Friday, October 9, 2015

‘Sebuah Roket yang Menusuk Sisi Belakang Konformitas’ – Bagaimana Puisi Allen Ginsberg ‘Howl’ Mengubah Dunia Pop



Patti Smith dan Allen Ginsberg dalam sebuah malam pembacaan puisi di Local, New York, 1975. Foto oleh Richard E Aaron/Redferns
Ini adalah sebuah epik, puisi yang bangkit dari tanah yang merobek rintangan budaya 1950-an dan meratakan jalan setiap orang mulai dari Patti Smith hingga David Bowie. Dan, 60 tahun sejak kemunculannya, pengaruhnya tak menunjukkan tanda-tanda kelenyapan.

Pekan ini enam puluh tahun lalu, pada 7 Oktober 1955, Allen Ginsberg membacakan Howl dengan suara keras untuk pertama kalinya, di Six Gallery di San Fransisco. Ini adalah puisi dengan banyak dirgahayu–Ginsberg mulai menulisnya pada pertengahan 1954, dan tidak mempublikasikannya sampai 1956–yang mungkin menjadi sebab Hall Wilner menyelenggarakan sebuah perayaan dirgahayu ke-60 peristiwa ini di hotel Ace di Los Angeles pada bulan April tahun ini, dengan line-up yang memasukkan Courtney Love, Beth Orton, Devendra Banhart, Nick Cave, Macy Gray dan Peaches.
 
Line-up itu terangkai pada bagaimana Howl menembus budaya populer dan, tidak seperti hampir setiap karya sastra lainnya, membantu membentuk musik sebagaimana yang kita temui hari ini.

Ginsberg, menjadi interdisipliner sebelum (dilakukan) banyak seniman lainnya, membuat banyak perampokan personal menuju musik, mulai dari kolaborasi bersama Paul McCartney , Phillip Glass dan The Clash sampai anthem punk Buddhis eksperimentalnya pada 1981, Birdbrain. Jika Anda melihat latar belakang film terkenal untuk Bob Dylan, Subterranean Homesick Blues, Anda bisa menempatkannya berdiri pada posisi sang penyanyi.

Howl, bagaimanapun, adalah tempat di mana ia bermula, sebuah tour-de-force halusinatif yang memulai percampuran suku antara puisi dan rock’n’roll. Puisi ini meneror masyarakat sipil pada 1950-an–pada 1957, seorang juru tulis di toko buku City Lights di San Fransisco dipenjara karena menjualnya, sementara itu, pemilik penerbit City Lights, Lawrence Ferlinghetti, digugat–dan dibebaskan–karena menerbitkannya.

Lawrence Ferlinghetti (24 Maret 1919 - )
Howl adalah tentang obat-obatan, kekacauan, keterasingan remaja, kapitalisme, industrialisme, ekspresi, konformitas, seksualitas dan keindahan dalam proses menjadi di jalanan. Dia dikemilaukan oleh ketertarikan ganjil terhadap ekspresi-diri dan keyakinan bahwa penulis haruslah menolak larangan dan swasensor. Puisi ini melucuti banyak hal dalam budaya dan batas-batas dalam suatu level makro-kosmos namun juga menginspirasi sebuah gelombang baru para musisi dalam hal gaya, ukuran dan dunia imaji. 

Ellen Willis, dalam esainya Before the Flood pada 1967, menulis bahwa karya Dylan A Hard Rain’s A-Gonna Fall, dari album keduanya, berutang banyak terhadap ‘gaya Pewahyuan yang retoris dan deklamatif’ ala Ginsberg – Anda juga masih bisa memasukkan karyanya yang lain dalam utang ini. Willis menarik garis paralel antara budaya hippie – anak jalang Beat Generation, lahir ketika kelompok beat dan kontrakultur San Fransisco pada pertengahan 1960-an tumpang-tindih saling membenihi – dan budaya folk. “Kedua gerakan itu menolak intelektualitas untuk sensasi, politik untuk seni, dan Ginsberg bersama Kerouac mengglorifikasi suatu akar rumput Amerika yang memasukkan supermarket dan mobil sebagaimana sebuah gunung dan kue pie apel,” tulisnya. Di dalam Howl, ada sebuah kutukan terhadap otoritas, ya, tetapi itu membentang bersama sebuah perayaan kehidupan manusia yang menyediakan gizi untuk generasi-generasi selanjutnya.


Isyarat Patti Smith, berada dalam karya di mana Ginsberg meninggalkan tanda yang tak bisa dihapus. Fotografer musik Kevin Cummins, yang memotret Ginsberg di Manchester pada 1979, ketika sang penyair dipestakan oleh pendirian gerakan punk di Inggris, menyebut debut Smith melalui Piss Factory pada 1974 tidak akan ada tanpa Howl. “Orang tidak menulis puisi seperti itu. Piss Factory adalah sebuah puisi dengan sebuah beat dan tak seorang pun melakukan itu saat itu,” ujarnya. Cummins mengingat betapa pentingnya puisi itu untuk para seniman yang melebur bersamanya, seperti Joy Division, Morrisey dan David Bowie. “Puisi itu membukakan sebuah dunia kepada kita dan kita tidak tahu banyak tentangnya.”

Howl, dan Hakim Clayton Horn – lelaki yang melepas kasus menggugat Ferlinghetti dan memutuskan puisi ini sebagai “penebusan sosial yang penting” – membangun sebuah dunia baru dalam yang bergerak, di mana para musisi bisa mengekspresikan seksualitasnya tanpa memeriksakan diri mereka kepada faham kepantasan ala Victorian. Puisi ini telah meroket sisi belakang konformitas dan penyensoran, membolehkan percakapan tentang peler dan biji peler dan memek dan pejuh tanpa rasa malu atau bermerah-muka: di New York, The Fugs mempelajarinya sampai ke hati, dan Ginsberg mengembalikan kebaikan hati itu, menulis baris-baris catatan untuk album kedua mereka pada 1966.


Musisi Peaches lebih jelas lagi. Howl “memulai sebuah revolusi”, katanya. “Terlalu berani dan terbuka tentang situasi di Amerika dan homoseksualitas dengan menggunakan suatu gaya penulisan yang hampir merupakan sebuah arus kesadaran yang telah membingungkan orang dan begitu bertenaga.”

Peaches (1968 - )
Namun Ginsberg perlu dorongan keberanian: Howl menyorot dalam desakan jeroan manusia dan mengatakan bahwa hal-hal yang tak sepatutnya dikatakan muncul setelah dia diajarkan Ferlinghetti untuk “berbicara dari hati.”

“Dia tidak takut untuk menjadi manusia,” kata David Wrench, produser FKA Twigs, Jungle dan Caribou. Tak ada yang dipermalukan. Semuanya bersifat perayaan.”

Wrench mengamati kehadiran puisi itu secara konstan pada band-band yang lebih muda. “Band-band sering membawa buku ke studio dan Howl ada di sana sepanjang waktu. Mungkin bersama beberapa karya (William) Blake dan (Sylvia) Plath. Ia selalu datang lagi karena ia menginspirasi orang-orang.”

Bahkan seandainya jika seorang musisi belum pernah mendengar Howl, mereka adalah bagian dari ekosistemnya, karena ia adalah salah satu blok-blok bangunan rock’n’roll modern: kau mungkin saja tak dipengaruhi Howl, tapi kau dipengaruhi oleh sesuatu yang dipengaruhinya. “Ini adalah secubit seperti Smells Like Teen Spirit,” kata Davies. “Kita lupa bagaimana luar biasanya puisi ini dan bagaimana masa ketika dia mampu mengejutkan.”

Sekrup dan palang dalam Howl, sama berpengaruhnya seperti akibat sosial. Seperti Patti Smith dan Dylan sebelum dia, Davies menulis dalam teknik-teknik verbal Ginsberg. “Saya secara akut menulis bunyi dalam metrik dan kalimat dan bagaimana Howl sebagai tentang spontanitas dan ekspresi yang diimprovisasikan; komposisinya meresap ke dalam karya saya,” katanya.

Ginsberg bermain dengan kata-kata, menggunakan mereka untuk menciptakan sasis puisi, bagian pertama yang dibangun di atas kata “who”. “Saya bertahan dengan kata who untuk menjaga beat, sebuah fondasi untuk mempertahankan tindakan, kembali dan pergi lagi menuju serangan penemuan yang lain,” tulisnya pada 1959.

Devendra Banhart (1981 - )
Devendra Banhart tumbuh di California pada 1990-an dan mengingat Howl membelokkannya menuju perpuisian. “Itu adalah pertamakali saya membaca sebuah puisi yang membuat saya berkeringat, pertamakali saya membaca sebuah puisi yang juga berarti saya tidak mampu berbicara. Saya memukul kepala saya. Ini adalah sebuah kekuatan. Di dalamnya ada sebuah kehidupan, pengalaman yang mendalam di dalam kata-kata.”

Peristiwa itu, sekaligus, adalah gerbang ketertarikan Banhart menuju Buddhisme; dan Ginsberg adalah sebuah gerbang bagi sejumlah generasi musisi barat untuk mengeksplorasi agama-agama timur, yang dialihkan menuju musik rock dalam suatu dunia spiritualisme dan mistisisme baru yang luas.

Namun, setelah 60 tahun puisi ini ditampilkan, masihkah ia relevan? “Dia tidak berbunyi dalam batas waktu yang sedikit ,” kata Banhart. “Allen menulis tentang ketidakadilan dan ketidakadilan masih tetap ada; dia menulis tentang kebebasan, kebutuhan terhadap kebebasan masih tetap ada; dia menulis tentang kehausan terhadap perdamaian, kemerdekaan, revolusi, semua hal-hal itu tetap menjadi perhatian utama pada masa kita. Sebagai sesuatu, dia telah membesar. Howl tidak memiliki masa kadaluarsa.” 

Artikel ini ditulis oleh Lucy Jones. Dimuat di situs The Guardian dengan judul 'A Rocket up The Backside of Conformity'-How Ginsberg's Howl Transformed Pop pada 8 Oktober 2015.