Thursday, February 25, 2010

Antara Naluri (Indonesia) Dan Kemakmuran (Singapura)


“LKY (Lee Kuan Yew), begitu dia dikenal di Singapura, lebih dari sekedar ‘bapak bangsa.’ LKY adalah penemu, seolah dia yang merumuskan secara ilmiah negeri itu dengan racikan yang pas antara Republic karya Plato, latar belakangnya yang pendidikan tinggi Inggris, represi tangan besi yang kuno.”


Demikianlah cara majalah National Geographic (NG) edisi bahasa Indonesia memuji LKY. Majalah geografi internasional itu mencantumkan pujian bagi LKY sebagai bagian alinea pembuka artikel bertajuk “Kisah Sukses Singapura” edisi Februari 2010.

Apa yang ingin dikatakan oleh feature NG tentang kemegahan negeri kecil itu adalah sebuah taktik untuk mengarahkan masyarakat dalam suatu disiplin bersama. Disiplin yang diyakini akan membawa kemakmuran. Ada dua kata kunci mengenai itu: “LKY” dan, menggunakan istilah NG, “rekayasa masyarakat.”

LKY adalah pioneer yang merancang Singapura hingga mengundang decak kagum sebagaimana pulau di ujung selatan semenanjung Malaya itu tampil seperti sekarang. Ia memimpin Singapura selama 26 tahun sebelum turun takhta pada 1990. Namun gaungnya sebagai tokoh bagi rakyat Singapura, barangkali dapat disamakan dengan Leo Tolstoy semasa hidup bagi Rusia.

Sejak memimpin Singapura pada 1965, LKY berhasil membuat warga Singapura tidak membuang sampah sembarangan. Ia juga mampu menjadikan Singapura sebagai negara industri tersukses di Asia Tenggara. Bagaimana LKY melakukan semua itu?

Saya ingat, LKY datang ke Indonesia saat Soeharto meninggal dunia. LKY datang sebagai seorang sobat lama yang mengunjungi seorang kawan yang lebih dulu berpulang. Dalam beberapa hal, LKY dan Soeharto memiliki keyakinan bersama dalam memandang apa yang perlu dilakukan bagi masyarakatnya. Keyakinan itu adalah rekayasa masyarakat.

Kata rekayasa, mengasumsikan ada sesuatu yang “asli” untuk kemudian “dipalsukan” demi suatu kepentingan. LKY merekayasa Singapura yang semula daerah kumuh dan penuh pengangguran menjadi surga belanja. Tentu saja, memalsukan keaslian (meski dianggap mengarah pada kebaikan) menciptakan sejumlah problem. Dan problem yang seolah menjadi cacat dalam keberhasilan Singapura adalah soal kebebasan dan demokrasi. Beberapa hal yang dapat disebutkan mengenai cacat itu adalah minimnya kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.

Namun, LKY tentu dapat saja menangkis itu dengan mengasumsikan bahwa ketidakbebasan itu membuahkan kemakmuran ekonomi. Masyarakat tidak perlu turun ke jalan untuk berbicara soal kemiskinan, karena kemiskinan itu sudah teratasi. Tetapi, tidakkah masyarakat makmur tanpa kebebasan adalah masyarakat yang sakit? Sebab, naluri menjadi bebas itu adalah salah satu naluri yang paling manusiawi dalam diri setiap manusia?

Untuk menjawabnya, mari mengalihkan pandang ke negeri besar di seberang Singapura dengan jarak tempuh satu jam 45 menit perjalanan kapal ferry. Dalam waktu yang tak sampai dua jam itu, warga Singapura akan sampai di Batam, sebuah pulau kecil yang masuk dalam bagian negara Indonesia.

Jika malam turun, masyarakat Batam dapat melihat kelap-kelip lampu-lampu Singapura. Betapa gemerlapnya! Dari Singapura, Batam mungkin juga kelihatan. Tapi, apakah lampu-lampu Batam tampak
segemerlap Singapura? Saya yakin Batam tidak lebih terang dari Singapura.

Perbandingan gemerlap antara dua pulau berdekatan itu seolah menjelaskan perbandingan dua negara. Batam akan menyaksikan gemerlapnya lampu-lampu Singapura sebagai lambang kemakmuran. Lampu yang gemerlap itu dapat menjadi tanda untuk menafsirkan keadaan negara itu secara keseluruhan.

Sebaliknya, Singapura akan menyaksikan Batam sebagai kampung kecil yang redup. Jika Batam bisa menafsirkan kemeriahan lampu-lampu Singapura sebagai simbol kemakmuran, maka bukan tidak mungkin Singapura menafsirkan lebih redupnya Batam dalam pengertian sebaliknya, yakni ketidakmakmuran. Uniknya, ketidakmakmuran Batam tidak saja menjadi definisi bagi Batam, tapi bagi negeri besar yang menaunginya, yakni Indonesia.

Di sini terkandung ironi: jika Batam membaca lampu-lampu (pulau) Singapura untuk membaca keseluruhan negeri, maka seharusnya, Singapura tidak bisa membaca Indonesia melalui Batam saja. Lagi-lagi, inilah ironi, dalam soal ketidakmakmuran, tidak lebih terangnya lampu-lampu Batam ketimbang Singapura, dapat menjelaskan keadaan umum seluruh Indonesia: kemiskinan.

Lalu, apakah Indonesia tidak pernah merekayasa masyarakat demi kemakmuran seperti yang dicapai Singapura?

Sekali lagi, kita akan menyaksikan pertemuan antara LKY dan Soeharto. Garis singgung itu bernama “tangan besi.” Dalam hal ini, LKY dan Soeharto, menggunakan tangan besi untuk menggeser sesuatu, meminjam istilah yang digunakan Robertus Robet, yang antropologis menjadi semata-mata politis.

Soeharto menghabiskan waktu 32 tahun untuk proyek rekayasa masyarakatnya. Jika LKY dicatat sebagai pemimpin yang berhasil, maka Soeharto jatuh dari kekuasaan dengan label “diktator.” Perbedaan ini dapat dijelaskan dengan sederhana dalam sarana pelayanan publik. LKY sampai pada kemakmuran karena tangan besinya berbanding lurus dengan baiknya sarana pelayanan publik. Sementara Soeharto tak kunjung sampai pada kemakmuran (menyeluruh) karena tangan besinya justru mengabaikan sarana pelayanan publik.

Permaafan boleh saja diajukan, bahwa tak mudah mengurus negeri seluas dan semajemuk Indonesia. Namun di situ pula masalahnya muncul: rekayasa masyarakat yang dijalankan dengan tangan besi bagi negeri yang luas dan majemuk bagaikan menimbun api dalam sekam.

Robertus Robet dalam artikel bertajuk “Gagasan Manusia Indonesia dan Politik Kewargaan Indonesia Kontemporer” (majalah Prisma, edisi Juni 2009) mengatakan, orde baru menggunakan istilah “manusia Pancasila dan manusia Indonesia seutuhnya” sebagai cara untuk mengintegrasikan wilayah mental-biologis menjadi politis.

“Sejak itu, muncul istilah ‘aspek-aspek’, yakni semacam pembidangan yang membagi manusia berdasarkan bagian-bagian tertentu: aspek moral, aspek mental, aspek fisik, aspek emosional. Istilah tersebut sangat digemari dalam diskursus manusia di Indonesia dan biasanya dipakai untuk menegakkan ciri partikular manusia Indonesia, misalnya, bahwa ‘manusia Indonesia’ sebagai ‘orang timur’ harus memiliki aspek ‘rasa’ selain aspek akal. Singkatnya, melalui konsep itu, Orde Baru bisa secara sewenang-wenang menentukan siapa saja yang ‘warga indonesia’ dan ‘bukan warga Indonesia’, siapa saja ‘warga yang baik’ dan ‘warga yang tidak baik’”(Robertus Robet, Prisma edisi Juni 2009;27-28).

Rekayasa masyarakat ala Soeharto mereduksi eksistensi etnografis sebagai sesuatu yang inheren dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Sebuah ambisi totalitas nilai (yang juga dilakukan LKY) yang seringkali diprasangkai sebagai “Jawanisasi”. Orde Baru menjadi juru dandan untuk penampilan dan ekspresi kultural warga negara.

“…kita bisa menyimpulkan bahwa melalui proyek ‘manusia Indonesia seutuhnya’, Orde Baru tidak hanya menghancurkan etnografi, tetapi secara filosofis Orde Baru juga bermaksud menghancurkan subjektivitas. Di dalam Orde Baru, subjektivitas tidak dibiarkan menjadi pencarian eksistensialis per individu, dia dibentuk dan diobjektivikasikan. Di dalam Orde baru, individu tidak mencari dirinya. Negaralah yang membentuk dan mengisi siapa dan apa makna kediriannya secara keseluruhan, bahkan hingga ke kehidupan spiritual”(Robet, Prisma edisi Juni 2009;28).

Di Singapura, perlawanan terhadap totalitas filosofis tersebut terwujud dalam penggunaan “Singlish” (bahasa melayu Singapura yang bercampur bahasa Inggris). Mark Jacobson, penulis artikel “Kisah Sukses Singapura” di NG, mengomentari penggunaan Singlish sebagai perlawanan terhadap represifitas total pemerintah. Mark menulis, “Singlish tampak seperti serangan subversif yang cemerlang terhadap pengekangan yang, menurut pemerintah, sedang diusahakan untuk ditangani.”

Di Indonesia, perlawanan terhadap totalitarian itu muncul dalam banyak bentuk. Perlawanan itu menemukan momen puncaknya pada gerakan reformasi 1998. Lalu apakah yang kita hasilkan dari momen yang belum dialami oleh masyarakat Singapura itu? Jawabannya adalah “sebagian” kebebasan.

Di Indonesia, para demonstran yang menghujat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kaitannya dengan dugaan aliran dana Bank Century boleh tertawa ngakak menyaksikan demonstran Singapura yang hanya diperbolehkan berdemonstrasi di sebuah taman. Di negeri ini, hampir semua tempat (terutama gedung-gedung pemerintahan dan parlemen) dapat dijadikan tempat demonstrasi.

Baik, (sebagian) kebebasan itu memang telah kita peroleh. Namun, apakah kita sudah terbebas dari rekayasa masyarakat yang gagal dilakukan Soeharto? Apakah dengan lubernya tanggul kebebasan itu kita bebas mengaku bahwa kita tidak sakit seperti masyarakat Singapura? Apakah kita memang tidak lagi memerlukan istilah rekayasa masyarakat itu?

Rangkaian pertanyaan itu bagaikan menempatkan kita sebagai pelaut pemula di tengah lautan penuh badai dan gelombang. Segalanya sulit diprediksi, karena waktu memprediksi itu habis buat mengendalikan kemudi dan mengatur layar. Setiap waktu adalah setiap resiko, karena kehidupan dalam badai adalah kehidupan (sekedar) untuk menyelamatkan diri dari kematian dan berharap perjalanan sampai di tujuan.

Tidak seperti masyarakat Singapura, penyakit masyarakat kita bukan muncul karena diredamnya “naluri kebebasan”, tetapi tampak dari cara kita yang liar mengungkapkan kebebasan. Betapa liarnya!

Monday, February 15, 2010

Milik Minah atau Prita?


Entah merendah atau sekedar pemanis dalam retorika, Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin pernah mengakui ia tidak lebih paham isi Das Kapital karya Karl Marx ketimbang buruh yang tunggang-tunggit di balik pabrik.

Barangkali tokoh pusat atas berdirinya Republik Komunis Uni Soviet itu termasuk orang yang sentimentil. Pengakuannya itu menunjukkan bahwa ia menganggap penghayatan dengan perasaan jauh lebih berharga ketimbang tajamnya analisa pikiran.

Buruh, kata Lenin, menghayati teori-teori yang ditulis Karl Marx dalam empat jilid Das Kapital-nya dengan perasaan. Mengapa demikian? Karena apa yang ditulis Marx adalah segala sesuatu yang mereka (buruh) temukan setiap hari. Pendeknya, Marx menulis segala sesuatu yang berkenaan dengan hidup yang dirasakan buruh itu sendiri.

Anggapan Lenin barangkali memang tak berlebihan. Sebab, siapapun manusia di bumi ini cenderung lebih gampang memahami tulisan yang berkenaan dengan kehidupan mereka sendiri. Dan Das Kapital adalah tentang buruh. Mengikuti logika itu, maka dapat dipahami kerendahhatian Lenin yang mengatakan siapapun yang bukan buruh, tidak akan dapat begitu saja memahami Das Kapital. Marx saja yang bukan berasal dari kelas buruh, kata Lenin, harus mencapai perasaan seperti buruh dengan perjalanan bertahun-tahun, bahkan harus mengorbankan keluarga dan dirinya sendiri.

Lenin mungkin ingin mengatakan, kelas borjuis sebagai penyambung perasaan kelas buruh tidak selamanya diperlukan. Dan di titik inilah Lenin bertentangan dengan pengarang besar Rusia yang menjadi sahabat sekaligus musuhnya, Maxim Gorky. Bagi Gorky, kelas borjuis tetap dibutuhkan karena kesadaran dan aksesibilitasnya terhadap ilmu pengetahuan dan fasilitas mendukung revolusi. Masyarakat kelas borjuis masih diperlukan untuk membahasakan perjuangan kelas buruh.

Dan saya tiba-tiba menemukan kebenaran dalam sikap Gorky itu di zaman ini. Untuk itu, mari mengalihkan mata ke dalam geliat demokrasi di Indonesia. Saya menemukannya dalam pengumpulan poin dukungan untuk Prita Mulyasari. Dan saya juga menemukannya dalam kasus pencurian tiga buah kakao yang dilakukan nenek Minah di Banyumas.

Di Asia Tenggara, kita boleh berbangga dalam soal kebebasan. Di daratan melayu dan indocina, barangkali tak ada negara dengan kebebasan sebesar yang kita miliki di Indonesia. Indonesia begitu tanggap dengan teknologi kontemporer. Dan ini mau tidak mau mempengaruhi denyut kebebasan di negeri ini.

Sebut saja jejaring sosial semacam facebook. Dalam waktu yang tak terlalu jauh jaraknya, dua peristiwa besar yang menandai intervensi masyarakat sipil terhadap negara dicapai (salah satunya) lewat facebook. Kemenangan fenomenal masyarakat sipil pertama adalah dihentikannya status tersangka dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Riyanto-Chandra M Hamzah. Peristiwa kedua adalah dikumpulkannya koin untuk Prita Mulya Sari yang dihukum membayar denda karena dituduh mencemarkan nama RS Omni Internasional.

Partisipasi publik yang mewabah dengan pesat itu, tentu tak bisa dilepaskan dari facebook. Tumpukan manusia ”maya” yang menunjukkan diri dalam akun-akun pribadi itu sudah dipertimbangkan sebagai sebuah kekuatan politik. Prita adalah sebuah contoh yang baik dan mengundang decak kagum bagi penggemar demokrasi. Dalam kasus ini, demokrasi sudah menggeliat di Indonesia.

Di sisi lain, kita juga harus mengajukan pertanyaan, kenapa kasus nenek Minah yang dihukum karena mencuri 3 buah kakao tak segemilang kasus Prita di media massa? Pertanyaan ini bukan sekedar mempertanyakan magnitude sebuah pemberitaan, tapi juga menguji kembali apa sebenarnya demokrasi bagi negeri ini?

Dan saya menemukan satu benda: facebook! Lewat ”tongkrongan” maya itu, kasus Prita secepat kilat menyebar ke pojok-pojok, secepat kilat kasus Bibit-Chandra! Jika demikian, bisakah kita mengajukan hipotesa: nenek Minah tak terlalu ramai diperhatikan karena dia tinggal di daerah nun jauh dari Jakarta dan dalam wawasannya tak mengenal facebook?

Bagi saya, kemiskinan selalu menciptakan drama yang seringkali akal sehat kemanusiaan tak sanggup menyaksikannya. Kasus nenek Minah dan tiga buah kakao tak lain adalah soal kemiskinan. Dan kasus nenek Minah jauh lebih dramatis ketimbang kasus Prita.

Tentu saja tidak ada niat saya untuk mempertentangkan secara berhadap-hadapan antara pembelaan terhadap Prita dan nenek Minah. Kasus Prita tetaplah preseden yang baik untuk sejarah demokrasi kita. Namun, di sisi lain, tidak terlalu gemerlapnya kasus nenek Minah juga membuat kita bertanya, untuk siapakah demokrasi itu? Dan siapakah yang bisa menggerakkan demokrasi itu?

Jelaslah, perbandingan Prita dan nenek Minah menunjukkan demokrasi itu masihlah milik dan digerakkan oleh kelas menengah. Dalam khasanah marxian, kelas menengah disebut dengan borjuis. Prita dan facebook adalah fenomena demokrasi paling kontemporer di negeri ini. Prita dan facebook adalah simbol kelas menengah. Bukankah facebook adalah mainan manusia perkotaan yang relatif bermental kelas menengah?

Dengan demikian, kemenangan yang kita dicapai masyarakat sipil beberapa waktu terakhir ini masihlah kemenangan kelas menengah, kemenangan kaum borjuis. Demokrasi di negeri ini, masihlah bahasa kelas menengah, dan kelas menengah belum mampu menerjemahkan demokrasi itu ke dalam kegelisahan kelas jelata semacam nenek Minah.

Di sinilah sikap Maxim Gorky dalam perseteruan prinsip dengan Lenin berbicara. Demokrasi, sebagai anak dari pemberontakan borjuis, masih memerlukan borjuis. Sebab borjuis, dengan kesadaran kelasnya mampu menggunakan dan menggerakkan fasilitas ala borjuis demi kepentingan demokrasi.

Lalu, apakah Gorky ingin mengatakan, pencerahan dalam diri buruh, petani miskin, dan jelata seperti nenek Minah mustahil terwujud? Sehingga kita membutuhkan kelas menengah yang saban hari tenggelam dalam layar facebook untuk mengancam pemerintah?

Hati saya sebenarnya ingin sepakat dengan Lenin, bahwa kaum buruh (dan petani dan jelata) jauh lebih mudah memahami Das Kapital ketimbang anak-anak kampus yang setiap hari membahas revolusi di negara dunia ketiga. Oleh sebab itu, dalam suatu masa, kaum buruh, petani, dan jelatalah yang akan memimpin revolusi dan menggerakkan demokrasi yang dibahasakan dengan kebudayaan buruh, petani, dan jelata.

Tapi, di Indonesia yang gerak majunya seperti keong ini, kapan kita menunggu orang-orang seperti nenek Minah punya kesadaran bahwa ada makhluk baru bernama media massa, teknologi informasi, jejaring sosial dunia maya, sebagai salah satu senjata untuk membela hak-haknya?

Barangkali Gorky benar, kaum borjuis masih diperlukan dalam demokrasi. Hanya saja, mendidik kaum borjuis untuk memahami logika dan penghayatan hidup sebagaimana masyarakat jelata itulah yang lebih penting. Dengan demikian, apa yang disebut dengan kesadaran kelas ”jelata” itu dapat bersemayam dalam pikiran dan sanubari borjuis. Jika sudah demikian, meskipun yang dianiaya adalah nenek Minah di pojok Banyumas, dengan intervensi kelas menengah melalui teknologi, gaungnya bisa menggetarkan daun jendela kamar tidur Barack Obama di Gedung Putih sana.

Uh! Tiba-tiba saya melihat kampus-kampus itu seperti rumah kaca yang penghuninya tak sadar bahwa ada ”dunia besar” bernama tata surya yang menaungi rumah kacanya! Uh, betapa lelap mereka dalam hari raya sebagai anak muda! Uh Lenin! Uh Gorky!

Desember 17 2009

Tentang Normal


Kamar mandi, yang nyaris kita kunjungi setiap hari, adalah tempat yang diandaikan sebagai wilayah pencucian, penyucian. Kamar mandi, adalah tempat membuang segala yang hina pada tubuh. Ia tempat melemparkan yang kumuh, sekaligus menjadi tempat yang membuat kita merasa tubuh kita kembali cemerlang.

Dalam kegiatan kamar mandi, entah itu mandi, entah itu buang tai, entah itu kencing, entah itu masturbasi, entah itu menangis, entah itu melenyapkan duka, kita seolah mengandaikan suatu ritual tentang ketidaknormalan. Dalam pengertian umum, yang dianggap tidak normal, selalu menjadi subversi, marjinal. Maka itu, yang tidak normal, seringkali kita singkirkan.

Maka itulah, nyaris saban hari, saban pagi, saban sore, kita mengunjungi kamar mandi untuk membuang apa yang dianggap tubuh kita sebagai sesuatu yang tidak normal. Daki dan tai misalnya. Lalu, sejauh mana sebenarnya yang normal dalam mekanisme biologis tubuh kita yang otomatis itu dapat bertahan?

Ternyata, kata normal itu tak lepas pula dari lingkungan masyarakat. Ia diciptakan, tentu saja, tidak untuk sekedar menandai sesuatu peristiwa dengan begitu saja. Kata normal seringkali dibebankan oleh kepentingan untuk menilai sesuatu (di luar diri) sebagai sesuatu yang tak normal, dan sesuatu (di dalam diri) sebagai yang normal. Dengan demikian, kategori normal menjadi relatif.

Misalnya, apakah kamar mandi menjadi sesuatu yang normal bagi orang yang hidup di jalan? Sementara mereka barangkali tak pernah mandi dalam sebulan. Atau, apakah makna kamar mandi bagi masyarakat pedesaan yang masih terbiasa buang air di sungai? Masihkah normalitas ala kamar mandi itu berada pada pengertian yang sama.

Dalam situasi ini, sebenarnya normalitas itu tidak pernah ada. Ia, hanya ada, ketika kita mempersandingkannya dengan apa yang kita sebut dengan tidak normal. Orang jalanan yang tidak mandi berhari-hari dapat menjadi pembanding bagi kita bahwa “mereka” tidak normal, maka itu janganlah meniru hidup yang seperti itu. Sebab, penyakit akan terlalu gampang merasuk tubuh.

Tapi, jika dalam suatu masyarakat yang belum mengenal standar kesehatan “normal”, apakah penyakit yang datang itu dinilai sebagai sesuatu yang datang dari lubuk ketidaknormalan karena pola hidup yang tak bersih? Di titik ini, yang “normal” mungkin masih dapat diterima sebagai nilai bersama.

Tapi, lagi-lagi, apakah benar kehidupan normal sungguh-sungguh ada? Ataukah kita setiap hari sebenarnya hanya mengandaikan kehidupan yang normal sebagai “ide” sembari mencoba mencocok-cocokkan kehidupan ini dengan ide itu?

Misalnya dengan pernyataan, “hidup saya lurus-lurus saja. Saya berpendidikan, meraih gelar sarjana tepat waktu, bekerja di perusahaan dengan upah yang lumayan, punya suami tampan/istri cantik, anak-anak yang sehat dan cerdas tanpa kekurangan. Tidak ada yang aneh-aneh, normal saja.”

Benarkah “normal” dalam hidup yang sebenarnya itu tercermin dalam pernyataan itu? Ataukah itu, sekali lagi, cuma pengandaian?

Sesuatu yang berjalan normal, biasanya tak disadari sebagai sesuatu yang normal. Misalnya, kita (hampir) tidak pernah mengatakan bahwa matahari terbit dari timur sebagai sesuatu yang normal. Dengan begitu saja, tidak ada pembanding terhadap peristiwa alam tersebut. Misalnya, tidak pernah ada pembanding bahwa matahari terbit dari barat (kecuali dalam kisah kiamat) sebagai sesuatu yang menjadi tak normal dalam keseharian kita. Kita cukup mengatakan, “matahari terbit dari timur” tanpa harus membebaninya dengan kategori normal atau abnormal.

Demikian pula hidup. Jika kita masih menyematkan sesuatu di sekitar kita dengan kata normal, maka sebenarnya kita sedang berada dalam ketidaknormalan. Yang normal, hanyalah harapan kita, ideal bagi kita. Sebab, jika yang normal itu memang sudah berjalan begitu adanya tanpa interupsi, barangkali kita tak pernah mengenal istilah normal dalam wawasan itu.

Agama adalah salah satu bentuk nyata dari ide tentang yang normal itu. Kehidupan ini, diandaikan sebagai sesuatu yang tak normal dan sarat konflik. Kisah digodanya Hawa menelan buah khuldi hingga ia dan Adam dicampakkan ke dunia merupakan salah satu bentuk ketidaknormalan dalam asal mula kehidupan. Kita, dipaksa untuk memahami kehidupan dalam situasi konflik. Kehidupan selalu bermula dari konflik. Dan konflik adalah suatu ciri dalam situasi yang tidak normal.

Dan agama, dengan segala ajarannya, membawa pengandaian tentang yang ideal tentang normal itu agar manusia dapat terbebas dari rangkaian konflik yang tak kunjung henti dengan sedikit luka dan darah.

Bukankah itu yang kita jalani hingga kini? Yakni, membayang-bayangkan normalitas sebagai pemandu dan sensor diri terhadap situasi. Yang normal itu, hanyalah konsep, dan kita terus-menerus bertarung dengan kehidupan yang tak terduga ini untuk mewujudkan konsep.

Masalahnya adalah, “normalitas” yang ideal itu seringkali dengan begitu saja dianggap ada dalam kehidupan sehari-hari. Jika yang ideal dan tak nyata itu itu hendak diwujudkan, kepentingan sepihak akan tampil di sana. Maka akan muncul situasi normal “menurut kehendak siapa”. Lambat laun, yang “normal” menurut kehendak siapa itu disadari sebagai keinginan bersama.

Dalam esainya Ideological State Aparatus, gagasan Louis Althusser tentang ideologi dapat dibaca sebagai situasi yang menganggap normal “menurut kehendak siapa” itu menjadi hal yang normal begitu saja apa adanya. Namun, sesungguhnya, semakin dalam dan semakin lama yang normal menurut kehendak siapa itu dipertahankan, maka kita seluruhnya, umat manusia di bumi ini, tidak pernah hidup dalam situasi yang normal.

Kini, di negara ini, dengan situasi politik yang tak terduga dan berubah secara ekstrem, bukankah perasaan kita dibuat selalu berada dalam ketidaknormalan. Mereka, generasi yang menyadari krisis moneter dan orde baru, akan cenderung menganggap negara sedang berada dalam situasi tidak normal.

Dan abnormalitas itu, sebagai situasi sesungguhnya, kini sudah mulai berubah menjadi “ide” sebagaimana yang terjadi pada normalitas. Misalnya, kita akan gampang dan pesimistis mencerca tim nasional kesebelasan sepakbola Indonesia yang miskin prestasi. Selanjutnya, masalah itu akan dikaitkan dengan ketua PSSI yang terlibat korupsi. Lama-lama, kita mulai memberikan idiom general bernada penghukuman pada apa saja yang terlintas di depan mata kita. Itu tampak pada begitu seringnya kita mendengar bahwa “bangsa kita tertinggal, bangsa kita cenderung pemalas, politisi pasti makan uang, dan polisi lalu lintas pasti makan sogok di pinggir jalan.”

Bagi saya, inilah sebenarnya hidup. Sejak digemakan oleh Friedrich Nietzsche pada abad 19, situasi itu tak pernah berubah. Kita, yang hidup di negara dunia ketiga, adalah laboratorium ketidaknormalan umat manusia. Oleh sebab itu, kini, apalah gunanya menyebut-nyebut soal normal dan abnormal, sedangkan kehidupan itu sendiri adalah pertempuran antara yang normal dalam awang-awang dan yang abnormal dalam kehidupan nyata.

Manusia, dicampakkan dalam episode-episode ketidaknormalan. Dan absennya normalitas, membuat kita ditugaskan merumuskannya di dalam kepala, dan berjuang mewujudkannya di kehidupan nyata. Semakin tak terwujud yang ideal itu, semakin cintalah kita pada kehidupan, karena semakin kuat lagi kita berusaha mewujudkannya.

November 23 2009

Kebosanan Yang Tak Terlumpuhkan


Matahari terbenam, dan kehidupan yang sebenarnya baru saja dimulai. Malam adalah ancaman. Karena malam menyebabkan setiap manusia kembali ke rumahnya, menggauli ranjang, dan berbicara dengan dirinya sendiri.

Malam adalah ancaman, sebab, sepi jua yang ditawarkannya. Betapa hidup ini mau diidentifikasi secara intens pada malam hari. Siang adalah waktu mabuk. Mabuk dalam hura-hura mencari nafkah. Saat siang, manusia tenggelam dalam situasi yang nyaris membuatnya alpa dari “kegiatan bersama dirinya sendiri.”

Seberapa pun hebat air mata yang membasahi bantal di malam hari, siang mampu membiusnya. Siang, dengan segala kemeriahannya, membuat manusia terbang dan lupa dengan malam yang menusuk-nusukkan dingin. Siang, adalah narkotika yang menimbun kesadaran diri-pribadi secara kejam. Sebab, kesadaran diri-pribadi itu hanya ditimbun, dia tidak mati, dia masih tersimpan di bawah, dan selalu menjadi ancaman ketika setiap malam datang.

Maka, sudah berapa botolkah air alkohol yang masuk ke perut kita saban malam datang? Narkotika siang, yang melumpuhkan kita dari kesadaran diri-pribadi, hanya bertahan sebelum kelelawar mulai mengepakkan sayap membelah-belah langit. Narkotika siang, mampus ketika bulan mulai memancar.

Apakah kehidupan itu membosankan? Mengapa kebosanan itu harus didefinisikan sebagai kebosanan? Mengapa kebosanan itu harus disadari sebagai kebosanan? Tidakkah kebosanan itu adalah sesuatu yang tak bermakna? Apakah hidup itu tak bermakna?

Inilah sebuah perbandingan: jika siang membius manusia dalam kemeriahan aktivitas dan membuat manusia mabuk-tak sadar dari “diri-pribadi”-nya, maka malam menghasut manusia untuk lari dari kesadaran “diri-pribadi” dan mabuk-tak sadar dari aktivitas siangnya.

“Bicaralah pada dirimu sendiri!” Itulah ungkapan malam yang membuat setiap manusia ketakutan. Siang telah membuat manusia mabuk dari “kesepiannya”, dan kemabukan itu diperoleh dengan rencana-rencana pagi hari yang dirancang pada jejak pertama saat meninggalkan rumah. Mabuk di siang hari, dilakukan seolah tanpa sadar, namun sistemik dan begitu awet hingga ia berubah menjadi keyakinan yang perlu diyakini tanpa dasar sekalipun.

Sedangkan mabuk di malam hari, dilakukan dengan sepenuhnya sadar. Ia juga bisa menjadi sistemik dan awet justru dengan kesadaran. Mabuk di malam hari sebagai cara untuk mengelak dari tuntutan malam untuk bicara pada diri sendiri, bekerja dalam mekanisme psychedelia dan biologis. Mabuk di malam hari membutuhkan “picu” dari luar, seperti alkohol, untuk mengatasi kesadaran “diri-pribadi” yang di dalamnya mengandung takdir kebosanan.

Semakin keras manusia bertanya apa yang akan terjadi esok hari, maka sesungguhnya manusia itu sedang bertarung melawan takdir kebosanan, takdir keputusasaan, takdir keterputusan impian, takdir kesemrawutan jalan panjang yang memanjang di depan.


Lari Adalah Pengecut!

Jika rasa bosan adalah takdir, maka hidup ini tak lain dari pada upaya untuk mengingkari takdir agar hidup tak membosankan. Manusia kemudian menggelar sejumlah perayaan, menggelar pertarungan, menggelar kategori, menggulirkan rasa sakit dan hasrat. Manusia, menurut Friederich Nietzsche, melakukan segala sesuatu karena kehendak untuk berkuasa.

Kehendak untuk berkuasa adalah motif manusia untuk menghindari kebosanan. Bukankah, mencari uang dan kemakmuran dalam satuan terkecil adalah upaya untuk menguasai diri sendiri dari pemberontakan atas kepapaan? Bukankah hidup benar-benar membosankan tanpa politik demi kekuasaan? Bukankah hidup menjadi tanpa isi jika tak ada acara tangkis dan serang?

Namun, seringkali manusia tak pernah mampu berbicara secara jujur tentang pertarungan melawan kebosanan itu. Manusia menciptakan ilusi seperti agama, rasio, teori, dan semua apa yang dihujat Nietzsche sebagai metafisika. Upaya manusia untuk menghindari kebosanan dan mengoptimalkan apa yang paling potensial dari manusia-akal budi-berubah menjadi ilusi, mirip seperti alkohol dan narkotika yang menimbun kejamnya kenyataan yang menghinggap dalam kesadaran diri, mirip juga dengan terbenamnya manusia dalam aktivitas siang harinya untuk menomerduakan malam.

Sebagai contoh: seorang kawan memberikan anjuran, “kau harus mencari tahu apa masalahmu, dan carilah solusinya”. Bah! Lihatlah, pernyataan ini sangat “metafisis” dan merupakan taktik untuk melarikan diri dari kenyataan hidup yang sepahit empedu. Kalimat tersebut terdiri dari dua unsur utama yang bertentangan, “masalah dan solusi”. Apakah setiap masalah ada solusinya? Baik, jika sebagian masalah ada solusinya, bagaimana menjelaskan masalah yang tak terpecahkan? Misalnya, apakah penderita AIDS yang menunggu ajal akan merasa anjuran untuk tetap “semangat dan berdoa” sebagai sebuah solusi? Solusi bagi sebuah penyakit, adalah obat penyembuh. Jika obat penyembuh belum ada, apapun itu bukanlah solusi.

Mengapa semua masalah harus dianggap dapat diselesaikan dan harus diselesaikan dengan solusi. Permainan bahasa dalam soal “solusi dan masalah” itu tak lain adalah cara untuk melarikan diri dari kesakitan yang tak terpecahkan. Kebosanan hidup, ingin dengan gampang saja diselesaikan dengan konsep abstrak (metafisika) masalah dan solusi. Metafisika itu tak lain adalah ilusi yang menyebabkan manusia justru tidak keluar dari masalah, namun mabuk dalam kategori-kategori abstrak yang mengabaikan dirinya, tubuhnya.

Nietzsche menghujat Sokrates dalam soal melarikan diri dari kebosanan hidup itu. A Setyo Wibowo dalam diskusi tentang Nietzsche baru-baru ini di Jakarta menjelaskan, Sokrates menganggap manusia menjadi manusia paling manusia ketika mampu mengoptimalkan keutamaannya. Apa yang utama dari manusia adalah akalnya, intelejensinya, rasionya. Pendeknya, Sokrates mau mengatakan, manusia mencapai keutamaan hidupnya jika ia mengoptimalkan kodratnya, yakni akalnya.

Di satu sisi, pernyataan Sokrates bisa jadi bermanfaat. Dengan meyakini kemuliaan rasio, maka ia dapat melawan penilaian status sosial yang dangkal seperti kaya-miskin. Pernyataan “kecerdasan akan membuatmu terhormat ketimbang kekayaan” dapat dikatakan bermanfaat dalam situasi masyarakat yang mengukur segalanya dari harta.

Namun, Nietzsche menikung lebih tajam lagi dari Sokrates. Baginya, Sokrates dengan memuliakan kategori rasio hanya melarikan diri dari situasi terburuk yang ia (Sokrates) sendiri tak menginginkannya. Sokrates, kata Nietzsche, memuliakan kecerdasan (rasio) karena secara fisik ia buruk rupa. Untuk mengatasi kodratnya sebagai seseorang yang buruk rupa, maka ia melarikan diri ke dalam penganggungan rasio (Setyo Wibowo menilai genealogi Nietzsche atas Sokrates ini diungkapkan secara berlebih-lebihan).

Karena pemuliaan rasio, karena setiap masalah selalu diasumsikan harus diselesaikan dengan solusi, maka kehidupan ini terjebak dalam kategori-kategori. Misalnya, apa yang tidak sesuai dengan pemuliaan rasio, bukanlah sesuatu yang baik. Dan masalah yang tak memiliki solusi adalah buruk.

Kecenderungan memastikan kategori ini, tidak lain adalah ilusi dan mitos yang dibangun untuk melarikan diri dari kenyataan hidup yang tak mau diajak kompromi. Rasa sakit karena kesepian dan kebosanan ingin diatasi begitu saja dengan konsep abstrak solusi dan rasio. Nietzsche menyebut orang-orang ini (termasuk Sokrates) sebagai dekaden yang tak berani menghadapi kenyataan hidup yang sebenarnya.

Tidak semua masalah ada solusinya? Terkadang, berada di tengah pertempuran dengan masalah yang tak tahu kapan henti itu adalah hakikat dari kehidupan!

Nietzsche dan Shypilis

Tidak seperti Sokrates, Nietzsche tidak berusaha lari pada metafisika, teori abstrak, selubung rasio, untuk mengatasi betapa pahitnya hidup. Nietzsche, tidak mau keluar dari dirinya sendiri, ia tidak mau keluar dari darah dalam pembuluh tubuhnya, keluar dari daging jantungnya yang berdenyut.

Sokrates telah mengandaikan kemuliaan akal sebagai alat untuk membuat hidup ini bermakna, sementara kata akal itu sendiri, jauh di awang-awang. Setyo Wibowo memberikan jawaban yang menarik saat ditanya bagaimana “Anda menerapkan genealogi dalam diri Nietzsche sebagaimana Nietzsche menerapkan genealogi pada diri Sokrates.”

Setyo menyebut shypilis yang diderita Nietzsche sebagai asal-usul gaya filsafatnya. Semasa mahasiswa, Nietzsche pernah beberapa kali mengunjungi pelacuran. Dari kunjungannya itu, Nietzsche mengidap shypilis yang harus ia tanggung hingga akhir hayatnya. Keadaan kesehatan yang tak stabil itulah yang menyebabkan Nietzsche menjadi inspirasi hingga kini.

Shypilis pada zaman Nietzsche belum memiliki obat penyembuh. Ia harus hidup dengan penyakitnya. Ia harus bergelut dengan tubuhnya sendiri. Kalau Sokrates berupaya mencari jawaban pada rasio-sesuatu yang bukan tubuh- maka Nietzsche berfilsafat pada tubuhnya sendiri.

Nietzsche tidak lari dari rasa sakit akibat shypilisnya. Sebagaimana ia mengecam Sokrates yang melarikan diri ke rasio, ia menganggap mencari-cari sesuatu untuk melupakan rasa sakitnya menyebabkan dirinya menjadi dekaden. Untuk itu, ia menjawab tantangan penyakitnya, ia siapkan dirinya melawan shypilisnya, ia melawan tanpa harus lari pada teori, pada kategori yang abstrak. Ia menjawab shypilis yang melekat pada tubuhnya dengan tubuhnya sendiri.

Pengalamannya atas shypilis ini yang menyebabkan ia mengafirmasi atau berkata “Ya” pada kehidupan yang tak terduga ini.

Nietzsche di Tengah-tengah Kita

Mengapa kita menyenangi alkohol? Mengapa kita stress tanpa pekerjaan? Mengapa kita menenggelamkan diri dalam pekerjaan pada siang hari? Mengapa kita harus pulang ke rumah? Mengapa tiba-tiba otak berpikir sejenak tentang hidup beberapa saat sebelum tidur malam? Mengapa malam begitu indah sekaligus mencemaskan?

Hidup itu jenuh dan nihil. Tapi, manusia terus menerus menghindar dari kejenuhannya. Menghindar, berarti menolak bertemu, menolak bertempur. Nietzsche memberikan usulan lain pada kita: menghadapi hidup yang jenuh itu. Menghadapi berarti bersedia bertemu, bersedia bertempur, menghindari ilusi metafisika dan teori yang abstrak.

Mari, kalau harus menyambut alkohol, lakukan demi hidup itu sendiri, demi yang menubuh itu sendiri. Kalau pun harus sibuk di siang hari, lakukan demi rasa lapar itu sendiri, demi nafsu birahi itu sendiri. Lakukanlah segalanya dengan sopan. Bertempurlah dengan sopan. Tantanglah hidup ini dengan santun.

Jika tiba masa pahit yang paling empedu, maka menarilah dalam kolam empedu yang melumpur itu. Tidak semua masalah harus dihancurkan dengan kasak-kusuk membolak-balik arti kata “solusi?”