:kawan-kawanku di Melati
Sudah sepekan ini, saban hari kudatangi tempat yang dulu saat masih kuliah kerap kusinggahi: Melati, sebuah kantin di samping sebuah kampus kecil dekil di selatan Jakarta. Di tempat itu, dulu, semua gejolak yang berdebam-debam di dalam kepala membuncah, menguar, dan berserak-serak.
Sebenarnya aku belum pantas menyebut kata dulu dalam frasa “dulu saat masih kuliah” di alinea di atas. Sebab, baru delapan bulan saja kutinggalkan Melati. Ya, sejak aku diterima di sebuah cabang korporat media yang sangat mengurungku, praktis aku tak terlibat lagi dalam hiruk-pikuk kantin Melati. Dan delapan bulan itu belumlah cukup rasa-rasanya untuk diwakili oleh kata dulu yang bernuansa sungguh “lampau.”
Namun bukan itu yang hendak kusampaikan benar. Ada hal lain yang lebih penting yang kukira dialami kawan-kawan seperjuangan yang dulu – bahkan hingga saat ini – menghabiskan waktunya berjam-jam setiap hari di Melati. Dia adalah “Kebosanan.”
Dengan sadar, aku dan kawan-kawanku itu (selanjutnya akan kusebut dengan kami) hampir setiap hari berhadapan dengan kebosanan. Dan Melati adalah tempat kami memperpekat kebosanan itu.
Bayangkan saja! Bertahun-tahun di kampus yang ketinggalan zaman dan kian hari semakin tak menggairahkan itu membuat kehidupan menjadi kering. Memang pernah ada masa-masa di mana kami merasa jaya sebagai pemegang zaman kemudaan. Tapi itu begitu cepat melesat pergi. Seolah-olah kejayaan yang demikian nikmat hanya datang beberapa saat untuk memicu degup jantung, kemudian pergi hilang meninggalkan baunya yang khas sambil mencibir-cibir dalam samar dan berkata: “kini carilah kejayaanmu sendiri.” Lalu kami ditinggalkan dalam keadaan cemburu.
Kini, kami datang ke kantin itu dengan nuansa yang tak banyak berubah. Sedangkan kehendak jiwa kamilah yang terbang melintasi batas apa yang pernah kami capai di kampus kami. Itulah sebabnya kebosanan datang menghantu dan mengekap batin kami.
“Apalagi yang harus kita cipta? Kita sudah kehilangan niat! Mengapa hidup kian pelik dan hanya di tempat yang itu-itu juga kita menumpahkannya dalam keadaan yang sama!”
Itulah kira-kira beberapa geliat gelisah yang mendebur di balik dada kawan-kawanku. Sepulang kuliah yang tinggal beberapa, keluar berjalan ke Melati, datang dan memesan es teh manis, atau makan jika lapar, berhaha-hihi dengan gurauan yang juga sebenarnya tak banyak berbeda dari sebelumnya, menyapa kekasih dan mungkin dilanjutkan dengan berkasih-kasihan, itu ke itu saja! Tapi kami bagai tak punya daya untuk pergi dari Melati, seolah impoten guna mencari ladang-ladang baru demi mencari sesuatu yang baru.
Tapi, bagiku, kini kebosanan itu tampaknya adalah sebuah takdir bagi kami. Lebih luas lagi, kebosanan adalah takdir bagi manusia yang menyadari kemanusiaannya. Percayalah! Adalah kesia-siaan jika kita selalu terobsesi untuk menghilangkan kebosanan sambil memancar-mancarkan bayangan ideal mengenai sesuatu yang baru dalam kehidupan ini.
Dan ini bukan pula sebuah nada untuk berputus asa. Sebaiknya kita sebut kondisi ini sebagai situasi yang pesimistik, namun pesimistis bukanlah berputus asa. Dia adalah situasi yang membuat kita sadar bahwa secepat mungkin kita harus memberi gairah dalam pengulangan-pengulangan yang menjerat kita dalam kebosanan.
Ada sebuah ilustrasi menarik yang ditulis penyair Sutardji Calzoum Bachri dalam eseinya yang berjudul “Aku Tak Mau Jadi Bayam, Kata Popeye.” Dalam intermezonya di esei itu, dia mengungkapkan pandangannya yang menarik mengenai kebosanan.
Mari simak, sedikit kukutipkan di bawah ini;
Hari itu, seperti biasa senja di sekitar warung Lidah Buaya Taman Ismail Marzuki tetap begitu-begitu saja bagaikan sajak hambar. Senja jingga berdebu yang itu-itu juga, pohon-pohon yang sama dengan pohon yang kemarin dan kemarinnya lagi berjajar begitu-begitu saja di pinggir jalan di depan warung, seperti biasanya acuh tak acuh menggeraikan warna senja lewat ranting yang sama…
Dalam suasana senja yang sama itu aku harus memberikan makna pada kekosongan yang ada…Jajaran benda-benda, makhluk, suasana yang kosong, kering, hambar. Segala yang mengitariku itu harus kuberi makna, agar aku tidak menjadi kosong, hampa, dan lengang.
Ah, senja pukimak! Ingin melepaskan diri dari suasana senja yang sama, kosong, hambar dan membosankan itu, aku coba mengubah menungging-balikkan senja, agar aku mungkin meraih makna segar dari kekosongan…
Ah, Tardji Pukimak! Engkau mencoba melepaskan diri dari kehambaran dan kau sampai pada kehambaran yang lain, menertawakan diri.
Menurutku, apa yang disampaikan Sutardji di atas adalah hal yang sama yang dialami oleh kami di Melati. Namun dengan setting yang berbeda. Dan kukira, dari ilustrasi yang ditulis Sutardji itu, tampaklah padaku bahwa memang kebosanan itu tidak akan pernah bisa lenyap (ingat, esei Sutardji itu dimuat di Kompas pada tahun 2000-an. Kuperkirakan dia menuliskannya di periode itu juga. Artinya, Tardji menulisnya pada usianya sekitar 60-an. Itu menunjukkan adanya kemonotonan terhadap apa yang ia temui di setiap senja yang pernah ditemuinya, dan kami sudah menghadapinya di usia kami 20-an).
Menyadari bahwa kebosanan itu sebenarnya adalah takdir atau yang diistilahkan Nietzsche dengan amor fati, dan merupakan pengulangan, Tardji berusaha keras mengatasinya dengan “mengisi” kekosongan yang ada. Tentu saja, sebagai seorang penyair dia punya kiat-kiat yang sesuai dengan kepenyairannya.
Lalu apa yang bisa kami petik dari ilustrasi Tardji tersebut? Bagiku, apa lagi selain dengan “mengisi” kekosongan itu dengan “gaya kami” di Melati. Sebut saja misalnya, meningkatkan intensitas tawa dan kegembiraan saat memainkan kartu domino. Maksudku, benar-benar menikmati dan menyadari bahwa tawa dan kegembiraan dalam kebosanan sehari-hari lewat domino itu mempunyai daya yang luar biasa untuk membuat hidup ini menjadi lebih berwarna.
Tentu saja bukan hanya itu yang bisa dilakukan. Dan banyak berceloteh tentang bagaimana mengatasi kebosanan itu juga akan membuatku menjadi orang yang membosankan juga. Maka tulisan ini juga tidak mampu terlalu jauh berpretensi untuk menjadi pengatas kebosanan. Sebab, aku, sebagai penulisnya, juga salah satu pihak yang terjebak dalam kebosanan.
Tapi paling tidak, menyadari bahwa kebosanan itu adalah sesuatu yang tak bisa terhindarkan mungkin akan membuat kami tidak melulu mengecam keadaan yang sama sekali bagai tak bisa dirubah.
Hahahaha…tentulah! Jika kebosanan adalah takdir, siapa bisa mengubah? Tapi membuat kebosanan itu berdaging dan punya nadi tentulah tugas manusia dalam hidupnya di bumi.