“LKY (Lee Kuan Yew), begitu dia dikenal di Singapura, lebih dari sekedar ‘bapak bangsa.’ LKY adalah penemu, seolah dia yang merumuskan secara ilmiah negeri itu dengan racikan yang pas antara Republic karya Plato, latar belakangnya yang pendidikan tinggi Inggris, represi tangan besi yang kuno.”
Demikianlah cara majalah National Geographic (NG) edisi bahasa Indonesia memuji LKY. Majalah geografi internasional itu mencantumkan pujian bagi LKY sebagai bagian alinea pembuka artikel bertajuk “Kisah Sukses Singapura” edisi Februari 2010.
Apa yang ingin dikatakan oleh feature NG tentang kemegahan negeri kecil itu adalah sebuah taktik untuk mengarahkan masyarakat dalam suatu disiplin bersama. Disiplin yang diyakini akan membawa kemakmuran. Ada dua kata kunci mengenai itu: “LKY” dan, menggunakan istilah NG, “rekayasa masyarakat.”
LKY adalah pioneer yang merancang Singapura hingga mengundang decak kagum sebagaimana pulau di ujung selatan semenanjung Malaya itu tampil seperti sekarang. Ia memimpin Singapura selama 26 tahun sebelum turun takhta pada 1990. Namun gaungnya sebagai tokoh bagi rakyat Singapura, barangkali dapat disamakan dengan Leo Tolstoy semasa hidup bagi Rusia.
Sejak memimpin Singapura pada 1965, LKY berhasil membuat warga Singapura tidak membuang sampah sembarangan. Ia juga mampu menjadikan Singapura sebagai negara industri tersukses di Asia Tenggara. Bagaimana LKY melakukan semua itu?
Saya ingat, LKY datang ke Indonesia saat Soeharto meninggal dunia. LKY datang sebagai seorang sobat lama yang mengunjungi seorang kawan yang lebih dulu berpulang. Dalam beberapa hal, LKY dan Soeharto memiliki keyakinan bersama dalam memandang apa yang perlu dilakukan bagi masyarakatnya. Keyakinan itu adalah rekayasa masyarakat.
Kata rekayasa, mengasumsikan ada sesuatu yang “asli” untuk kemudian “dipalsukan” demi suatu kepentingan. LKY merekayasa Singapura yang semula daerah kumuh dan penuh pengangguran menjadi surga belanja. Tentu saja, memalsukan keaslian (meski dianggap mengarah pada kebaikan) menciptakan sejumlah problem. Dan problem yang seolah menjadi cacat dalam keberhasilan Singapura adalah soal kebebasan dan demokrasi. Beberapa hal yang dapat disebutkan mengenai cacat itu adalah minimnya kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.
Namun, LKY tentu dapat saja menangkis itu dengan mengasumsikan bahwa ketidakbebasan itu membuahkan kemakmuran ekonomi. Masyarakat tidak perlu turun ke jalan untuk berbicara soal kemiskinan, karena kemiskinan itu sudah teratasi. Tetapi, tidakkah masyarakat makmur tanpa kebebasan adalah masyarakat yang sakit? Sebab, naluri menjadi bebas itu adalah salah satu naluri yang paling manusiawi dalam diri setiap manusia?
Untuk menjawabnya, mari mengalihkan pandang ke negeri besar di seberang Singapura dengan jarak tempuh satu jam 45 menit perjalanan kapal ferry. Dalam waktu yang tak sampai dua jam itu, warga Singapura akan sampai di Batam, sebuah pulau kecil yang masuk dalam bagian negara Indonesia.
Jika malam turun, masyarakat Batam dapat melihat kelap-kelip lampu-lampu Singapura. Betapa gemerlapnya! Dari Singapura, Batam mungkin juga kelihatan. Tapi, apakah lampu-lampu Batam tampak
segemerlap Singapura? Saya yakin Batam tidak lebih terang dari Singapura.
Perbandingan gemerlap antara dua pulau berdekatan itu seolah menjelaskan perbandingan dua negara. Batam akan menyaksikan gemerlapnya lampu-lampu Singapura sebagai lambang kemakmuran. Lampu yang gemerlap itu dapat menjadi tanda untuk menafsirkan keadaan negara itu secara keseluruhan.
Sebaliknya, Singapura akan menyaksikan Batam sebagai kampung kecil yang redup. Jika Batam bisa menafsirkan kemeriahan lampu-lampu Singapura sebagai simbol kemakmuran, maka bukan tidak mungkin Singapura menafsirkan lebih redupnya Batam dalam pengertian sebaliknya, yakni ketidakmakmuran. Uniknya, ketidakmakmuran Batam tidak saja menjadi definisi bagi Batam, tapi bagi negeri besar yang menaunginya, yakni Indonesia.
Di sini terkandung ironi: jika Batam membaca lampu-lampu (pulau) Singapura untuk membaca keseluruhan negeri, maka seharusnya, Singapura tidak bisa membaca Indonesia melalui Batam saja. Lagi-lagi, inilah ironi, dalam soal ketidakmakmuran, tidak lebih terangnya lampu-lampu Batam ketimbang Singapura, dapat menjelaskan keadaan umum seluruh Indonesia: kemiskinan.
Lalu, apakah Indonesia tidak pernah merekayasa masyarakat demi kemakmuran seperti yang dicapai Singapura?
Sekali lagi, kita akan menyaksikan pertemuan antara LKY dan Soeharto. Garis singgung itu bernama “tangan besi.” Dalam hal ini, LKY dan Soeharto, menggunakan tangan besi untuk menggeser sesuatu, meminjam istilah yang digunakan Robertus Robet, yang antropologis menjadi semata-mata politis.
Soeharto menghabiskan waktu 32 tahun untuk proyek rekayasa masyarakatnya. Jika LKY dicatat sebagai pemimpin yang berhasil, maka Soeharto jatuh dari kekuasaan dengan label “diktator.” Perbedaan ini dapat dijelaskan dengan sederhana dalam sarana pelayanan publik. LKY sampai pada kemakmuran karena tangan besinya berbanding lurus dengan baiknya sarana pelayanan publik. Sementara Soeharto tak kunjung sampai pada kemakmuran (menyeluruh) karena tangan besinya justru mengabaikan sarana pelayanan publik.
Permaafan boleh saja diajukan, bahwa tak mudah mengurus negeri seluas dan semajemuk Indonesia. Namun di situ pula masalahnya muncul: rekayasa masyarakat yang dijalankan dengan tangan besi bagi negeri yang luas dan majemuk bagaikan menimbun api dalam sekam.
Robertus Robet dalam artikel bertajuk “Gagasan Manusia Indonesia dan Politik Kewargaan Indonesia Kontemporer” (majalah Prisma, edisi Juni 2009) mengatakan, orde baru menggunakan istilah “manusia Pancasila dan manusia Indonesia seutuhnya” sebagai cara untuk mengintegrasikan wilayah mental-biologis menjadi politis.
“Sejak itu, muncul istilah ‘aspek-aspek’, yakni semacam pembidangan yang membagi manusia berdasarkan bagian-bagian tertentu: aspek moral, aspek mental, aspek fisik, aspek emosional. Istilah tersebut sangat digemari dalam diskursus manusia di Indonesia dan biasanya dipakai untuk menegakkan ciri partikular manusia Indonesia, misalnya, bahwa ‘manusia Indonesia’ sebagai ‘orang timur’ harus memiliki aspek ‘rasa’ selain aspek akal. Singkatnya, melalui konsep itu, Orde Baru bisa secara sewenang-wenang menentukan siapa saja yang ‘warga indonesia’ dan ‘bukan warga Indonesia’, siapa saja ‘warga yang baik’ dan ‘warga yang tidak baik’”(Robertus Robet, Prisma edisi Juni 2009;27-28).
Rekayasa masyarakat ala Soeharto mereduksi eksistensi etnografis sebagai sesuatu yang inheren dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Sebuah ambisi totalitas nilai (yang juga dilakukan LKY) yang seringkali diprasangkai sebagai “Jawanisasi”. Orde Baru menjadi juru dandan untuk penampilan dan ekspresi kultural warga negara.
“…kita bisa menyimpulkan bahwa melalui proyek ‘manusia Indonesia seutuhnya’, Orde Baru tidak hanya menghancurkan etnografi, tetapi secara filosofis Orde Baru juga bermaksud menghancurkan subjektivitas. Di dalam Orde Baru, subjektivitas tidak dibiarkan menjadi pencarian eksistensialis per individu, dia dibentuk dan diobjektivikasikan. Di dalam Orde baru, individu tidak mencari dirinya. Negaralah yang membentuk dan mengisi siapa dan apa makna kediriannya secara keseluruhan, bahkan hingga ke kehidupan spiritual”(Robet, Prisma edisi Juni 2009;28).
Di Singapura, perlawanan terhadap totalitas filosofis tersebut terwujud dalam penggunaan “Singlish” (bahasa melayu Singapura yang bercampur bahasa Inggris). Mark Jacobson, penulis artikel “Kisah Sukses Singapura” di NG, mengomentari penggunaan Singlish sebagai perlawanan terhadap represifitas total pemerintah. Mark menulis, “Singlish tampak seperti serangan subversif yang cemerlang terhadap pengekangan yang, menurut pemerintah, sedang diusahakan untuk ditangani.”
Di Indonesia, perlawanan terhadap totalitarian itu muncul dalam banyak bentuk. Perlawanan itu menemukan momen puncaknya pada gerakan reformasi 1998. Lalu apakah yang kita hasilkan dari momen yang belum dialami oleh masyarakat Singapura itu? Jawabannya adalah “sebagian” kebebasan.
Di Indonesia, para demonstran yang menghujat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kaitannya dengan dugaan aliran dana Bank Century boleh tertawa ngakak menyaksikan demonstran Singapura yang hanya diperbolehkan berdemonstrasi di sebuah taman. Di negeri ini, hampir semua tempat (terutama gedung-gedung pemerintahan dan parlemen) dapat dijadikan tempat demonstrasi.
Baik, (sebagian) kebebasan itu memang telah kita peroleh. Namun, apakah kita sudah terbebas dari rekayasa masyarakat yang gagal dilakukan Soeharto? Apakah dengan lubernya tanggul kebebasan itu kita bebas mengaku bahwa kita tidak sakit seperti masyarakat Singapura? Apakah kita memang tidak lagi memerlukan istilah rekayasa masyarakat itu?
Rangkaian pertanyaan itu bagaikan menempatkan kita sebagai pelaut pemula di tengah lautan penuh badai dan gelombang. Segalanya sulit diprediksi, karena waktu memprediksi itu habis buat mengendalikan kemudi dan mengatur layar. Setiap waktu adalah setiap resiko, karena kehidupan dalam badai adalah kehidupan (sekedar) untuk menyelamatkan diri dari kematian dan berharap perjalanan sampai di tujuan.
Tidak seperti masyarakat Singapura, penyakit masyarakat kita bukan muncul karena diredamnya “naluri kebebasan”, tetapi tampak dari cara kita yang liar mengungkapkan kebebasan. Betapa liarnya!