Saturday, November 15, 2014

Setelah 37 Tahun... (Maestro Folk Nusantara)

Leo Kristi di anjungan Batak, TMII, Juli 2011
Leo Kristi bertemu kawan lama: Titi Soetopo. Konser pertama mereka setelah 37 tahun. 

“Hampir 30 tahun,” kata Titi Soetopo.

Leo Kristi, yang berdiri di sebelah Titi dengan posisi tak berubah sejak tiga dekade silam, membantah dan mengoreksi jumlah tahun itu sambil memeluk gitar, ”padahal sudah lebih (dari 30 tahun)”.

Sambil membenarkan kaca mata dan membolak-balik buku lirik, Titi meralat ucapannya, “ah, ya, sudah 37 tahun.”

Perdebatan kecil itu membuka malam pertemuan kembali antara Leo Kristi dan Titi Soetopo. Di rumah adat Toba, anjungan Sumatera Utara Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Sabtu (6/7) malam, Leo dan Titi kembali berduet dalam pertunjukan setelah 37 tahun “berpisah”.

Pengurus mailing list penggemar Leo Kristi, LKers, Setiadi, bersama anggota LKers lainnya, menyiapkan konser sederhana itu dengan agak terburu-buru. Pada Minggu (31/7), Leo Kristi datang ke pembukaan taman bacaan Katia-Gusti di rumah Setiadi di daerah Bekasi, Jawa Barat. Karena penggemar Leo belum puas dengan penampilan itu, mereka menyiapkan konser di TMII dalam waktu tiga hari.

“Kerinduan kita sudah cukup lama, kita sudah lama tidak mendengarkan duet Leo Kristi dan Titi Soetopo. Menunggunya sampai 30 tahun,” kata Setiadi.

Terpilihlah anjungan Sumatera Utara. Kebetulan, pengurus anjungan, Tatang Daniel, merupakan penggemar Leo Kristi. Tak ada panggung di ruang mirip pendapa berlantai kayu rumah adat Batak itu. Di tembok, menempel kotak-kotak kaca berisi manekin peraga yang mengenakan pakaian adat Sumatera Utara.

Kotak-kotak manekin itu menjadi latar pertunjukan. Di depannya, dua buah tong (tong menjadi ciri khas setiap pertunjukan Leo Kristi), berdiri. Tempat yang akan menjadi tempat pertunjukan konser Leo Kristi itu di kelilingi 17 buah lilin merah yang menyala. 

Leo tak datang dengan band lengkap. Praktis, satu-satunya musik yang mengiringi pertunjukan malam itu bersumber dari gitar yang dipetik Leo sendiri.

Ketika didaulat untuk naik ke area pertunjukan, Leo berdiri di lantai dengan satu kaki naik ke atas tong. Sekitar 50-an penonton duduk di lantai menunggu aksi Leo. Tak sedikit di antara penonton itu yang membawa anak-anak mereka.

Leo tak langsung menyanyi bersama Titi. Ia membuka pertunjukan itu dengan Kaki Langit Cintaku Berlabuh-sebuah lagu dari album Nyanyian Tanah Merdeka (1978). Lagu yang lirih itu dinyanyikan oleh Riza, penyanyi belia bergaun putih sebatas lutut yang menemani Leo.
 
Riza bernyanyi sekitar lima lagu. Salah satunya adalah lagu milik The Beatles, Across The Universe, yang diiringi petikan gitar ala Leo. Selanjutnya, Leo memanggil teman lamanya, Titi Soetopo. Meski sudah berusia lebih dari 60 tahun, gurat kecantikan belum lekang dari wajah Titi. Titi datang ke tengah pendopo itu dengan mengenakan kaos lengan panjang dan blus berwarna gelap.

Leo mempersilahkan Titi duduk di tong yang lebih tinggi di sebelah kanannya. Penonton beringsut mendekati area pertunjukan. Jarak antara Leo-Titi dan penonton hanya sekitar 4 meter.

Joan Baez
Saya tak mengenal lagu pertama yang dinyanyikan Titi, sebuah lagu berbahasa Inggris. Tetapi, dari lagu pertama, saya sadar bahwa saya sedang menyaksikan permata terpendam di negeri ini. Teknik dan warna suaranya mengingatkan kita pada penyanyi folk terkemuka Amerika Serikat yang pernah akrab dengan Bob Dylan, Joan Baez. Di masa kini, apalagi di negeri ini, sulit menemukan penyanyi perempuan yang memiliki cara bernyanyi seperti Titi. 

“Dia menyanyi dengan sepenuh jiwa,” kata Setiadi.

Tak cuma itu, Titi bisa menjadi penyeimbang Leo. Leo, sebagaimana banyak orang tahu, adalah seorang bohemian dan eksentrik. Mood-nya mudah turun-naik. Jika mood Leo sedang tak enak, pertunjukan juga ikut tak enak dilihat. “Mbak Titi adalah salah satu penyanyi yang bisa mengikuti mood mas Leo,” kata Setiadi, di sela pertunjukan.

Leo dan Titi bernyanyi sebanyak lima lagu. Tak ada satu pun lagu ciptaan Leo. Saya hanya mengenal dua dari lima: Scarborough Fair milik duo Amerika era 1960-an, Paul Simon dan Art Garfunkel, dan Donna-Donna, sebuah lagu teater Yahudi berjudul Esterke (1940-1941) yang dibawakan ulang oleh Joan Baez.
Paul Simon & Art Garfunkel

Agaknya lima lagu pertama adalah nostalgia antara keduanya. Saya jadi tahu, semasa muda, Titi dan Leo adalah penggemar musik folk Amerika yang menjadi cikal bakal musik hippies Amerika pada 1960-an. Jika kita hendak menyebut musisi Indonesia era awal yang terinspirasi musik hippies, Leo dan Titi adalah dua nama yang tak boleh dilupakan.
***
Saya menonton konser Leo Kristi untuk kali pertama sekitar tahun 2004 di gedung Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Leo datang dari Surabaya lengkap bersama personil band-nya. Beberapa bulan setelahnya, saya datang ke sebuah kantor di jalan Diponegoro, Jakarta, kembali untuk menyaksikan Leo Kristi.

Selanjutnya, saya mengikuti beberapa konsernya. Salah satunya di Warung Apresiasi Bulungan, Jakarta Selatan, dan konser Agustus di teater kecil Taman Ismail Marzuki. Tetapi, di masa itu, saya tak mengenal Titi Soetopo. Yang saya kenal hanya Leo Kristi. Musik dan suara perempuan yang cukup berperan dalam lagu-lagu Leo saya anggap sebagai latar. Bintangnya tetaplah Leo Kristi.

Saya beruntung datang ke konser sederhana di anjungan Sumatera Utara, TMII, malam minggu di bulan Ramadhan itu. Setelah saya melihat dan mendengar Titi bernyanyi, saya jadi tahu, Leo ternyata tak sendiri. Ia memiliki kawan sepadan. Bersama Titi, Leo yang slenge’an tampak lebih kalem dan cenderung mengalah. Termasuk mengikuti lagu yang ingin dinyanyikan Titi. Leo harus membagi kebintangannya dengan Titi.

“Lagu-lagu yang mau dinyanyikan ditentukan oleh dia (Titi) sendiri. Dia tahu cikal bakal lagu-lagunya Mas Leo,” kata Setiadi.

Leo dan Titi. Keduanya berasal dari Surabaya, Jawa Timur. Keduanya saling mengenal sejak usia 12 tahun. Dan bagi orang yang mengenal lagu-lagu Leo Kristi, Titi adalah penyanyi terbaik yang turut sumbang suara dalam album-album terbaik Leo Kristi.

Menurut Setiadi, Titi tak lagi turut bersama Leo pada konser Rakyat tahun 1976. Titi kembali terlibat dalam album Nyanyian Cinta (1979). “Album Nyanyian Cinta merupakan puncak-puncaknya album Leo. Oleh pengamat musik, album itu disebut melebihi zamannya,” kata Setiadi.

Titi mengaku tak pernah bernyanyi setelah berpisah dari Leo. Yang ia ingat, konser terakhirnya bersama Leo dilakukan di Bandung, Jawa Barat. Setelah itu, ia menetap di Surabaya. “Saya hanya bernyanyi sama Mas Leo,” kata Titi usai pertunjukan. 

Selama perpisahan itu, Leo tetap menjalankan aktivitas bermusiknya dengan menggelar Konser Rakyat hampir setiap tahun. Beberapa tahun terakhir, sebagian konser Leo diselenggarakan oleh penggemarnya yang tergabung dalam mailing list LKers. Bahkan, anggota LKers pernah menjadi pemusik yang mengiringi Leo dalam sebuah konser di Taman Ismail Marzuki.

Lalu apa perasaan Titi kembali berduet dengan Leo di pertunjukan setelah 37 tahun? “Saya lega dan senang!” kata Titi.

Namun Titi tak menjawab banyak saat saya minta berkomentar tentang sosok Leo saat ini. “Saya mengenal Leo sejak umur 12 tahun. Jadi saya tidak bisa bilang apa-apa,” kata Titi sambil mengerlingkan matanya ke arah Leo yang sedang berfoto bersama penggemarnya. Seolah-olah, ekspresi itu hendak mengatakan kepada saya, “ya itulah Leo, kamu bisa lihat sendiri bagaimana dia sekarang.”

Setelah lima lagu yang bukan ciptaan Leo, Titi akhirnya datang lagi ke Leo. Beberapa lagu hits dari album Leo di periode 1975-1980, dibawakan secara duet bersama Titi. Setelah banyak lagu dinyanyikan, setiap lagu habis Leo melihat ke Titi. Saya menduga, itu isyarat dari Leo bahwa pertunjukan sudah selesai. Tetapi Titi terus saja membolak-balik kertas lirik seolah-olah pertunjukan masih berlangsung sampai tengah malam. Leo, sekali lagi, mengikuti kemauan Titi.

Penonton larut dalam lagu Siti Komariah Ikal Mayang, Lenggang-lenggung Badai Lautku, Salam dari Desa, Anna Rebanna, dan lagu yang pernah diaransemen ulang oleh band rock Surabaya, Boomerang: Kereta Laju. 

Namun Leo tetaplah Leo. Pertunjukan berlangsung hampir 2,5 jam. Di lagu penutup berjudul Bulan Separuh Bayang, Leo mengulang-ngulang bait yang menjadi jatahnya dengan gayanya yang jenaka. Sebuah lagu yang memang dinyanyikan secara duet. Lagu yang seharusnya sudah selesai itu, terus diulang-ulang Leo. Kini berbalik, Leo yang tak mau berhenti menyanyi, “Belahan hatiku katakan/kita takkan berhenti/tegak di sini nyatakan/teguhlah cinta suci/Putra-putri pertiwi/jiwa petani sejati/kaki-kaki sendiri/guratan sedalam hati ti ti ti.” 

Mau tak mau, dengan raut yang riang, Titi menyambut bait yang merupakan jatahnya, “Sujudku/pada tanah kotor negeri ini/rumah putih berawan hitam/di mana kau dan aku dilahirkan/tiada alas tidur/selain tangan penuh kasih”

Dan penonton pun menyambut dengan menyanyikan reffrein secara meriah, “bulan separuh bayang/bulan separuh bayang/mulai tertutup awan….” 


*Artikel ini pernah dimuat di www.vhrmedia.com pada Agustus 2011 dan mengalami sejumlah penyuntingan.