Thursday, January 1, 2009

Obama, atau Amerika?

Sebuah Tinjauan Budaya dan Politik Media Massa

Oleh: Ervin Kumbang

Kemenangannya atas Hillarry Rodham Clinton dalam konvensi calon presiden dari Partai Demokrat, seolah-olah sudah menyediakan kursi tertinggi bagi Barack Hussein Obama di Gedung Putih. Dugaan itu memang jitu, suara kemenangan Obama atas kandidat Presiden dari Partai Republik, John McCain, jauh lebih besar ketimbang saat Obama menaklukkan Hillary.

Jauh sebelum pemilihan 4 November itu diraih Obama, lelaki Afro-Amerika itu sebenarnya sudah lebih dahulu “dianggap” sebagai Presiden AS. Hiruk-pikuk kampanye dan penampilannya yang elegan sebagai kandidat pertama calon presiden dari kalangan minoritas negro AS, membuat masyarakat “mabuk” Obama.

Betapa tidak? Ketika perhatian masyarakat dunia tumpah ruah ke AS, secara tidak sadar sebenarnya ada hal penting yang nyaris dilupakan: George Walker Bush. Di saat Obama menjadi buah bibir, di manakah posisi Bush di benak publik? Ada fakta yang seolah-olah ingin cepat dihapus masyarakat, yaitu Presiden AS saat itu masih di tangan Bush. Secara hukum Bush memang masih Presiden, tetapi secara image, Presiden AS adalah Obama. Padahal, kala itu Obama masih kandidat, belum terpilih.

Sekali lagi, kita harus bertepuk tangan atas kehebatan media massa dalam kampanye pemilihan presiden AS. Media massa mampu mendahului kenyataan. Fenomena ini menunjukkan kemampuan media memanipulasi ruang dan waktu yang diperuntukkan bagi seseorang atau satu kelompok. Kemampuan media massa ini, menjadikan Obama di benak khalayak sudah menjadi Presiden sebelum Bush angkat koper dari Gedung Putih.

Demikianlah khasiat bius Obama yang diterjemahkan media massa mampu menghanyutkan masyarakat bahwa Bush telah mati, dan yang ada kini hanya Obama. Di sisi lain, mungkin ini bisa jadi hasil yang mesti didulang Bush atas kebijakan selama pemerintahannya yang membuat AS dipandang sinis oleh dunia. Namun, percepatan kematian Bush di mata masyarakat dunia sejak hadirnya Obama, niscaya digerakkan terutama oleh media massa .

Dalam sebuah perayaan politik, kemampuan media massa mendahului takdir menjadi salah satu alat untuk memainkan kelompok mana yang harus diangkat ke permukaan dan merebut kuasa. Boleh jadi karena kita bersimpati dengan Obama sebagai wakil dari kelompok yang lama tertindas, kemampuan media massa memanipulasi ruang dan waktu itu kita anggap sebagai sesuatu yang sejalan dengan kehendak batin kita.

Lagi pula, sekali pun kita menyatakan tidak sepakat dengan kelompok yang memainkan kepentingannya dengan menggunakan kemampuan manipulasi ruang dan waktu oleh media massa, tentu kita tidak gampang menentangnya. Sebab, sebagaimana yang kita ketahui dari Antonio Gramsci tentang hegemoni, bagaimana pun media massa memanipulasi kesadaran kita akan situasi seseorang melalui situasi bawah sadar - Karl Marx menyebutnya dengan kesadaran palsu.

Dalam konteks yang lebih luas, jika dicermati lagi kemampuan media massa menciptakan kenyataan simulatif sebenarnya tidak hanya menampilkan image kematian Bush dan Obama adalah Presiden AS sebelum waktu riilnya. Namun, media massa bahkan menciptakan “perbedaan dimensi yang tajam” antara Obama dan Amerika Serikat dalam pemilu itu.

Bagaimana perbedaan dimensi antara Obama dan Amerika Serikat dalam kaitannya sebagai produk media massa ?

Usai kemenangan Obama, salah satu editorial surat kabar terkemuka negeri ini pernah menulis seperti ini, “kali ini kita perlu belajar dari AS.” Pernyataan itu merupakan komentar terhadap pidato McCain yang mengakui kekalahannya atas Obama. Sikap McCain ini dianggap sebagai tindakan yang berjiwa besar dan patut dicontoh oleh politisi lokal yang miskin kepercayaan dari publik.

Coba lihat dengan cermat kalimat “kali ini kita perlu belajar dari AS”. Jika dibaca dalam konteks kerja produksi media massa, kalimat itu sebenarnya sedang berusaha memainkan dan mempertahankan hegemoni AS sebagai status quo. Obama dan McCain tidak lebih dari sekedar objek yang digandakan sedemikian rupa dengan cepat lewat layar televisi. Dengan kata lain, AS menggunakan ilusi Obama dan McCain di media massa untuk mengafirmasi apa yang mereka tampilkan selama ini kepada dunia.

Barangkali, sang penulis editorial itu tidak bermaksud memperkokoh hegemoni itu. Namun,ketika dia melemparkan kalimat itu di media massa, maka terjadi interaksi dua pihak yang berjarak sejarak ribuan mil - satu pihak mungkin sedang berada di Chicago, dan satu pihak lagi mungkin sedang berada di Sukabumi. Transaksi wacana yang hegemonik tersebut memancarkan kedigdayaan sebuah negara di atas negara dunia ketiga yang rentan karena cenderung miskin dan ruwet.

Kalimat perlu belajar dari AS itu mencoba memainkan kesadaran di dalam pikiran masyarakat Indonesia - warga dari sebuah negara yang bagaikan haus demokrasi - bahwa “AS adalah negara yang patut menjadi percontohan praktek demokrasi. Dan dalam demokrasi yang (diklaim) sungguh indah itu sedang bermain bintang utama bernama Barack Obama.

Menurut saya, kalimat itu menunjukkan upaya AS memperbaiki citranya dengan memainkan peran Obama. Bius keterpukauan atas Obama sebagai pribadi, ingin dipergunakan untuk menyembuhkan sinisme dunia (khususnya Indonesia) atas AS. Melalui Obama, AS berupaya mempertahankan kebanggaannya atas demokrasi yang diumbarnya dan kini menjadi keyakinan yang seksi dalam situasi sosial Indonesia pasca orde baru.

Saya ingin menggambarkan sebuah ilustrasi guna menjelaskan perbedaan dimensi Obama dan AS dalam konteks Pemilu AS di benak masyarakat kita. Begini, jika diadakan suatu survei dengan pertanyaan seperti ini: “Apakah Anda yakin Obama bisa menjadikan AS lebih baik? Misalnya, AS mampu pro-aktif dengan membangun rekonsiliasi antara Israel dan Palestina dengan posisi ke dua negara setara?” Saya mengira, sebagian besar masyarakat Indonesia tidak akan menjawab dengan kata “tidak”, tetapi “belum tentu”.

Tetapi, jika pertanyaannya seperti ini: “Apakah Anda menaruh harapan akan perubahan perangai AS dengan terpilihnya Obama?” Saya yakin banyak orang, dan bukan saja di Indonesia, akan menjawab dengan kata “ya.”

Keadaan seperti itu telah menunjukkan secara tajam sebenarnya Obama tidak lagi dianggap hanya sebagai seorang warga negara AS yang beruntung terpilih menjadi Presiden. Obama mewakili perasaan dunia yang lelah dalam ketidakstabilan. Dan dalam ketidakstabilan itu, siapakah yang menjadi musuh?” Dalam pendapat saya, yang menjadi musuh bukanlah George Walker Bush, namun AS secara keseluruhan.

Sejarah AS tentu sudah terbenam di benak masyarakat dunia, terutama di negara dunia ke tiga dan Timur Tengah. Memikirkan AS, tidak bisa tidak kita harus mengakui ada perang saudara sebelum George Washington mendeklarasikan kemerdekaan, kematian John F Kennedy dan Martin Luther King, nafsu Richard Nixon dalam perang Vietnam, dukungan terhadap Israel yang menjajah Palestina, hingga kelakuan George Walker Bush yang memperkosa Irak karena kebatuan Saddam Hussein.

Tanpa bermaksud hanya menunjukkan keburukan AS, peristiwa itu menjadi semacam kesimpulan jika membayangkan AS. Maka tidak ada yang mengherankan ketika dunia begitu bergairah menyambut kemenangan Obama.

Sementara itu, dari sisi politik rasial, kemenangan Obama adalah konsensus yang sebenarnya dimenangkan oleh kaum mayoritas kulit putih. Demokrasi, sebagai anak kandung filsafat modern, telah dikhianati oleh AS. Betapa tidak, jika AS menghujat masyarakat tradisional di banyak negara dunia ketiga tidak demokratis karena masih terjebak dalam jerat feodalisme, kasta, dan sukuisme, kemenangan Obama justru menunjukkan betapa kakunya kulit putih memandang manusia dalam hubungannya dengan kesempatan di ruang sosial.

Sebagaimana kita tahu, ibunda Obama, Anne Dunham, adalah kulit putih yang juga keturunan Indian. Sementara ayahnya, Obama Senior, adalah seorang Kenya tulen. Komposisi ras yang mengalir dalam tubuh Obama ini menjadikan Obama diterima hampir di seluruh kalangan AS. Semua pihak di AS merasa hadir dalam tubuh Obama. Namun, takdir Obama memiliki ibu kulit putih itulah sebenarnya yang mendorong kemenangannya secara utama.

Saya mengira, jika saja Obama murni dari ayah dan ibu kulit hitam, dia akan lebih sulit menang. Karena dengan sendirinya masyarakat kulit putih akan alpa kepemilikan atas diri Obama. Dengan asumsi ini, saya berpendapat, untuk menjadi Presiden AS, seseorang harus memiliki keturunan ras kulit putih, meski secara fisik dia Negro atau Indian. Akan tetapi, jika masyarakat kulit putih yang mencalonkan diri jadi Presiden, darah minoritas tidak perlu mengalir dalam dirinya: dia cukup saja seorang kulit putih!

Pandangan demikian semakin menegaskan kepada saya paradoksal demokrasi, dan itu muncul di AS sebagai pilar terbesarnya. Di satu sisi, mereka mengagumi konsensus, di sisi lain, secara bersamaan dalam konsensus itu satu pihak meminta bagian paling banyak. Tentu saja kita tidak bisa menafikkan, bahwa dalam demokrasi dengan sendirinya mayoritas tetap akan dominan. Tetapi lihatlah, AS masih menggunakan warna kulit sebagai ukuran keterwakilan dalam sebuah sistem yang mereka sebut sebagai demokrasi.

Lalu, apakah bedanya dengan masyarakat tradisional yang mereka protes masih menggunakan feodalisme untuk memperoleh tempat utama dalam pertempuran sosial? Bagi saya, yang membedakan adalah demokrasi memainkan diskriminasinya secara lunak dan halus ketimbang feodalisme masyarakat tradisional.

Analisa di atas saya kemukakan untuk menunjukkan bahwa AS merupakan entitas terpisah yang tidak bisa serta merta membersihkan diri melalui Obama. Karena saya menduga, masyarakat hanya terpukau dengan Obama secara pribadi. AS bisa jadi hanya menyediakan tempat untuk sang bintang. Dengan sendirinya tempat tersebut akan dikesankan sehebat sang bintang.

Menggeser kehebatan “sang bintang” menjadi kehebatan “sang tempat” itulah yang saya kira dilakukan AS dengan media massa. Penggandaan image Obama secara luar biasa di media massa seakan menjadi katarsis bagi dosa-dosa AS dengan memainkannya di alam kesadaran kita yang paling rendah.

Saya kira, tulisan ini tidak untuk membangun sebuah prasangka buruk terhadap AS. Namun ini hanya upaya agar masing-masing kita dapat mengambil posisi yang tepat dari serbuan satu kelompok dengan segala kemauannya melalui media massa. Di masa mendatang, image Obama mungkin hanya menjadi satu kasus yang dapat kita jadikan rujukan untuk berhati-hati menghadapi media massa.

Lagi pula, seperti yang disampaikan teoretikus kritis terkemuka Raymond Williams dan Stuart Hall, hegemoni dalam konteks politik mana pun sangat rapuh. Keberlangsungan hegemoni hanya dapat dipertahankan dengan memodifikasi dan menginovasi pesan-pesan dalam media massa sebagai upaya tidak henti-hentinya melakukan penegasan kembali kekuasaan.

Selalu ada celah bagi kita untuk membuat hegemoni itu pincang dan tertatih-tatih. Tulisan ini, hendaknya memancing kita untuk mencucuk celah-celah itu dengan centil dan nakal.

Jakarta, Desember 11 2008