Johannes Gutenberg |
Siapa nama
penemu itu? Siapa? Johannes Gutenberg? Beginilah nasibnya hari ini: dia adalah
penyelamat bagi orang yang muak dengan obrolan tentang pemilihan presiden.
Politik pun, kawan, punya juga kultur hipster-nya. Dan Gutenberg membuat orang
bisa mengambil posisi untuk berada di dalam kemuakan itu. Tidak setuju, tidak
keluar, dan tidak pula lari!
Catatan ini
ditulis ketika pemilihan presiden langsung yang ketiga sejak kejatuhan Soeharto
pada 1998 sedang menghitung mundur kurang dari 30 hari. Selama itu, alangkah
membosankannya hari-hari mendengar obrolan yang itu-itu saja. Kukatakan yang
itu-itu saja, jika kau adalah seseorang yang tak bisa menghindar dari
masyarakat.
Dan Gutenberg
adalah penemu mesin cetak. Revolusi komunikasinya - watak jenius dalam
teknologinya - telah pula mempertontonkan kebodohan dan kerendahan. Dan sayangnya,
itulah yang menyebabkan pemilihan presiden serta segala pembicaraan tentangnya
menjadi memuakkan. Tulisan ini memang membicarakan pemilihan presiden, namun
dari segi kemuakan terhadapnya!
Harian Kompas, adalah anak kandung Gutenberg
yang sulit dibantah keberadaannya. Inilah surat kabar yang paling elegan
mengarungi beberapa kali transisi politik. Mengapa pula Kompas harus dipersoalkan? Sederhana saja, karena dia memiliki
kekuasaan. Sesuatu yang dimiliki oleh segelintir kecil individu saja di negeri
ini, bahkan di seluas bumi ini. Dan, media massa lain di Indonesia pantas iri
dengan Kompas.
Bagaimana dia
menjalankan kekuasaannya, itu pulalah yang menyebabkan bagaimana dia bisa
bertahan dalam pertarungan kekuasaan. Haha…kawan, tentu saja kita harus
membicarakan kekuasaan milik Kompas dalam
posisinya sebagai produk mesin cetak, bukan seperti nada bicaramu di alam yang “melampaui”
Gutenberg: internet.
Rabu, 28 Mei
2014. Itu adalah tanggal terbit Harian Kompas
nomor 320 tahun ke-49. Dan dengan itulah aku akan memulai caraku berbicara.
Harian Kompas edisi Rabu 28 Mei 2014 |
Di halaman
paling muka, tanpa kita perlu menebak-nebak sehari sebelumnya, ada potret dua
kandidat presiden dan wakil presiden. Masing-masing potret itu berukuran kira-kira
lebih besar sedikit dari ukuran pas foto 4x6. Mereka tampil mulai dari kepala
hingga dada dengan latar berwarna merah. Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa ada
di posisi kiri, kontra dengan rival di sisi kanan, Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Potret masing-masing pasangan itu diletakkan secara vertikal dengan kandidat presiden
berada di sisi atas.
Di antara
dua sisi potret itu, inilah pokoknya, tertera nama-nama “Tim Kampanye Nasional
Capres-Cawapres”. Percayalah, nama-nama di sana akan membuat sejarah politik dalam pengetahuan politik yang
kau telan dengan benakmu selama ini, akan rubuh seperti sebuah gedung tua yang
diruntuhkan hingga menjadi debu.
Di sisi
kiri, ada nama-nama Dewan Penasihat seperti “Amien Rais, Akbar Tanjung, Ustaz
Hilmi Aminuddin, Hashim Djojohadikusumo, Zulkifli Hasan, Agung Laksono, dan
Jenderal (Purn) Djoko Santoso, dll.” Ketua: Mahfud Md. Wakil Ketua: Jend (Purn)
George Toisutta, Letjen (Purn) Burhanuddin, Laksdya (Purn) Moekhlas Sidik, KH
Masduki Baidowi.
Aku kira,
kita tak perlu meneruskan siapa-siapa orang yang berada di 14 kategori dalam
struktur organisasi di bawahnya. Kini semuanya serba terbuka. Dan dengan
melihat tiga posisi tertinggi, posisi di bawahnya hanya menjadi teks basa-basi.
Di sisi
kanan, Penasihat adalah Megawati Soekarnoputri, Surya Paloh, Muhaimin Iskandar,
Wiranto, dan Sutiyoso. Ketua Tim diduduki oleh Tjahjo Kumolo. Wakil Ketua:
Patrice Rio Capella, Imam Nachrawi, Dossy Iskandar, Wiranto, dan Sutiyoso.
Mereka bukanlah
orang-orang yang setia! Sebab kesetiaan adalah relatif dalam politik, begitulah
falsafah mereka tentang politik. Atau, seperti dikatakan oleh seseorang seperti
Benedict Anderson, konsep kekuasaan dalam masyarakat Jawa.
Dan ini
bukan pula hal yang ingin kupenjarakan dalam kategori salah-benar. Aku hanya ingin mengambil posisi untuk menghadapi
falsafah orang-orang yang tidak setia itu. Jawa, dalam hal ini, tidak perlu
dilihat dalam alam pemikiran kesukuan-negatif yang turun-temurun, sehingga
sikap yang tak setia itu tidak pula perlu dilihat dengan perasaan anti-Jawa. Jika kita melihat Jawa dengan cara Benedict Anderson, maka kita tak
perlu takut mengatakan bahwa konsep kekuasaan dari kebudayaan Jawa telah
mendominasi sejarah dengan segala sebab-akibatnya tanpa menyinggung perasaan
orang bersuku Jawa.
Benedict Anderson |
Sudah sejak
Pemilihan Umum 1955, dan teori Benedict Anderson itu akhirnya bertemu dengan
zaman internet. Pemilu, yang merupakan anak dari kebudayaan barat, menuntut
politik membagi diri ke dalam identitas-identitas yang seakan-akan diterima
begitu saja sebagai warisan masa lampau. Antropolog Clifford Geertz membagi
tiga kelompok yang menjadi “batas” lalu menjelma dalam persetujuan ideologi
partai politik peserta pemilu. Yang tiga itu adalah: Abangan, Santri, dan Priyayi.
Suasana menjelang Pemilu 1955 |
Secara
sederhana, Abangan adalah sebutan
untuk kaum petani yang menjalani hidup mengikuti kepercayaan nenek moyang, Santri adalah kaum agama, dan Priyayi adalah bangsawan serta
orang-orang pemerintahan. Aku tidak akan membahas perbedaan dan konflik
ketiganya. Jelas tidak enak rasanya dianggap sebagai objek dalam sebuah penelitian
seorang ilmuwan sosial. Aku hanya ingin mengatakan, zaman pasca mesin cetak membuat
orang bisa keluar dari tiga kategori itu dan membentuk kategorinya secara
pribadi, tanpa berkeinginan untuk mengejewantahkan diri dalam kekuatan partai politik
ala barat.
Clifford Geertz (1926-2006) |
Internet
telah membuat orang boleh menciptakan ideologinya sendiri. Dan karena politik
selalu diajarkan sebagai sesuatu yang meniscayakan ketidaksetiaan, maka dengan
sendirinya pembagian yang dikatakan Geertz sudah menjadi pengetahuan masa lalu.
Kalau kau
tak percaya, coba lihat kembali nama-nama dalam tim kampanye Capres-Cawapres
yang ada di halaman muka harian Kompas
edisi Rabu 28 Mei 2014.
Di kubu
Prabowo, Amien Rais adalah nama pertama. Ia adalah pendiri Partai Amanat Nasional,
Ketua Umum Muhammadiyah ke-12 (1995-1998), seorang akademisi, dan berada pada
barisan reformis pada reformasi 1998. Dia jelas wakil kaum Santri. Lalu ada
Akbar Tanjung, aktivis Himpunan Mahasiswa Islam dalam transisi politik 1966,
bekas Ketua Umum Golkar, dan menteri di era Orde Baru. Akbar adalah contoh
kelompok Priyayi.
Satu kategori lain yang menurutku adalah
warisan kultur militer Soeharto adalah kaum Militer, di mana di sana ada mantan
Panglima TNI, Jenderal (Purn) Djoko Santoso. Nama lainnya adalah Zulkifli Hasan
(PAN) dan Agung Laksono (Golkar). Dua nama ini pernah menjabat menteri.
Lalu di mana
watak Abangan dalam tim ini? Posisi
ini nyaris tak punya wakil, karena satu-satunya warna Abangan terletak pada citra yang ingin ditunjukkan Prabowo sebagai ciri
partai politik yang didirikannya, Gerindra. Gerindra menjual kepedulian terhadap
petani dan masyarakat kelas bawah sebagai misinya. Kasus Abangan dalam Gerindra ini menggambarkan semakin buramnya kategori
Geertz karena latar belakang Prabowo sebenarnya lebih dekat dengan kalangan Priyayi dan Militer.
Di kubu
sebelahnya, ada Megawati Soekarnoputri, mantan Presiden dan Wakil Presiden,
tokoh PDI-P. PDI-P, inilah partai yang secara sejarah pewaris kelompok Abangan, partainya para petani. Namun,
Megawati sendiri, sebagai seorang simbol, sebenarnya sudah lahir di alam Priyayi karena pernah tidur di kamar
Istana Negara sebagai seorang putri Presiden Soekarno. Surya Paloh adalah bos media pendiri partai debutan, Nasional Demokrat. Dia boleh disebut wakil Priyayi karena sebelumnya dia adalah
tokoh Golkar, bahkan pernah turut dalam konvensi calon presiden partai itu di
masa lalu. Begitu pula Wiranto, wakil kelompok Militer yang kini berdiri dengan
partai yang ingin tampil sebagai kelompok Abangan,
Hanura. Dari kelompok Santri, ada
seorang menteri sekaligus pemimpin partai berbau Nadhlatul Ulama yang didirikan
oleh mantan presiden Abdurrahman Wahid, Muhaimin Iskandar untuk Partai Kebangkitan Bangsa.
Komposisi
itu membawa kita pada kondisi di mana konflik Abangan, Santri, dan Priyayi yang termahsyur itu sudah tak
ada lagi. Maksudnya, persetujuan ideologi yang mereka jadikan sebagai keputusan
untuk mendukung salah satu partai politik dalam pemilihan umum yang datang dari
dunia barat, sudah tidak lagi dipertimbangkan oleh elit-elitnya.
Ada Golkar
di kubu Prabowo melalui Akbar Tanjung, tapi ada Golkar juga di kubu Joko Widodo dengan sosok Jusuf
Kalla. Entah di mana Golkar berdiri dalam kompetisi ini. Ada PAN dan PKS di
sisi Prabowo. Tetapi ada juga PKB karena Ketua tim kampanye adalah mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi yang dibesarkan oleh PKB, Mahfud MD. Entah bagaimana
caranya dia dan rekan sekaumnya, Muhaimin Iskandar, berdiri di kubu yang
berseberangan.
Aku harap
kau tidak bosan membaca komposisi itu. Karena kita memang harus mengurainya
dengan melihat mereka melalui alat dari barat yang mereka gunakan untuk
kekuasaan: partai politik. Sudah sejak pemilu 2004 sebagai pemilu pertama di
mana aku diizinkan untuk mencoblos, aku lebih memilih tidur. Dan itu tak
berubah hingga kini.
Seorang penyanyi dangdut dalam kampanye Pemilu 2014 |
Jikalau
kontestan dan sebab pemilihan umum itu diwakili oleh sesuatu yang abstrak
bernama partai politik, maka kenyataan koalisi Pemilihan Presiden 2014 menunjukkan
kesia-siaan bagi mereka yang memutuskan untuk menggunakan hak suaranya dua
bulan yang lalu. Koalisi kedua kandidat tak menunjukkan perbedaan identitas
seperti dalam pembagian Abangan, Santri, dan Priyayi. Aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Namun
doktrin ketidaksetiaan dalam politik membuat partai politik boleh-boleh saja
meletakkan dua kaki terhadap masing-masing kandidat.
Sampai kini,
aku tak menemukan alasan yang mendasari mengapa mereka memilih kecenderungan ke
arah ke salah satu kandidat. Alasan itu penting bagiku karena itu adalah alasan
yang membuat warga negara memilih partai yang menjadi alat bagi mereka dalam pemilihan
parlemen. Sekaligus alasan untuk menemukan arti partai politik bagi mereka yang
memutuskan untuk memberikan suaranya.
Bagiku, partai
politik sebenarnya sudah tidak ada. Mungkin sudah lama tidak ada. Aku bingung menyebutkannya karena ini akan jatuh kepada klise: yang ada hanyalah
tawar-menawar. Mereka menyebutnya dengan ”sharing
power”, sebuah keniscayaan yang tampaknya diperlakukan sama seperti
anggukan terhadap ketidaksetiaan dalam politik.
Aku memang
orang yang pesimistis, tetapi aku mencintai misteri masa depan. Aku lebih suka
memikirkan masa depan ketimbang bernostalgia. Maka, apa yang terjadi hari ini
seringkali kutempatkan di masa depan. Yang menarik bagiku, setelah partai
politik hari ini tak ada artinya dan pemilu hanyalah basa-basi untuk meneruskan
takdir demokrasi, adalah keingintahuanku terhadap apa yang akan terjadi di masa
datang sebagai akibat dari semuanya hari ini.
Kau silahkan
meneruskan pembicaraanmu tentang pemilihan presiden kali ini. Tapi, aku tidak
pernah mendapatkan alasan untuk menjadi seperti engkau.
Jakarta, 10
Juni 2014