Monday, February 25, 2008

Ular Telepon Genggam

"Kau lebih mencintai ular daripada aku!" demikian ia menghilang ke dalam sebuah lorong yang muncul ketika mataku terbuka dengan sipit. Mataku yang sedang menangkap cahaya redup, sebentar gelap sebentar terang, hingga ia, perempuan yang kucintai terlihat kabur. Tapi, dari suaranya, aku yakin, ia adalah perempuanku yang ranum.

Bukan, bukan waktu yang pesat untuk membawanya ke dalam ruang jantungku. Bukan hitungan yang singkat untuk membiarkan bibirku yang kedinginan menyebut ia sebagai "perempuanku." Terlebih lagi, untuk mengaku kepada diri sendiri saja bahwa aku sungguh-sungguh mencintainya, perlu kujelajahi dulu semesta yang luas tak terbantahkan ini.

Aku pernah sampai di negeri awan-awan. Duduk mangu menyempurnakan hening, sepi, dan sepi. Membiarkan irama jantung mengiringi setiap kata yang mengalun sebagai setiap puisi kepada perempuanku. Aku pernah memejamkan mata di palung samudera yang biru hampir hitam akibat kedalamannya yang sungguh. Di situ, aku berlama-lama menumpang duduk, mendentingkan nada-nada blues, sebagai upaya untuk mengakui diri bahwa sungguhlah aku menyebutnya sebagai perempuanku.

Bertahun, ya bertahun penjelajahan itu kulalui. Tanpa pernah sedikit pun kukatakan lelah, bahkan kepada kalbuku sendiri.

***

Aku memang suka main ular. Bukan ular sesungguhnya. Tapi, ular, ya ular dalam telepon genggam ini. Semenjak aku punya telepon genggam, hari-hariku dapat dipastikan akan selalu bersentuhan dengannya. Ular ini, akan selalu menurut terhadapku. Ke sana, kataku, ia melesat dengan segera ke arah yang kutunjuk. Kembali, seruku, ia datang dengan bodoh dan sukarela.

Bermain dengan ular ini membuat waktu kosongku yang suntuk akan terisi. Diam sedikit, tanpa diperintah, aku langsung merogoh kantung celanaku dan meraih telepon genggamku. Kemudian lampunya menyala. Langsung kubuka bilik di mana ular menyemayamkan diri. Entah sedang tidur, entah sedang masturbasi, atau menari. Aku mampu memaksanya untuk berlari ke mana arah yang kutunjuk.

Sesungguhnya ular adalah pengiringku. Sementara pikiranku berkelebat mengenai segala sesuatu, ularlah yang mengawaniku, menghilangkan sunyi pikirku. Ia berfungsi sebagai motor penggerak benakku untuk memikirkan segala macam yang masuk ke kepalaku.

Demikian pula tentang perempuanku. Kuakui, sebagian besar waktu berpikirku kuhabiskan untuk merenungi perempuanku. Setiap kesunyianku, adalah waktu berpikirku, setiap kesunyianku adalah waktu memikirkan perempuanku. Tapi, semenjak aku memiliki telepon genggam, waktu berpikirku tentang perempuanku selalu mengikutsertakan ular.

Itulah aku. Aku tidak pernah sendiri, aku selalu ditemani oleh seekor ular yang meliuk kaku dan hanya memangsa saja yang ia kerjakan. Setiap pikiranku mengenai perempuanku mulai membabi buta, ular selalu berada di sampingku. Ia adalah kawan sejatiku.

Hingga pada suatu senja yang tiba dari perjalanan panjangnya, aku duduk di bibir pintu kamar menghadap ke langit. Kantung celanaku kukusai. Tapi di mana telepon genggamku? Aku kelimpungan. Di mana ular? Ini waktunya untuk memikirkan perempuanku. Aku tak mampu berpikir tanpa telepon genggam, tanpa ular.

Tiba-tiba ada suara yang berdering. Ya, itu suara telepon genggam, tapi bukan suara dering telepon genggam yang sudah kuatur. Kalau demikian, suara dering telepon genggam siapakah itu? Siapa? Seingatku aku tak pernah mengganti model suara dering telepon genggamku.

Suara dering itu terus meresahi pedalaman kupingku. Masuk menusuk-nusuk sedikit perih yang lama-lama menjadi pedih. Lebih lanjut menyerang pikiranku, berjalan lagi menuju hatiku. Suara dering itu memaksaku untuk memadamkannya. Ada apa ini?

Dalam kesakitan itu, aku begitu liar mengusai-usai setiap jengkal ruang kamarku mencari-cari sumber suara dering yang memekakkan jiwa. Ah! Di dalam laci di samping ranjang sepertinya sarang suara dering laknat itu. Kusergap dan kutarik pegangan laci dengan beringas. Benar! Telepon genggamku, tapi mengapa suara deringnya berbeda dengan yang biasa kugunakan?

Peduli setan! Sekarang harus kubinasakan suara dering ini. Tapi, ada yang meneleponku dengan suara dering ini. Nomor pribadi. Tanpa basa-basi kutekan tombol jawab. Tiba-tiba telepon genggamku mati, ah baterainya soak! Kunyalakan lagi. Ada sebuah pesan pendek yang masuk. Kutekan lagi tombol baca, ternyata bukan dari siapa-siapa, dari ular! Ular menulis, "akkiradirkutakbihartidarpadwakpikirtangpempuantu!"

Tidak jelas! Aku sungguh tak mengerti apa yang ditulis si ular. Tapi bagaimana bisa ular menelepon? Bukan, ini bukan ular sungguhan, tapi ini ular di telepon genggam. Sudahlah, hari sudah maghrib, barangkali ini pikiran gila sewaktu senja. Aku ingat ibuku pernah berucap kepadaku supaya jangan bermenung sendirian di waktu maghrib, sebab maghrib adalah waktu di mana iblis berkeliaran. Ah…mana yang harus kupercaya? Yang pasti ular sedang tidak bermain-main denganku.

Malam itu, aku jatuh lelap waktu bias-bias fajar mulai tampak. Memang ular sudah tidak menyala-nyala lagi. Tapi aku masih memikirkannya. Esok malam, aku hendak menunaikan janji kepada perempuanku. Untuk pertamakalinya ia mengajakku bersua setelah sekian waktu undanganku selalu dihanguskannya. Pukul tujuh malam, di sebuah kafe.

***

Malam ini hendak kuombakkan setiap kata yang tumbuh subur di kepala dan jiwaku. Malam ini pula hendak kutamatkan kegelisahanku mengenai perempuanku. Akan kuburai-burai isi hatiku, seperti memindahkan daging hatiku ke atas meja kami dan membiarkan hatiku bercerita dengan sendirinya tentang apa yang kurasakan terhadap perempuanku.

Tak terlupakan pula, dan yang terutama, beberapa puisi cinta yang telah kutulis dalam bertahun aku mencintainya. Puisi cinta yang lahir di benakku saat aku bersama ular. Opps! Ular! Di manakah ia? Telepon genggamku? Langsung kukacau kantung celanaku, tak ada! Kugali-gali sampai dalam tasku yang dihuni beberapa buku. Tak ada! Ah aku meninggalkannya di dalam laci. Tak apalah, yang penting aku akan bertatap mata dengan perempuanku malam ini.

Di sudut, seorang perempuan dipayungi lampu merah temaram. Sendiri. Ternyata perempuanku, perempuan dengan kerudung hitam, mengenakan kaos lengan panjang berwarna biru kelam, aku terpukau. Ia telah tiba lebih dulu.

"Sudah lama?" Tanyaku kaku.

"Lumayan," jawabnya singkat dengan menyertakan senyumnya yang meruntuhkan keberanianku.

Tanpa berbasa-basi ia menyerbu kedua tanganku dengan genggaman tangannya, "aku rindukan kau," ucapnya dengan lembut.

Aku bahkan belum bersiaga. Perlahan-lahan kuangkat kedua belah mataku, memberanikan diri menentang matanya. Aku sungguh-sunguh tak tahan dengan matanya, benar-benar hendak menyemburkan cinta. Selanjutnya kami berbincang-bincang layaknya sepasang kekasih. Kemudian tibalah saatnya aku hendak memberikan beberapa patah puisi.

"Selama aku pikirkan kau, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menulis puisi-puisi tentangmu." Kukeluarkan carik-carik kertas yang terbubuh puisi-puisi tentang perempuanku itu. Kubaca dalam hati beberapa waktu, lalu kuletakkan di atas meja sebagai tanda kuserahkan kepadanya.

Beberapa saat sebelum tangan perempuanku meraih puisi-puisi itu, tiba-tiba susunan huruf-huruf itu berubah menjadi ular! Ular dalam telepon genggam. Ia kemudian melata-lata mengerikan di atas kertas, berjalan-jalan di atas meja, menggelungi gelas-gelas. Dan yang menyeramkan ia menjelajahi wajah perempuanku. Masuk ke lubang hidung, keluar lewat mata. Melingkari kepala perempuanku sampai menutupi kedua mata teduh perempuanku.

Aku bergidik. Ular masih menari-nari lambat di kepala perempuanku ketika gadis berkerudung yang kucintai itu hendak meraih kertas-kertas puisiku di atas meja. Seketika kurebut kembali kertas-kertas itu. Perempuanku tersenyum-senyum memperhatikanku tanpa tahu apa yang terjadi denganku. Ular kemudian kembali ke dalam kertas ketika kertas telah tiba di tanganku. Kertas-kertas kulipat dengan paksa dan kumasukkan kembali ke dalam tas.

"Nanti, nanti saja Sayangku. Puisi-puisi itu belum sempurna," aku terbata-bata mencari kata agar ketakutanku tak diketahui oleh perempuanku.

Untungnya, dalam keheranannya perempuanku tersenyum memaklumi. "Dasar penyair! Aneh dan tak bisa ditebak." Kalimatnya diikuti derai tawanya yang anggun dan mengobati kecemasanku akan ular.

Aku pulang kembali ke kamarku, kepalaku memang agak berat. Kupaksakan tidur, namun pikiranku bergerak-gerak antara ular dan perempuanku. Aku bangkit dari ranjangku, menyeduh secangkir kopi hitam pekat, merenggut gitar yang berdiri di dekat rak buku, lalu menuju ke bibir pintu kamarku dan menghadap langit. Pelan-pelan kumainkan blues, bersenandung sendiri tanpa pernah tahu dari mana kuperoleh kumpulan nada-nada itu. Aku teringat perempuanku.

Dalam larutku akan nada-nada, aku dikejutkan kembali dengan suara dering telepon genggam seperti kemarin. Kecemasan dan ketakutan mulai menjalar ke segenap urat syarafku. Ular..? Benarkah ular? Mau apalagi ular?

Di laci samping ranjang. Ya, seingatku ia masih kubiarkan di sana. Ah, suaranya menyesakkan dada, aku tak tahan. Aku menyerbu gagang laci, dalam rasa takut dan kepedihan kuhela gagang laci. Kali ini, akan kubanting telepon genggamku, atau kulempar jauh-jauh lewat jendela biar jadi keping-keping sampah. Akan kubinasakan ular yang membuatku mabuk dengan rasa takut.

Waktu mataku memelototi ruang laci, yang kutemukan ular sedang meliuk-liuk pelan namun ganas. Sebesar pergelangan tangan. Kulitnya legam mengkilap seperti ular padang pasir yang tak pernah menyentuh pemukiman manusia. Telepon genggamku benar-benar telah berubah menjadi ular!

Keterkejutanku membawaku agak mundur sedikit dari laci. Tapi aku masih memperhatikan liuk-liuk ular. Lama-lama liukkannya semakin cepat dan semakin kejam. Tidak itu saja, ular perlahan-lahan menjadi besar sepaha kaki, sebesar kepala, sebesar pohon pisang, sebesar pohon kelapa. Liuknya tambah lihai dan dahsyat.

Tidak berhenti hingga di situ, ular membiakkan diri dengan cepat. Satu, tiga, tujuh, tujuh puluh, tiga ratus sembilan puluh enam, seribu. Ular-ular merayap-rayap di dinding, di ranjang, di buku-buku, di potret ayah ibuku yang telah lama mati, di poster Jimi Hendrix, di kaset-kaset, di atas radio tape, di kipas angin, di potret perempuanku yang carut marut.

Aku masih terpana dan tak mampu ke mana-mana. Seperti dikomandoi ular besar, ular-ular lain pelan-pelan segera melata-lata, berburu-buru, dan tumpang tindih bergerak ke arahku. Dari depan, belakang, samping, dan segenap penjuru, ular bergerak menujuku. Aku tak bisa lari.

Lihat itu, seekor ular telah menjalari kakiku. Aku mengenyahkannya dengan tanganku. Ular terlempar ke sudut ruang. Tapi ular-ular lain menyerbu tanpa basa-basi. Mereka masuk ke bagian dalam lewat ujung celanaku, menuju kemaluanku. Mereka juga masuk dari ubun-ubunku menjalari punggung. Ular-ular menguasai setiap wilayah tubuhku. Lubang hidungku, telingaku, mataku.

Dalam suasana seperti ini, mataku tak mampu membuka penuh, hanya sipit-sipit saja. Redup, sebentar gelap, sebentar terang, Hingga penglihatanku yang sipit dan kabur merasai ketibaan seseorang yang datang dari sebuah lorong. Ternyata ia adalah perempuanku, perempuanku yang mungil, telah tiba dengan kerudung hitam dan kaos berlengan panjang berwarna biru kelam.

"Ular telah lama bicara kepadaku," ujarnya dengan sinis. "Mereka tak sudi kau manfaatkan hanya sebagai pengisi waktu luangmu melalui telepon genggam. Padahal kau sesungguhnya telah bergantung kepadanya, setiap hari, bahkan setiap detik. Saat-saat terpenting dalam hidupmu yang kau akui adalah memikirkan aku, selalu dengan ularmu yang patuh. Ular menjadi cemburu kepadaku. Tak setitik jua kau pernah mengguratkan setidaknya sebaris puisi kepadanya, padahal ialah yang menemanimu menjelajahi dunia kata-kata. Dunia kata-kata tentang diriku. Aku juga mencemburui ular. Kau lebih sering menghabiskan waktu bersamanya daripada bersamaku, waktu berpikirmu tentang diriku pun kau habiskan dalam pelukan ular. Kami bertengkar hebat memperebutkan engkau. Kami bergumul, cakar-mencakari, gigit-gigitan. Akhirnya kami bersepakat untuk mengungkapkan kegelisahan kami tentang engkau dengan cara kami sendiri-sendiri. Untuk itulah aku datang." Ia hening beberapa saat.

"Kau lebih mencintai ular dari pada aku," demikian ia menghilang ke dalam sebuah lorong yang muncul ketika mataku terbuka dengan sipit.

Tubuhku hampir rebah, kepalaku pening. Saat tegak kedua helai kakiku sudah mulai rubuh, ular menghilang dan kembali ke dalam laci di samping ranjang. Aku seperti tersadar dari tidur panjang dalam kesendirian yang khusyuk. Tiba-tiba suara dering telepon genggam menyala, tapi itu bukan suara dering dari ular. Itu model suara dering yang kuatur. Dengan ketakutan yang belum sembuh, aku tetap memberanikan diri membuka laci. Ternyata memang benar telepon genggam sungguhan. Rupanya perempuanku meneleponku.

Kurenggut telepon genggam dari laci, kupegang erat-erat, ia masih berdering-dering meronta-ronta. Aku tak peduli. Kulempar sekuat tenaga, sejauh-jauhnya. "Mampus kau!"

Jakarta, Februari 27 2005

Ervin Kumbang