Monday, June 9, 2014

Partai Politik Terakhir

Johannes Gutenberg
Siapa nama penemu itu? Siapa? Johannes Gutenberg? Beginilah nasibnya hari ini: dia adalah penyelamat bagi orang yang muak dengan obrolan tentang pemilihan presiden. Politik pun, kawan, punya juga kultur hipster-nya. Dan Gutenberg membuat orang bisa mengambil posisi untuk berada di dalam kemuakan itu. Tidak setuju, tidak keluar, dan tidak pula lari!

Catatan ini ditulis ketika pemilihan presiden langsung yang ketiga sejak kejatuhan Soeharto pada 1998 sedang menghitung mundur kurang dari 30 hari. Selama itu, alangkah membosankannya hari-hari mendengar obrolan yang itu-itu saja. Kukatakan yang itu-itu saja, jika kau adalah seseorang yang tak bisa menghindar dari masyarakat.

Dan Gutenberg adalah penemu mesin cetak. Revolusi komunikasinya - watak jenius dalam teknologinya - telah pula mempertontonkan kebodohan dan kerendahan. Dan sayangnya, itulah yang menyebabkan pemilihan presiden serta segala pembicaraan tentangnya menjadi memuakkan. Tulisan ini memang membicarakan pemilihan presiden, namun dari segi kemuakan terhadapnya!

Harian Kompas, adalah anak kandung Gutenberg yang sulit dibantah keberadaannya. Inilah surat kabar yang paling elegan mengarungi beberapa kali transisi politik. Mengapa pula Kompas harus dipersoalkan? Sederhana saja, karena dia memiliki kekuasaan. Sesuatu yang dimiliki oleh segelintir kecil individu saja di negeri ini, bahkan di seluas bumi ini. Dan, media massa lain di Indonesia pantas iri dengan Kompas.

Bagaimana dia menjalankan kekuasaannya, itu pulalah yang menyebabkan bagaimana dia bisa bertahan dalam pertarungan kekuasaan. Haha…kawan, tentu saja kita harus membicarakan kekuasaan milik Kompas dalam posisinya sebagai produk mesin cetak, bukan seperti nada bicaramu di alam yang “melampaui” Gutenberg: internet.

Rabu, 28 Mei 2014. Itu adalah tanggal terbit Harian Kompas nomor 320 tahun ke-49. Dan dengan itulah aku akan memulai caraku berbicara.

Harian Kompas edisi Rabu 28 Mei 2014
Di halaman paling muka, tanpa kita perlu menebak-nebak sehari sebelumnya, ada potret dua kandidat presiden dan wakil presiden. Masing-masing potret itu berukuran kira-kira lebih besar sedikit dari ukuran pas foto 4x6. Mereka tampil mulai dari kepala hingga dada dengan latar berwarna merah. Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa ada di posisi kiri, kontra dengan rival di sisi kanan, Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Potret masing-masing pasangan itu diletakkan secara vertikal dengan kandidat presiden berada di sisi atas.

Di antara dua sisi potret itu, inilah pokoknya, tertera nama-nama “Tim Kampanye Nasional Capres-Cawapres”. Percayalah, nama-nama di sana akan membuat sejarah politik dalam pengetahuan politik yang kau telan dengan benakmu selama ini, akan rubuh seperti sebuah gedung tua yang diruntuhkan hingga menjadi debu.

Di sisi kiri, ada nama-nama Dewan Penasihat seperti “Amien Rais, Akbar Tanjung, Ustaz Hilmi Aminuddin, Hashim Djojohadikusumo, Zulkifli Hasan, Agung Laksono, dan Jenderal (Purn) Djoko Santoso, dll.” Ketua: Mahfud Md. Wakil Ketua: Jend (Purn) George Toisutta, Letjen (Purn) Burhanuddin, Laksdya (Purn) Moekhlas Sidik, KH Masduki Baidowi.

Aku kira, kita tak perlu meneruskan siapa-siapa orang yang berada di 14 kategori dalam struktur organisasi di bawahnya. Kini semuanya serba terbuka. Dan dengan melihat tiga posisi tertinggi, posisi di bawahnya hanya menjadi teks basa-basi.

Di sisi kanan, Penasihat adalah Megawati Soekarnoputri, Surya Paloh, Muhaimin Iskandar, Wiranto, dan Sutiyoso. Ketua Tim diduduki oleh Tjahjo Kumolo. Wakil Ketua: Patrice Rio Capella, Imam Nachrawi, Dossy Iskandar, Wiranto, dan Sutiyoso.

Mereka bukanlah orang-orang yang setia! Sebab kesetiaan adalah relatif dalam politik, begitulah falsafah mereka tentang politik. Atau, seperti dikatakan oleh seseorang seperti Benedict Anderson, konsep kekuasaan dalam masyarakat Jawa.

Dan ini bukan pula hal yang ingin kupenjarakan dalam kategori salah-benar. Aku hanya ingin mengambil posisi untuk menghadapi falsafah orang-orang yang tidak setia itu. Jawa, dalam hal ini, tidak perlu dilihat dalam alam pemikiran kesukuan-negatif yang turun-temurun, sehingga sikap yang tak setia itu tidak pula perlu dilihat dengan perasaan anti-Jawa. Jika kita melihat Jawa dengan cara Benedict Anderson, maka kita tak perlu takut mengatakan bahwa konsep kekuasaan dari kebudayaan Jawa telah mendominasi sejarah dengan segala sebab-akibatnya tanpa menyinggung perasaan orang bersuku Jawa.

Benedict Anderson
Sudah sejak Pemilihan Umum 1955, dan teori Benedict Anderson itu akhirnya bertemu dengan zaman internet. Pemilu, yang merupakan anak dari kebudayaan barat, menuntut politik membagi diri ke dalam identitas-identitas yang seakan-akan diterima begitu saja sebagai warisan masa lampau. Antropolog Clifford Geertz membagi tiga kelompok yang menjadi “batas” lalu menjelma dalam persetujuan ideologi partai politik peserta pemilu. Yang tiga itu adalah: Abangan, Santri, dan Priyayi.

Suasana menjelang Pemilu 1955
Secara sederhana, Abangan adalah sebutan untuk kaum petani yang menjalani hidup mengikuti kepercayaan nenek moyang, Santri adalah kaum agama, dan Priyayi adalah bangsawan serta orang-orang pemerintahan. Aku tidak akan membahas perbedaan dan konflik ketiganya. Jelas tidak enak rasanya dianggap sebagai objek dalam sebuah penelitian seorang ilmuwan sosial. Aku hanya ingin mengatakan, zaman pasca mesin cetak membuat orang bisa keluar dari tiga kategori itu dan membentuk kategorinya secara pribadi, tanpa berkeinginan untuk mengejewantahkan diri dalam kekuatan partai politik ala barat.

Clifford Geertz (1926-2006)
Internet telah membuat orang boleh menciptakan ideologinya sendiri. Dan karena politik selalu diajarkan sebagai sesuatu yang meniscayakan ketidaksetiaan, maka dengan sendirinya pembagian yang dikatakan Geertz sudah menjadi pengetahuan masa lalu.

Kalau kau tak percaya, coba lihat kembali nama-nama dalam tim kampanye Capres-Cawapres yang ada di halaman muka harian Kompas edisi Rabu 28 Mei 2014.

Di kubu Prabowo, Amien Rais adalah nama pertama. Ia adalah pendiri Partai Amanat Nasional, Ketua Umum Muhammadiyah ke-12 (1995-1998), seorang akademisi, dan berada pada barisan reformis pada reformasi 1998. Dia jelas wakil kaum Santri. Lalu ada Akbar Tanjung, aktivis Himpunan Mahasiswa Islam dalam transisi politik 1966, bekas Ketua Umum Golkar, dan menteri di era Orde Baru. Akbar adalah contoh kelompok Priyayi.

Satu kategori lain yang menurutku adalah warisan kultur militer Soeharto adalah kaum Militer, di mana di sana ada mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Djoko Santoso. Nama lainnya adalah Zulkifli Hasan (PAN) dan Agung Laksono (Golkar). Dua nama ini pernah menjabat menteri.

Lalu di mana watak Abangan dalam tim ini? Posisi ini nyaris tak punya wakil, karena satu-satunya warna Abangan terletak pada citra yang ingin ditunjukkan Prabowo sebagai ciri partai politik yang didirikannya, Gerindra. Gerindra menjual kepedulian terhadap petani dan masyarakat kelas bawah sebagai misinya. Kasus Abangan dalam Gerindra ini menggambarkan semakin buramnya kategori Geertz karena latar belakang Prabowo sebenarnya lebih dekat dengan kalangan Priyayi dan Militer.

Di kubu sebelahnya, ada Megawati Soekarnoputri, mantan Presiden dan Wakil Presiden, tokoh PDI-P. PDI-P, inilah partai yang secara sejarah pewaris kelompok Abangan, partainya para petani. Namun, Megawati sendiri, sebagai seorang simbol, sebenarnya sudah lahir di alam Priyayi karena pernah tidur di kamar Istana Negara sebagai seorang putri Presiden Soekarno. Surya Paloh adalah bos media pendiri partai debutan, Nasional Demokrat. Dia boleh disebut wakil Priyayi karena sebelumnya dia adalah tokoh Golkar, bahkan pernah turut dalam konvensi calon presiden partai itu di masa lalu. Begitu pula Wiranto, wakil kelompok Militer yang kini berdiri dengan partai yang ingin tampil sebagai kelompok Abangan, Hanura. Dari kelompok Santri, ada seorang menteri sekaligus pemimpin partai berbau Nadhlatul Ulama yang didirikan oleh mantan presiden Abdurrahman Wahid, Muhaimin Iskandar untuk Partai Kebangkitan Bangsa.

Komposisi itu membawa kita pada kondisi di mana konflik Abangan, Santri, dan Priyayi yang termahsyur itu sudah tak ada lagi. Maksudnya, persetujuan ideologi yang mereka jadikan sebagai keputusan untuk mendukung salah satu partai politik dalam pemilihan umum yang datang dari dunia barat, sudah tidak lagi dipertimbangkan oleh elit-elitnya.

Ada Golkar di kubu Prabowo melalui Akbar Tanjung, tapi ada Golkar juga di kubu Joko Widodo dengan sosok Jusuf Kalla. Entah di mana Golkar berdiri dalam kompetisi ini. Ada PAN dan PKS di sisi Prabowo. Tetapi ada juga PKB karena Ketua tim kampanye adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang dibesarkan oleh PKB, Mahfud MD. Entah bagaimana caranya dia dan rekan sekaumnya, Muhaimin Iskandar, berdiri di kubu yang berseberangan.

Aku harap kau tidak bosan membaca komposisi itu. Karena kita memang harus mengurainya dengan melihat mereka melalui alat dari barat yang mereka gunakan untuk kekuasaan: partai politik. Sudah sejak pemilu 2004 sebagai pemilu pertama di mana aku diizinkan untuk mencoblos, aku lebih memilih tidur. Dan itu tak berubah hingga kini.

Seorang penyanyi dangdut dalam kampanye Pemilu 2014
Jikalau kontestan dan sebab pemilihan umum itu diwakili oleh sesuatu yang abstrak bernama partai politik, maka kenyataan koalisi Pemilihan Presiden 2014 menunjukkan kesia-siaan bagi mereka yang memutuskan untuk menggunakan hak suaranya dua bulan yang lalu. Koalisi kedua kandidat tak menunjukkan perbedaan identitas seperti dalam pembagian Abangan, Santri, dan Priyayi. Aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Namun doktrin ketidaksetiaan dalam politik membuat partai politik boleh-boleh saja meletakkan dua kaki terhadap masing-masing kandidat.

Sampai kini, aku tak menemukan alasan yang mendasari mengapa mereka memilih kecenderungan ke arah ke salah satu kandidat. Alasan itu penting bagiku karena itu adalah alasan yang membuat warga negara memilih partai yang menjadi alat bagi mereka dalam pemilihan parlemen. Sekaligus alasan untuk menemukan arti partai politik bagi mereka yang memutuskan untuk memberikan suaranya.

Bagiku, partai politik sebenarnya sudah tidak ada. Mungkin sudah lama tidak ada. Aku bingung menyebutkannya karena ini akan jatuh kepada klise: yang ada hanyalah tawar-menawar. Mereka menyebutnya dengan ”sharing power”, sebuah keniscayaan yang tampaknya diperlakukan sama seperti anggukan terhadap ketidaksetiaan dalam politik.

Aku memang orang yang pesimistis, tetapi aku mencintai misteri masa depan. Aku lebih suka memikirkan masa depan ketimbang bernostalgia. Maka, apa yang terjadi hari ini seringkali kutempatkan di masa depan. Yang menarik bagiku, setelah partai politik hari ini tak ada artinya dan pemilu hanyalah basa-basi untuk meneruskan takdir demokrasi, adalah keingintahuanku terhadap apa yang akan terjadi di masa datang sebagai akibat dari semuanya hari ini.

Kau silahkan meneruskan pembicaraanmu tentang pemilihan presiden kali ini. Tapi, aku tidak pernah mendapatkan alasan untuk menjadi seperti engkau.

Jakarta, 10 Juni 2014