Friday, October 14, 2011

Saya Tidak Bisa Berenang

Saya tidak bisa berenang. Tetapi saya sudah di tengah laut. Di atas perahu bermesin ini, sudah tersedia kacamata plus pipa “insang” untuk snorkeling. Di bagian depannya, puluhan sepatu katak bertumpuk-tumpuk.

Kecuali empat orang awak perahu, penumpang lainnya adalah rekan sekantor. Mereka bersemangat meskipun beberapa orang mabuk laut.

Perahu bergerak menjauhi pulau Tidung dan mendekati pulau lainnya. Perjalanan sekitar 45 menit. Saya tak tahu nama pulau yang didekati perahu itu. Saya baru kali pertama datang ke Kepulauan Seribu. Sulit menghapal nama-nama dan memastikan lokasi pulau-pulau yang berdekatan itu.

Perahu tak menepi di pulau tujuan. Hanya berhenti di wilayah yang tak terlalu dalam, mungkin sekitar satu kilometer dari pulau. Di bawah perahu, air berwarna biru dan jernih. Dan saya belum pernah berenang ke laut, selain juga tidak bisa berenang. Tetapi toh ada pelampung.

Saya turun ke air tanpa rasa takut. Tubuh mengapung tanpa harus menggerakkan kaki. Pipa insang sudah saya masukkan ke dalam mulut. Selanjutnya, kacamata snorkeling saya lekatkan ke wajah. Astaga! Saya tidak bisa bernafas. Setiap kali saya mencelupkan kepala ke dalam air, saya muncul kembali ke atas permukaan dengan nafas terengah-engah. Air laut terminum juga sedikit-sedikit. Asin.

Seorang teman mengajarkan caranya. Saya harus bernafas lewat mulut. Hanya lewat mulut. Seperti ikan. Ketika saya mencoba bernafas lewat mulut, saya baru tahu trik dari wisata laut yang belum pernah saya coba ini. Untuk pertama kali ketika saya berhasil bernafas dan mencelupkan kepala ke laut, saya melihat keadaan di bawah laut begitu terang dan berwarna-warni. Ternyata, bawah laut memang ajaib, indah, seperti dunia sendiri.

Sejak itu, saya berkeliaran ke sana-kemari untuk melihat-lihat terumbu karang beserta ikan-ikan berbagai jenis dan warna. Ikan-ikan itu berseliweran di atas kepala saya. Berenang bergerombol di depan mata saya tanpa rasa takut.

Sekali-sekali saya iseng mendekati gerombolan yang tampak sedang berhenti di satu rumpun karang. Mungkin mereka mencari makan. Ketika saya mendekat, mereka menjauh dan sulit saya tangkap. Tetapi mereka sama sekali tidak punya rasa takut terhadap saya, si manusia yang baru pertama kali berkeliaran di dalam laut.

Belakangan, ketika saya sudah sampai di Jakarta lagi, saya ceritakan ke teman-teman saya betapa cueknya ikan-ikan itu terhadap saya. Teman-teman saya menjawab dengan sederhana: “ya wajarlah! Itu memang alamnya dia.” Saya lupa, bahwa di dalam laut, manusia hanyalah orang asing. Ikan adalah tuan rumah di sebuah dunia lain yang mungkin saja seperti surga.

Pukul empat sore, kami semua naik ke kapal. Saya sedikit mual. Rasanya angin yang tidak pernah keluar dari tubuh saya terdesak hingga ke ujung pori-pori. Tetapi pemandangan bawah laut yang dilihat dari permukaan membuat rasa mual itu tak ada artinya.

***

Malam itu kami tak jadi bakar ikan di pinggir laut. Sebagian dari kami lelah. Sore sehabis snorkeling, beberapa dari kami bersepeda ke Jembatan Cinta. Jembatan Cinta mungkin sekitar dua kilometer dari rumah sewa (home stay) yang kami tumpangi. Di halaman rumah sewa berderet puluhan sepeda jenis mini dengan keranjang di depan setang.

Bersepeda ke Jembatan Cinta memberikan hiburan yang lumayan. Kami melewati jalan setapak yang membujur nyaris sepanjang pulau. Hari itu Minggu. Jadi, Jembatan Cinta sangat ramai. Ada perempuan-perempuan dengan rambut basah, anak kecil, dan pemuda-pemuda yang sedang berhitung sebelum melompat ke air dari jembatan.

Kelelahan bermain sepanjang hari membuat sebagian dari kami malas ke pinggir laut. Malam itu, cumi-cumi dan ikan baronang dipanggang di halaman di samping home stay. Rasanya lumayan. Bumbu dan bakarannya pas. Di televisi, Everton ditaklukkan Liverpool 0-2. Manchester United mengalahkan Norwich City juga dengan skor 2-0.

Tapi tak ada bir di pulau ini. Rekan-rekan sekantor saya, terutama yang lelaki, adalah penikmat bir. Biasanya, acara-acara malam seperti itu selalu diwarnai bir. Menurut salah seorang penduduk, bir dilarang di pulau itu. Kafe-kafe di pinggir pantai bahkan tak menjual minuman keras apapun. Bahkan, kata penduduk itu, ada pengunjung yang tertangkap karena membawa ganja. Pengunjung itu langsung diserahkan ke polisi setempat dan dikirim ke Jakarta untuk dimasukkan ke penjara.

Tetapi, bagaimana bisa liburan malam di pinggir pantai tanpa bir? Malam pun bergerak begitu cepat.

Beruntung saya punya Giyatno. Dia bagian pembantu umum di kantor saya. Sebelum orang-orang tidur karena kelelahan, Giyatno mengajak saya berjalan-jalan ke pinggir pantai. Saya mengiyakan. Kami berjalan ke dermaga papan di mana perahu wisata snorkeling bersandar.

Tempatnya terlalu ramai. Sebagian pengunjung duduk di atas tikar sambil membakar jagung. Saya, dan juga Giyatno, butuh tempat yang sepi.

Setelah berjalan-jalan ke sana kemari, akhirnya kami menemukan tempat yang kami inginkan. Sebuah balai-balai dari papan dengan sandaran kepala. Jika anda mengantuk, anda bisa merebahkan badan dan menyandarkan kepala dengan kemiringan leher yang pas. Di kiri-kanan, terdapat rumah penduduk.

Di depan balai-balai, tegak sebuah lampu listrik berwarna merkuri. Anehnya, lampu merkuri tersebut menyala dan mati dalam jarak lima menit sekali. Di sebelah kanannya, dua perahu terikat pada tambatannya.

Dan kami melakukan semacam, sebutlah kegiatan kriminal kecil yang tetap punya resiko. Setelah tubuh dan pikiran bergerak semakin pelan, saya merebahkan badan dan menyandarkan kepala. Ketika memejamkan mata, yang terdengar hanya deru angin, gemerisik dedaunan yang tak berhenti diusik angin, serta lampu yang terus nyala-mati tiap lima menit. Tubuh seperti di dalam buaian. Betapa indahnya!

Giyatno bilang kami bisa saja tertidur di sana. Tetapi saya lebih memilih pulang. Namun begitu, sebelum kami pulang, Giyatno bercerita tentang perjalanan hidupnya. Ia pernah ditangkap polisi karena menggores bodi mobil saat ngamen. Itu terjadi di Yogyakarta saat usianya 15 tahun. Giyatno dibawa ke semacam markas tentara atau polisi. Menurut dugaannya, mobil yang digoresnya di jalanan itu milik petinggi militer atau polisi.

Dari Giyatno juga saya tahu, bahwa di jalanan kota Yogyakarta, orang-orang yang berkeliaran justru tak berasal dari kota itu. Sebagian mereka berasa dari Magelang, Gunung Kidul, dan daerah sekitarnya. Giyatno sendiri berasal dari Solo.

Selanjutnya ia pernah masuk ke dalam diskotik-diskotik di Yogyakarta. Siasatnya, sebelum ke diskotik, dia bersama teman-temannya membeli anggur merah. Anggur merah itu dimasukkan ke dalam tas dan di bawa ke dalam diskotik. Tujuannya untuk menghemat belanja di dalam diskotik. Jadi, di dalam diskotik mereka cukup memesan 3-4 botol bir. Untuk mencari efek mabuk, anggur merah yang dibeli dari luar ditenggak diam-diam.

Saya punya kecocokan sama Giyatno. Pertama, mungkin karena saya dan Giyatno seumuran. Yang kedua, kita sama-sama penggila sepak bola. Saya mencintai Barcelona dan pesimistis dengan liga Indonesia. Tetapi Giyatno berbeda. Dia anggota Pasopati, nama untuk fans Persis Solo. Dalam perjalanan pulang, Giyatno mengenakan kaos berwarna merah dengan tulisan di bagian punggung: Salam Edan Asal Mapan. Saya tak terlalu mempersoalkan arti kalimat itu. Yang jelas, itu semacam semboyan Pasopati.

Saat fans Persebaya, Bonek (Bondo Nekat), dilempari batu dalam perjalanan kereta yang mereka tumpangi lewat Solo, Giyatno rajin mengikuti beritanya. Dari dia juga saya tahu kini Bonek dan Pasopati berdamai. Kalau Bonek masuk ke Solo, Pasopati akan mengawal.

Kami pun pulang ke rumah sewa dalam keadaan pikiran berjalan sangat pelan. Giyatno mendengar suara dangdut. Dia mengajak saya untuk mencari sumber suara musik itu. Dan kami berhenti di sebuah pagar yang membatasi pinggir pantai.

Di balik pagar ada sebuah panggung dengan seorang pria pemain keyboard. Ia mengiringi penyanyi perempuan yang mengenakan baju langsung dengan dada terbuka yang berhenti di atas lutut. Seorang rekan perempuan di kantor saya memberi tahu saya istilah pakaian jenis itu: baby dolls.

Baby dolls itu melekat mengikuti lekuk tubuh si penyanyi. Pas pada tubuhnya yang kecil dan ramping. Dari jauh, gadis baby dolls itu tampak bermotif tutul macan berwarna hitam. Ia sedang menyanyikan lagu dangdut ala Pantura. Tetapi dari cengkoknya, saya menebak penyanyi itu memiliki bahasa ibu Sunda.

Sementara dentam beat dangdut pesisir itu terus keluar dari pengeras suara, penyanyi itu dikelilingi beberapa lelaki muda yang sengaja merapatkan diri ke tubuhnya. Saya menduga, laki-laki muda itu mabuk. Mereka bergantian merapatkan diri ke tubuh si penyanyi sambil nyawer. Penyanyi hanya tertawa sambil sesekali menghindar dari tatapan mata pemuda yang berjoget di depan tubuhnya. Tawanya terdengar sebagai sesuatu yang terpaksa.

Lagu itu pun berhenti. Baby Dolls macan tutulnya masih tetap sedap dipandang. Lalu dia berkata pada lelaki mabuk itu untuk jeda sejenak. Dia mau menyanyikan lagu yang pelan. Maka menyanyilah dia sebuah lagu yang bercerita tentang perasaan perempuan yang tak percaya pada cinta laki-laki. Saya mendengarnya sebagai sebuah pernyataan terhadap lelaki yang nyawer dan merapat-rapatkan tubuh mereka pada tubuhnya.

Giyatno bertanya pada seorang ibu-ibu. Ibu itu tampak seperti penduduk yang tinggal tak jauh dari sana. Dia duduk menyaksikan si baby dolls dari pinggir pagar kawat. Dalam cahaya malam, saya ingat dia mengenakan daster berwarna merah jambu yang memudar. Giyatno bertanya apakah acara gadis baby dolls dibuka untuk umum. Si ibu menjawab tidak tahu. Yang diketahuinya hanyalah acara itu disewa oleh salah satu perusahaan. Dugaan saya, jika acara itu dibuka untuk umum, Giyatno pasti akan joget.

Di sela-sela lagu yang sedih itu, Giyatno mengajak saya pulang dalam keadaan agak sempoyongan. Tetapi lagu sedih yang dinyanyikan gadis baby dolls tetap menarik perhatian. Belum jauh dari panggung, saya berhenti. Saat saya melihat kembali ke panggung, gadis baby dolls sudah tidak ada lagi, tetapi suaranya masih mengalun. Saya bertanya ke Giyatno kemana pergi si penyanyi. Giyatno menjawab tak tahu.

Setelah melihat ke sana-ke mari, barulah saya tahu ternyata gadis baby dolls meninggalkan panggung dan mendekat ke arah penonton. Dia terus bernyanyi dan bergoyang. Sesekali keluar tawanya yang masih saja terdengar keluar dengan terpaksa. Ternyata, lagu yang berkisah tentang rasa sakit hati perempuan karena begitu mudahnya lelaki mengumbar “cinta” hanyalah sebatas musik. Lagu yang sedih itu jelas tak dinyanyikan dengan sedih. Tetapi, namanya dangdut, apalagi lagu tentang kesedihan, meski dinyanyikan hanya demi saweran, tetap saja terdengar mellow. Blue!

Selamat tinggal gadis baby dolls!

***

Pukul setengah dua belas kami meninggalkan home stay. Kapal yang kami tumpangi saat datang, sama dengan yang kami tumpangi untuk kembali ke Muara Angke. Kapal penumpang dua tingkat itu bernama Pesona Indah. Penumpang duduk rapat di atas tikar. Sebagian mengenakan pelampung. Karena memang demikianlah standar keamanannya. Saya malas mengenakannya. Terlalu repot.

Dalam keadaan mata yang mengantuk, kapal bergerak menuju Angke. Saya sempat tertidur di bagian depan tanpa atap lantai dua kapal. Saya terjaga ketika gedung-gedung di pinggir laut yang disebut orang sebagai hunian Pantai Indah Kapuk mulai tampak. Di bawah, air laut berwarna keruh, jika tidak disebut hitam dan kotor.

Dua kapal pom bensin laut Pertamina bergerak pelan. Dalam perjalanan pulang ini, yang saya ingat adalah perubahan warna air. Di sekitar Kepulauan Seribu, air laut biru jernih di mana ikan-ikan berenang tanpa takut di sela-sela manusia yang snorkeling. Semakin menjauh ke tengah, air laut berubah menjadi hijau. Ketika kapal berhenti di Muara Angke, air laut berubah menjadi hitam dan kotor.

Beberapa hal yang saya ingat dari Pulau Tidung adalah pulau itu terlalu kotor untuk sebuah pulau wisata. Lagi pula, banyak orang gila yang berkeliaran di sana. Mungkin menjadi semacam tempat pembuangan orang gila. Tetapi, kami tetap bersenang-senang.

Sekitar pukul setengah tiga siang, air laut di dermaga Angke dan pasarnya yang semrawut adalah situasi khas yang menyambut kami. Kami menumpang angkutan umum ke shelter busway di sela-sela jalan macet. Lewat pukul lima sore bus berhenti di depan kebun binatang Ragunan. Selamat datang kembali rutinitas!

Jakarta, 9 Oktober 2011

di depan tivi

aku pernah berkemah di halaman tak dikenal

pohon tak bertuan, sebiji alpukat belum jatuh

...di rumah itu, tiga gadis kembar 9 tahun menaburi meses di atas es krim.

bisakah kau dengar kemeriahannya?

jakarta, agustus 2011

di jalan tenang...

aku kencing. seekor kucing berguling, menebak kecoa, lalu lenyap di gelap parit


kudekati api kecil jadi kawan. petasan! tadarus!

cuma penjara kosong, sendirian di pedalaman taman

tetapi, di manakah kuncinya?

jakarta, agustus 2011

setasiun yang terbakar

adakah kau cium harumku

di sela abjad surat kabar, tentang setasiun yang terbakar?

jakarta, juli 2011

Rock and Roll Indonesia Belum Ada

Pada akhirnya, kita harus bicara terus-menerus tentang televisi. Karena dengan cara itulah kita bisa meraba bagaimana generasi awal di Indonesia menyambut rock and roll. Televisi adalah alat yang mengembangbiakkan, menggandakan, dan menyebarkan di keramaian. Dan rock and roll memainkan pemberontakannya di “era televisi.”

Masalahnya, televisi datang ke Indonesia ketika setiap rumah di Amerika Serikat sudah disibukkan dengan makhluk televisi bernama Elvis Presley. Elvis bisa dibilang salah satu agen kebudayaan yang memperkenalkan rock and roll kepada dunia melalu televisi.

Ketika Elvis mendaulat dirinya sebagai “The King”, jalanan di Jakarta mungkin masih dipenuhi lubang sebesar kambing. Setidaknya, itulah keadaan Jakarta yang digambarkan majalah National Geographic edisi Agustus 1955. Majalah paling terkenal di dunia itu bahkan menyebut Jakarta saat itu sebagai wilayah kota dengan pola masyarakat desa.

Ketika televisi masuk pada 1962 untuk meramaikan Asian Games, Jakarta masih belum banyak berubah dari keadaan itu. Sadar atau tidak, masuknya televisi bersamaan dengan Asian Games menjadi salah satu terusan yang mengenalkan masyarakat Indonesia dengan dunia rock and roll.

Sebagai seorang yang kosmopolit, Soekarno adalah orang yang membaca fenomena rock and roll. Dengan kebanggaan atas kulit sawo matangnya, Soekarno menjalankan ideologi Pancasila yang kekirian dengan mengusir rock and roll dan memenjarakan Koes Bersaudara.

Kisah ditangkapnya Koes Bersaudara pada 29 Juni 1965 berkembang menjadi salah satu legenda dalam sejarah musik pop(uler) Indonesia. Dari kisah itu, bisa disimpulkan sebenarnya sejak awal rock and roll sudah bersentuhan dengan politik dan status quo di Indonesia.

Momen itu seakan lewat begitu saja tanpa ada hingar bingar sebagaimana rock and roll yang terjadi di tanah asalnya. Penangkapan itu tak menginspirasi anak muda Indonesia untuk mengkultuskan Koes Bersaudara sebagaiana dunia mengkultuskan The Beatles. Tak ada berita demonstrasi kebudayaan untuk membela Koes Bersaudara.

Pemenjaraan Koes bersaudara memberikan makna yang cenderung “negatif” terhadap rock and roll. Alasannya karena kebudayaan sub kultur yang menggemparkan Amerika itu dianggap bertentangan dengan kebudayaan asli Indonesia yang diagungkan Soekarno. Rock and roll dalam kisah Koes Bersaudara dianggap sebagai sesuatu yang asing (baca: tak pantas). Politik tak menyambut rock and roll.

Rock and roll berjalan pincang karena televisi tak memberi tempat. Saat rock and roll mengalami masa emas di Amerika dan Inggris, di Indonesia menjadi sesuatu yang dilarang oleh kekuasaan. Televisi dan rock and roll tak berjalan mesra.

Bagi saya, peristiwa penangkapan Koes Bersaudara sangat mempengaruhi bagaimana rock and roll itu dipahami oleh anak muda Indonesia. Dalam beberapa segi, Soekarno berhasil menjalankan doktrinnya agar Indonesia tak kena wabah “ngak ngik ngok”.

Andai Soekarno tak dijatuhkan pada 1966, mungkin ia bisa berubah pikiran terhadap rock and roll. Di negeri asalnya, rock and roll berkembang menjadi gerakan yang memusuhi apa yang juga dimusuhi Soekarno, yaitu imperialisme (baca: pemerintah Amerika Serikat). Gelombang menentang perang Vietnam yang dilakukan Generasi Bunga bisa jadi sejalan dengan visi politik Soekarno.

Namun sayang, saat para hippie merayakan ekspresi kebudayaan dalam Woodstock 1969, Soekarno justru harus berjuang melawan penyakit dalam pengasingan. Setahun kemudian, Soekarno wafat. Pada masa itu juga, Generasi Bunga mengalami masa surut. The Beatles bubar. Jimi Hendrix tewas di usia 27 dan membentuk club 27 bersama Janis Joplin, Jim Morrison, serta gitaris The Rolling Stones Bryan Jones.

Di Amerika dan Inggris Generasi Bunga dan rock and roll akhirnya berhadapan dengan ideologi yang dipuja-pujanya, yakni perubahan. Woodstock ’69 adalah puncak kebudayaan rock and roll sekaligus isyarat titik balik untuk perubahan. Tahun 1970 menjadi ambang perubahan era yang meninggalkan Generasi Bunga.

Di sisi lain, rock and roll sebagai musik dan persepsi baru dimulai di Indonesia. Untuk mengambil hati anak muda, Soeharto memanfaatkan kesempatan dengan menjadi antitesis Soekarno: memberi kebebasan kepada musik “ngak ngik ngok”.

Sejak itu, Koes Bersaudara kian sukses setelah berubah nama menjadi Koes Ploes. Mereka disebut sebagai The Beatles-nya Indonesia. Mau tidak mau, Koes Ploes harus diakui sebagai pionir yang melakukan pemaknaan awal sekaligus menerjemahkan rock and roll melalui musik dalam sejarah industri musik Indonesia.

Selain karena faktor kultural yang alami, doktrin ketakpantasan rock and roll yang diwariskan Soekarno sesungguhnya masih bercokol dalam benak publik. Koes Ploes menjelma menjadi band yang lebih mengedepankan romantisme serta keindahan alam nusantara. Sebagai band, Koes Ploes adalah rock and roll rasa Indonesia. Tetapi sebagai sebuah urat dalam kebudayaan populer, Koes Ploes hanya memberi trend.

Mungkin karena Koes Ploes hanya menyanyikan cinta dan keindahan alam, ia bisa sukses di dekade 1970-an. Soeharto menganggap keberadaan Koes Plus tak mengancam kekuasaan. Dalam konteks ini, Koes Ploes menjadi role model.

Karena Koes Ploes tak menciptakan nyanyian perlawanan sebagaimana John Lennon sang idola, sejarah musik Indonesia jauh dari gerakan politik.

Di era 70-an pula, majalah musik Aktuil menjadi pegangan bagi anak muda. Aktuil menjadi barometer trend. Namun, Aktuil berbeda dari majalah Rolling Stone. Aktuil lebih banyak memberitakan kehebohan kehidupan selebritas rock and roll ketimbang ideologi kebebasan dalam perlawanan.

Aktuil, sebenarnya lebih tepat disebut majalah showbiz yang menonjolkan gosip musik. Sedangkan majalah Rolling Stone, adalah majalah politik yang memanfaatkan sisi kebudayaan dalam musik. Kebebasan yang ditawarkan Aktuil adalah kebebasan yang cenderung menunjukkan hedonisme rock and roll.

Meski begitu, sebenarnya Aktuil juga memberikan gambaran yang bisa dianalisis secara kebudayaan tentang rock and roll. Namun, kebanyakan itu tampak pada artikel-artikel tentang musisi barat. Ambil contoh, akhir tahun 2010, saya mengikuti diskusi tentang fanzine di Taman Ismail Marzuki. Di sana saya melihat beberapa majalah Aktuil edisi 70 hingga 80-an.

Saya cukup terkesan dengan Aktuil ketika memberitakan tur terakhir Sex Pistol pada Januari 1978. Artikel itu memberi tahu saya informasi tentang keruntuhan sebuah band. Tur itu tak terlalu disorot media. Semula konser itu akan digelar sebelum tahun baru, tetapi imigrasi AS menyulitkan visa Sex Pistol karena catatan kriminal personilnya. Akibatnya, Sex Pistol hanya main di kelab-kelab biasa di daerah selatan yang dihuni kelompok red neck yang tak ramah dengan orang asing.

Karena sentimen anti-Inggris dan perilaku Sid Vicious yang tak senonoh, pengunjung kelab rusuh dan menghajar Sid Vicious. Namun, Sid tetap memetik basnya dengan darah yang mengalir dari hidung. Adegan itu diabadikan dan menjadi foto Sid Vicious yang paling terkenal.

Bagi saya, berita itu sangat berharga karena memberikan gambaran tentang sambutan orang Amerika terhadap band paling berandalan dari Inggris. Artikel itu menggambarkan sentimen antar bangsa. Dan artikel itu menampilkan keliaran dari rock and roll, yakni Sid Vicious dan Sex Pistol.

Namun artikel di Aktuil yang mengulas musisi lokal tak banyak yang bisa dilihat dengan cara pandang seperti itu. Misalnya saja, artikel yang membahas tentang retaknya hubungan antar personil band Bentoel. Basis Bentoel merasa vokalisnya hanya mencari sensasi dan tak berbakat menyanyi. Itulah informasi utama yang hendak diberitakan artikel itu. Bagi saya, berita itu cumalah kabar tentang konflik dalam sebuah band. Berita itu adalah berita tentang band, tapi tak memberikan gambaran tentang kebudayaan yang menjadi implikasi dari band itu.

Hanya, artikel itu memberi tahu, bahwa band rock bernama Bentoel itu adalah band milik perusahaan rokok Bentoel. Sebagai musisi, mereka digaji bulanan, diberikan tempat tinggal, serta bermain dengan alat musik bagus yang disediakan perusahaan. Bentoel mirip seperti kesebelasan sepakbola atau klub voli yang bermain atas nama perusahaan. Ini adalah keganjilan dalam kehidupan musisi, apalagi rock and roll. Sayangnya, tak ada kritik terhadap keadaan itu dalam artikel di Aktuil. Yang menonjol hanyalah kemelut perpecahan sebuah band.

Di sisi lain, kepulangan Ahmad Albar dari Belanda bisa dicatat sebagai salah satu peristiwa penting dalam industri musik dan rock and roll. Setelah membentuk band Clover Leaf di Belanda, ia pulang ke Indonesia dan memainkan lagu-lagu Deep Purple bersama God Bless. Pada 1975, God Bless didaulat untuk bermain sebagai band pembuka konser Deep Purple di Jakarta.

Sebagaimana Koes Ploes menjadi penerjemah rock and roll di dekade 1960-an, God Bless adalah penerjemah di dekade 1970-an. God Bless memboyong Indonesia ke dalam suasana heavy metal. Sebagian besar pemusik di era itu memainkan musik “keras” seperti Led Zeppelin dan Black Sabbath.

God Bless mengambil jalur yang berbeda ketimbang Koes Ploes. Pengaruh rock yang kian kasar menyebabkan God Bless mulai menulis lagu tentang isu sosial. God Bless menjadi istimewa karena karya-karyanya merepresentasikan keadaan masyarakat, terutama Jakarta waktu itu. God Bless bisa bercerita cinta, namun juga bisa bercerita tentang urbanisasi.

Tetapi, posisi God Bless dalam konteks rock and roll masih tetap sama dengan Koes Ploes. Keduanya hanya menjadi ikon rock and roll dalam segi musik. Lirik bertema sosial tak mengundang para penggemar untuk melakukan reaksi atas tema yang diusung God Bless.

Dalam sebuah diskusi, pengamat musik Deny Sakrie mengatakan musisi era God Bless lebih banyak memainkan lagu band barat yang terkenal ketimbang lagu sendiri. Sebuah band akan dihargai dan diberi tepuk tangan jika bisa bermain semirip mungkin dengan band barat yang sedang diidolakan.

Pendapat Deny Sakrie itu mencerminkan bahwa sejarah industri musik di Indonesia tak didasari dengan semangat untuk menciptakan. Memang rock and roll produk kebudayaan barat. Namun ideologi rock and roll adalah kebebasan. Dan dewa-dewi rock and roll di barat, menyanyikan kebebasan dan perlawanan dalam musik-musik mereka.

Tanpa sadar, paradigma meniru ketimbang menafsirkan ulang menjadi definisi bersama tentang rock and roll. Kita terpengaruh untuk menyama-nyamakan musisi Indonesia dengan musisi barat yang mendunia. Misalnya, kita menyebut Farid Hardja sebagai Elton John-nya Indonesia. Kita tak bermasalah ketika Koes Ploes disebut The Beatles-nya Indonesia. Bahkan, kita akan terkagum-kagum melihat band Indonesia yang merupakan imitasi band Islandia Sigur Ros.

Saya pernah menonton film tentang sejarah scene musik Islandia. Dalam satu dekade terakhir, musik Islandia memberikan ciri khas yang menonjol dalam industri musik dunia. Bjork dianggap sebagai pelopor yang membawa Islandia ke MTV. Dalam sebuah wawancara di film itu, Bjork membahas musik dengan menjelaskan jati diri orang Islandia. Ia mengatakan, menjadi Islandis adalah menjadi orang yang melakukan perlawanan untuk kebebasan. Bjork mengatakan definisinya itu terinspirasi dari sejarah perlawanan Islandia yang merdeka dari jajahan Denmark pada 1944.

Di sisi ini saya melihat Bjork memahami musik tak sekedar musik. Ketika bicara musik, ia bicara bangsa, sejarah, dan kelebihan-kelebihan bangsa Islandia. Sebagai musisi, ia membawa jati dirinya sebagai seorang Islandia melalui musik. Ia menciptakan musik yang akan dikenang dunia sebagai musik Islandia. Elemen dasarnya boleh diambil dari Inggris dan Amerika, tetapi warnanya tetap Islandia. Bjork adalah Bjork. Dan Bjork adalah perempuan Islandia.

Semangat penciptaan itulah yang luput dari industri musik Indonesia. Rock and roll yang sampai ke Indonesia hanyalah aksi panggung, tak lebih dari itu. Rock and roll yang sampai ke Indonesia tak mewabah hingga ke gaya hidup dan menjadi “iman” sebagian besar penggemarnya. Ini menunjukkan bahwa rock and roll benar-benar dianggap sesuatu yang “lain”.

Majalah Tempo edisi 1 September 1973 pernah menurunkan artikel tentang konser Summer ’28. Summer adalah singkatan dari Suasana Meriah Menjelang Hari Kemerdekaan RI ke-28. Konser yang diadakan di Ragunan ini dimaksudkan sebagai Woodstock-nya Indonesia.

Mengapa kata summer dipilih sebagai akronim? Memang summer (musim panas) identik dengan hippies dan rock and roll. Tetapi Indonesia tak mengenal musim panas seperti di Amerika dan Eropa. Di Indonesia hanya ada dua musim, kemarau dan hujan. Acara itu kebarat-baratan.

Tempo sendiri tak mengulas perdamaian rock and roll dalam Summer 78. Tak ada penjelasan yang menyeluruh tentang penampilan Bimbo, Harry Roesli, atau God Bless. Artikel itu dipenuhi dengan informasi tentang kerusuhan, botol yang melayang ke panggung, dan penonton yang tak menghargai musisi. Rock and roll lebih banyak dikabarkan sebagai sesuatu yang buruk.

Terdengar seseorang berteriak: "Bakar." Disusul beberapa orang membuat api unggun, membakar kertas-kertas koran bekas alas duduk. Barangkali buat sekedar melawan hawa dingin. Ketika ada yang mau membakar umbul-umbul - bendera hias warna-warni -- bahkan melemparkan api ke panggung tapi tak berhasil, suasana menjadi benar-benar panas. Anehnya, petugas pemadam kebakaran yang sudah siap menstarter mobil malah lari membawa perlengkapan mereka, minggir bersama petugas-petugas yang lain. Ancaman beberapa pemuda tampaknya lebih menggetarkan hati daripada tugas pengamanan. "Ini benar-benar barbar," komentar Sandra Reemer dari God Bless. "Di negeri Belanda, penonton biasanya siap dengan tomat buat melempar kepada artis yang mainnya jelek." Combi.

Masih dengan nada kebarat-baratan, di lapangan Sabuga Bandung pada 31 Agustus 1975, digelar konser bernama Kemarau ’75. Tak jauh berbeda, Tempo edisi 13 September 1975 lebih banyak memberitakan kerusuhan di Kemarau ‘75 ketimbang musik dan perdamaian. Saya tak tahu, apakah acara itu memang hanya dipenuhi kerusuhan atau Tempo yang tak berimbang.

Pesta Kemarau 75 itu benar-benar mulai panas. Blod-Stone: grup dari Bogor yang muncul kemudian, tidak mampu mendinginkan massa yang hampir seluruhnya remaja itu. Cuma dua lagu: sempat diselesaikan. Itupun dibawakan bagaikan maling dikejar hansip. Karena satu dua sandal dan batu mulai berseliweran ke atas pentas. Parit sedalam 1,5 M yang membatasi panggung dan massa penonton, tak mampu berfungsi sebagai benteng pertahanan dari desakan pengunjung ke arah panggung. Beberapa penonton terjatuh dan terjepit dalam parit itu: pingsan dan luka-luka. Lima polisi dari kesatuan Sabhara yang mempertahankan panggung dari serbuan penonton, kewalahan. Di tengah ancaman lemparan sandal, sepatu dan batu, ke 11 grup musik (direncanakan 15 grup) yang sudah hadir itu, memang tak bisa berbuat apa-apa. Musik dengan lagu-lagu keras yang menuntut perlengkapan elektronik mahal dan macam-macam itu, terpaksa hasilnya menjadi tidak keruan. Kabel-kabel yang simpang-siur itu banyak yang putus. Sistim suara listrik yang dibutuhkan oleh musik keras itu ada yang macet. Lagi pula di atas panggung begitu berjubel orang (antara lain dengan anak buah sutradara Ali Shahab yang memanfaatkan peristiwa itu buat filmnya).

Tetapi, terlepas dari sudut pandang Tempo, kerusuhan itu tetap saja tak harus terjadi. Jika acara itu dimaksudkan sebagai perayaan anak muda sebagai biang rock and roll di Indonesia, mereka seharusnya meniru Woodstock ’69. Di Woodstock, penonton berbondong-bondong tanpa ada kekerasan. Seorang hippie bahkan menerima informasi dari panggung bahwa kekasihnya melahirkan anak pertamanya di ruang kesehatan.

Televisi dan media massa sama sekali tak menyiarkan sisi positif rock and roll. Di tempat asalnya, rock and roll menyerukan kebebasan. Memang, di sela-sela itu mereka melakukan seks bebas dan mengkonsumsi narkoba. Namun, di Indonesia rock and roll hanya dikabarkan sebagai alat seks bebas dan narkoba belaka.

Itu wajar terjadi karena memang rock and roll berasal dari barat. Dalam beberapa segi ekspresi rock and roll tak berkesesuaian dengan jati diri ketimuran. Namun media massa hanya mempertontonkan kemewahan ketimbang spritualismenya. Itu pula sebabnya, hingga kini kita belum menemukan musisi Indonesia seperti Bjork yang membawa Islandia ke jagad dunia.

Itulah yang membedakan musik dengan sastra. Sastra Indonesia memiliki sejarah yang bisa dirunut. Penyair-penyair memiliki role model, yaitu Chairil Anwar. Chairil bagi sastra Indonesia ibarat Bjork bagi scene musik Islandia. Tetapi musik populer, kita tak pernah memiliki sejarahnya.

Atas alasan itu, saya menganggap rock and roll Indonesia belum (atau tidak) ada. Mungkin, satu-satunya pengecualian yang bisa ditempatkan dalam sejarah industri musik Indonesia adalah Iwan Fals. Seharusnya, ke sanalah musik Indonesia mengambil jati dirinya, yakni menciptakan musik untuk perlawanan demi kebebasan. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan rock and roll!

Apa dampak terhadap ketiadaan sejarah itu?

Koes Ploes adalah korban langsung. Koes Ploes yang memulai, dan Koes Ploes pula yang merasakan akibatnya.

Saya merasakan itu ketika saya kebetulan lewat di lapangan Blok S, Jakarta Selatan, menjelang Pemilihan Umum 2009. Di lapangan itu sedang diadakan kampanye Partai Demokrasi Pembaruan. Lapangan itu tak terlalu penuh meski ramai. Massa partai berbaju merah itu sibuk bergoyang dan ikut menyanyi mengikuti penyanyi di panggung.

Astaga! Di panggung, saya melihat Yon Koeswoyo sedang memainkan gitar menyanyikan lagu Kolam Susu. Saya berpikir, bukankah kita sudah sepakat bahwa Koes Ploes adalah The Beatles-nya Indonesia? Seandainya The Beatles masih lengkap, mungkin orang harus mengundi untuk bisa membeli tiket mahal konser reuni mereka. Tidakkah kita seharusnya menghargai Koes Ploes sebagaimana dunia menghargai The Beatles?

Saya sedih. Yon tinggal sendiri di panggung itu. Tak ada lagi Tony, Yok, bahkan Murry. Koes Ploes di lapangan Blok S itu diisi musisi muda yang mengiringi Yon bernyanyi. Jika reuni Led Zeppelin minus John Bonham pada 2007 diadakan di tempat pertunjukan O2 Arena yang bergengsi di London, maka nasib Koes Ploes jatuh di panggung kampanye partai politik yang tak mendapat kursi di parlemen. Menyedihkan!

Bagaimana dengan God Bless?

Nasibnya tak jauh berbeda. Pada pertengahan 2010, saya untuk kali pertama menonton konser God Bless di Bengkel Kafe, kawasan SCBD, Jakarta. Acara yang disponsori bir itu menampilkan tiga band dari tiga generasi, yaitu Nidji, Gigi, dan tentu saja God Bless.

Nidji main sebagai pembuka. Sambutan penonton cukup hangat. Meski pop, Nidji cukup lumayan dalam penampilan live-nya. Penonton padat dan ikut menyanyikan lagu Nidji.

Sambutan penonton terhadap Gigi yang main setelah Nidji juga tak berubah. Mereka hangat meski Gigi bermain tak sebaik biasanya.

Saya tak datang ke Bengkel untuk dua band itu. Saya hanya datang untuk God Bless. Saya harus melihat, paling tidak sekali, band rock paling berpengaruh dalam sejarah musik Indonesia.

Saat God Bless naik, Achmad Albar tampak paling muda. Ian Antono dan Donny Fattah sudah terlihat seperti kakek-kakek. Di posisi keyboard ada Abadi Soesman. Tapi, bagi saya Abadi tetap tak bisa menggantikan Jockie Suryoprayogo.

Sementara di belakang, kursi pemain drum diduduki oleh Yaya Moektio. Yaya adalah personil termuda di God Bless.

Di bawah panggung, penonton yang tadinya ramai beringsut-ingsut menepi bahkan pulang. Pertunjukan antiklimaks karena seharusnya penonton menunggu God Bless. Itulah sebabnya God Bless diberikan jadwal manggung terakhir. Oleh panitia, God Bless adalah bintang utama.

Tetapi niat panitia tak berbanding lurus dengan sambutan penonton. Di bawah panggung, hanya ada sekelompok anak muda yang mengenakan kaos fans club God Bless. Tetapi anak-anak muda itu tampak seperti kerumunan di tengah lapangan yang sepi. Beberapa lagu baru dari album terbaru God Bless, Nato, terdengar terlalu berat dan bijaksana bagi anak-anak muda itu. Kerumunan itu hanyalah artifisial.

Seharusnya, orang Indonesia yang datang ke Bengkel hari itu menyambut God Bless sebagaimana orang Inggris menghormati Led Zeppelin! Seharusnya, anak-anak muda atau siapapun yang menyempatkan diri ke Bengkel malam itu datang demi God Bless.

Di luar, tiket seharga 30 ribu itu tak ludes terjual. Sebagian panitia bahkan membagi-bagikan tiket itu secara gratis kepada teman-temannya. Saya sedih, ikon rock Indonesia itu bahkan harus main di panggung yang tiketnya dibagi-bagi secara percuma karena tak laku.

kadang,

kadang,

di dalam hati aku ingin melempar gelas ke tembok. aku perlu suaranya yang prang! untuk melawan tangis bocah di halaman. bergulingan karena kehilangan mainan; sebenarnya mainan itu bukan miliknya

kadang,

di dalam hati aku ingin menggunakan pikiranku untuk berbicara dengan bungabunga. cuma bungabunga yang mampu mengajak si bocah berpikir; bukankah, itu bukan milikmu?

kadang,

di dalam hati aku ingin menjerit lalu mempelajari amarah pada ombak. aku mau lebih tegas daripada racau si bocah; air mata mengalahkan dendam

kadang,

di dalam hati aku ingin ditinggalkan di sebuah taman kecil bersama selembar tikar piknik. tempat yang paling mungkin dalam ketiadaan: daun gugur bunga berkembang...

Lenteng Agung, Juni 28 2011

Cyber

Seperti judi, sesuatu yang datang tanpa melewati jalur logika, selalu mendatangkan kenikmatan. Asalkan dimainkan tanpa kecurangan, judi adalah permainan yang membayang-bayangkan keberuntungan. Judi menawarkan sesuatu yang tak tampak, sesuatu yang berada di luar kesadaran.

Tapi hidup tentu saja bukan judi. Hidup dan mati jelas tak bisa diperjudikan dengan bayang-bayang keberuntungan. Hidup dan mati adalah kepastian. Sedangkan judi bermain-main dengan ketidakpastian.

Maka kepastian itulah yang sedang dikejar oleh dunia hari ini. Orang bicara dunia cyber seolah-olah dunia itulah yang akan menentukan masa depan semesta. Amerika Serikat mengklaim perang cyber adalah perang masa depan. Entah kebetulan atau tidak, China juga bergejolak menuduh penyusup cyber yang merecoki tembok negara itu. Tuduhan ini semakin menegaskan bahwa dunia cyber benar-benar bisa mempengaruhi konstelasi kekuasaan internasional.

Tapi cyber adalah sesuatu yang gaib. Seseorang bisa berbicara, saling melihat wajah, jatuh cinta, dengan seseorang di belahan dunia lain lewat dunia cyber. Kehadiran fisik dimaknai dengan cara yang lebih “maya”. Fisik tak bertemu fisik, tetapi jiwa saling berbicara.

Sebab itulah cyber, sebagai dunia, juga tak mudah diperdaya hanya dengan slogan “perang cyber”. Karena mau tidak mau, perang dalam dunia cyber juga harus dipandang kehadirannya dengan cara yang gaib. Jika perang dalam dunia cyber adalah gaib, maka slogan perang cyber bisa hanya tinggal slogan. Sebab, kegaiban itu membuat perang di dunia cyber lebih bebas, heterogen, dan siapapun berpeluang menjadi pemenang.

Sayangnya, isu perang cyber tampaknya masih belum bisa melepaskan diri dari cara pandang perang fisik. Di era perang dingin, perang hanya akan diwakili oleh negara. Sebagai contoh, mengirimkan manusia pertama ke bulan akan dinilai sebagai representasi kekuatan Amerika Serikat. Di sisi lain, keberangkatan Yuri Gagarin sebagai orang pertama yang berkunjung ke luar angkasa beberapa tahun sebelumnya akan dipandang sebagai representasi Uni Soviet.

Di dunia cyber, perang tak lagi didominasi oleh aparatus yang umum sebagaimana dalam perang fisik. Perang cyber telah membawa satu kelompok lain yang juga bisa menjadi pemenang. Kelompok itu adalah publik.

Di Indonesia, setidaknya dua kali publik bisa memenangkan pendapatnya dan memengaruhi kebijakan negara. Yaitu, kasus korban mal praktek Prita Mulyasari dan penahanan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Riyanto-Chandra M Hamzah. Keduanya dibebaskan dari tuduhan karena dukungan yang kuat di jejaring sosial seperti facebook. Indonesia sudah merasakan betapa efektifnya cyber sebagai alat perlawanan.

Di Mesir dan Tunisia, cyber menjadi alat propaganda yang bisa menularkan semangat perlawanan. Dalam revolusi awal tahun 2011, seorang penyanyi rap Tunisia bisa menggedor semangat demonstran dengan mengirimkan lagu-lagunya ke myspace dan youtube.

Di lain sisi, dunia cyber juga membentuk tren dan gaya hidup. Kini orang mulai sibuk mencari tempat di mana jaringan internet gratis (wi-fi) bisa didapat. Dengan situasi itu, orang juga mulai akrab dengan komputer jinjing, gadget (telepon seluler) dengan fasilitas internet, dan modem.

Saya pernah mendengar pengalaman seseorang yang pernah berkunjung keSingapura. Kata seseorang itu, internet gratis tersedia di seluruh negeri Singapura. Di taman, restoran, halte, anda bisa mengakses internet.

Benarkah cyber membuat orang demam tinggi?

Ya. Tetapi tidak semua. Di tempat saya bekerja, di sebuah media on-line nirlaba, saya pernah mengalami internet macet sepanjang hari. Memang menghambat pekerjaan, tetapi saya tidak (atau belum) merasa kehilangan dengan ketiadaan internet.

Memang saya masih bisa menyimak akun facebook atau yahoo mail di telepon seluler saya. Tetapi yang ingin saya bicarakan, ternyata untuk kantor media on-line yang menggunakan cyber sebagai dunia, internetnya pun masih bisa macet.

Saat itu internet menunjukkan kelemahannya: ia bisa disabotase dalam situasi dan keadaan tertentu. Saya, selama internet di kantor saya mati, tentu tak bisa menyimak apa yang terjadi di dunia cyber dalam rentang waktu itu.

Kehadirannya sebagai sebuah dunia masih bisa diinterupsi. Padahal, dalam dunia fisik tak ada yang bisa ditunda. Manusia hanya bisa mengarahkan momen, tetapi tidak menghentikannya. Cyber tak akan menjadi apa-apa tanpa manusia. Tetapi bumi ini, tetap saja memiliki sistem sekalipun hanya diisi oleh hewan.

Jika berkaca pada isu perang cyber nan gagah itu, apa yang terjadi di kantor saya itu adalah sebuah “noise” yang menunjukkan tata jaringan di kantor saya ternyata tak sigap. Jika saja perang cyber antara Amerika Serikat dan China benar terjadi, maka saya mungkin melewatkan beberapa peristiwa saat koneksi internet di kantor saya mati. Ini jelas tak lazim bagi media massa. Tetapi kemacetan koneksi itu menggambarkan perang cyber belum membuat orang tergagap-gagap ketika internet mati.

Di tempat lain, cyber tak terlalu dianggap sebagai sebuah dunia yang lekat. Di bekas kampus yang masih sering saya kunjungi, fenomena wi-fi tak membuat jumlah mahasiswa yang membawa komputer jinjing ke kampus semakin meningkat. Koneksi internet melalui wi-fi memang tersedia di sana. Tapi tak ada demam wi-fi. Tak membuat kampus saya dipenuhi orang-orang yang sibuk di depan layar monitor.

Mungkin benar kata seorang teman, jiwa anak-anak muda di kampus itu masih agragris. Iklim peradaban cyber tak melulu dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa. Dunia di kampus itu, masihlah dunia fisik. Sebab, di kampus itu tersedia angin yang sejuk, pohon yang hijau, rombongan burung sriti yang sesekali terbang berputar di atas taman rumput yang kecil. Semuanya hanya bisa dirasakan secara fisik.

Dulu saya berpikir, sikap acuh tak acuh anak-anak muda di kampus saya dengan dunia cyber adalah bentuk ketertinggalan. Tetapi, lagi-lagi cyber adalah sesuatu yang gaib. Bukan tidak mungkin itu terjadi karena anak-anak di kampus saya masih menganggap dunia cyber adalah dunia yang kualitas dan kelasnya di bawah kehidupan sehari-hari mereka yang sejuk.

Dengan demikian, ketertinggalan itu kini bisa dilihat sebagai subversi secara tak langsung terhadap gelombang kegilaan cyber. Orang boleh menyebut sikap seperti itu acuh dan apatis. Dalam isu besar perang cyber, anak-anak kampus itu boleh absen. Tetapi itu tak mengubah fakta mereka adalah warga cyber. Memilih untuk menjadikan dunia cyber hanya sebagai tempat untuk melongok ke kiri dan kanan melalui facebook dan twitter, itu juga bisa dipandang sebagai sebuah sikap. Sikap yang khas warga dunia cyber untuk menolak cyber-isasi.

Tetapi, tentu itu bukanlah pilihan. Sebaik-baiknya dunia cyber, meski dia gaib, musuh atau pun orang lain bisa menggunakannya untuk suatu saat menyerang diri kita. Maka, satu-satunya jalan yang paling mungkin ialah memanfaatkan kegaiban cyber untuk melawan penindasan.

Julian Assange mungkin adalah pahlawan abad cyber. Dialah pendiri situs Wikileaks, situs yang membongkar data-data rahasia dalam politik internasional dunia, terutama informasi rahasia milik CIA.

Setelah Assange diadili dan geraknya dipersempit, dengan segera Amerika dan China sibuk menyoroti perang cyber sebagai perang masa depan. Bukan tidak mungkin, Amerika dan China berada pada pihak yang sama dalam perang cyber. Karena mereka bukan saja bermusuh dengan negara-negara yang menjadi lawan dalam perang fisik, tetapi juga dengan masyarakat.

Julian Assange membuktikan itu. Dengan gaib, perlawanan bisa dilakukan secara lebih “menyelusup” dalam dunia cyber. Di Indonesia, gerakan di dunia cyber justru menginspirasi gerakan di darat.

Amerika mungkin lupa, bahwa dunia cyber itu bisa menjadi senjata makan tuan. Amerika membuka jalan menuju cyber dan menjualnya sebagai “dunia kebebasan”. Kini, ketika kebebasan itu mulai diarahkan kepada dirinya sendiri, kepala militer Amerika berpidato tentang perang cyber yang tak terelakkan. China menyambutnya. Indonesia, dalam skala yang lebih sempit, melakukannya dengan UU ITE serta pelarangan akses pornografi.

Dalam posisi itu, antara Amerika Serikat, China, dan Indonesia, berada di posisi yang sama. Yaitu, ketiganya mewakili negara. Bukan tidak mungkin, isu perang cyber diuapkan agar negara memiliki argumen untuk melegitimasi aturan di dunia cyber. Dunia cyber akan dibatasi. Dan kebebasan seperti yang dilakukan Julian Assange pelan-pelan mulai diancam.

Tapi saya tak yakin negara fisik akan bisa menguasai perang cyber secara total. Karena, siapa yang bisa menghukum 75.000 lebih akun twitter yang menyebut gelandang Manchester United Ryan Giggs berselingkuh? Atau, siapa yang bisa menghukum jika ada 100.000 orang di facebook menyebut Hosni Mobarak tak becus memimpin Mesir?

Tentu, selain masyarakat sipil yang gaib dan anonim, cyber juga menghadirkan kepalsuan. Misalnya, maraknya pernyataan kritik normatif terhadap pemerintah yang terkesan terdengar bijaksana tetapi tanpa kedalaman. Longgarnya (atau bahkan tak ada?) proses penyuntingan menyebabkan terlalu banyak informasi dan pernyataan yang tiba-tiba dan entah dari mana di dunia cyber. Namun begitu, Assange menganjurkan untuk tak menghapus informasi apapun yang ada di komputer atau akun anda.

Saya tak tahu, di tangan kita kini sebagai orang Indonesia, dunia cyber adalah kemajuan atau kemunduran?! Ataukah kita meletakkan kemajuan atau kemunduran itu seperti taruhan sebuah perjudian? Atau, mungkin dunia masa depan memang seperti itu. Dunia tanpa kepastian. Yang tersisa hanyalah pencarian.

Jakarta, Juni 15 2011

Catatan Seorang Fans (3)

Messi

Spanyol kembali masuk ke musim panas. Dan musim panas 2011 boleh jadi menjadi lebih panas dan melelahkan. Selama 18 hari pada bulan April Guardiola harus menghadapi pertarungan dengan tensi yang mungkin tak pernah diduganya.

Saya menyaksikan el clasico di Bernabeu untuk liga dengan perasaan tak tenang. Selain strategi bermain kasar yang diterapkan Madrid, Barcelona juga tampil tidak terlalu baik. Jelas, Mourinho tak mau melakukan kesalahan lagi.

Saya bersorak saat Raul Albiol menghentikan David Villa dengan kasar di kotak pinalti. Wasit menunjuk titik putih. Dan Messi, mengelabui Casillas dengan menempatkan bola yang tak kencang di tengah gawang. Inilah kali pertama Messi menjebol gawang Mourinho. Madrid 0, Barcelona 1.

Keadaan itu tak bertahan hingga akhir. Alves dinilai melakukan pelanggaran terhadap wing-back Madrid Marcelo. Dari tayangan lambat, saya merasa Marcelo melakukan diving. Tapi tak ada alasan untuk mengutuk. Sebab tak akan merubah keadaan. Ronaldo secara meyakinkan berhasil menyelesaikan pinalti dengan menempatkan bola di sudut kanan gawang Valdes. Valdes sendiri bergerak ke kiri. Seperti Messi, pinalti ini merupakan gol pertama Ronaldo ke gawang Barcelona. Skor akhir 1-1.

Beberapa hari kemudian, Mestalla membuat Madrid berpesta. Setelah saling berbagi dominasi di dua babak, babak perpanjangan waktu menjadi milik Madrid. Ronaldo melakukan sundulan ke gawang Jose Manuel Pinto di babak tambahan yang pertama. Sebuah hasil dari serangan balik yang cepat. Pinto terperanjat.

Madrid menjaga kemenangan itu dengan bertahan total. Al hasil, Piala Raja menjadi milik Madrid. Dari segi gol el clasico musim ini, sementara Ronaldo unggul satu gol dari Messi. Messi tampak murung usai pertandingan. Ronaldo 2, Messi 1.

Jelas, kini rasa sakit berbalik ke Barcelona. Andaikan pertandingan itu adalah pertemuan terakhir, niscaya musim ini masih terasa sakit meski juara liga ada di tangan Barcelona. Untung saja pertarungan belum berakhir. Masih ada dua kali lagi pertemuan di Liga Champions.

Saya melihat Barcelona datang ke Bernabeu untuk semifinal pertama dengan rasa khawatir. Tapi saya punya sedikit keyakinan. Sebab, menurut saya Guardiola adalah orang yang cepat belajar dari kesalahan. Sebagaimana tercermin dalam pernyataannya menjelang final di Wembley akhir pekan lalu, “kita harus punya sedikit rasa takut dengan kadar tepat agar bisa tidak terlalu takut.”

Pertarungan itu tak jauh dari dua el clasico sebelumnya, yaitu taktik bermain keras dan serangan balik Madrid. Barcelona sendiri tak banyak berubah karena memang pola dasar permainannya sama. Hanya, saya melihat Barcelona lebih percaya diri.

Pertarungan itu terasa monoton karena begitu-begitu saja. Barcelona menyerang, Madrid bertahan dengan cara keras lalu melakukan serangan balik. Terang saja, pertandingan berlangsung panas dan seolah penuh intrik. Bagi saya, inilah pertandingan puncak di era Guardiola dan Messi, serta Mourinho. Pertandingan final di Wembley hanyalah penyempurna.

Entah kenapa, saya merasa ada banyak kebetulan di dunia ini. Seperti nama Messi, yang juga disebut Messiah, atau berarti Sang Penyelamat. Apakah orang tuanya dulu sudah meramalkan anaknya bisa menjadi seorang penyelamat sehingga memberikan nama bocah kurang hormon itu dengan Messi? Kenyataannya, Messi benar-benar sebagai Messiah tidak saja untuk Barcelona, tetapi juga sepak bola.

Kita harus memulai pembicaraan ini dengan apa yang dituduhkan Mourinho dalam apa yang disebut media “Opera Bernabeu.” Yakni, wasit berpihak kepada Barcelona dengan memberikan kartu merah kepada Pepe karena dianggap melanggar Alves dengan keras.

Pelanggaran di pinggir lapangan itu ibarat adegan “Adam memakan buah khuldi di surga”. Alves menggiring bola, Pepe berusaha menghentikannya dengan menghunjamkan kakinya ke arah kaki kanan Alves. Sebelum disiarkan tayangan ulang, pelanggaran Pepe memang terlihat keras. Alves sampai memekik dan dibopong tandu ke pinggir lapangan.

Tetapi mengapa Alves terlalu cepat pulih setelah ditandu dan kembali berlari dengan gesit di lapangan?

Mourinho menganggap Alves diving. Ia memprotes kartu merah Pepe. Akibat protesnya yang dianggap berlebihan, Mourinho diusir dari bench dan hanya menonton di tribun penonton. Ibarat pesakitan, Mourinho duduk ditemani petugas keamanan di Santiago Bernabeu. Di rumahnya sendiri, Mourinho harus diamankan.

Affellay masuk di menit 75 menggantikan Pedro. Sekali mendapat bola, ia mengejutkan Marcelo dengan mengajak berduel lari. Dari sayap kanan, Affellay mengirim bola dengan cepat ke arah kanan lapangan. Di sampingnya Marcelo mengejar.

Marcelo kaget karena Affellay berbeda. Marcelo terbiasa menghadapi pemain Barcelona yang lebih senang menggocek dan mengumpan ketimbang berlari. Dari sana, saya melihat Affellay sebagai pemain masa depan Barcelona. Ia memberikan perbedaan yang bisa menyempurnakan gaya bermain Barcelona.

Sebagai the dutch man, Affellay lebih Eropa sebab pemain Barcelona selain dia dalam pertandingan itu adalah maestro-maestro aliran latin. Affellay ingin menunjukkan sisi lain yang tak terlalu menonjol dalam diri kebanyakan pemain Barcelona lainnya: duel bola pacu.

Dan yang terjadi, Affellay berhasil memenangkan adu lari itu. Ia meninggalkan Marcelo dan mengumpan ke Messi. Messi berlari seperti diam-diam di belakang dua bek Madrid. Ia datang sebagai Messiah dengan cara tiba-tiba dan menyontek bola kiriman Affellay. Casillas hanya bisa terkejut melihat bola melintasi dirinya dan menyentuh jala gawang. Madrid 0, Barcelona 1.

Andaikan saja setelah pelanggaran Alves terhadap Pepe pertandingan ibarat masuk pada periode Adam dan Hawa tinggal di bumi. Ketika Messi mencetak gol keduanya, itulah adegan Adam dan Hawa menemukan cinta dan membuat dunia ini adalah tempat paling indah untuk ditinggali.

Gol kedua itu dimulai tak jauh dari garis tengah lapangan. Messi memberikan bola kepada Sergio Busquets. Busquets menghentikan bola sekaligus menghentikan tubuhnya dengan posisi menyamping. Ia berhenti beberapa saat dan Messi berlari pelan. Saat Messi melintasinya dengan arah ke gawang Madrid, Busquets mengembalikan bola ke Messi. Selanjutnya, Messi melewati Arbeloa, Carvalho, Marcelo, dan Ramos. Dengan cepat ia menendang bola yang tak terlalu deras ke pojok kiri gawang Casillas.

Dua kali Casillas terkejut di Bernabeu. Madrid 0, Barcelona 2. Antara Ronaldo dan Messi, kini situasi berbalik, Messi 3, Ronaldo 2.

Pertandingan leg pertama memang selesai dengan kemenangan Barcelona. Tetapi di media massa, Barcelona harus membayar tuduhan Mourinho hanya dengan mengalahkan United di Wembley.

Lagi-lagi media terbelah. Di satu sisi, ada fakta yang tak bisa dibantah: Messi menunjukkan daya magisnya sebagai Messiah di Bernabeu. Di sisi lain, tayangan ulang jelas memperlihatkan kaki Pepe sama sekali tak mengenai Alves. Alves benar-benar memainkan drama dengan menggunakan teknis sepakbola. Anak Brazil itu bergerak dan berteriak seolah-olah niat melanggar yang dimiliki Pepe benar-benar terjadi.

Mourinho menuduh UEFA melakukan konspirasi untuk memenangkan Barcelona. Ia mengulang pertandingan yang membawa Barcelona menjadi juara Champions. Ia menyebut wasit yang mengalahkannya bersama Chelsea saat Barcelona di era Rijkaard. Ia juga menyebut wasit yang melakoni pertandingan Chelsea-Hiddink saat Barcelona era Guardiola. Ia menyebut wasit yang memimpin pertarungan Inter bersama dirinya melawan Barcelona di Nou Camp, musim lalu. Kini, ia menyebut wasit yang memberikan kartu merah pada Pepe.

Sebagai Barcelonistas, tuduhan itu jelas merusak rasa senang saya sebagai fans Barca. Apalah rasanya memenangkan sesuatu tetapi di tempat lain yang dikalahkan mencaci-maki. Kemenangan malam itu belum memberi rasa aman. Kemenangan yang digugat dengan bahasa luar lapangan.

Di media massa, bius Messi akibat golnya ke gawang Madrid bisa ditandingi dengan tuduhan Mourinho. Tuduhan itu terasa mengganggu karena pertandingan belum selesai. Masih ada satu laga lagi di Nou Camp pekan selanjutnya.

Memang, kemenangan 0-2 itu sudah menjelaskan Barcelona lebih mungkin ke final. Tetapi, pertarungan yang belum selesai membuat kondisi mental fans seperti saya cukup terganggu. Jika fans saja terganggu, bisa dibayangkan bagaimana Guardiola dan skuad Barcelona harus menyiapkan mentalnya.

Di Nou Camp, Messi masuk lapangan dan berbaris sebelum pertandingan dengan bertolak pinggang. Terhadap Madrid, Messi tampil jumawa. Dia memang jagoan. Di kesehariannya ia tampak rendah hati. Tetapi terhadap musuh dalam pertandingan penting, ia menunjukkan diri.

Pertandingan tak jauh berbeda dengan pertemuan sebelumnya. Barcelona menyerang, Madrid bertahan dan menyerang balik. Kali ini Madrid tak melakukan taktik keras. Jelas mental mereka terguncang. Tetapi Barcelona tak kalah guncang. Pertandingan berakhir 1-1. Pedro 1 gol, Marcelo 1 gol. Barcelona merebut tiket ke Wembley diiringi cemoohan Mourinho.

Bagi saya, Mourinho berhak kesal atas aksi drama yang dimainkan Alves. Pelatih Tottenham Hotspurs Harry Redknapp bahkan mengutuk pertandingan di Bernabeu itu sebagai “sampah” dan tak akan terjadi di Inggris.Tetapi ia tak bisa serta-merta menuduh kartu merah yang diberikan untuk Pepe adalah konspirasi UEFA dan Unicef untuk memenangkan Barcelona.

Untuk menilai aksi Alves itu, saya memilih melihat kompetisi kedua tim secara keseluruhan. Kekalahan 5-0 dari Barcelona jelas membuat Mourinho dendam. Taktik bertahan yang dimainkannya saat menukangi Inter Milan diterapkannya di Madrid untuk tidak mengulang kekalahan memalukan di Nou Camp. Hanya saja, Madrid lebih keras ketimbang Inter. Itu tampak pada pertandingan keras di el clasico liga di Bernabeu dan final Piala Raja di Mestalla. Di Bernabeu, pelanggaran Casillas atas David Villa tak dianggap wasit. Permainan keras itu dilanjutkan di Mestalla dan Madrid menang 0-1.

Akankah Barcelona terus-menerus menghadapi permainan keras itu dengan permainan yang sehari-hari diperagakannya? Itu bisa saja terjadi. Tetapi pertandingan akan panas karena kekerasan masuk ke lapangan. Dan situasi panas itulah yang diinginkan Mourinho. Dengan membuat pemain-pemain Barcelona panas, konsentrasi Xavi cs terganggu. Jika serangan Barcelona terganggu, berarti kesempatan untuk serangan balik.

Resiko lain menghadapi permainan keras dengan “polos” adalah cedera. Dengan dasar itu, saya menganggap diving yang dilakukan Alves adalah bagian dari strategi. Ketika kekerasan sebagai kecurangan dipilih, maka diving sebagai kecurangan menjadi lawannya.

Mourinho boleh melakukan kelicikan dengan menggunakan kekerasan serta perang urat syaraf. Tetapi Alves menggunakan kecerdasan untuk mengelabui wasit dan mengusir Pepe ke luar lapangan. Ketiadaan Pepe berarti keleluasaan Messi. Pepe keluar, Messi mencetak gol.

Mourinho lupa, bahwa ia pernah mengatakan setiap pelatih tidak boleh hanya memahami soal pertandingan, tetapi juga hal di luar lapangan. Dengan alasan itu, publik memaklumi Mourinho saat ia mengeluarkan pernyataan yang bisa merusak mental lawan. Mourinho menggunakan sesuatu di luar lapangan untuk mempengaruhi pertandingan.

Barcelona justru mengkonfirmasi apa yang dikatakan Mourinho. Diving yang dilakukan Alves lebih baik ketimbang perang urat syaraf atau tekel kasar. Alves melakukan itu sebagai cara untuk menghindari tekel Pepe. Tapi Alves lebih cerdik, ia menghindari tekel dan memanfaatkannya untuk mengelabui wasit.

Bagi saya, Mourinho tak ubahnya “malaikat” yang yang melarang Adam memakan buah khuldi. Alves melanggar dengan memakan apel itu untuk menipu wasit. Dalam kutukan itu, Messi justru menyelesaikan kebandelan Alves dengan menyarangkan dua gol ke gawang Madrid.

Guus Hiddink berpendapat lebih jernih. Menurutnya, kartu merah itu pantas karena wasit menilai Pepe dari motivasinya menggerakkan kaki. “Seandainya kaki Alves ada di rumput, pasti sudah patah,” kata Hiddink. Jika Anda ingin membuktikan pendapat Hiddink, coba putar lagi rekaman pelanggaran itu, dan lihat ekspresi Pepe saat menjatuhkan kaki. Bagi saya, matanya memang berniat melakukan tekel kasar.

Sebelum pendapat Hiddink keluar, saya lebih banyak melihat cemoohan terhadap Barcelona. Media massa menyebut el clasico di Bernabeu adalah drama yang dimainkan kedua klub. Karena Barcelona pemenang, maka Barcelona pula yang harus menerima tuduhan paling berat. Harus diakui, terlalu banyak hal di luar sepak bola yang masuk ke dalam lapangan malam itu.

“Terima kasih Tuhan untuk Messi.” Begitu bunyi kalimat pembuka di beberapa harian berbahasa Inggris memberitakan pertarungan di Bernabeu itu. Messi, seperti banyak orang menggambarkannya sebagai anak autis, memang tampil bak anak autis di Bernabeu.

Dua golnya, terutama golnya yang kedua, menunjukkan bahwa dia orang yang hanya peduli pada pertandingan. Messi tak peduli Mourinho, Messi tak peduli Pepe, Messi tak peduli pada apapun di luar lapangan, Messi hanya peduli pada sepak bola.

Gol keduanya ke gawang Madrid menggambarkan itu. Ia berlari, membuat gol, dan merayakannya. Harian Kompas menyebut “dua gol Messi menyelamatkan derajat el clasico”.


Guardiola-Messi dan Wembley

Satu hal yang ingin saya ketahui setelah kemenangan Barcelona di Wembley, di mana Mourinho berada saat pertandingan berlangsung?

Apakah dia menonton dari rumahnya bersama istri dan anaknya? Atau ia menonton dengan beberapa pemain Madrid lalu mendiskusikannya? Atau ia berlibur ke suatu tempat yang sunyi tanpa gangguan televisi dengan mematikan alat komunikasi apapun?

Saya jelas tidak tahu. Tapi ketiga kemungkinan itu bisa saja terjadi. Tetapi, apakah dia masih bertahan dengan segala tuduhannya terhadap Barcelona? Termasuk tuduhan bahwa Busquets bertindak rasis karena diduga mengejek Marcelo dengan kata mono (monyet)?

Andaikan dia melihat koran dan membaca berita tentang kemenangan Barcelona di Wembley, saya ragu dia masih bertahan dengan pendapatnya. Sir Alex Fergusonlah yang membungkam mulutnya. Mourinho pasti sulit membantah lawan, sahabat, sekaligus pelatih yang paling dikaguminya itu.

“Barca benar-benar menyihir kita dengan operan-operan mereka dan kami tidak mampu mengendalikan seorang Messi,” kata Ferguson.

Ferguson menganggap Barcelona adalah lawan terberat yang dihadapinya selama 26 tahun melatih United. Itu berarti Ferguson juga menganggap Barcelona yang dihadapinya di Wembley lebih hebat ketimbang Chelsea era Mourinho.

Pengakuan Ferguson, kemenangan mutlak Barcelona, dan kegemilangan Lionel Messi dua pekan lalu, seharusnya membuat Mourinho mau mengakui perubahan angin. Setiap generasi berganti, setiap bintang lahir dan tenggelam. Masa ini adalah milik Guardiola dan Messi. Keduanya sedang berada di Barcelona. Dan keduanya sedang menjadi yang terbaik.

Bukankah Mourinho juga pernah merasa menjadi yang terbaik sampai-sampai ia menyebut dirinya “The Special One?” Kelak, Guardiola atau Messi juga akan berhadapan dengan bintang-bintang baru yang akan lahir. Sebagai Barcelonistas, saya berharap Guardiola dan Messi tak meniru Mourinho yang tak siap menerima kedatangan jagoan baru yang lebih muda!

selesai...

Catatan Seorang Fans (2)

El Clasico

Mourinho kembali menjadi diri yang diinginkannya. Gelar Liga Champions, scudetto, dan Coppa Italia, yang diberikannya untuk Inter Milan sudah cukup untuk membuat dirinya menjadi orang yang paling diperhatikan.

Sebagai seorang penantang sejati, tantangan harus dicari dan ditaklukkan. Sebagaimana dulu ia meninggalkan Chelsea, Mourinho kembali meninggalkan Inter Milan. Musim 2010-2011, ia lebih memilih Real Madrid ketimbang terus menambah gelar bersama Inter. Baginya, tantangan lebih menarik ketimbang mempertahankan kebersamaan yang emosional.

Mourinho dan Madrid ibarat sepasang kekasih yang bertemu karena keduanya saling menginginkan. Florentino Perez membutuhkan figur yang mampu menumbangkan dominasi Barcelona selama dua musim. Sementara Mourinho membutuhkan klub yang bisa memuaskan hasrat petualangannya untuk menaklukkan Barcelona di Spanyol.

Mourinho semakin pas di los Merengues karena ia bertemu dengan pemain yang juga berambisi untuk kembali mencari diri, yakni Cristiano Ronaldo. Bersama Ronaldo yang kerap dikait-kaitkan dengan Messi, Mourinho mengambil posisi sebagai orang yang menantang Guardiola.

Sebagai Barcelonistas, kedatangan Mourinho ke La Liga bisa berarti dua hal. Pertama, Mourinho adalah kekhawatiran karena bisa memperpendek usia kejayaan Guardiola. Kedua, inilah kesempatan Guardiola untuk membungkam mulut masam Mourinho.

Hasil seri tanpa gol melawan Real Mallorca di debut liga membuat Mourinho gugup. Ia melempar botol minuman ke atap bench saat Iker Casillas nyaris melakukan blunder. Mourinho menginjakkan kaki di Spanyol untuk pertama kali sebagai pelatih dengan perasaan yang gugup. Kegugupan itu kian bertambah setelah sebelumnya Barcelona menang 3-0 versus Racing Santander di jornada pertama.

Namun Madrid segera mengambil alih klasemen setelah Barcelona secara mengejutkan dikalahkan pendatang baru Hercules 0-2 di Nou Camp. Sejak itu, Madrid kokoh di atas Barcelona dengan selisih dua poin. Skuad Mourinho semakin menggila. Seperti tak mau kalah dengan Barcelona, Madrid menang terus-menerus dengan skor seperti besar.

Seorang teman fans Madrid pernah berkata pada saya, “Di Spanyol, Barcelona dan Madrid seperti memiliki liga di dunianya sendiri. Dan pesertanya cuma Barcelona dan Madrid.”

Memang itulah kenyataan yang terjadi. Hampir satu dekade terakhir di La Liga, klub di luar Barcelona dan Madrid hanyalah penggembira. Barcelona dan Madrid boleh saja terpaut satu atau dua poin di klasemen, tetapi jarak antara peringkat kedua dan ketiga bisa mencapai 10 poin.

Kenyataan itu membuat pertemuan antara Barcelona dan Madrid di liga menjadi penting. Siapa yang memenangi el clasico, kemungkinan besar menjuarai La Liga.

Di musim pertamanya sebagai pengendali taktik Madrid, Mourinho datang ke Nou Camp pada sore yang cerah. El clasico pertama Mourinho itu diundur sehari. Awalnya, pertandingan digelar Minggu sore 28 November 2010. Namun, di saat yang bersamaan, pemilihan kepala daerah berlangsung di Catalonia. Khawatir pemilihan akan sepi karena masyarakat lebih antusias menyaksikan el clasico, pertandingan diundur menjadi Senin sore.

Pertandingan itu kelak menjadi salah satu pertandingan yang akan dikenang dalam sejarah kedua klub. Terutama di benak Guardiola dan Mourinho. Itulah peristiwa di mana keduanya bertemu lagi sejak semifinal Liga Champions beberapa bulan lalu.

Tak perlu menceritakan jalannya pertandingan. Dunia mengetahui, Barcelona menang segala-galanya atas Madrid. Skor 5 – 0 untuk Barcelona. Publik Nou Camp bersorak atas dua gol David Villa, satu dari Pedro, satu dari legenda hidup Xavi Hernandez, dan terakhir dari pemain muda keluaran akademi La Masia, Jeffren Suarez.

Messi sendiri tak mencetak gol saat itu. Itu melanjutkan mitos bahwa Messi tak mampu mencetak gol di gawang tim yang ditukangi Mourinho. Meski demikian, tanpa Messi, dua gol Villa takkan menjadi. Messi tetap berdiri di tempatnya sebagai pemain terbaik.

Laga itu terlalu panas. Di menit-menit penghujung, Sergio Ramos dikenakan kartu merah usai mengganjal keras Messi. Tak terima dengan perlakuan Ramos, kapten tim Carlos Puyol berlari menghampiri Ramos. Sebelum langkah Puyol berhenti, Ramos mendorong wajah Puyol. Adegan itu menjadi salah satu foto utama yang menghiasi media massa keesokan harinya.

Los Cules juga sempat meradang setelah Cristiano Ronaldo mendorong Guardiola di pinggir lapangan. Ronaldo berjalan ke garis lapangan yang berbatasan dengan bench Barcelona. Di pinggir, Guardiola berdiri sambil memegang bola. Ronaldo memerlukan bola itu karena wasit memberikan lemparan ke dalam untuk Madrid. Saat Ronaldo mendekat, Guardiola membuang bola ke dalam lapangan. Ronaldo emosi dan mendorong dada Guardiola.

Menyaksikan kejadian itu, Andres Iniesta berlari menghampiri Ronaldo. Wasit sibuk karena harus menengahi. Saya berusaha melihat kejadian itu secara obyektif. Guardiola seharusnya tak perlu membuang bola ke lapangan. Di sisi lain, Ronaldo juga tak seharusnya mendorong Guardiola.

Mourinho sendiri tak banyak bicara. Usai gol pertama dari Xavi, ia seperti biasa mengeluarkan kertas sembari mencoret-coret. Biasanya, coretan itu membawa perubahan di lapangan. Mourinho memang jago mengubah kekalahan menjadi kemenangan.

Namun, kali itu coret-coretan tak banyak membantu. Di babak pertama saja Madrid sudah ketinggalan dua gol. Mourinho hanya duduk diam di bench ditemani asistennya Aitor Karanka. “Satu tim bermain bagus, satu tim lagi bermain jelek. Tidak sulit melupakan kekalahan ini,” kata Mourinho usai pertandingan.

Tak ada pemain Madrid yang menemani Mourinho di ruang konferensi pers. Media Spanyol yang berbasis di Catalonia mengolok-olok pemain Madrid sebagai “pengecut-pengecut putih.”

Xavi, sebagai salah satu ikon Barcelona, meminta media tidak memanas-manasi Madrid. Himbauan yang masuk akal karena di musim panas yang lalu Xavi bersama Ramos bahu-membahu merebut Piala Dunia untuk pertama kali bagi Spanyol di Afrika Selatan. Dua tahun sebelumnya, keduanya juga berada di satu tim saat merebut Piala Eropa 2008 di Jerman.

Pernyataan Xavi menunjukkan bahwa el clasico tak bisa dipandang sebagai pertandingan dua klub bersejarah belaka. Ketegangan di antara kedua tim bisa membawa kerusakan dalam tubuh tim nasional Spanyol. Maklum saja, memori konflik sejarah antara Catalonia (Barcelona) dan Spanyol (Madrid) era diktator Franco selalu saja mewarnai perseteruan dua tim. Jika tak cepat-cepat diredakan, kesuksesan di tim nasional akan berubah menjadi keributan di ruang ganti.

Bagi Barcelonistas, kemenangan 5-0 atas Madrid sudah lebih dari pembalasan dendam terhadap Mourinho. Masih di tahun yang sama, saya mengingat Mourinho berlari di rumput Nou Camp sambil mengacungkan jari telunjuknya ke tribun. Di musim dingin, saya melihat Mourinho tak sedikit pun beranjak dari bench.

Itulah kekalahan terburuk dan terbesar dalam sejarah kepelatihan Mourinho. Media di Eropa menyebut kekalahan itu sebagai penghinaan Barcelona terhadap Madrid. Saya lebih senang mengatakan Guardiola mempermalukan Mourinho. Guardiola menyambut tantangan Mourinho dengan cara yang melebihi harapan fans. Guardiola ternyata juga seorang petarung. Barcelona semakin mencintai Guardiola.

Saat itu, bagi seorang Mourinho, kekalahan itu mungkin yang paling menyakitkan. Ia tentu saja ingat, Guardiola adalah anak bawang yang mencuri perhatian karena menaklukkan United di final Liga Champions 2009. Ia juga tentu saja ingat, anak bawang itulah yang ia lukai dengan menikamkan belati secara diam-diam lalu merebut piala Liga Champions beberapa bulan lalu. Kini, anak bawang itu membalas dengan membuat Mourinho berjalan dengan cara merangkak.

Sejak itu, Barcelona menutup perjalanan tak terkalahkan Madrid di La Liga. Barcelona juga mengambil alih klasemen dan tak memberi kesempatan kepada Madrid untuk menyalip hingga akhir musim.

Namun pertarungan belum berakhir. Takdir memang menginginkan Guardiola dan Mourinho menghabiskan musim ini dengan pertarungan panjang. Dengan sisa satu el clasico di liga, Barcelona dan Mourinho harus bertemu empat kali dalam 18 hari. Yaitu di pertandingan liga di Bernabeu, final Piala Raja di Mestalla-Valencia, dan dua kali di semifinal Liga Champions.

bersambung....

Catatan Seorang Fans (1)

Tulisan ini adalah komentar saya sebagai fans Barcelona terhadap musim 2010-2011 yang melelahkan. Saya yakin ini subjektif. Tapi saya berusaha membubuhkan argumen yang saya anggap masuk akal. Agar tak bosan, saya memuat tulisan ini menjadi tiga bagian. Selamat menikmati!

Usai Barcelona mengalahkan Real Madrid di semifinal leg pertama Liga Champions 2011, saya mendapat pesan pendek dari seorang kawan fans Manchester United yang tinggal di kepulauan Kei, Maluku.

“Gue berharap Barca ketemu MU di final. Biar MU bisa balas kekalahan di Roma,” kata kawan karib saya sewaktu di kampus dulu itu.

Saya menjawab, “kalah di final nggak apa-apa. Asal jangan kalah dari Real Madrid.”

Akhirnya, fakta di Roma pada 2009 terulang lagi. Bahkan lebih gemilang. United takluk di stadion kebanggaan Inggris, Wembley. Gawang Edwin Van der Sar bergetar tiga kali melalui kaki Pedro Rodriguez, Lionel Messi, dan David Villa. Sedangkan United membalas sekali melalui umpan Ryan Giggs yang diselesaikan Wayne Rooney.

Memang, kemenangan itu terasa sangat indah karena di stadion itu pula Barcelona di bawah asuhan Johan Crujff menjadi kampiun Eropa untuk kali pertama pada 1992. Joseph Pep Guardiola, yang berada di lapangan Wembley pada 1992, mengulangnya dengan menggantikan tempat Crujff sebagai pelatih pada 2011.

Gelar itu terasa istimewa juga karena United punya ambisi setelah berhasil melewati raksasa Liverpool dalam hal gelar Liga Inggris. United meraih gelar ke 19, Liverpool tertinggal di angka 18. Jelas, target selanjutnya adalah menjadi juara Eropa untuk yang ke empat di stadion utama Wembley. Barcelona menghapus mimpi sang raja baru di istananya sendiri.

Tapi, bagi saya, seorang anak Indonesia yang terlalu mencintai Barcelona, saya masih mengukur keberhasilan di Wembley itu lewat duel dengan Real Madrid sepanjang musim.

Jose Mourinho boleh jadi menjadi pelatih yang paling tertekan di musim terakhir. Dibeli dari Inter Milan dengan status juara Liga Champions 2010, ia harus memenuhi target Florentino Perez untuk menyeret Real Madrid dari periode tanpa gelar dalam beberapa tahun terakhir.

Perez bukan presiden klub yang pelit. Ia mendatangkan pemain-pemain terbaik dari seluruh penjuru dunia untuk membuat Madrid sebagai klub yang paling gemerlap. Dan Mourinho adalah orang terpilih untuk membawa galaksi Madrid menjelajah semesta sepak bola sebagai bintang yang paling terang.

Tapi kenyataan itu bukan tanpa resiko. Uang yang digelontorkan itu juga berarti resiko pemecatan jika target tak tercapai. Dan di dunia ini, seperti kata Crujff, masalah Mourinho cuma satu: Barcelona.

Di tempat lain, publik lupa bahwa tekanan yang sama juga berada di pundak Pep Guardiola. Ia seperti orang yang terlalu cepat besar dan menerima tekanan untuk memperbesar kebesaran itu bersama klub. Dan bisa dibilang, satu-satunya masalah bagi Guardiola adalah Mourinho.


Guardiola vs Mourinho

Pertarungan antara Guardiola dan Mourinho mungkin merupakan salah satu pertarungan paling panas antar dua pelatih papan atas. Bagi saya, pertarungan itu adalah sesuatu yang alami dalam dunia kompetisi seperti sepak bola.

Mourinho adalah figur fenomenal. Sebagaimana ia menjuluki dirinya sebagai The Special One, harus diakui ia memang khas. Kala julukan itu ia sebarkan kepada dunia, dunia seakan mengakuinya tanpa debat. Media massa pun menyematkan julukan bikinan Mourinho itu sebagai sesuatu yang lumrah.

Saya termasuk orang yang membela Mourinho ketika ramai-ramai orang mengecam mulut masamnya waktu menangani Chelsea. Ia datang dari klub papan atas liga kelas dua di Eropa, FC Porto, dengan bekal juara Liga Champions 2004 usai menaklukkan finalis dari Prancis AS Monaco. Perlu diingat, sebelum melaju ke final, Porto menyingkirkan raksasa Inggris United.

Sebagai pendatang baru di Inggris, ia berhasil merubah konstelasi Premier League. Klub medioker semacam Chelsea diangkatnya tinggi-tinggi dan membuat Sir Alex Ferguson harus membiarkan Chelsea menjadi raja di Inggris selama dua musim.

Kiprah dua musim pertamanya di Chelsea itu membuat dia patut dibela. Saya melihatnya sebagai orang muda yang membuat perubahan. Segala cemoohan yang ditujukan pada Mourinho hanyalah reaksi lazim yang muncul dari pihak yang tak ingin situasi aman kompetisi terusik.

Satu-satunya kekurangan Mourinho di masa suksesnya bersama Chelsea adalah ia gagal membawa klub London itu sebagai raja Eropa sebagaimana Porto. Setelah diisukan bersitegang dengan pemilik klub Roman Abramovich, di penghujung musim ketiga ia meninggalkan John Terry cs ibarat induk ayam yang meninggalkan anak-anaknya.

Selepas kepergian Mourinho, kerajaan Inggris kembali ke tangan United. Puncaknya, Sir Alex merebut gelar Eropa keduanya dari tangan Chelsea dengan cara yang jelas menyakitkan John Terry. Dalam adu pinalti di final Liga Champions di Moskow pada 2008, Terry terpeleset sesaat sebelum mengayunkan kaki. Terry terjatuh dan bola melenceng menjauhi gawang.

Chelsea kalah dalam keadaan compang-camping. Sebagai anak ayam yang kehilangan induk, klub itu masih dibayang-bayangi kenangan manis bersama Mourinho. Dalam semusim itu, mereka harus berhadapan dengan nama baru dari Israel, Avram Grant.

Grant tak terlalu buruk. Sebab ia masih bisa membawa klub yang sedang sedih itu ke partai paling bergengsi di Eropa. Gengsinya menjadi berlipat setelah lawannya adalah United yang selama dua musim bersama Mourinho mereka singkirkan dari kursi raja Inggris.

Sayang, seandainya mereka bersama Mourinho kala itu, mungkin keadaan bisa jadi lain. Sir Alex belum tentu merasakan gelar kedua di Eropa. Dan gelar pemain terbaik dunia tahun itu, bisa jadi tidak jatuh ke Cristiano Ronaldo, tetapi Didier Drogba atau Frank Lampard.

Grant tak bertahan. Abrahamovich mendatangkan Luiz Felipe Scolari yang berhasil membawa Brazil memenangi Piala Dunia untuk yang kelima pada 2002. Di tengah jalan, Scolari dipecat dan digantikan Guus Hiddink. Hiddink, yang kala itu juga mengurus tim nasional Rusia, hanya mampu membawa Chelsea ke semifinal Champions.

Titik cerah baru muncul setelah Ancelotti didatangkan dari AC Milan menggantikan Guus Hiddink di awal musim 2009-2010. Ancelotti membawa harapan baru setelah mengangkat Chelsea merenggut gelar liga dari United. Inilah gelar pertama Chelsea di liga setelah ditinggalkan Mourinho. Ancelotti juga melengkapinya dengan gelar Piala FA.

Lagi-lagi, Mourinho tak tergantikan. Ancelotti dipecat di ujung musim 2010-2011 karena Chelsea kembali terpuruk. Krisis pelatih di Chelsea menunjukkan kepergian Mourinho masih meninggalkan jejak di tubuh The Blues. Silih berganti pelatih kawakan keluar masuk ke Stamford Bridge. Tetapi, tetap saja tak ada yang bisa menggantikan Mourinho.

Atas alasan itu, saya menganggap Mourinho adalah salah satu pembaharu dalam dunia sepakbola, terutama Inggris. Ia pantas menyebut dirinya sebagai “The Special One.

Satu-satunya kekurangan Mourinho yang tidak saya sukai adalah sikapnya yang tak siap menerima perubahan. Sebagai seorang yang membawa perubahan, ia cacat karena tak mau menerima perubahan sebagai sebuah ketetapan.

Perubahan yang tak pernah mau diterima Mourinho adalah kedatangan anak bawang berusia 37 tahun bernama Joseph Guardiola. Bukan saja kedatangan ke sebuah klub bernama Barcelona, tetapi juga kedatangan Guardiola ke dunia sepakbola.

Antara Mourinho dan Guardiola, keduanya punya peran penting yang sama, yaitu membawa perubahan dalam usia yang muda. Mourinho membawa Porto menjadi juara Eropa di usia 42 tahun (bandingkan dengan Sir Alex Ferguson yang baru mengangkat trophi Champions di usia 58 tahun) dan Guardiola lebih muda lagi, 38 tahun.

Dari segi permainan, Mourinho memperkenalkan gaya bermain yang disebut sebagai taktik pragmatis. Yakni taktik yang mengutamakan kemenangan di atas segala-galanya. Di sisi lain, sebagai orang baru, Guardiola datang dengan antithesis Mourinho: sepak bola tak sekedar soal menang kalah, tetapi meraih kemenangan dengan cara yang elegan dan mengutamakan keindahan.

Antara Mourinho dan Guardiola, keduanya memulai di musim 2008-2009. Selepas masa menganggur setahun usai meninggalkan Chelsea, Mourinho direkrut Massimo Moratti untuk menggantikan Roberto Mancini. Sedangkan Guardiola, ditunjuk sebagai penerus Frank Rijkaard.

Inter Milan dan Barcelona adalah dua klub besar. Yang berbeda, saat Mourinho datang ke Giuseppe Meazza, klub itu adalah juara bertahan di liga Italia selama tiga musim berturut-turut di bawah Mancini. Mourinho datang dengan tugas untuk menggenapkan era gemilang itu dengan membawa Inter menjadi juara Eropa.

Di mana posisi Guardiola saat itu? Guardiola hanyalah pelatih Barcelona junior atau yang lebih dikenal dengan Barcelona B. Sebagai pelatih yang belum pernah melatih klub profesional di liga teratas, jelas tugas Guardiola lebih berat. Sebab, saat ia datang, Barcelona mengalami masa suram selama dua musim tanpa gelar liga domestik dan Eropa.

Beban itu menjadi berat sebab pelatih sebelumnya, Frank Rijkaard, adalah pelatih yang kembali menempatkan Barcelona sebagai klub berwibawa di tanah Eropa. Bersama jagoan Nou Camp kala itu, Ronaldinho, Rijkaard memberi Barcelona tropi kedua Eropa pada 2006 setelah Crujff pada 1992.

Bukan cuma itu, di bawah Rijkaard, Barcelona juga memaksa dunia menahbiskan Ronaldinho sebagai pemain terbaik dunia dua kali. Mengulang kejayaan itulah yang harus dilakukan anak bawang bernama Guardiola.

Mourinho memang memiliki tugas berat sebab dia harus memberikan Piala Liga Champions kepada Inter yang terakhir memenanginya pada 1965. Tetapi, saat Mourinho datang Inter adalah raja di Italia. Sedangkan Guardiola harus memulai debutnya untuk mengangkat klub juara yang terperangkap dalam keadaan terpuruk. Saat ia datang, Madrid dua kali berturut-turut menjuarai liga. Di sisi lain, bintang Nou Camp Ronaldinho terus-terusan kehilangan daya magisnya dan berniat hengkang.

Di musim 2008-2009 pula media mulai jarang menyematkan predikat “The Special One” terhadap Mourinho. Angin perubahan sedang bergerak ke Nou Camp dan Guardiola.

Tak ada yang menduga, memulai debut di liga dengan kekalahan 1-0 dari tim promosi Numancia, Guardiola menyempurnakan peninggalan Rijkaard dengan prestasi yang luar biasa. Mungkin ia satu-satunya yang bisa merebut enam gelar juara semusim dalam sejarah Eropa. Enam gelar itu adalah seluruh kompetisi yang diikuti Barcelona. Artinya, Guardiola membuat Barcelona tak memberikan satu piala pun pada pesaingnya.

Dunia mulai melihat Guardiola ketika Barcelona mempermalukan Real Madrid di Santiago Bernabeu dengan skor mencolok 2-6. Beberapa bulan sebelumnya, Madrid baru saja memecat Bernd Schuster dari kursi pelatih. Pemecatan itu diduga sebab Madrid takluk 2-0 di Nou Camp dalam el clasico pertama.

Presiden Madrid kala itu, Ramon Calderon, menggeser Schuster dan menunjuk mantan pelatih Sevilla yang baru saja berhenti dari Tottenham Hotspur, Juande Ramos. Namun di el clasico kedua di Bernabeu, Ramos tak mampu mempertahankan diri. Madrid kalah dengan cara buruk, 2-6.

Di musim itu, Barcelona terus-menerus menang dengan skor besar. Menang dengan selisih tiga gol di musim itu adalah hal yang lumrah bagi Barcelona. Dan selain menerangi Guardiola, lampu panggung juga mulai menyoroti bintang masa depan berusia 21 tahun bernama Lionel Messi.

Puncaknya adalah ketika Guardiola menantang pelatih tersukses di Inggris dan dihormati di seluruh dunia, Sir Alex Ferguson. Setelah menyingkirkan Chelsea di semifinal secara dramatis, Guardiola hadir ke final Liga Champions 2009 untuk menantang juara bertahan Manchester United.

Semua mata memang bergerak ke Barcelona waktu itu. Namun, keunggulan tetap berada di United. Betapa tidak? Mereka memiliki Alex Ferguson dan pemain terbaik dunia Cristiano Ronaldo. Di sisi lain, mereka adalah tim yang tahun lalu mengalahkan Chelsea di final.

Roma akhirnya menjadi milik Barcelona. Barcelona menang 2-0 berkat gol Samuel Eto’o dan Lionel Messi. Bukan hanya menang dari segi gol, malam itu Barcelona membuat juara bertahan tak berkutik. Super star Old Trafford yang juga pemain terbaik dunia, Cristiano Ronaldo, lebih banyak berlari ketimbang menggiring bola.

Sejak itu, Barcelona, Guardiola, dan Messi, adalah hal yang paling ingin dikalahkan oleh semua klub di dunia ini. Makanan empuk bagi si penantang bernama Jose Mourinho.

Di Inter, musim pertama Mourinho tak buruk meski tak terlalu istimewa. Ia dengan kebiasaannya menggetar-getarkan urat syarafnya untuk mengusik urat syaraf pesaingnya, masih bisa melanjutkan scudetto yang diwariskan Mancini.

Dari sekian banyak pelatih yang paling berminat menaklukkan kegemilangan Barcelona, saya hanya akan menyebut satu nama, yakni Mourinho. Dengan dirinya sendiri, Mourinho menapaki musim keduanya dengan lebih yakin, yaitu mengincar scudetto, Coppa Italia, dan tentu saja Liga Champions.

Di Liga Champions 2009-2010 pula rasa sakit John Terry cs semakin menjadi-jadi. Setelah meninggalkan Chelsea seperti membiarkan anak-anak ayam mencari makan sendiri, Mourinho datang ke Stamford Brigde sebagai lawan. Alih-alih menunjukkan rasa cinta terhadap klub yang pernah dibinanya dan membuat perubahan di Inggris, ia justru mengeluarkan kata-kata yang tak setia: “Saya tidak pernah kalah di Stamford Bridge.” Inter menang atas Ancelottian 0-1 di London.

Perang antara Mourinho dan Guardiola dimulai saat pertemuan di semifinal Liga Champions 2009-2010. Barcelona, sebagai juara bertahan dan memiliki pemain terbaik dunia, Messi, datang ke semifinal dengan lebih yakin dan sedikit “besar kepala.”

Guardiola melaju ke semifinal setelah Messi menyarangkan empat gol sendirian ke gawang Arsenal di perempat final yang dimainkan di Nou Camp. Di Emirates, kedua tim bermain imbang 2-2. Di fase grup, Guardiola mengalahkan Inter 2-0 di Nou Camp dan hanya seri tanpa gol di Giuseppe Meazza.

Tak ada yang menyangka, Mourinho bisa membuat Guardiola tersadar dari euforia kejayaannya. Di Giuseppe Meazza, sang juara bertahan lumpuh 3-1 lewat aksi “menyelinap” Diego Milito. Meski satu dari gol Milito berbau off-side dan pelanggaran terhadap Dani Alves tak berbuah pinalti, kekalahan itu tetap menampar kecenderungan yang bisa membawa Barcelona menjadi besar kepala.

Di leg kedua, di Nou Camp, fans Barcelona menyimpan dendam. Bukan kepada Inter, tetapi kepada sosok Jose Mourinho. Barcelona kalah agregat 3-2 karena hanya berhasil melesakkan satu gol melalui Gerrard Pique.

Sebagai orang yang terlalu mencintai Barca, kekalahan itu terlalu menyakitkan. Mourinho memang menggunakan pahamnya dengan cara yang terlalu totok: ia menempatkan 10 pemain sebagai pemain bertahan. Di kubu lawan, saya melihat jagoan yang darahnya tetaplah merah-biru, Samuel Eto’o, ikut berlari-lari menjadi pemain bertahan demi apa yang dikejar Mourinho.

Barcelona memang menang, tapi tak mendapat tempat di final yang digelar di Bernabeu. Usai wasit meniup peluit panjang, Mourinho berlari ke tengah-tengah Nou Camp dan mengacungkan jari tunjuknya ke tribun sebagai perayaan kesuksesannya. Kiper utama Azulgrana Victor Valdes yang masih tak terima akan kenyataan itu, berlari mendekati Mourinho dan menghalang-halangi The Special One berlari-lari menginjak rumput Nou Camp.

Publik terbelah. Yang membela Barcelona menyebut Inter Milan bermain seperti banci karena menumpuk 10 pemain di daerah permainan sendiri. Sedangkan fans Inter sekaligus penonton yang membenci Barcelona mengolok-olok Guardiola ketemu batunya. Keputusan Mourinho menerapkan strategi bertahan total dianggap sebagai buah kecerdasan ketimbang ketidakjantanan.

Bagi saya, itulah pertarungan puncak di Liga Champions waktu itu. Final Inter versus Bayern Muenchen yang menyingkirkan United di semifinal tidak lagi saya hitung. Saya menduga, siapapun yang berhasil menghentikan Barcelona, dialah juaranya. Dugaan saya tak meleset, Inter juara setelah menang 2-0.

Mourinho semakin yakin dengan dirinya. Angin yang tadinya bergerak ke Guardiola, kini berubah arah kembali ke dirinya sendiri. Di mata Mourinho, Guardiola masih tetap anak bawang yang mencoba-coba menggantikan dirinya sebagai yang paling fenomenal.

Saya, mungkin juga Barcelonistas di seluruh dunia, sakit hati saat itu. Bukan karena kalah, tetapi karena cara Mourinho menyingkirkan Barca. Beruntung Barcelona memiliki seseorang yang berjiwa besar seperti Guardiola. Hati saya melunak setelah mendengar komentar Guardiola usai pertandingan itu.

“Pemenang tetaplah pemenang. Bagaimanapun caranya meraih kemenangan,” kata Guardiola.

Di musim itu, Guardiola menyisakan gelar liga sebagai obat bagi saya.

bersambung....

ketika rose meniup peluit di segitiga bermuda

ketika rose meniup peluit di segitiga bermuda. pelukis muda adalah benang wol di layar viking. melalui caranya masing-masing rose terlahir sebagai tumbal

rose mendesakkan pertanyaan dalam suara peluitnya yang gagap, “apa maksudmu?”

bulan melarikan diri setelah membantu malaikat maut bunuh diri. sungguh malaikat malang: ia tak tahan, sepasang mata merahbara milik rose terusmenerus mengajukan protes

jakarta, april 10 2011

Petani

Hybrid, atau hibrida. Betapa rentannya kata itu. Baik dari segi keajegan makna, bahkan referensinya di luar bahasa.

Di kota kecil saya dulu, saya mendengar istilah “kelapa hibrida.” Setelah saya menyaksikan pohon serta meminum air-memakan daging kelapa hibrida, pikiran saya tersugesti bahwa kelapa jenis ini tak sekuat kelapa asli.

Maklumlah, kampung halaman saya itu termasuk negeri kelapa. Meski bukan pantai, kisah tua dari kesusasteraan klasik melayu mengajarkan kami: kelapa lebih dari sekedar tumbuhan belaka.

“Jika kau tersesat di rimba, maka carilah pohon tinggi, panjatlah. Jika sejauh mata memandang kau temukan lambai pohon kelapa, maka bergeraklah ke sana. Sebab, di sana pasti ada manusia, pasti ada masyarakat, meskipun hanya sepasang petani tua.”

Dan yang hybrid itu tak pernah mampu memberikan saya kesan sebagaimana pohon kelapa tradisional yang lebih saya kenal. Kelapa hibrida hanya mengejar sesuatu yang cepat, yang dipaksakan. Dia dihibridisasi agar masa tumbuh-panennya tak perlu seperti kelapa biasa yang bisa hidup seumur rata-rata manusia. Tak seperti kelapa asli, ia korban teknologi yang asing dari manusia.

Di Indramayu, seorang petani melakukan kritik makna atas hibrida. Warsiah namanya. Kakek berusia 60 tahun-an itu menuding bibit padi hibrida dari pemerintah justru membuat masyarakat tak mandiri. Bibit padi hibrida bikinan pemerintah tak ajeg, sehingga petani harus membeli bibit hibrida baru setelah bibit hibrida lama tak mau tumbuh lagi.

Warsiah lantas mengadakan percobaannya sendiri. Dan pelan-pelan ia berhasil menemukan bibit padi yang lebih tahan dengan perubahan iklim di daerahnya. Di titik ini, Warsiah sedang melakukan perlawanannya sendiri terhadap isu besar perubahan iklim. Tidak saja secara alamiah, tetapi juga secara politik.

Jika ada mereka yang meyakini negara tak perlu karena masyarakat seharusnya independen dan diperlakukan dewasa, maka Warsiah telah melakukannya. Kemampuannya mengawinkan bibit dan memprotes manipulasi pemerintah atas makna hibrida adalah bentuk ketidakpeduliannya terhadap negara.

Terlebih dahulu, boleh jadi Warsiahlah yang tak dipedulikan negara. Departemen Pertanian dan sarjana-sarjana pertanianlah yang seharusnya bekerja melakukan penemuan untuk mengatasi kendala petani. Negara, dalam hal ini, mengabaikan masyarakat. Maka, masyarakat (baca Warsiah) dengan caranya sendiri menunjukkan independensinya. Ya, Warsiah yang hanya lulus sekolah dasar itu bisa melakukan pekerjaan ilmuwan.

Jika ia membuka selubung hibrida dan penemuannya adalah pemberontakan antinegara, apakah ia benar-benar menyadarinya? Saya mencoba bertanya secara mendadak pada Warsiah: apakah Anda ikut pemilihan umum?

“O iya dong. Saya kan warga negara,” jawab Warsiah yakin.

Di sinilah sebuah paham menunjukkan wajahnya yang plural. Warsiah melakukan sikap antinegaranya dalam praksis hidupnya sehari-hari. Andaikan ia menyusun buku percobaan bibitnya secara sosiologis, niscaya ada bau antinegara. Warsiah anarki dalam praktek!

Tapi ia tak sadar, bahwa sikap anarkinya itu bisa menjadi kekuatan yang membahayakan politik kekuasaan. Andaikan sikap independensi Warsiah terhadap Departemen Pertanian juga ia sadari merupakan independensi terhadap pemerintah, dan negara, maka Warsiah mungkin saja menolak pemilihan umum. Sebab, lewat pemilihan umumlah pemerintah dipilih. Dan lewat pemerintah pula Departemen Pertanian diperintah.

Ternyata, demokrasi itu tak seluwes yang dimimpikan Amerika Serikat dan barat kepada kita. Dalam keluguannya, Warsiah memainkan peran untuk membelokkan jalan demokrasi itu. Warsiah menyeret demokrasi dan (mungkin secara tak sadar) menunjukkan pada birokrasi serta dunia akademi, betapa wahyu filosof mahsyur asal Prancis itu ada benarnya: manusia ditakdirkan untuk merdeka secara pribadi!