu periode dengan konsentrasi tertentu. Jika mereka mahasiswa, maka “hidup bersama” sekelompok lelaki itu berada dalam konsentrasi studinya. Jika mereka pengangguran, hidup bersama dijadikan alat penghapus kesepian karena menganggur bisa membunuh mental laki-laki secara perlahan.

Perempuan tentulah menjadi guncangan terbesar dalam persaudaraan lelaki itu. Kehadiran perempuan, membuat anggota kelompok memaklumi penurunan intensitas hubungan antar mereka. Perempuan menjadi satu-satunya pembebas yang dianggap derajatnya lebih tinggi ketimbang hidup bersama milik kelompok.

Tetapi mengapa sekelompok lelaki muda bisa bertahan dan betah untuk hidup bersama dalam satu rumah untuk waktu bertahun-tahun? Tidakkah di dalam rumah itu mereka adalah homogen! Dan pada saat yang bersamaan, mereka tak mau disebut sebagai homoseksual.

Sigmund Freud terlanjur dicap sebagai psikolog yang rajin membahas seksualitas. Dan seksualitas itu selalu dilihat dalam hubungan soal tubuh dan persentuhan kelamin. Misalnya saja gagasannya tentang oedipus complex.

Tapi dalam satu diskusi, saya pernah mendengar seorang ahli psikologi mengatakan rangsangan seksual yang dimaksud Freud tak melulu soal persentuhan antar kelamin. Freud menyebut rangsangan seksualitas sebagai tindakan manusia untuk mengendurkan ketegangan dalam dirinya.

Jika manusia makan untuk mengatasi lapar, itulah seksualitas. Jika seorang kritikus menulis kritik untuk merespon sebuah polemik, itulah seksualitas. Jika seorang ibu mencoba menenangkan tangis anaknya di malam hari, itulah seksualitas.

Lalu, bukankah kita bisa mengatakan bahwa hasrat para lelaki muda untuk berkumpul dan hidup bersama juga sebagai rangsangan seksualitas? Sebab, dengan berkumpul mereka bisa mengendorkan banyak persoalan hidup. Karena yang utama dalam perkumpulan itu hanyalah kebahagiaan. Apa saja yang menyokong kebahagiaan bersama akan dibela. Dan untuk itulah kata persaudaraan (brotherhood) menjadi tepat.

Konsep brotherhood ini pernah disorot oleh Michel Foucault dalam wawancara bertajuk Friendship as a Way of Life. Foucault memperluas maksud homoseksualitas hingga ke batas-batas persaudaraan. Sejalan dengan Freud, Foucault yang merupakan seorang gay itu, memberikan pemikiran tentang homoseksualitas yang sama sekali tak berhubungan dengan persentuhan kelamin.

Dengan nada pembelaan, Foucault memprotes kemunafikan dunia modern yang meminggirkan kaum marjinal seperti kaum gay. Perang, sebagai produk modernitas, telah mengumpulkan laki-laki dalam satu ketegangan bersama dan konsentrasi bersama. Bagaimana, kata Foucault, menjelaskan daya bertahan prajurit yang sedang mempertaruhkan nyawa jika bukan karena persaudaraan antar sesama (homo) prajurit yang sebagian besar lelaki (seks)?

Dapat dibayangkan bagaimana dalam perang yang absurd dan mengerikan ini, dalam pembantaian kejam ini, para lelaki itu bisa bertahan. Lewat jalinan emosional pastinya. Tentunya saya tidak sedang mengatakan bahwa mereka sedang berperang demi kekasihnya. Tapi kehormatan, keberanian, tidak kehilangan muka, pengorbanan, meninggalkan parit perlindungan bersama dengan sang kapten–semuanya menandakan ikatan emosional yang dalam. Bukan untuk menyatakan: ‘Nah, itu namanya homoseksualitas!’

Saya jijik dengan penjelasan semacam itu. Tapi jelas dari sana ada satu dari beberapa kondisi, bukan satu-satunya, yang mengindahkan kehidupan seperti di neraka itu di mana para lelaki itu selama berminggu-minggu harus bergelimang lumpur dan tahi, di antara mayat-mayat, kelaparan dan bangun dalam keadaan mabuk pada suatu serangan pagi.

Homoseksualitas bagi Foucault adalah kerelaan untuk bersahabat, saling menjaga, dan komitmen terhadap komunitas. Orang boleh berdebat mengenai penafsiran Foucault soal homoseksualitas yang universal ini. Tetapi, dalam keadaan sedih dan sepi, saya menemukan gagasannya itu dalam mie instan yang tak mampu saya habiskan dan mulai dikerubungi semut ini.

Mungkin juga ide itu ada dalam kebiasaan menghisap rokok sebatang bersama, atau menyedot es the manis dari sedotan yang sama.

Kelapa Dua, Desember 22 2010



8 Dari 10 Perempuan Jakarta Memiliki Blackberry?

Delapan dari Sepuluh Perempuan Jakarta Memiliki Blackberry?

Delapan dari sepuluh perempuan muda dan aktif di Jakarta memiliki gadget Blackberry. Pernyataan ini memang belum teruji secara ilmiah. Tetapi, setidaknya, di lingkungan terdekat saya, saya melihat kenyataan itu.

Sebelum masuk ke masalah itu, baiklah saya menceritakan lingkungan yang saya maksud terlebih dahulu;

Selama lima atau enam tahun terakhir, saya nyaris setiap hari mengunjungi sebuah kantin-lebih mirip warung makan-di gang sebelah kampus saya dulu, di selatan Jakarta. Lima tahun itu saya habiskan saat saya mahasiswa, lalu pengangguran, hingga menjadi buruh di sebuah lembaga nirlaba.

Tempat itu bagaikan magnet bagi saya. Juga teman-teman yang biasa duduk di sana menghabiskan waktu hingga tengah malam. Boleh dikatakan, tempat itu adalah salah satu tempat yang mampu membedakan diri dengan situasi kebanyakan di sekitar kampus.

Di kantin itu, kami membahas filsafat, hubungan internasional, politik, kajian budaya, hingga sastra, tanpa kami rencanakan. Membaca buku bukan merupakan kegiatan ekstra di tempat itu. Perdebatan intelektual mengalir seperti pembicaraan gosip warung kopi. Sejenak, kami merasa tempat itu bagaikan kafe di mana intelektual Prancis sejak Voltaire menjadi akar dari penyerangan penjara Bastille yang terkenal sebagai simbol Revolusi Prancis.

Ya, sejenak saja. Setelah itu, masing-masing dari kami mulai kerepotan menghadapi jalur tak terduga dalam kehidupan ini. Mencari nafkah menjadi tantangan terberat yang tak mampu kami taklukkan hingga kini. Tak ayal, di tempat itu, bangun pagi dan rutinitas bekerja masih kami anggap sebagai kutukan.

Sikap itulah yang tersisa bagi kami sebagai idealisme atas perdebatan yang kami lakukan dulu. Setidaknya, kami masih mengambil sikap atas situasi yang memenjarakan kreatifitas kami sebagai manusia. Kami tahu, pekerjaan dan rutinitas itu mengeluarkan kami dari jati diri kami sendiri.

Tapi hidup tak semata soal idealisme, inilah ungkapan klasik yang tak berhenti berulang. Di tempat itu pula, sebagian teman menemukan kekasihnya-mungkin sebagian sedang merencanakan pernikahan. Kami masih saja datang ke sana, meski kehidupan sudah mulai berbeda.

Guncangan pertama yang dahsyat adalah ketika sikap dan pikiran kami mulai bergeser dalam memandang uang. Dulu, uang kami anggap sebagai “mimpi kecil” yang hanya berguna ketika ia menyokong mimpi besar. Apakah mimpi besar itu? Sebagian dari kami menyebut mimpi besar itu adalah menjadi ilmuwan sosial yang menuntut ilmu hingga ke negeri jauh. Sebagian berangan-angan menjadi penyair. Sebagian lagi berkomitmen tenggelam dalam aktivismenya.

Uang, semula adalah alat. Tapi sejak kami dihadapkan dengan keharusan mencari pekerjaan, kami menjadi sinis terhadap uang. Dan pelan-pelan, menjadi sinis pula terhadap kehidupan. Semasa mahasiswa, uang itu datang dari orang tua. Kami menganggap uang bagian dari darah orang tua. Dan dengan sendirinya kami menganggapnya sebagai bagian dari darah kami. Itulah sebabnya, karena uang itu melekat sebagai darah, dalam kondisi tak beruang pun, hati kami tetap senang.

Ketika sudah mulai bekerja, rata-rata dari kami mengeluhkan hari pertama masuk kerja. Dan kesimpulannya adalah: jika ada pilihan lain yang membuat hidup ini bisa lebih menggeliat ketimbang bekerja, pilihan itu adalah pilihan terbaik.

Sinisme yang ditimbulkannya membuat kami menganggap uang itu adalah benda yang harus diperlakukan dengan kejam. Karena ia sendiri memperlakukan kami dengan kejam. Kami mengutuk tempat kami bekerja dan lebih banyak berpikir menunggu uang gaji setiap bulan ketimbang mempersembahkan apa yang terbaik dari kami untuk tempat kami bekerja. Tak ada lagi aktualisasi diri sebagaimana yang kami lakukan dulu di kantin samping kampus.

Kami sebenarnya mendendam kepada pekerjaan yang merenggut waktu kami setiap hari, mungkin sampai mati. Dan dendam itu dilampiaskan dengan memperkosa uang yang kami peroleh dari hasil pekerjaan itu. Uang adalah makhluk yang memperalat kami dan kami membalasnya dengan cara memperalat pula.

Namun, dalam kondisi pertarungan dengan uang itulah kesadaran kami akan keadaan agak terbuai. Nilai materi yang semula kami hayati sebagai bagian dari darah, kini mulai bergeser keluar dari tubuh kami sendiri. Kami perlu nilai-nilai dari luar untuk membuat hidup ini berdenyut. Kami, tak lagi menjadi generasi yang percaya diri dengan membedakan diri dari yang lain semasa di kantin di samping kampus. Kami, kini lebur dalam masyarakat yang justru ingin menjadi “sama” dengan yang lain.

Pergeseran pandangan kami atas uang itulah yang saya kira menyebabkan saya melihat Blackberry menjadi fenomena yang “agak mengganggu” di lingkungan saya sendiri.

Suatu siang, seperti biasa, saya datang ke kantin di samping kampus. Ada beberapa kawan perempuan dan beberapa kawan laki-laki. Satu sama lain sedang membahas gadget Blackberry yang masing-masing mereka miliki. Pertanyaan tentang teknologi pencari tempat, atau fitur-fitur lainnya di Blackberry, tidak henti-hentinya mereka bahas.

Saya terganggu bukan karena saya tidak memiliki Blackberry. Tetapi, karena mereka terlalu banyak “membicarakan” Blackberry ketimbang “mempergunakan” fasilitas canggih yang ada dalam benda itu. Sesungguhnya, mereka hanya ingin diterima dalam masyarakat yang demam Blackberry dengan membahasnya terus-menerus. Apa yang mereka inginkan dari Blackberry bukanlah kemudahaan melakukan komunikasi atau pekerjaan, tapi mereka ingin menampilkan diri mereka melalui Blackberry. Ya, Blackberry adalah penunjang identitas, penunjang pergaulan.

Memang, saya melihat lebih banyak teman perempuan yang sibuk dengan Blackberry. Saya maklum, karena perubahan teknologi dan trend, selalu disuburkan oleh kaum perempuan. Sebab, perempuan lebih detail melihat sesuatu yang ada di permukaan ketimbang lelaki. Tetapi, saya juga merasa beberapa teman lelaki saya di kantin itu juga mulai membahas Blackberry terus-menerus sebagaimana perempuan membicarakannya seperti membicarakan gosip.

“Itu namanya lifestyle,” kata seorang kawan perempuan saya yang mengamini kalimat pertama saya dalam tulisan ini.

Awalnya saya tak berpikir sejauh itu tentang Blackberry. Saya sendiri, adalah pengagum teknologi. Saya juga

menggunakan gadget merk lain namun sejenis Blackberry. Saya hanya menganggapnya sebagai alat, yang harus diperlakukan dengan dingin, sebagaimana alat itu mendatangi kita dengan dingin pula.

Saya tersentak dengan fenomena Blackberry itu ketika suatu kali saya bertemu “kembali” dengan kawan perempuan yang selalu saya bayangkan menjadi istri saya. Perempuan itu adalah perempuan muda, aktif, dan seorang jurnalis radio yang berdedikasi terhadap pekerjaannya.

Jika delapan dari sepuluh perempuan muda aktif di Jakarta menggunakan Blackberry, maka secara awam seharusnya kawan perempuan saya itu memiliki Blackberry. Sebagai jurnalis, memiliki Blackberry bukanlah semata lifestyle baginya. Sebab, memang gadget itu menunjang pekerjaannya. Tapi dia berbeda! Dan itulah yang menyebabkan saya tidak berhenti membayangkan dia menjadi istri saya.

Dia tak punya Blackberry, dan sikap hidupnya seolah-olah tak peduli dengan Blackberry. Semasa mahasiswa, ia kuliah di kampus highclass yang bahasa pengantar kuliahnya adalah bahasa Inggris. Menurut pengakuannya sendiri, tempat nongkrong teman-temannya semasa adalah di kantin kampus yang berada dalam gedung, atau, mereka kongkow di mal. Jika saja tidak menjadi jurnalis, dia belum tentu pernah menjalani hidup dalam nuansa aktivisme.

Kenapa perempuan manis ini tidak (atau belum) berminat memiliki Blackberry meski ia punya penghasilan yang cukup? Apakah ia merasa tidak terganggu dalam pergaulannya sebagai perempuan muda di Jakarta? Saya balik bertanya pada diri saya, kenapa harus ada pertanyaan mengapa dia tidak punya Blackberry? Adakah yang salah dalam dirinya sebagai seorang perempuan muda tanpa Blackberry?”

Saya senyum simpul dengan pertanyaan saya sendiri. Lewat diri perempuan yang saya bayangkan menjadi istri saya itu, saya belajar fenomena budaya pop. Lewat kontradiksi yang ditampilkannya, saya melihat betapa teknologi yang saintifik telah berubah menjadi fenomena kebudayaan yang ideologis, mitis, dan menyerang manusia secara tidak sadar.

Bagaimana Blackberry bekerja meracuni pikiran kita?

Yasraf Amir Pilliang dalam bukunya berjudul Sebuah Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, menunjukkan bagaimana kekuatan yang bersifat abstrak bisa mempengaruhi perilaku manusia.

Dia mencontohkan, kompetisi balap mobil Formula One adalah salah satu bukti yang menunjukkan kekuatan pikiran yang dijadikan tujuan bersama. Apakah kekuatan pikiran itu? Ia adalah asumsi kecepatan. Siapa tercepat, dialah yang menang. Paradigma percepatan inilah yang justru mempengaruhi teknologi. Teknologi dibuat untuk melayani paradigma percepatan itu. Setiap tim merahasiakan teknologi mobilnya agar tim lain tak meniru dan tak bisa menyaingi percepatannya. Jadi, iman percepatan itulah yang membuat teknologi bergerak.

Jika pada Formula One iman percepatan itu dihayati demi sebuah kompetisi yang industrial, pada Blackberry, iman percepatan itu justru dihayati untuk bisa hadir dalam suatu gelombang besar yang menguasai masyarakat.

Teknologi memang menakjubkan, itu tak bisa dibantah. Dulu, ketika televisi warna masuk ke Indonesia, masyarakat tergila-gila dan menganggapnya sebagai sesuatu yang ajaib. Kini, televisi terus berkembang dengan teknologi yang kemajuannya tak terduga. Kita memang harus memaklumi, bahwa inovasi adalah bakat alam teknologi.

Tapi, dalam masyarakat negara berkembang, kapitalisme tidak semata menjual barang. Niscaya, jika produsen gadget itu hanya menawarkan barang, kawan-kawan saya di kantin di samping kampus itu tetap aman.

Apa yang dijual kapitalisme adalah percepatan teknologi itu sendiri. Sebagian orang mungkin masih berkata begini: “ah, handphone nggak usah diikutin, nggak ada habis-habisnya.” Tapi kenyataannya, masyarakat tak sanggup mempertahankan diri dari perubahan teknologi telepon genggam yang tidak habis-habisnya itu. Mereka tetap membelinya, melahapnya, setiap kali dia datang.

Pertanyaan pertama untuk mendiagnosa masalah ini bisa kita mulai dengan “mengapa harga Blackberry atau teknologi sejenis bisa turun drastis dalam waktu setahun? Tidakkah produsen merugi karena modal yang dikeluarkan untuk membuat Blackberry setahun lalu itu tidak terbayar dengan harga yang jatuh di tahun sekarang?

Dengan pikiran awam, saya menduga Blackberry itu memang semurah saat semua orang mampu membelinya. Harga tinggi yang dibanderol produsen saat peluncuran pertama adalah untuk membuat “image” dalam pikiran masyarakat bahwa inovasi Blackberry memang berharga tinggi.

Ketika semua orang sudah menganggap Blackberry sebagai teknologi tinggi yang hanya bisa diperoleh dengan harga yang tinggi, saat itulah kapitalisme mulai bekerja secara ideologis. Blackberry telah memainkan apa yang disebut Roland Barthes sebagai mitos, yaitu mitos kemewahan.

Produsen pelan-pelan menurunkan harga Blackberry hingga ke batas kemampuan masyarakat. Ketika masyarakat merasa mampu, mereka menyerbu Blackberry!

Apakah serbuan masyarakat terhadap Blackberry itu memang didasari kebutuhan? Tidak sama sekali! Apa yang ada di kepala mereka saat itu adalah, “Blackberry adalah barang mewah berteknologi canggih yang setahun lalu harganya masih jauh dari jangkauan kita. Kini, setelah harganya mampu kita jangkau, tidak ada pilihan lain selain kita harus memilikinya.”

Apa yang dijual Blackberry bukanlah sekedar gadget selebar telapak tangan yang kini ada di tangan kawan-kawan saya itu. Tetapi, apa yang dijual adalah “percepatan teknologi” itu sendiri. Kita diperintahkan oleh suara tak terdengar untuk membeli percepatan perubahan teknologi itu. Seperti juara Formula One, kita merasa bangga ketika menjadi yang tercepat mengikuti teknologi. Kita merasa diakui dalam pergaulan ketika kita merasa berada di percepatan yang sama dengan kebanyakan orang.

Itulah sebabnya, setahun atau dua tahun lagi, Blackberry yang ada di tangan kawan-kawan saya itu akan menjadi barang usang. Padahal, mungkin tak semua fitur canggih itu mereka gunakan dengan maksimal semasa mereka menggunakan Blackberry. Mereka sesungguhnya tak mengerti teknologi, mereka hanya menumpang bergaul dengan identitas Blackberry.

Jika dulu di kantin itu kami berusaha membedakan diri, kini kami ramai-ramai ingin menyamakan diri dengan apa yang dikenal sebagai “trend”. Dulu, kami berbicara soal mitos, pembongkaran ideologi, gerak tersembunyi kapitalisme di abad 21, hingga menampilkan ekspresi untuk melawannya. Sebab itulah, di kantin itu kami memiliki identitas kami sendiri.

Sekarang, kami hanya menumpang makan dan membahas katabelece di tempat itu. Sebab, tak ada gunanya lagi mengenang masa dulu. Kini, lebih baik ikut dalam euforia zaman ketimbang meyakini jalur sendiri yang memang membutuhkan tenaga lebih besar. Kami sudah lelah dengan situasi. Sebab itulah, saya agak risih berlama-lama di sana.

Untunglah, saya sekali-sekali masih bertemu dengan kawan perempuan yang selalu saya bayangkan menjadi istri itu. Meski dia bukan tipe yang banyak bicara sebagaimana saya yang berbicara panjang lebar lewat tulisan ini, tapi sikap hidupnya (yang mungkin tak disadarinya) justru membuat saya awas dengan serangan bertubi-tubi yang samar itu. I love You, Woman!

November 17 2010



Kembalinya Mbah Marijan ke dalam "Rahim"

Merapi meletus! Mbah Marijan meninggal dunia dalam posisi sujud. Entah sujud itu untuk apa, tapi media massa terlanjur menyebut Mbah Marijan menghembuskan nafas terakhir dalam kondisi sholat. Andaikan Si Mbah ditemukan meninggal dalam posisi sedang tidur, barangkali kepergiannya kurang dikenang. Sujud menyebabkan kematian Mbah Marijan menjadi dramatis.

Drama kematian Mbah Marijan menyempurnakan ketenarannya sebagai juru kunci gunung Merapi. Kematian Mbah Marijan seolah menunjukkan dirinya adalah abdi sejati Keraton yang tetap setia pada tugas hingga akhir hayatnya.

Mengapa Mbah Marijan tak turun demi menghindari wedhus gembel? Apa yang menyebabkan dia berani mempertaruhkan nyawa? Bagaimana Mbah Marijan memandang kematian saat dia memilih bertahan untuk tetap di gunung meski bencana mengancam?

Drama! Ya, tanpa kita sadari, kita hidup untuk membuat hidup kita menjadi dramatis. Itulah sebabnya, kematian di medan perang sebagai prajurit jauh lebih dicatat sejarah dibanding meninggal di atas tempat tidur dalam keadaan tenang.

Bukan kematian benar yang dicari, tapi cara kita menempuh kematian itu yang lebih perlu. Kita butuh sesuatu yang berbeda saat mengucapkan selamat tinggal pada bumi. Dengan cara yang berbeda itu, kelak bumi akan mengenang dan selalu membahas masa-masa hidup kita. Dengan demikian, manusia yang berhasil membuat kematiannya dramatis, adalah manusia yang berusaha mengejar apa yang hanya dimiliki oleh tuhan, dan mungkin, alam raya ini: keabadian.

Mbah Marijan sesungguhnya tengah menunjukkan watak khas masyarakat timur lewat kematian. Mengutamakan dramatisasi dalam hidup dan kematian menunjukkan orang yang akan mati itu tak takut terhadap kematian. Justru, kematian dilakukan secara indah, yakni dengan drama.

Sebagai lelaki Jawa dan orang timur, mbah Marijan agaknya ingin membuktikan kepada kehidupan yang terus berjalan di dunia ini, bahwa falsafah atau firman kitab suci yang bermakna “dari tanah kembali ke tanah” itu tak sekedar bumbu-bumbu dalam kehidupan religi dan spiritual.

Saya teringat pertemuan saya dengan perempuan tua nan enerjik dari Jerman. Kalau tidak salah, nama perempuan yang berusia di atas 70 itu Barbara Ossenkop. Ia menetap di Indonesia sejak 1980-an. Setelah terpesona terhadap Bali lantas menetap di sana, ia berpindah ke Jakarta.

Ketertarikan pertama Barbara untuk tinggal di Jakarta adalah orangutan. Suatu hari ia bertemu dengan Ulrike. Ulrike atau biasa dipanggil ibu Ulla, adalah pencinta orangutan yang berusia sekitar 90-an. Ulla tinggal di tengah kebun binatang Ragunan, Jakarta, sejak kebun binatang itu pertama dibuka setelah dipindahkan mantan gubernur Ali Sadikin dari Cikini (sekarang Taman Ismail Marzuki). Dan Barbara adalah asisten Ulla mengurus orangutan.

Barbara mengajak saya ke rumahnya. Setelah bertemu di satu tempat, saya memboncengi Barbara dengan sepeda motor. Dalam perjalanan, saya membayangkan Barbara tinggal di lingkungan yang asri di selatan Jakarta. Tapi, apa yang saya temui jauh dari perkiraan. Barbara tinggal di sebuah rumah petak yang dindingnya hanya terbuat dari triplek.

Rumah yang panas dan agak sumpek itu terdiri dari tiga sekat: ruang tamu, ruang tidur, dan dapur sekaligus kamar mandi. Kepada saya, Barbara mengatakan ia bisa saja tinggal di di daerah elit. Tapi, ia tidak akan mengenal masyarakat Indonesia.

Benar saja, baru saja Barbara datang, sekitar 10 anak-anak kecil tetangganya menghampiri Barbara dan memanggilnya dengan panggilan “tante.” Saya takjub, karena Barbara yang sudah nenek-nenek itu mengingat nama masing-masing anak itu. Sekilas, saya lihat Barbara bahagia dengan penyambutan yang meriah itu. Mungkin tak ada kehangatan seperti itu di Eropa. Sebagai ganjarannya, Barbara membelikan anak-anak itu roti.

Barbara terus-menerus menyampaikan pandangannya tentang orang Indonesia. Dalam satu pandangannya, dia mengatakan orang Indonesia boros. Ia menyebut contoh saat mandi. Di Indonesia, kata Barbara, orang mandi tanpa mau menghemat air. Sementara di Jerman, orang mandi dengan air secukupnya. Karena air adalah energi yang bernilai.

Sebagai orang Indonesia, jelas saya tersinggung. Sebab, rasanya tak pantas orang Jerman mencaci-maki bangsa saya di depan saya. Bahwa negara dan perilaku masyarakat buruk, itu saya akui. Tapi, bukankah sudah banyak orang Indonesia sendiri yang menyampaikan kritik terhadap keadaan bangsa ini? Hanya karena dia orang Jerman, saya merasa dia lancang mengomentari Indonesia. Hampir saja saya mau bicara demikian, “kalau memang Indonesia buruk, kenapa Anda betah tinggal di sini?”

Barbara tampil dengan watak khasnya sebagai orang Barat. Mungkin ia tak sadar, bahwa caranya mengomentari keburukan Indonesia itu menjadi semacam kenikmatan bagi dirinya. Ia yang tak betah di tempat asalnya di Eropa, sengaja mencari tempat yang jauh untuk menyepi. Tetapi begitu dia sampai di tempat yang ia tuju, ia malah mengolok-olok tempat itu sendiri dan menyebut-nyebut negaranya lebih baik! Ia menghayati penderitaan dan keburukan masyarakat Indonesia sebagai “rekreasi” intelektual! Ya, Barbara bersenang-senang dengan intelektualitasnya!

Sekuat-kuatnya posmodern, warisan filsafat modern tetap saja masih bersemayam dalam pikiran orang Barat pada beberapa segi. Terutama ketika mereka berhadapan dengan masyarakat dunia ketiga. Barbara masih kental dalam suasana itu.

Sejak Rene Descartes mengumumkan sabdanya yang terkenal “cogito ergo sum”, tak ada yang lebih baik di dunia barat selain akal dan manusia. Karena manusia diletakkan di posisi yang tinggi, manusia diasumsikan bisa mengatasi segala sesuatu di luarnya. Manusia bisa mengatasi alam raya. Manusia bisa menguak langit luas yang dulu misterius dengan mengirim astronot ke bulan dan mars.

Modernitas memicu manusia membuat “jarak” dengan segala sesuatu yang ada di luarnya. Karena manusia berjarak dengan alam raya ini, mereka bisa menciptakan perspektif terhadap apa yang mereka lihat. Masyarakat barat menjadi sangat logis dan perhitungan. Jarak membuat mereka lebih dulu mengalami konflik yang kejam. Jarak memaksa mereka membuat sistem yang dianggap bisa mendamaikan sesama mereka.

Jarak membuat mereka melihat alam sebagai benda yang bisa dinilai. Jarak, membuat mereka menciptakan “property rights” untuk menghindari perselisihan atas kepemilikan kekayaan yang tertumpah di muka bumi ini.

Pada 2006, Mel Gibson menciptakan metafora yang kuat tentang watak masyarakat barat lewat film yang disutradarainya, Apocalypto. Pada akhir cerita, film yang berkisah tentang keruntuhan peradaban Maya di Yucatan, Mexico, itu ditutup dengan pengejaran buronan kerajaan oleh tentara kerajaan. Di akhir pengejaran, sang buron tak bisa melarikan diri lagi karena pelarian berakhir di pinggir pantai.

Yang menakjubkan, pengejaran itu tak diakhiri dengan kisah si buron dibunuh tentara atau dijebloskan ke penjara. Di tepi pantai, si buron terperangah menyaksikan sesuatu yang datang dari laut. Dua prajurit yang mengejar si buron juga tak melanjutkan pengejarannya karena mereka juga menyaksikan sesuatu yang aneh dari laut. Apakah yang datang dari laut? Itulah pendaratan pertama kapal Spanyol di benua Amerika yang dipimpin Christoporus Columbus.

Akhir cerita itu menjadi penting sebab kontras tengah ditunjukkan. Dalam kisah pengejaran, si buron dan prajurit berlarian di hutan, bersembunyi di balik pohon, juga melintasi sungai. Meski penerus suku Maya mengkritik adegan di film itu seolah menunjukkan bangsa Maya terlalu kejam, tapi buat saya itu bukan inti dari keseluruhan cerita.

Bagi saya, tak ada interupsi kultural selama adegan pengejaran. Saya melihat orang-orang bangsa Maya berlarian di hutan dan melintasi sungai seolah mereka adalah bagian dari alam. Mereka tidak berjarak dengan alam. Tak ada property rights yang kaku di sana! Justru, interupsi itu muncul dalam mimik keterperangahan mereka saat menyaksikan kapal Columbus merapat di pantai. Itu adalah saat di mana batin mereka mulai merasakan bahwa peradaban mereka akan hancur karena pelaut-pelaut itu mulai mematok-matok tanah mereka. Lantas, pelaut-pelaut itu akan mengatakan kepada mereka: “tanah ini milikku. Kalau kau masih memiliki tanah, tunjukkan batas-batasnya, dan pandai-pandailah memberikan harga pada tanahmu. Abad-abad kemudian, tanahmu itu bisa mempertahakan keberadaan suku bangsamu.”

Jelas, paham berjarak dengan alam yang dibawa orang Spanyol itu seperti tak masuk akal bagi orang Maya. Bagaimana mereka bisa menerima bahwa suatu saat tanah bisa saja menjadi bukan milik mereka sementara sepanjang hidupnya mereka tak mempersoalkan siapa yang memiliki? Mereka tinggal di atas hutan yang luas itu seperti orang yang menumpang tinggal saja. Kelak, jika mereka mati, toh memang bumi menginginkannya kembali. Bangsa Maya merasa tak berjarak dengan bumi! Karena merasa satu dengan bumi, watak mematok tanah dan mematerikan sumber daya alam terasa janggal dan asing.

Barbara, ketika dia memprotes orang Indonesia yang boros saat mandi, sedang berperilaku seperti pelaut-pelaut Spanyol. Saya, dalam keadaan yang mungkin lebih bisa mempertahankan diri, menjadi orang Maya itu.

Saya ingin bilang kepada Barbara, di negeri ini, air mengalir seolah tanpa henti. Masyarakat Indonesia dan Timur, justru menganggap alam bukan sebagai sesuatu yang ditaklukkan. Alam bukan objek dan sebab itu tak ada jarak antara manusia dengan alam sebagaimana orang barat memperlakukan alam.

Jika kita berjalan ke desa, maka kita bisa melihat anak-anak menceburkan diri dengan bahagia ke dalam sungai. Di kepala anak-anak itu, sungai yang mereka renangi itu akan berada di tempat itu selama tuhan masih menginginkannya. Dalam memori kultural mereka, tak ada pesan untuk mematok sungai meski suatu saat air di sungai itu bisa digantikan dengan uang yang luar biasa banyaknya.

Di negara Barbara, mungkin tak ada anak-anak yang mandi di sungai sebagai keseharian. Pada dasarnya, masyarakat Indonesia datang ke sungai, gunung, atau alam, bukan untuk piknik. Tapi memang di sanalah kehidupannya. Alam terbentang sejak mata kita bisa meresepsi lanskap pertama. Alam itu adalah diri kita ini, darah, daging, pikiran, bahkan jiwa. Andaikan kini masyarakat Indonesia banyak yang rakus, bukankah itu sebenarnya perilaku mematok-matok yang diajarkan kolonial pada kita!

Mungkin, dalam kebersatuan dengan alam itulah mbah Marijan pergi meninggalkan kita. Mbah Marijan tak takut mati karena mati baginya hanyalah bersatu dengan jagad yang memberinya kehidupan. Mati bagi mbah Marijan adalah drama kembalinya manusia ke dalam “rahim ibu” yang dulu memancarkannya ke dunia. Saya menduga, itu sebabnya mbah Marijan bersujud menghadap ke bumi.

“Dari tanah, kembali ke tanah!”

Kelapa Dua, November 1 2010

Sepakbola: Nasionalisme yang Menumpang

Di negeri ini, sepakbola sudah masuk dalam wilayah perasaan. Dia tidak lagi menjadi sekedar “game” dengan bumbu-bumbu kebijaksanaan sebagai miniatur kehidupan. Perasaan, sebagaimana dia mampu memperbudak kita saat jatuh cinta, acap membawa kita pada keadaan yang tak masuk akal.

Bagaimana, misalnya, menjelaskan kerusuhan yang pecah di Ambon, Maluku, beberapa saat setelah kesebelasan Spanyol menaklukkan Belanda secara dramatis dalam laga final Piala Dunia 2010? Kerusuhan itu terjadi karena pendukung Belanda kecewa karena tim yang dibelanya kalah. Setidaknya sembilan kios rusak di jalan Diponegoro, Ambon. Untuk meredamnya, Satuan Brimob Polda Maluku harus menurunkan satu peleton pasukan.

Mengapa orang-orang Ambon yang juga warga negara berkebangsaan Indonesia itu rela membiarkan energi dan perasaannya untuk kecewa terhadap kekalahan negara yang bukan tanah airnya? Tidakkah situasi ini absurd karena ekspresi perasaan itu menggugat nasionalisme sebagai bangsa?

Banyak hal yang bisa dicurigai. Mungkin memang sepakbola sudah menjelma fenomena budaya massa yang dahsyat setelah musik rock. Kini, manusia di mana pun, tidak bisa tidak harus bersentuhan dengan sepakbola. Pun jika dia tidak terlalu menyukai sepakbola sebagai sebuah cabang olah raga. Karena mengabaikan sepakbola di zaman ini, sama saja dengan menolak menjadi warga dunia.

Tetapi, bukankah ada negara lain yang demam sepakbola namun tidak terlalu menggunakan perasaan sebagaimana di Indonesia? Di Malaysia, saat kesebelasan negara itu bertanding sebagai tuan rumah Piala Asia 2007, stadion sepi. Sebagai orang Indonesia, saya juga merasa situasi itu agak absurd. Sebab, keadaannya berbanding terbalik dengan Indonesia.

Saya ingat saat pertandingan pertama Indonesia melawan Bahrain dalam penyisihan Piala Asia. Saya menonton lewat layar televisi di kantor tempat saya bekerja. Saya termasuk orang yang merugi tak hadir di Gelora Bung Karno waktu itu.

Euforia pertandingan itu bermula sejak pagi. Seluruh pendukung Indonesia dari penjuru manapun membludak di Senayan. Sebagian mengamuk karena tak mendapat tiket. Mereka melempar loket pembelian tiket dengan uang receh. Jumlah pendukung yang tak masuk ke stadion itu ribuan.

Lalu masuklah ke dalam adegan pertandingan. Kegilaan orang Indonesia atas sepakbola sekaligus menunjukkan kecintaannya terhadap negara mengemuka saat lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan sebelum pertandingan. Sekitar 100.000 lebih penonton yang memadati Senayan turut mengumandangkan Indonesia Raya. Bayangkan: sebuah koor ratusan ribu manusia dalam nada yang sama. Betapa mistis!

Bambang Pamungkas meledakkan kegembiraan! Dia babak kedua, dia melesakkan bola ke pojok kanan gawang setelah penjaga gawang Bahrain menepis tembakan Firman Utina. Skor menjadi 2-1. Gol sebelumnya dicetak oleh Elie Aiboy dengan gocekan khas pemain asal Papua.

Saat mata kepala saya yakin bahwa gol kedua dari Bambang Pamungkas itu sah sebagai gol, rasanya darah saya naik ke otak. Gemuruh di stadion seolah mau melompat dari layar televisi dan memporak-porandakan isi kantor saya. Saat itu saya seperti merasa menjadi warga yang negaranya baru saja merdeka dari penjajahan.

Meski menang melawan Bahrain, Indonesia tetap tak lolos pada fase penyisihan grup karena keok melawan Arab Saudi dan Korea Selatan. Tapi, pertandingan itu tetap menjadi pertandingan yang bersejarah dalam catatan sepak bola Indonesia.

Tapi, kalau kita mau jujur, sebenarnya kemenangan itu tidaklah istimewa dalam lanskap sepakbola dunia. Kemenangan itu hanya sekali, pada fase penyisihan, dan hanya di Piala Asia. Jika kita menonton Piala Dunia, negara yang hanya menang sekali di penyisihan seperti Indonesia tentu tak terlalu dianggap oleh warga dunia. Kecuali jika negara tersebut memang memiliki prestasi gemilang dalam sejarah sepakbolanya. Sebut saja mantan Juara Dunia 1998 Prancis yang harus pulang lebih dulu karena tak lolos penyisihan.

Tapi mengapa kita terlalu bahagia dengan kemenangan yang sekali dan hanya pada babak penyisihan itu?

Saya merasa ekspresi itu adalah ekspresi masyarakat yang tertindas dan selalu merasa inferior dalam konstelasi politik dunia. Sulit rasanya membayangkan pemerintah mampu mengubah Indonesia menjadi negara kuat yang diperhitungkan secara politik dan ekonomi di dunia. Jangankan menyamai Amerika Serikat, untuk menjadi negara semaju Jepang atau sefenomenal China, kita hanya menemui jalan buntu.

Di sisi lain, dunia memberikan peluang bagi negara-negara miskin dan berkembang untuk tetap dihargai sebagai sebuah negara dalam gelanggang dunia. Peluang itu hanya ada di sepakbola.

Brazil, misalnya, bukanlah negara kuat secara ekonomi dan politik. Tetapi, sejarah sepakbolanya yang panjang membuat negara itu dipandang sebagai “negeri sepak bola.” Atau, siapa yang peduli dengan negara-negara terbelakang di Afrika jika bukan karena anak-anak Afrika menjadi bintang di klub-klub terbaik Eropa?

Itu pula sebabnya pertandingan antara Spanyol dan Belanda menjadi dramatis. Keduanya belum pernah menjuarai Piala Dunia. Bagi Belanda, final Piala Dunia 2010 adalah yang ketiga. Sedangkan bagi Spanyol, ini final pertamanya. Siapapun yang menang, keduanya akan dianggap sebagai negara besar tidak hanya di dunia sepakbola, namun juga di kancah politik dunia.

Politik! Ya, itu sebabnya Presiden Prancis Nicholas Sarkozy rela turun tangan untuk menyelesaikan kisruh di tubuh tim nasional Prancis. Itu pula yang menyebabkan Presiden Brazil Luis Inacio Lula da Silva memberi komentar yang membela pelatih Carlos Dunga karena dihujat karena tak memanggil Ronaldinho ke timnas Piala Dunia 2010. Bahkan, saat timnas Brazil pulang karena langkah mereka dihentikan Belanda di perempat final, timnas Brazil tetap disambut dengan hormat. Bahkan Lula da Silva angkat bicara. “Kalah bagi tim yang sering menang itu biasa,” kata Lula yang tetap memuji tim nasionalnya.

Di Spanyol keadaan jauh lebih rumit. Barcelona, selalu dikaitkan dengan pemberontakan Catalonia melawan pemerintah pusat di Madrid. Sebulan setelah Perang Sipil Spanyol pecah pada 1936, sejumlah pemain Barcelonda dan Athletic Bilbao yang mewakili etnis Basque masuk daftar orang-orang yang melawan militer.

Pada 6 Agustus di tahun yang sama, Presiden klub Barcelona dan perwakilan partai politik pro-kemerdekaan untuk Catalan, Josep Sunyol, dibunuh oleh militer di dekat wilayah Guadarrama, Spanyol. Momen ini menjadi catatan penting dalam perjalanan Barcelona.

Tentu saja ingatan akan pembunuhan itu menjadi dendam. Sebab itu, saya memaklumi tindakan Xavi Hernandez dan Carlos Puyol saat berlari sambil mengibarkan bendera Catalonia seraya membawa Piala Dunia sebagai selebrasi kemenangan Spanyol atas Belanda.

Buat sebagian orang, mungkin tindakan Xavi dan Puyol terasa tidak bijak. Toh mereka bermain atas nama Spanyol!

Tapi luka sejarah Catalan yang mendalam membuatnya menjadi wajar. Xavi adalah pemain paling penting di balik kemenangan Spanyol di Piala Eropa 2008 dan Piala Dunia 2010. Xavi juga dianggap sebagai roh Spanyol dan Barcelona. Dan ketika membawa-bawa nama Barcelona dalam timnas Spanyol, tidak bisa tidak kenangan akan pembunuhan Sunyol oleh tentara diktator Franco akan muncul.

Lagi pula, bagi saya, prestasi terbesar Barcelona bukanlah ketika Josep Guardiola berhasil membawa Barcelona menjuarai enam kejuaraan dalam semusim. Prestasi terbesar Barcelona adalah ketika klub itu menyumbangkan sebagian besar pemain dan pola permainan yang membawa Spanyol menjadi juara dunia. Dan Xavi adalah jantung dari pola permainan sang juara.

Selain soal kepiawaian meramu tim, pelatih Spanyol pun mau tidak mau harus memiliki pandangan politik yang adil atas timnas Spanyol. Bintang Spanyol dan Real Madrid di era 90-an, Fernando Hierro, pernah mengatakan bahwa jika pemain Madrid membuat kesalahan saat bermain untuk Spanyol, pemain Barcelona tidak akan menegurnya. Sementara Fernando Torres mengungkapkan keadaan di timnas Spanyol lebih sulit dari yang dibayangkan orang-orang dari luar. Inilah yang menyebabkan Spanyol tak pernah berbunyi di Piala Dunia meski memiliki segudang pemain berbakat.

Louis Aragones adalah pembuka jalan. Sadar atau tidak, dia menggunakan paradigma yang politis dalam timnas Spanyol. Dalam tubuh timnas Spanyol yang menjuarai Piala Eropa 2008, Aragones memanggil sejumlah pemain yang mewakili sejumlah etnis. Anak-anak Catalonia, Castillia (Madrid), Asturia, bahkan Basque, masuk dalam gerbong Aragones.

Apa yang disebut rekonsiliasi sebagai jalan keluar konflik sudah dimulai Aragones dengan bahasa sepakbola. Dan rekonsiliasi itu mencapai puncaknya ketika Vicente del Bosque melanjutkan paradigma Aragones pada Piala Dunia 2010.

Del Bosque sendiri adalah orang Castillia yang sempat menjadi bintang di Real Madrid semasa menjadi pemain. Ia juga sempat membawa Madrid mencapai kejayaannya kala menjadi pelatih. Tetapi, pelatih yang kalem itu tak tersinggung dengan tindakan Xavi dan Puyol. “Pemain sudah lupa persoalan politik,” kata del Bosque sebelum penyerahan Piala Dunia 2010.

Inilah pendirian yang arif bagi seorang pelatih yang sejarah negaranya bergelimang konflik. Tentu saja, del Bosque menjadi moderat sebab dia juga punya sikap terhadap diktator Franco. Dia berkisah, ayahnya adalah orang Madrid yang sempat dipenjara Franco karena menentang kedikatorannya. Berdasarkan pengalaman itu, dia lebih menghargai perbedaan di Spanyol.

Dari pernyataannya, saya menangkap del Bosque menganggap aksi Xavi dan Puyol adalah ekspresi simbolik semata. Ekspresi simbolik itu menjadi penting untuk mengatasi sejarah yang runyam. Toh, Spanyol tetap tegak meski bendera Catalonia dikibarkan Xavi dan Puyol. Del Bosque sadar bahwa sejarah kelam itu tetap takkan bisa pupus begitu saja di dada orang Catalonia. Sebab itulah, bendera Catalan yang dibawa Xavi dan Puyol merupakan sebuah kompromi yang mengarah pada perdamaian.

Selain itu, dari sosok del Bosque kita bisa menemukan bahwa tidak semua orang Madrid membenci Catalans. Dalam konflik yang pahit itu, ternyata masih ada sejumlah orang yang menginginkan kedamaian. Dari manakah kedamaian itu bisa diraih jika politik tak merestuinya? Inilah sihir sepakbola! Vicente del Bosque mewujudkannya!

Lagi pula, yang menarik dari timnas Spanyol yakni semua unsur yang bertikaian itu direkatkan dengan cara yang sangat indah. Bayangkan, sebagian besar pemain Spanyol adalah pemain Barcelona dan Castillia. Sebagian lagi mewakili etnis yang lain. Lalu, meski gaya permainan dan jantung permainan diambil dari Catalonia, toh kapten kesebelasan Iker Casillas dan pelatih Vicente del Bosque adalah orang Madrid.

Selain itu, gol-gol penting yang membawa Spanyol ke tangga juara dilesakkan oleh anak-anak Barcelona: Iniesta, Pique, dan Puyol. Uniknya, pahlawan Spanyol yang mencetak gol tunggal kemenangan di final melawan Belanda, Andres Iniesta, adalah anak Castillia yang sejak kanak-kanak diasuh oleh Barcelona.

Dengan jalan yang elegan itulah, Spanyol kini diperhitungkan dunia. Dia menjadi negara baru yang sejajar dengan Italia dan Jerman.

Spanyol kini tak lagi menjadi negara medioker dalam sepakbola, sekaligus juga politik dunia. Sungguh kemenangan yang indah, kemenangan yang dicapai dengan pikiran yang damai dan menghasilkan perdamaian pula. Majalah Tempo menyebutkan, di Basque orang tak pernah menyaksikan bendera Spanyol berkibar selain saat Spanyol juara dunia.

Jika kita ingin kembali ke Indonesia, kita tentu akan menghadapi situasi yang sangat berbeda. Indonesia memang rawan konflik dan memiliki sejarah politik yang kelam. Namun sejarah politik kita tak berimbang dengan sejarah sepakbola. Kita belum pernah punya sejarah sepakbola yang mapan.

Jika di Spanyol perseteruan Catalan dan Madrid bisa dipindahkan ke lapangan hijau dan melahirkan rivalitas yang sehat antara Barcelona dan Real Madrid, Indonesia belum memilikinya. Satu-satunya kehebatan Indonesia ketimbang Spanyol adalah, meski kita bersuku banyak, namun timnas tetap satu, timnas Indonesia. Di timnas Indonesia, tak ada konflik yang dilandasi perbedaan etnis itu.

Tapi justru di sanalah masalahnya menjadi pelik. Di satu sisi, masyarakat paham bahwa hanya lewat jalur sepakbola keterpurukan di bidang politik dan ekonomi bisa diatasi. Nasionalisme adalah bentuk lain dari perasaan cinta kepada tanah air, tak mungkin menjadi nasionalis tanpa melibatkan perasaan. Namun di sisi lain, perasaan nasionalisme yang seharusnya bisa ditumpahkan dalam sepakbola itu tak pula berbanding lurus dengan prestasi timnas. Indonesia jarang menang, liga kacau, PSSI-nya korup dan tak berwibawa. Ada jarak antara harapan yang nasionalis dengan wajah sepak bola Indonesia. Wajar saja jika kini cara masyarakat mengkritik PSSI sama kerasnya dengan mengkritik pemerintah.

Sebagai generasi yang hidup di zaman ini, saya hanya bisa bertahan dan yakin bahwa saya orang Indonesia sejati hanya karena pertalian yang erat antara perasaan saya dengan Indonesia. Pertalian itu adalah, sebagaimana disebut novelis Ayu Utami dalam novelnya Bilangan Fu, pengetahuan yang kita peroleh dalam darah. Pengetahuan identitas kita sebagai bangsa itu hadir dalam tubuh kita sejak kita dilahirkan.

Itu berarti perasaanlah yang paling utama. Kalau tidak, dari manakah negara seribu masalah ini bisa tetap tegak tak terpecah-pecah jika bukan karena jalinan emosional yang kuat? Jalinan emosional itu pula yang saya kira menyebabkan masyarakat miskin yang terserak di segala penjuru tidak mudah mati seperti laron.

Buruk atau baiknya pemerintah, perasaan kita sebagai bangsa takkan pernah lenyap. Demikian pula, buruk atau tidaknya sepakbola, batin kita tetap terikat kuat dengan takdir sebagai bangsa. Tapi, jika pemerintah dan sepakbola tak bisa memberi kita semacam kebanggaan, kemana lagi kita harus mencarinya?

Selama ini, kita masih menumpangkan kebanggaan pada negara orang atau klub dari negara orang. Saya pencinta Barcelona, bisa dikatakan fanatik. Saya mencintai Barcelona seperti saya mencintai gitar listrik pertama saya. Pada Piala Dunia 2010, saya mendukung Spanyol, meskipun saya juga mendukung Argentina dan Brazil.

Tetapi, bukankah itu sebenarnya pelarian? Bukankah saya seharusnya mendukung PSSI hidup dan mati dengan perasaan saya? Oh, tidak! Zaman menjerumuskan saya masuk dalam situasi tak menentu, pemerintah karut-marut, sepakbola pun suram. Ya, untuk melepaskan keinginan menjadi “pemenang”, saya hanya bisa menumpang pada Barcelona dan Spanyol dan Brazil dan Argentina. Saya menyimak Lionel Messi seolah-olah dia adalah anak Papua. Saya menyimak Xavi seolah-olah dia adalah pemain didikan PSM Makassar. Nasionalisme saya muntah di tanah orang.

Dengan keadaan ini, maka wajar jika kerusuhan terjadi di Ambon gara-gara Piala Dunia 2010. Mereka mendukung Spanyol atau Belanda seolah-olah negara itu adalah negara mereka sendiri. Dan ketika negara yang mereka dukung kalah, mereka tak segan mengeluarkan amarah bagaikan negaranya sendiri sedang dicaci-maki.

Yang lebih berbahaya, kini sepakbola sudah menjadi keseharian yang penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Paling tidak, ada lebih dari 10 pertandingan sepakbola langsung yang disiarkan per pekan di televisi swasta Indonesia. Jumlah itu belum termasuk siaran yang ditayangkan di televisi kabel.

Hari-hari kita adalah hari-hari sepakbola. Bahkan, kita tak merasa rugi jika televisi menayangkan pertandingan tunda lebih dari sekali. Ya, menonton sepakbola membawa kita pada pergaulan dunia. Tanpa sadar, saat menonton sepakbola, kita seolah berada di Manchester, Turin, atau Valencia.

Tak ada tayangan yang menghadirkan kenyatakan faktual secara langsung di belahan dunia lain sebanyak sepakbola. Peristiwa politik atau bencana alam paling dahsyat sekalipun di negeri orang, takkan disiarkan secara langsung sesering sepakbola.

Menonton sepakbola, kita dapat menyaksikan tubuh, mimik, dan gesture, seluruh orang yang berada di stadion di Inggris atau Italia. Kita menonton hal yang sama, berada pada event yang sama, dan pada saat yang bersamaan. Bukankah itu faktual!

Dan Piala Dunia adalah festival bangsa-bangsa. Tak ada hajat yang melibatkan miliaran manusia di seluruh dunia selain Piala Dunia. Semua orang merasa berkepentingan dengan Piala Dunia meski negaranya sama sekali tak tercatat dalam sejarah Piala Dunia.

Tetapi dunia sudah terlanjur berjalan tak seimbang. Jika saya, Anda, atau massa yang rusuh di Ambon itu adalah salah satu dari orang yang terlibat di festival bangsa-bangsa, maka kita hanya bisa bersorak kagum dengan orang-orang yang ada di panggung utama festival. Mungkin kita sama sekali tak masuk ke dalam arena festival. Tetapi, di sudut yang kelam, kita menjadi gila ketika mendengar sayup-sayup kesebelasan negeri orang yang kita banggakan itu berteriak “gooooooollllll…..!!!”

Oktober 8 2010



Murid Tumbal Guru


Pagi, 15 Juli 2010. Seorang kawan semasa di kampus yang kini menjadi wartawan salah satu radio swasta di Jakarta mengirimkan pesan pendek. “Lihat TVone, sekarang!”

Sekitar lima belas menit kemudian, saya menyetel televisi. Program bincang-bincang di televisi itu sedang membahas polemik mengenai apakah infotainment termasuk kategori karya jurnalistik atau tidak.

Ternyata bukan tema perbincangan acara itu yang memicu kawan semasa di kampus tadi meminta saya menonton TVone. Tapi, karena salah satu pembicaranya adalah dosen kami di kampus dulu, DR Mulharnetty Syas.

Seingat saya, kawan saya pernah berdebat di kampus dengan Bu Netty-panggilan akrab Mulharnetty. Temanya soal apa, saya tak ingat lagi. Yang jelas, waktu itu dia ingin mengatakan Bu Netty bukan orang dengan pikiran yang terbuka. Jika berdebat dengan mahasiswa, ia akan memposisikan dirinya sebagai “orang tua” ketimbang sebagai dosen yang seharusnya menjadi rekan diskusi.

Sehari sebelumnya, saya membaca sebuah tautan seorang teman di akun facebook-nya. Tautan itu adalah berita di salah satu portal online tentang lulusnya Bu Netty sebagai doktor di Departemen Ilmu Komunkasi Universitas Indonesia. Dalam berita itu, disebutkan Bu Netty lulus dengan predikat sangat memuaskan.

Disertasi Bu Netty dengan co-promotor Ishadi SK itu bertajuk Relasi Kekuasaan dalam Budaya Industri Televisi di Indonesia (Studi Budaya Televisi pada Program Infotainment). Dalam disertasinya, Bu Netty mengatakan “infotainment bukan jurnalistik.” Saya rasa, disertasinya inilah yang mengantarkan Bu Netty hadir di TVone pagi itu.

Seumur-umur, baru sekali ini saya menyaksikan dosen dari kampus saya hadir dalam perbincangan di televisi dalam kapasitasnya sebagai akademisi. Saya dan siapa pun yang pernah bernaung di kampus saya dulu itu patut berbangga hati. Sebagai kampus yang dikenal sebagai “sekolah jurnalistik”, Bu Netty mungkin bisa memecah ironi tak adanya dosen atau akademisi dari kampus jurnalistik yang pendapatnya dibutuhkan dalam polemik di dunia jurnalistik.

Namun, pernahkah publik yang menonton TVone tahu? Bahwa sebagian besar pekerja infotainment yang dikritik Bu Netty lewat disertasinya itu adalah mahasiswa yang dulu dididiknya di kampus. Sebuah fakta yang membuat disertasinya Bu Netty kurang membumi adalah karena sebagian besar pekerja infotainment merupakan lulusan kampus kami.

Sebagai wacana, disertasi itu penting untuk polemik mengenai infotainment. Walapun kritik tetap harus diajukan, misalnya, argumentasi Bu Netty soal infotainment itu sebenarnya sudah diketahui banyak orang, termasuk mahasiswa-mahasiswanya yang belum lulus sarjana. Kehadiran disertasi Bu Netty hanya memperkuat argumen umum karena dia disampaikan melalui sebuah penelitian ilimiah. Tapi apa yang disimpulkan secara umum oleh disertasi itu, sudah terlalu sering kami bahas di warung kopi di sela-sela jam kuliah.

Lagi-lagi, disertasi itu hanya sebatas wacana. Apakah disertasi itu mempunya implikasi praktis terhadap lingkungan terdekat di mana Bu Netty hidup sehari-hari? Saya rasa tidak ada! Bukankah ironis? Seorang dosen di sekolah jurnalistik mengkritik infotainment sementara mayoritas yang bekerja di infotainment adalah mantan muridnya dulu?

Kawan-kawan semasa di kampus yang kini bekerja di infotainment menjadi “tumbal” oleh gurunya sendiri demi sebuah gelar yang mewah: doktor perempuan ke-22 yang dihasilkan Departemen Komunikasi Universitas Indonesia.

Jika ingin diadakan penelitian tandingan, seorang mahasiswa tingkat doktor jurusan pedagogi seharusnya bisa menulis disertasi dengan mengajukan pertanyaan “mengapa kampus jurnalistik yang berusia hampir 60 tahun itu lebih banyak menelurkan pekerja infotainment ketimbang jurnalis non-infotainment?” Saya rasa, Bu Netty harus menjadi narasumber utama untuk penelitian ini.

Bagi dunia luar yang luas, disertasi itu menjadi perhatian publik. Tapi bagi rumahnya sendiri, disertasi itu sebenarnya pisau yang menikamkan diri ke tubuh Bu Netty sendiri. Dan darahnya itu menciprati wajah murid-muridnya.

Tantangan sebenarnya bagi seluruh dosen, atau siapapun yang masih peduli dengan kampus tua di selatan Jakarta itu, adalah mendidik mahasiswa agar tak jatuh pada infotainment. Sebab, kalau sudah begini, terlepas dari apapun kesalahan dan kecacatan infotainment, dia sudah menjadi ladang pencaharian. Secara langsung atau tidak langsung, kampus kami turut andil dalam membangun dan melestarikan infotainment sebagai mata pencaharian.

Jika kawan-kawan ingat, saat kita menulis skripsi, bab I berisi pertanyaan tentang tujuan dan kegunaan penelitian. Kepada Bu Netty, kita pertanyakan lagi pertanyaan itu, “sebenarnya apa tujuan Anda menulis disertasi itu?”

Juli 15 2010

catatan: artikel ini semula dimuat di facebook "ervin kumbang" dan mengundang 98 komentar. Silahkan simak di
http://www.facebook.com/ervin.kumbang?sk=notes&s=0#!/note.php?note_id=414049262559

Remaja Selamanya: The Who

Dalam sebuah wawancara, gitaris Rolling Stones Keith Richard mengenang masa-masa terbaik di era 1960-an. Lalu Richard menyebut satu nama: The Who. Bagi Richard, The Who adalah yang paling kontemporer dalam “british invation”.

Sementara mengenai hari-hari pertama Stones dan The Beatles tampil di Amerika Serikat sebagai seniman rock and roll berwibawa dari seberang lautan, Richard sedikit merendah. Menurut Richard, apa yang mereka mainkan sebenarnya adalah memainkan kembali musik yang mereka pelajari dari daratan Amerika. “Bukankah kami menjual ‘kembali’ apa yang mereka mainkan?” Demikian Richard berkata.

Richard tak salah. Seperti diakui oleh Sir Paul McCartney tentang Liverpool, The Beatles bersyukur lahir di kota pelabuhan. Sebab, di kota itu pelaut-pelaut yang sempat berlabuh ke Amerika membawakan mereka musik dari negeri abang Sam. Dari Amerika mereka memperoleh blues dan rockabilly yang mempengaruhi seluruh pemusik dalam british invation.

Richard dan McCartney bagaikan ingin mengoreksi kata “invasi” dalam british invation. Bagi mereka, tanah yang mereka serang itu justru tanah yang memberikan mereka akar kreatifitas. Richard dan McCartney seolah mau mengatakan bahwa merekalah yang lebih dulu kena racun oleh “begundal-begundal jalanan” Amerika.

Tapi asumsi itu seolah mendapatkan pertahanan dalam The Who. Saya sepakat dengan Richard yang menyebut band asal London itu sebagai yang paling kontemporer dari british invation. Jika musik The Beatles dan Rolling Stones terdengar seperti musik Amerika yang dimainkan dengan dialek inggris, the Who justru memutarbalikkannya: memainkan musik tradisional Inggris dengan keliaran cara Amerika.

Di sinilah arti penting The Who dalam the holy trinity of british rock. The Who layak mendapat tempat yang sejajar dengan The Beatles dan Rolling Stones. The Who adalah “the identity”. The Who memiliki gitaris Pete Townshend yang jenius, vokalis Roger Daltrey yang penuh perasaan, basis John Eistle si autis penjaga ritmik, dan penggebuk drum yang impresif Keith Moon.


Pionir Aksi Panggung

September 1964 adalah hari di mana The Who menyebar ke seluruh dunia. Band itu baru tujuh bulan berganti nama dari The Detours menjadi The Who. Kedatangan Keith Moon sebagai pengisi kursi drumer yang ditinggalkan Doug Sandom menjadi penanda pergantian nama itu. Moon dan September 1964 adalah awal dari segala kegilaan di atas panggung dalam puak rock and roll.

Saat konser di Railway Tavern, Harrow, London, Pete Townshend tiba-tiba membanting gitarnya hingga hancur di atas panggung. Pete frustasi karena sejumlah penonton yang tertawa cekikikan. Selanjutnya, ia mengambil gitar yang lain dan melanjutkan pertunjukan. Sepekan kemudian di panggung yang sama, penonton berjubal ingin menyaksikan The Who. Lagi-lagi, Pete merusak gitarnya. Di belakang, Moon merusak drum kit-nya sebagai tanda solidaritas terhadap Pete.

Aksi ini membuat The Who memiliki pengecualiannya sendiri di antara The Beatles dan Rolling Stones. Melalui aksi panggung itu, The Who mengungkapkan sisi destruktif manusia yang selalu ditutupi dalam bentuk yang bisa dinikmati. Penghancuran berubah derajat menjadi seni dan ideologis. Penghancuran instrumen melekat sebagai ciri The Who. Demikian menginspirasinya, aksi itu turut dilakukan Jimi Hendrix dan jagoan grunge dari Seattle, Kurt Cobain.

Mengenai aksi panggung itu, frontman U2 Bono mengatakan The Who adalah kelompok yang paling berhasil menghidupkan panggung sebagai sebuah pertunjukan yang bertenaga. Bono bahkan tak segan mengakui U2 adalah titisan The Who.

Sementara vokalis Pearl Jam Eddie Vedder menunjukkan kekagumannya kepada The Who dengan ungkapan yang satir: “satu hal yang membuat saya muak tentang The Who adalah cara mereka meruntuhkan setiap pintu sebagai jalan masuk bagi yang tidak masuk chart rock and roll tanpa meninggalkan banyak hal selain puing-puing yang tersisa untuk bisa kita nyanyikan.”

Jelas! Apa yang ditinggalkan The Who bagi generasi di belakangnya adalah pemberontakan dalam energi yang penuh. Jika The Beatles memberontak dengan kebijaksanaan dan Rolling Stones dengan kenakalan yang androginik, The Who hadir dengan kebrutalannya.

Di masa kemudian, anak kandung kebrutalan rock and roll ala The Who itu mengalir pada musik punk. The Ramones, The Clash, Sex Pistol, bahkan Green Day, adalah band yang tampil dengan keliaran dan energi yang seolah-olah berlebih. Bagaimanapun, kebrutalan adalah ciri paling signifikan dalam kehidupan remaja. The Who melakukannya saat mereka remaja.

Bagi saya, mendengarkan musik The Who atau menyaksikan live performance-nya, tidak terdengar seperti musik yang lahir pada dekade 1960-an. Mendengarkan The Who seolah-olah mereka sama mudanya dengan Green Day, atau Arctic Monkey.

Tak salah lagi, The Who tidak pernah beranjak menjadi pemuda separuh dewasa seperti The Beatles dengan Across The Universe. The Who adalah remaja selamanya! Dan oleh karena itu, saya seperti tidak rela menyaksikan fisik Pete Townshend menjadi seorang kakek. The Who, adalah juru bicara para remaja!

Melalui The Who, dunia melihat sosok remaja yang mampu menempatkan kebrutalannya dalam cara yang intelektual. Seperti sepenggal lirik tembang abadi The Who “My Generation” ini:


people try to put us d-down (talkin’ ‘bout my generation)

just because we get around (talkin’ ‘bout my generation)

things they do look awful c-c-cold (talkin’ ‘bout my generation)

i hope I die before I get old (talkin’ ‘bout my generation)

September 27 2010



Anak-anak Pada Dasarnya Baik (Oleh-oleh dari Mudik)


Sebut saja namanya Tanto Herianto (bukan nama sebenarnya). Dia seorang teman yang saya kenal sejak saya duduk di sekolah menengah pertama. Ketika melanjutkan ke sekolah menengah atas, saya dan Tanto juga masuk ke sekolah yang sama.

Saya tidak terlalu akrab dengan Tanto. Gerombolan saya berbeda dengan gerombolan Tanto. Gerombolan saya adalah remaja-remaja yang populer di sekolah sebagai atlet basket, pengurus OSIS, dan sebagian terhitung sebagai anak-anak tampan di sekolah. Gerombolan saya tidak suka narkoba, rokok, berkelahi, dan bolos sekolah.

Di tempat lain, gerombolan Tanto yang saya ingat adalah gerombolan pemabuk, suka berkelahi, dan pembolos. Jelas, saya tidak mungkin bergaul rapat dengan gerombolan Tanto. Hanya saja, karena kota kami itu terlalu kecil dan hampir setiap orang di sekolah saling mengenal, sapa-menyapa dengan hangat antara saya dan Tanto tetap terjadi.

Sosok Tanto kembali menggedor kenangan saya ketika kabar itu datang tanpa saya minta. Dalam perjalanan pulang mudik hari raya yang lalu, seorang kawan memberi tahu saya: Tanto meninggal.

Saat meninggal, tubuh Tanto dikabarkan kurus ibarat hanya menyisakan kulit pembalut tulang. Sebelumnya saya pernah melihat kakak teman saya terkena penyakit seperti itu. Seperti Tanto, kakak teman saya itu juga dijemput maut. Dari desas-desus yang beredar, kakak teman saya itu meninggal karena narkotika, sebagian menyebutnya terkena HIV/AIDS. Soal Tanto, saya tidak tahu pasti penyebabnya. Tetapi kawan-kawan mengatakan Tanto sempat menggunakan narkoba sebelum “pergi”.

Matinya Tanto mengingatkan saya pada suatu hari saat saya SMA. Kala itu, pagi beranjak siang. Dengan mata kepala saya sendiri, saya saksikan Tanto berlari dari ruangan kepala sekolah, menuju gerbang sekolah, dan melempar kaca majalah dinding dengan sebuah batu. “Praaaannnng!!!” Dan Tanto kabur. Sementara itu, ayah Tanto gapah-gopoh mengejar anaknya.

Saya tak tahu pasti penyebabnya. Tapi saya menduga, ayah Tanto waktu itu dipanggil karena kenakalan Tanto di sekolah. Tapi mengapa Tanto justru membuat aksi memecahkan kaca majalah dinding justru saat ayahnya ada di sekolah? Tidakkah ia seharusnya merasa malu karena nyaris seluruh mata di sekolah menyaksikan ayahnya setengah berlari mengejarnya? Atau, tidakkah seharusnya Tanto mempermalukan ayahnya?

Hati dan pikiran saya tergoda untuk menghubungkan kematian Tanto dengan peristiwa sekali waktu di masa SMA itu. Saya digiring pada satu masalah klasik dan nyaris dialami seluruh manusia di dunia ini: kompleksitas hubungan orang tua (ayah) dan anak.

Saya termasuk orang yang tak percaya pada kesalahan anak-anak. Anak-anak, tetaplah anak-anak. Jika anak-anak diasuh dengan cara yang tidak benar, maka kebrutalanlah yang akan mereka lakukan di masa dewasa. Dengan asumsi ini, saya mengajukan satu pertanyaan: apakah aksi Tanto di sekolah itu adalah kesalahannya?

Tanto, saat itu masih remaja dalam jiwa yang belum lagi stabil, sebagaimana juga saya. Jika Tanto nakal selama tak melakukan kriminal, saya rasa itu wajar. Justru, saya melihat apa yang dilakukan Tanto di sekolah adalah bentuk protes terhadap ayahnya. Tanto agaknya “sengaja” menunjukkan pemberontakannya pada ayahnya di tempat di mana harga diri seorang remaja sedang dipertaruhkan, yaitu di sekolah, di tengah teman-temannya, di antara guru-gurunya.

Selebihnya, kita tidak bisa menebak apa yang terjadi antara Tanto dan ayahnya, atau keluarganya. Sebagai orang yang juga memiliki ayah, saya mencoba memahami sikap Tanto melalui apa yang saya alami. Seorang ayah, meski tak semua ayah, adalah seorang pemaksa.

Pikiran ayah (baca: orang dewasa), selalu seperti terputus dengan dunia anak-anak. Anak-anak tak boleh menderita, dan penderitaan orang tua seharusnya tak boleh diterjemahkan dalam caranya mendidik anak-anak. Orang dewasa, tanpa sadar terlalu sering menilai anak-anak, menjustifikasi anak-anak. Orang dewasa, selalu ingin menjadikan anak-anaknya sebagai “dirinya yang kedua”. Padahal, setiap manusia memiliki dunianya masing-masing.

Inilah paradoks dalam hubungan antara orang dewasa dalam adab ketimuran kita. Di barat, kita sering mendengar remaja berusia 17 tahun sudah diberikan kebebasan menentukan hidupnya sendiri. Namun di sisi lain, anak-anak barat menjadi jauh lebih keras, tajam, brutal, bar-bar, dan memiliki kreatifitas yang tak terduga.

Orang timur, dengan mudah menuduh “hubungan seks bebas” yang dilakukan anak-anak barat sebagai bentuk filsafat hidup mereka yang menjunjung kebebasan ekstrim. Hubungan antara anak-anak dan orang tua dinilai terlalu dingin. Salah satu penyebab lainnya adalah lumrahnya perceraian di keluarga barat.

Dengan tuduhan kita terhadap masyarakat barat seperti itu, apakah kita akan mengatakan bahwa hubungan anak-anak dalam ketimuran kita lebih bersifat hangat? Apakah sebenarnya kehangatan itu? Apakah Tanto mendapat perlakuan yang hangat dari ayahnya?

Setiap kata-kata yang disampaikan orang dewasa, setiap sentuhan atau siksaan, akan mempengaruhi jiwa anak-anak. Itu akan mempengaruhi bagaimana sang anak menjalani hidupnya sebagai manusia dewasa, bahkan hingga “bagaimana” cara sang anak itu mati.

Pentolan rockabilly dekade 50-an di Amerika Serikat, Johny Cash, adalah salah satu anak yang jarang menyapa sang ayah. Johny, yang mencintai musik sejak kanak, selalu dianggap tak berarti oleh ayahnya. Ayahnya hanya menganggap Jack Cash, abang Johny. Abang Johny adalah tipikal anak-anak yang cerdas, rajin membaca, dan selalu mendapat nilai tinggi di sekolah.

Suatu kali, Jack mati saat bekerja di pemotongan kayu. Johny yang saat itu berada di pemotongan kayu, mengajak abangnya untuk bersantai dengan memancing di sungai. Sang abang menolak karena harus bekerja. Karena begitu sayang dengan Johny, Jack mengizinkan Johny memancing.

Nasib buruk, Johny dipersalahkan ayahnya karena tidak menemani Jack di pemotongan kayu. Jack tewas, dan Johny dipersalahkan ayahnya seumur hidup (kisah ini dapat disaksikan dalam film Walk of The Line. Johny Cash diperankan Joaquin Phoenix yang berpasangan dengan Resse Whiterspoon sebagai June Carter).

Apa yang terjadi dengan Johny selanjutnya? Hidup Johny kacau. Ia bercerai dengan istri dan seorang anaknya. Meski tenar, ia tenggelam dalam narkotika sampai June (Carter) bersedia mengasuhnya hingga sembuh.

Johny lebih baik karena masih bisa hidup, sementara Tanto harus mati. Johny masih lebih baik karena ia menjadi individu yang tercatat dalam sejarah musik dunia, sementara nama Tanto hanya disapa oleh angin yang kebetulan melintas di pusaranya. Johny lebih baik karena ia sempat merasakan hidup bergelimang uang, sementara Tanto tetap “miskin” hingga mati.

Kawan-kawan, mengapa hidup harus bertindak seperti itu? Apa sebenarnya salah anak-anak? Apakah keluguan anak-anak membuat anak-anak tidak bisa mengajukan protes terhadap orang dewasa?

Baiklah! Mungkin tidak semua anak-anak di bumi ini yang mengalami hubungan yang tak mengenakkan sebagaimana Johny Cash dan (mungkin) Tanto. Tapi saya ingin menyebut satu nama: Afrizal Malna.

Dalam sebuah diskusi tentang kebudayaan bulan lalu di Galeri Nasional, penyair Afrizal Malna memberikan satu sikap atas kejamnya dunia orang dewasa terhadap anak-anak. Afrizal, menurut pengakuannya, adalah orang yang tidak pernah mengalami kekerasan fisik dan menemukan hal-hal seperti itu di dalam rumahnya.

Ia heran mengapa teman-temannya semasa kanak harus menghadapi pukulan orang tua untuk membayar satu atau dua kesalahan. Karena perbedaan itu, Afrizal membenci dunia orang dewasa. Dalam masa kanaknya, ia membentuk dunianya sendiri, ia menciptakan bahasanya sendiri, peradabannya sendiri, yang tak tersentuh oleh dunia orang dewasa.

Haruskah setiap anak-anak membuat dunianya sendiri seperti Afrizal? Apakah semua anak-anak memiliki kecerdasan seperti Afrizal? Saya tidak tahu! Dan saya berdoa untuk keselamatan setiap anak-anak yang saya tidak tahu apa yang mereka alami di balik pintu rumah mereka!

Mudah-mudahan, keadaan ini tidak membuat siapapun di dunia ini takut untuk menjadi orang tua.

September 25 2010