Thursday, April 24, 2008

Waktu Ibu Mati


padahal, kemarau menjauh


di sudut siang lengang,

tersebab tangis tertahan

pohon yang sebatang itu

meluruhkan segala daun

sebagai sapanya padaku:

............................

kutahu

yang mati di detik lalu

ialah ibumu


kelak kau rindu

mencucuplah

pada puting susu kucing

yang kemarin petang

menumpang beranak

di gelap sebab


Jakarta, April 23 2008

Qurban


mati dibantai seekor lembu
setiap gubuk boleh menunggu
usai setahun lalu

maka perempuan-perempuan pun berjaga di bibir pintu, menunggu. mendadak, pucat kelabu yang menggayut di bibir mereka, menyirah. darah meluncur membentuk sungai, berbuih, berjeram. dengan sorak yang gempita, mereka biari buah dadanya terbujur dan menari. liur bayi yang menyembilu, kini mereka tangguk dengan berani

”nak, menjelang petang, rendang kan masak. menjelang tidur malam, cucuplah aku, reguk sebuasmu. ampuni dosaku olehnya nak. sepanjang musim telah aku seret doa hingga ke pucuk, biar dekat ke fajar muda, dekat ke langit. isyarat baik nak, di balik langit, ada sebuah mata lebam yang kebetulan saja sedang riang mengedipkan matanya: ia sepakat menyuling lembu di lambungku jadi inti, jadi nadi, yang kan kau temui ketika bibirmu mengendus puting”

sehari saja,
pesta sepanjang jalan, bendera-bendera tua dikibarkan

di tempat itu, matahari selalu keberatan menyerahkan siang. sebab, kantuk lebih baik, tidur lebih agung, malam mujarab membalur ngilu
di tempat itu, tikus lebih rajin nyanyi ketimbang biduan
di tempat itu, malam terlalu cepat punah untuk suara kunyah yang capak

mati dibantai seekor lembu
lambung yang dikutuk lesu
dibuatnya terkejap-kejap nafsu



Jakarta, Desember 2007

Wajah Gerakan Perempuan Setelah Satu Dekade Reformasi


Siapa yang bisa menyangkal dua hal adanya keterlibatan Kodim (Komando Distrik Militer-red) dalam menyelesaikan kasus pemogokan buruh tempat Marsinah bekerja dan hancurnya rahim Marsinah yang menurut autopsy hanya bisa terjadi jika dilakukan oleh ledakan senjata melalui lubang vagina.

Kalimat di atas dikutip dari makalah yang ditulis aktivis gerakan perempuan Indonesia era 1990-an, Tati Krisnawaty, yang dipresentasikan dalam diskusi publik bertajuk “ 10 Tahun Reformasi, Quo Vadis Gerakan Perempuan Indonesia?” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta (29/2).

Diskusi yang diselenggarakan Institut Ungu dan Yayasan Pitaloka ini juga merupakan bagian rangkaian Pentas Teater Monolog “Perempuan Menuntut Malam” dan penyambutan Hari Perempuan Se-dunia pada 8 Maret.

Yang menarik adalah mengapa Tati masih memuat kematian Marsinah setelah gulir reformasi meruntuhkan rezim orde baru mendekati 10 tahun? Apalagi, sejumlah persoalan kontemporer mengenai perempuan yang belum tertangani pemerintah – seperti kasus buruh migran - terus menyita perhatian publik dan tentunya gerakan perempuan sendiri.

“Memperingati hari perempuan dunia lebih baik dilihat dari sejarah (gerakan perempuan) dan sisi personal aktivisnya,” ungkap Tati dalam diskusi yang dimoderatori Tomy F Awuy itu. Pernyataan itu mengisyaratkan usaha untuk merefleksikan pencapaian gerakan perempuan sampai hari ini dengan melongok kembali sejarahnya.

Kematian Marsinah, dalam hal ini, adalah salah satu tonggak sejarah gerakan perempuan. Tati merasa perlu menceritakan kembali kepiluan kematian Marsinah sebagai korban langsung dari kekejaman orde baru demi mencermati kembali gerakan perempuan dalam 10 tahun keruntuhan rezim itu.

Lalu bagaimana gerakan perempuan setelah satu dekade sejak 1998 itu? Aktivis yang tergabung dalam Solidaritas Perempuan itu tak segan mengaku bahwa gerakan perempuan menerima kekalahan telak.

“Kekalahan telak perempuan adalah adanya Perda-Perda (peraturan daerah) yang diskriminatif (terhadap perempuan), RUU (rancangan undang-undang) anti pornografi, kemiskinan di desa-desa yang menyebabkan perempuan menjadi TKW ke luar negeri, dan belum sinergisnya hubungan antar gerakan perempuan,” papar Tati.

Akibatnya, kata Tati, tak jarang publik salah memahami dengan menilai bahwa semua persoalan itu adalah tanggung jawab gerakan perempuan. Sehingga sejumlah kegagalan diarahkan kepada gerakan perempuan. Padahal, pemerintahlah yang seharusnya dibidik untuk segera mengatasinya.

Apalagi, jelas Taty, di samping kekalahan telak, gerakan perempuan sebenarnya memperoleh keberhasilan yang disebutnya dengan “kemenangan-kemenangan kecil.” “Salah satu kemenangan kecil adalah adanya undang-undang penghapusan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga),” ujar Tati. Kemenangan kecil itu juga ditandai juga dengan diperbincangkannya isu-isu hak perempuan di ranah publik.

Tidak hanya itu, gerakan perempuan juga melakukan eksperimentasi perjuangan tanpa aksi massa - berbeda dengan demonstrasi oleh gerakan perempuan di New York satu abad lalu yang menginspirasi gerakan perempuan di seluruh dunia. Tati mengatakan, eksperimen itu yang melahirkan Komisi Nasional Perempuan.

Untuk mengatasi kekalahan dan mengupayakan “kemenangan kecil” menjadi “kemenangan besar”, Tati mengingatkan perlunya sinergitas antar gerakan perempuan. Dan semangat hari perempuan yang akan disongsong tersebut sangat relevan untuk mewujudkan arah gerakan perempuan.

Perempuan VS Kebudayaan

Kebudayaan yang hidup di dunia dan di Indonesia tidak menyediakan tempat untuk hak-hak perempuan. “Yang ada itu perempuan versus kebudayaan. Penindasan perempuan terjadi karena adanya sebuah kultur (yang menyebabkannya),” kata novelis Mariana Amirudin.

Berbeda dengan Tati, Mariana Amirudin yang juga salah satu nara sumber dalam diskusi tersebut, menyorot gerakan perempuan dari sudut pandang kebudayaan. Dengan mengutip teoritisi sastra Hellen Cixous, Mariana menyatakan kebudayaan “tanpa perempuan” itu tercermin dalam bahasa.

“Kekuasaan ada pada pemaknaan (oleh) laki-laki, perempuan tidak termasuk dalam wilayah kebudayaan,” ungkap Direktur Yayasan Jurnal Perempuan itu. Mariana pun mengusulkan agar perempuan membentuk kebudayaannya sendiri dengan menempatkan diri dalam sejarah.

Caranya? “Tulislah dirimu sendiri,” kata Mariana mengutip Cixous. Sebagai novelis, agaknya Mariana mengusulkan ini dengan kesadaran bahwa tulisan dan bahasa bisa membentuk sejarah. Dan sejarah, merupakan alat untuk menyuarakan hak-hak manusia, termasuk perempuan.

Namun usul Mariana itu terganjal ketika salah seorang penanya, Yuni, menyatakan bahwa di tingkat akar rumput, kesadaran perempuan untuk menulis belum semapan perempuan yang disebut Yuni sebagai “perempuan elite.” “Jangankan menulis, membaca saja mereka susah,” ungkap Yuni.

Mau tidak mau, kata Mariana, perempuan di tingkat elite yang memperoleh akses pendidikan dan informasi itulah yang memiliki kesempatan lebih besar untuk melakukan perubahan. Namun demikian, dia mengatakan, kesenjangan ini harus diselesaikan dengan membangun sinergi antara kelompok intelektual dan akar rumput.

Terlebih lagi, pasca keruntuhan orde baru, kesenjangan itu juga dipengaruhi dengan setumpuk masalah perempuan yang mulai terkuak dan menjadi tantangan yang semakin berat bagi gerakan perempuan. “Karena kebebasan yang terbuka pasca orba, perempuan kocar-kacir mengekspresikan kebebasan,” kata Mariana.

Selain itu juga, krisis ideologi sebagai arah gerakan gerakan perempuan ikut mewarnai kesenjangan itu. “Yang paling kurang adalah elaborasi intelektual,” kata Tati. Akibatnya, aktivis perempuan cenderung terkonsentrasi hanya pada basis massa, tanpa memperhatikan ideologi. “Harus ada keterbukaan antara gerakan massa dan intelektual,” tambah Tati.

Jika kesenjangan tersebut bisa diatasi, gerakan perempuan memiliki keniscayaan untuk membentuk sejarah tidak hanya di Indonesia, namun di dunia. Boleh jadi kini gerakan perempuan dikelilingi persoalan TKW yang tak henti-hentinya memberikan kabar suram. Namun gerakan perempuan tetap menjadi pihak terdepan untuk mengingatkan bahwa tugas memperbaiki nasib perempuan tidak hanya berada di pundak perempuan, tapi juga laki-laki.

artikel ini dapat disimak di www.vhrmedia.com

Bising


Pada suatu malam saya berdiri menunggu bis ke Pancoran. Tepat di seberang saya adalah gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat. Baru saja saya meninggalkannya setelah saya diperintahkan untuk meliput sidang paripurna soal Rancangan Undang-Undang Pemilu yang akan diterapkan pada 2009 nanti.

Masih terngiang di kepala saya betapa bisingnya gedung itu usai sidang . Sebab sidang yang seharusnya melakukan voting itu ditunda lagi setelah sebelumnya juga sempat ditunda-tunda. Tidak semua anggota parlemen yang sepakat dengan penundaan itu. Maka, yang muncul adalah bunyi komentar yang saling bertolak belakang di antara sesama mereka.

Saya tidak mau berlama-lama dalam kebisingan itu. Agaknya kebisingan di jalanan Jakarta yang super sibuk lebih bisa dinikmati ketimbang kebisingan di dalam gedung parlemen. Di parlemen, di dalam kebisingan itu terlalu banyak rahasia. Sedangkan di jalanan, kita adalah rahasia itu sendiri.

Dan bus kota trayek Grogol-Cililitan menghampiri saya. Mungkin karena sudah agak larut malam, sekitar pukul 22.00 wib, bis itu agak santun menjemput saya. Tidak seperti saat pagi atau sore menjelang malam, keganasan bus kota itu menampakkan wajah masamnya.

Beruntung, bus yang senantiasa padat itu tidak penuh. Saya mendapat tempat duduk. Dan saya bertemu dengan sebuah lanskap klise khas Jakarta: seorang anak mengguncang-guncangkan botol plastik berisi beras sambil menyanyikan sebuah lagu yang sedang populer di televisi.

Mungkin karena klise, saya sama sekali tidak tersentuh atau iba dengan bocah lelaki dekil yang masih menyala kejernihan kekanak-kanakannya itu. Satu lagu saja yang dinyanyikannya. Dan saya tidak mengeluarkan sepeser pun untuknya. Dia, si bocah, juga seperti tidak terlalu peduli lagi apakah nyanyian sumbangnya itu akan dibayar dengan uang receh oleh saya.

Begitulah Jakarta, penderitaan dan kemiskinan sudah menjadi common sense. Niscaya, warga Jakarta kebingungan jika secara tiba-tiba kemiskinan, kriminalitas, dan kemacetan di ibu kota Indonesia ini tiba-tiba raib begitu saja. Dan tanpa disadari, alam bawah sadar mereka akan berbicara begini: Mana kemiskinan itu? Mana kriminalitas itu? Mana kemacetan itu? Kalau tidak seperti itu bukan Jakarta namanya!”

Penderitaan dan kemiskinan milik Jakarta itu, karena sudah terlampau sering kita saksikan, sudah tidak lagi dramatis. Ini melumpuhkan hasrat warga Jakarta untuk mau melihat orang lain di luar kita. Orang-orang pinggiran itu, sama sekali tidak punya akses untuk menampilkan diri sebagai bagian dari Jakarta dengan kesadarannya sendiri.

Sedangkan, di gedung parlemen yang saya tinggalkan itu, anggotanya berlelah-lelah membunyikan suara yang bertolak belakang sebagai buntut dari istilah seksi yang kini melanda masyarakat kita: demokrasi. RUU Pemilu yang mereka ributkan itu pun sebenarnya adalah demi rakyat juga, demi bocah pengamen yang tidak mampu membuat saya iba itu.

Ah, terlalu naïf dan klise membanding-bandingkan jalanan dengan parlemen. Tapi saya tetap merasa lebih nikmat berada di tengah kebisingan jalanan ketimbang kebisingan di parlemen. Apalagi, ketika bus yang saya tumpangi hampir sampai di tempat yang saya tuju. Ketika saya beranjak ke pintu bagian belakang bus, saya lagi-lagi melihat bocah pengamen tadi. Dia duduk berdua dengan seorang kawan sebayanya, mungkin abangnya. Mereka tidur, dari tidur mereka, saya yakin tidur mereka nyenyak. Sebab, tidak sedikit pun mereka terjaga meski laju bus menggoyang-goyang leher mereka.

Kali ini saya tidak bisa berbohong, saya tersentuh dengan dua bocah itu. Sebab, seingat saya, saya tidak pernah lagi memperoleh tidur selelap tidur mereka saat itu.

Surat Kepada Sahabat: Wishnu & Ibro


Jakarta, dua pekan sampai 3 April malam 2008

Entah bagaimana harus mengungkapkannya. Sebab, tidak segala sesuatu itu harus diungkapkan. Hanya saja, dalam kegundahan, betapa hidup ini mendekatkan wajahnya kepadaku, dan aku pun bersidekap dengannya. Yang terkenang, kini terkenanglah.

Memang, aku ini adalah salah seorang yang melankolik. Aku baru saja selesai membaca sebuah karangan yang menggairahkan “dendam” disebabkan satu kata: kemiskinan. Dalam melankolikku, kemiskinan itu, jika saja tidak diimbangi dengan kehendak untuk mencari tahu kebenaran dunia yang selalu retak dan meretakkan diri, akan membuat manusia terjerat dalam inferiority complex.

Mungkin kita sudah berhasil mangkir dari perasaan “miskin” itu dengan membiarkan diri tenggelam dalam perburuan kebenaran-kebenaran yang membuat kita terus-menerus menyangsikan keadaan. Dengan terus berjalan di pinggir-pinggir ilmu pengetahuan, (camkan! kita masih di pinggir!) luka kemiskinan kita itu tidak akan membuat kita luka sebagaimana luka yang membasahi kemiskinan di negeri mahsyur selatan Asia.

Tapi itulah kawan, agaknya karena aku terlalu melankolik, sehingga segala sesuatunya seperti kulihat sebagai drama. Kemiskinan itu, lagi-lagi, adalah penyebabnya. Dulu, kukira apa yang diceritakan orang-orang bijak tentang kemiskinan itu memantul kembali ketika kedatangannya sudah berada di depan keningku yang legam. Kini, aku harus memeluknya dengan menung.

Itu sebabnya, aku takut membagi kemungkinan hari depan dengan suasana yang aku miliki saat ini. Lidah kita bahkan patah untuk sekedar menyebut kata “kelak”. “Kelak nanti…” dan kita tak sanggup meneruskannya. Kenyataan telah membuat umur kita terus bergerak, dan menyebabkan kita semakin mengunci kata-kata, semakin diam, semakin bergerak ke inti diri, ke inti bumi.

Dan tidak ada lagi yang patut kusayangi dengan cinta yang berlebih selain dari pada diriku sendiri. Kuharap kalian pun demikian. Biarkan kita menelan cinta kita kepada diri sendiri sampai kita temukan sosok-sosok lain dalam diri kita itu. Perempuan? Ya, barangkali hari ini kita masih menyebutnya dengan perempuan. Tapi sesungguhnya, kita hanya menyebutnya adalah “aku dalam kau, dan kepada kau kucari aku.”

Di depan sebuah ilusi, katakanlah misalnya di depan gambar pria muda yang kerontang dalam sebuah film bisu, aku akan bertegun-tegun. Ke dalamnya, kalau bisa, aku berlibur untuk sekian waktu. Sebab, terlalu banyak kenyataan-kenyataan dramatis dalam sebuah film yang hendak kucicip, aku ingin menjadi ilusi seperti tokoh di dalam film. Sebentar saja, kalau bisa, sebelum kita kembali lagi genggam-menggenggam dengan kemiskinan.

Beberapa waktu lalu di Kuningan, tepat di depan Kedutaan besar China, aku melihat beberapa biksu muda di berunjuk rasa menuntut pembebasan Tibet. Aku terkesan. Sebab, semuda itu, cahaya wajah mereka seperti tak mungkin berbicara kotor dan bertindak kasar. Mereka begitu tenang dan dalam, meski aku yakin, mereka tetap saja anak muda.

Kiblat sudah disediakan untuk kita! Dan tanpa sadar kita terus berkeliar membunuhnya. Sadar bahwa kiblat itu tersedia, sedang kegelisahan tak punah jua, ialah simbol betapa mudanya kita.


Ervin

Friday, April 18, 2008

Cemaskanlah Sayang


“cemaskanlah sayang!” bisikmu saat sedang kugilakan bibir Siberiamu yang ungu pasi bagai Maria Sharapova yang tawa yang kecut. kau menjauh dan mulai berkisah tentang lenguh malam: saat payudara tak lagi mampu meredam duka raya para bayi

lantas sukma menjelma cadascadas

“cemaskanlah sayang!” dan musim hujan melanda lagi dalam musim yang ingkar pada perangai matahari. sebab telah dibungkusnya mulut tuhan agar henti mengulang firman: bahwa setiap hujan setiap musim adalah air mataNya.

berapakah mesti kita kumpulkan jarijari kita demi menghitung dukadukaduka di setiap hujan? duka siapa kini yang tak berbanding?

Jakarta, Desember 2007

Dalam Risau Kita Bercinta


di padang belantara

kau jemput bibirku kau tabuh dadaku

katamu,

angin buruk menjelang hujan tengah malam enyahlah! jangan hirau!

gelinjang kian buta, ilalang layu lambai namun pawai janin yang merangkak di jalan raya memendam o’ak-o’ak dan mengubak tukak gema menggema menggempa gendang telinga

mengapa liurmu tiba-tiba hambar? mengapa dekapmu tiba-tiba tak kekar?

sungguh! hentikan basabasi! janin yang terus menyayat itu mulai berkuku harimau dan para ayahibunya meraung menyuruh pulang dengan mata bersampul basah bendera

hibuk mengejar-ngejarku

Jakarta, Desember 2007

Bulan Tua

demi membatalkan air mata seorang pemuda menggigit jantung malam yang meringkuk di kemaluan kelam

dikenangnya seekor babi betina tua yang murah hati mati ditombak pemburu usai lasak menunda abadi siang tadi

“di pekiknya kutumpangkan dendang rinduku padamu, nona!”

bulan tua iba lalu jatuh tercebur ke dalam telaga darah yang

menggenang mencucur dari perut babi betina tua

Jakarta, Desember 2007

Seumpama Bunga

seumpama kau bunga

tentu kau warna

siap-siap kuadu dengan bianglala

pasti

sirahmu jadi pasi


seumpama masih kau bunga

tentu kau bilang masih punya wangi

siap-siap kubenam dengan sejuta bayi habis mandi

pasti

semerbakmu jadi basi


Jakarta, November-Desember 2007

Balada Tuhan


Kemarin lalu, saya tak ingat tepatnya, seorang kawan bercerita kepada saya bahwa seorang lelaki yang bekerja sebagai petugas pengawas rel KRL (Kereta Rel Listrik) jurusan Bogor-Jakarta Kota yang juga bertugas membereskan baut dan mur rel jikalau saja ada yang longgar, tewas terlanggar kereta saat mengerjakan tugasnya.

Tentu ini bukan kasus yang pertama dalam kecelakaan yang berkaitan dengan KRL. Lagi pula, kecelakaan itu terjadi di depan mantan kampus saya di bilangan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, maka itulah saya bisa tahu kejadian ini. Sebab, meski menganggur sejak hampir satu setengah tahun lalu saya lulus dari kampus, saya masih kerap mengunjungi kantin yang biasa saya kunjungi bersama beberapa kawan saya, lantas, di tempat itulah kabar ini sampai ke telinga saya.

“Berapalah harga nyawa di masa ini?” Kalimat itu kini mengiang di telinga saya usai mengetahui kematian petugas itu. Ya, lihat! Bahkan saya tidak mengenal siapa petugas itu, berapa umurnya, di mana dia bertempat tinggal, berapa tanggungan yang harus dinafkahinya, bagaimana biografinya.

Namun, mengapa pula saya harus tahu kehidupannya secara rinci? Tidakkah saya menjadi bersombong diri dengan keterbatasan yang saya miliki lalu saya berkeinginan untuk mengetahui kisah hidupnya? Tidakkah ini reaksi romantik yang muncul karena saya mengira si petugas itu adalah si miskin yang mati tersia-sia? Atas nama apa saya keinginan tahu saya ini saya haturkan? Kemanusiaan? Sosialisme? Agama?

Tiba-tiba saya menjadi sinis memandang kemiskinan. Bukankah Mahatma Gandhi pernah mengucapkan “bahwa tidak ada kekejaman yang paling keji ketimbang kemiskinan?” Dan membicarakan kematian orang miskin seperti petugas pemeriksa baut dan mur rel KRL itu menjadi kian menyanyat jika di benak kita terekam suatu nama: Soeharto.

Ya, sudah sepekan ini (sampai 14/01/2008), mantan penguasa Indonesia selama 32 tahun hingga tumbang pada 1998 itu hadir di hadapan masyarakat Indonesia dalam satu judul: di ambang maut. Jenderal besar yang juga pemimpin terlama di dunia setelah legenda hidup Kuba Fidel Castro itu memakan sebagian besar jam tayang media televisi dan menghiasi halaman depan sejumlah surat kabar nasional setelah kesehatannya diketahui berada dalam kondisi kritis.

Ambang maut. Setidaknya pernyataan ini saya lontarkan sebagaimana saya memahami berita-berita yang diturunkan sejumlah media massa. Agak berbeda dengan berita tentang kondisi kesehatan Soeharto di waktu-waktu sebelumnya, kali ini ada sinyalemen bahwa Soeharto sedang bersiap dijemput maut. Berita sakitnya Soeharto ini lantas dihubungkan dengan kondisi rumah pribadinya di Jalan Cendana dan tempat pemakaman ibu Tien di Astana Giri Bangun, Jawa Tengah..

Bolehlahlah saya berpikir positif bahwa ini hanyalah permainan konstruksi oleh media massa yang sengaja menguarkan aroma bunga Kamboja di setiap pemberitaan Soeharto. Tapi, itu tetap tak menghibur hati saya untuk tak percaya bahwa Soeharto memang di ambang maut. Porsi yang besar oleh media massa untuk Soeharto bagaikan mendramatisisasi detik-detik kematian Soeharto. Media massa menilai bahwa kematian Soeharto adalah berita dengan nilai yang tinggi. Maka itu, detik-detik kematiannya pun tak boleh ketinggalan diberitakan. Pendek kata, Soeharto adalah orang besar, maka ambang mautnya adalah ingar-bingar.

Nah, coba bandingkan dengan kematian si petugas pengawas baut dan mur rel KRL yang saya kisahkan sebelumnya. Dia takkan tercatat dalam sejarah. Dia bukan Nuh, maka dia takkan jadi Ibrahim, dia bukan Jesus, macam mana pula dia mau jadi Muhammad, dia bukan Socrates, dia takkan jadi Alexander Agung, dia bukan Hitler, dia tak mungkin dikenang bagai Attaturk, dia bukanlah Marx, mana mungkin bisa difoto seperti Stalin, dia bukan Soekarno, dia bukan Chairil Anwar, dia bukan Soeharto!

Saya kira, di titik ini, saya harus ingatkan pembaca bahwa dalam tulisan ini saya tidak berambisi untuk mengulas kebiadaban atau kebaikan Soeharto yang tidak saya rasakan secara langsung ketika kesadaran politik saya mampu memahami realitas. Saya hendak berbicara perkara “berapakah harga nyawa di masa ini?”

Di satu sisi, saya bahkan tak bisa dengan detil mengetahui siapa petugas yang mengawasi mur dan baut rel KRL di Lenteng Agung yang mati terlanggar kereta saat mengerjakan tugasnya. Seberapa berartikah kematian si petugas pengawas itu dibandingkan Soeharto yang masih diambang maut meski pun kelak mati?

Akhirnya, dalam sejarah dunia atau bahkan sekedar Indonesia, betapa terasa bahwa Soeharto jauh lebih berarti dengan kebaikan dan keburukannya. Di sinilah pertanyaan “berapakah harga nyawa di masa ini?” itu bekerja. Kematian seseorang seperti petugas pengawas baut dan mur rel yang barangkali seluk-beluknya pribadinya, biografinya, hanya diketahui oleh anak istri atau mungkin keluarga dari ayah ibu yang melahirkannya seperti lewat begitu saja. Dia mati begitu saja, tanpa kesan apa-apa, nyawanya seperti murah! Tiada berharga! Sedang di sisi lain, berbanding terbalik dengan Soeharto yang begitu mahal dan ingar-bingar periode ambang mautnya.

Maka jika kita menyatakan bahwa “hari ini nyawa tak begitu berharga”, perlakuan terhadap Soeharto adalah antitesisnya. Nyawa Soeharto bergitu berharga. Tentu saja, tidak banyak orang beruntung yang bisa membuat nyawanya bernilai tinggi seperti Soeharto di dunia ini. Sementara orang yang mati tersia-sia dalam sejarah seperti petugas pengawas rel itu tentu jumlahnya tak terhitung sejak manusia hadir di dunia ini.

Entah atas pertimbangan apa tuhan memberikan kelebihan-kelebihan kepada orang-orang seperti Soeharto. Sehingga kematiannya menjadi ritual massa, parade media, romantisme akan kenangan masa lalu. Sedang pelacur yang mati karena shypillis mati begitu saja, atau perampok yang sial dan tewas di lempar dari kereta tercampak begitu saja, atau petani yang mati karena usianya tua selesai biasa saja, atau anak muda yang mati karena overdosis habislah habis, atau guru mengaji yang mati karena penyakit tuberkolosis matilah mati. Di mana tuhan mencatatkan nama-nama orang-orang itu? Ah, tuhan tak mencatat mereka dalam sejarah yang mencantumkan nama Adam-Hawa, Heraklitos, Friedrich Nietzsche hingga Saddam Hussein dan George Walker Bush?

Tuhan itu cerdik. Dia tampil di sekujur jagad ini dan menantang setiap makhluk untuk memiliki gairah demi menciumnya. Untuk mencumbu bibir tuhan maka tirulah ia. Apakah yang paling perkasa dari tuhan yang ada dalam pengetahuan dan perasaan kita? Dialah keabadian! Dan Soeharto pandai membaca keinginan tuhan. Entah apa yang diperbuatnya di masa lalu sehingga ia akan abadi dalam buku sejarah hingga di masa depan. Terlebih lagi untuk anak-anak masa depan yang lahir dari kemaluan bernama Republik Indonesia (mari berdoa agar negara ini tetap ada!)

Sedang petugas pengawas rel yang tersia bukannya tak dikasihi tuhan. Hanya saja, ia barangkali tak mau meniru kecerdikan tuhan, tak pandai ia membaca kemauan tuhan, hingga sebuah wahyu tanpa jibril yang bernama “sejarah” itu tak mampu dikulumnya, dan selamanya namanya tak tertera.

Jakarta, 15 Januari 2008

Bosan


:kawan-kawanku di Melati

Sudah sepekan ini, saban hari kudatangi tempat yang dulu saat masih kuliah kerap kusinggahi: Melati, sebuah kantin di samping sebuah kampus kecil dekil di selatan Jakarta. Di tempat itu, dulu, semua gejolak yang berdebam-debam di dalam kepala membuncah, menguar, dan berserak-serak.

Sebenarnya aku belum pantas menyebut kata dulu dalam frasa “dulu saat masih kuliah” di alinea di atas. Sebab, baru delapan bulan saja kutinggalkan Melati. Ya, sejak aku diterima di sebuah cabang korporat media yang sangat mengurungku, praktis aku tak terlibat lagi dalam hiruk-pikuk kantin Melati. Dan delapan bulan itu belumlah cukup rasa-rasanya untuk diwakili oleh kata dulu yang bernuansa sungguh “lampau.”

Namun bukan itu yang hendak kusampaikan benar. Ada hal lain yang lebih penting yang kukira dialami kawan-kawan seperjuangan yang dulu – bahkan hingga saat ini – menghabiskan waktunya berjam-jam setiap hari di Melati. Dia adalah “Kebosanan.”

Dengan sadar, aku dan kawan-kawanku itu (selanjutnya akan kusebut dengan kami) hampir setiap hari berhadapan dengan kebosanan. Dan Melati adalah tempat kami memperpekat kebosanan itu.

Bayangkan saja! Bertahun-tahun di kampus yang ketinggalan zaman dan kian hari semakin tak menggairahkan itu membuat kehidupan menjadi kering. Memang pernah ada masa-masa di mana kami merasa jaya sebagai pemegang zaman kemudaan. Tapi itu begitu cepat melesat pergi. Seolah-olah kejayaan yang demikian nikmat hanya datang beberapa saat untuk memicu degup jantung, kemudian pergi hilang meninggalkan baunya yang khas sambil mencibir-cibir dalam samar dan berkata: “kini carilah kejayaanmu sendiri.” Lalu kami ditinggalkan dalam keadaan cemburu.

Kini, kami datang ke kantin itu dengan nuansa yang tak banyak berubah. Sedangkan kehendak jiwa kamilah yang terbang melintasi batas apa yang pernah kami capai di kampus kami. Itulah sebabnya kebosanan datang menghantu dan mengekap batin kami.

“Apalagi yang harus kita cipta? Kita sudah kehilangan niat! Mengapa hidup kian pelik dan hanya di tempat yang itu-itu juga kita menumpahkannya dalam keadaan yang sama!”

Itulah kira-kira beberapa geliat gelisah yang mendebur di balik dada kawan-kawanku. Sepulang kuliah yang tinggal beberapa, keluar berjalan ke Melati, datang dan memesan es teh manis, atau makan jika lapar, berhaha-hihi dengan gurauan yang juga sebenarnya tak banyak berbeda dari sebelumnya, menyapa kekasih dan mungkin dilanjutkan dengan berkasih-kasihan, itu ke itu saja! Tapi kami bagai tak punya daya untuk pergi dari Melati, seolah impoten guna mencari ladang-ladang baru demi mencari sesuatu yang baru.

Tapi, bagiku, kini kebosanan itu tampaknya adalah sebuah takdir bagi kami. Lebih luas lagi, kebosanan adalah takdir bagi manusia yang menyadari kemanusiaannya. Percayalah! Adalah kesia-siaan jika kita selalu terobsesi untuk menghilangkan kebosanan sambil memancar-mancarkan bayangan ideal mengenai sesuatu yang baru dalam kehidupan ini.

Dan ini bukan pula sebuah nada untuk berputus asa. Sebaiknya kita sebut kondisi ini sebagai situasi yang pesimistik, namun pesimistis bukanlah berputus asa. Dia adalah situasi yang membuat kita sadar bahwa secepat mungkin kita harus memberi gairah dalam pengulangan-pengulangan yang menjerat kita dalam kebosanan.

Ada sebuah ilustrasi menarik yang ditulis penyair Sutardji Calzoum Bachri dalam eseinya yang berjudul “Aku Tak Mau Jadi Bayam, Kata Popeye.” Dalam intermezonya di esei itu, dia mengungkapkan pandangannya yang menarik mengenai kebosanan.

Mari simak, sedikit kukutipkan di bawah ini;

Hari itu, seperti biasa senja di sekitar warung Lidah Buaya Taman Ismail Marzuki tetap begitu-begitu saja bagaikan sajak hambar. Senja jingga berdebu yang itu-itu juga, pohon-pohon yang sama dengan pohon yang kemarin dan kemarinnya lagi berjajar begitu-begitu saja di pinggir jalan di depan warung, seperti biasanya acuh tak acuh menggeraikan warna senja lewat ranting yang sama…

Dalam suasana senja yang sama itu aku harus memberikan makna pada kekosongan yang ada…Jajaran benda-benda, makhluk, suasana yang kosong, kering, hambar. Segala yang mengitariku itu harus kuberi makna, agar aku tidak menjadi kosong, hampa, dan lengang.

Ah, senja pukimak! Ingin melepaskan diri dari suasana senja yang sama, kosong, hambar dan membosankan itu, aku coba mengubah menungging-balikkan senja, agar aku mungkin meraih makna segar dari kekosongan…

Ah, Tardji Pukimak! Engkau mencoba melepaskan diri dari kehambaran dan kau sampai pada kehambaran yang lain, menertawakan diri.

Menurutku, apa yang disampaikan Sutardji di atas adalah hal yang sama yang dialami oleh kami di Melati. Namun dengan setting yang berbeda. Dan kukira, dari ilustrasi yang ditulis Sutardji itu, tampaklah padaku bahwa memang kebosanan itu tidak akan pernah bisa lenyap (ingat, esei Sutardji itu dimuat di Kompas pada tahun 2000-an. Kuperkirakan dia menuliskannya di periode itu juga. Artinya, Tardji menulisnya pada usianya sekitar 60-an. Itu menunjukkan adanya kemonotonan terhadap apa yang ia temui di setiap senja yang pernah ditemuinya, dan kami sudah menghadapinya di usia kami 20-an).

Menyadari bahwa kebosanan itu sebenarnya adalah takdir atau yang diistilahkan Nietzsche dengan amor fati, dan merupakan pengulangan, Tardji berusaha keras mengatasinya dengan “mengisi” kekosongan yang ada. Tentu saja, sebagai seorang penyair dia punya kiat-kiat yang sesuai dengan kepenyairannya.

Lalu apa yang bisa kami petik dari ilustrasi Tardji tersebut? Bagiku, apa lagi selain dengan “mengisi” kekosongan itu dengan “gaya kami” di Melati. Sebut saja misalnya, meningkatkan intensitas tawa dan kegembiraan saat memainkan kartu domino. Maksudku, benar-benar menikmati dan menyadari bahwa tawa dan kegembiraan dalam kebosanan sehari-hari lewat domino itu mempunyai daya yang luar biasa untuk membuat hidup ini menjadi lebih berwarna.

Tentu saja bukan hanya itu yang bisa dilakukan. Dan banyak berceloteh tentang bagaimana mengatasi kebosanan itu juga akan membuatku menjadi orang yang membosankan juga. Maka tulisan ini juga tidak mampu terlalu jauh berpretensi untuk menjadi pengatas kebosanan. Sebab, aku, sebagai penulisnya, juga salah satu pihak yang terjebak dalam kebosanan.

Tapi paling tidak, menyadari bahwa kebosanan itu adalah sesuatu yang tak bisa terhindarkan mungkin akan membuat kami tidak melulu mengecam keadaan yang sama sekali bagai tak bisa dirubah.

Hahahaha…tentulah! Jika kebosanan adalah takdir, siapa bisa mengubah? Tapi membuat kebosanan itu berdaging dan punya nadi tentulah tugas manusia dalam hidupnya di bumi.

Bising

Pada suatu malam saya berdiri menunggu bis ke Pancoran. Tepat di seberang saya adalah gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat. Baru saja saya meninggalkannya setelah saya diperintahkan untuk meliput sidang paripurna soal Rancangan Undang-Undang Pemilu yang akan diterapkan pada 2009 nanti.


Masih terngiang di kepala saya betapa bisingnya gedung itu usai sidang . Sebab sidang yang seharusnya melakukan voting itu ditunda lagi setelah sebelumnya juga sempat ditunda-tunda. Tidak semua anggota parlemen yang sepakat dengan penundaan itu. Maka, yang muncul adalah bunyi komentar yang saling bertolak belakang di antara sesama mereka.


Saya tidak mau berlama-lama dalam kebisingan itu. Agaknya kebisingan di jalanan Jakarta yang super sibuk lebih bisa dinikmati ketimbang kebisingan di dalam gedung parlemen. Di parlemen, di dalam kebisingan itu terlalu banyak rahasia. Sedangkan di jalanan, kita adalah rahasia itu sendiri.


Dan bus kota trayek Grogol-Cililitan menghampiri saya. Mungkin karena sudah agak larut malam, sekitar pukul 22.00 wib, bis itu agak santun menjemput saya. Tidak seperti saat pagi atau sore menjelang malam, keganasan bus kota itu menampakkan wajah masamnya.


Beruntung, bus yang senantiasa padat itu tidak penuh. Saya mendapat tempat duduk. Dan saya bertemu dengan sebuah lanskap klise khas Jakarta: seorang anak mengguncang-guncangkan botol plastik berisi beras sambil menyanyikan sebuah lagu yang sedang populer di televisi.


Mungkin karena klise, saya sama sekali tidak tersentuh atau iba dengan bocah lelaki dekil yang masih menyala kejernihan kekanak-kanakannya itu. Satu lagu saja yang dinyanyikannya. Dan saya tidak mengeluarkan sepeser pun untuknya. Dia, si bocah, juga seperti tidak terlalu peduli lagi apakah nyanyian sumbangnya itu akan dibayar dengan uang receh oleh saya.


Begitulah Jakarta, penderitaan dan kemiskinan sudah menjadi common sense. Niscaya, warga Jakarta kebingungan jika secara tiba-tiba kemiskinan, kriminalitas, dan kemacetan di ibu kota Indonesia ini tiba-tiba raib begitu saja. Dan tanpa disadari, alam bawah sadar mereka akan berbicara begini: Mana kemiskinan itu? Mana kriminalitas itu? Mana kemacetan itu? Kalau tidak seperti itu bukan Jakarta namanya!”


Penderitaan dan kemiskinan milik Jakarta itu, karena sudah terlampau sering kita saksikan, sudah tidak lagi dramatis. Ini melumpuhkan hasrat warga Jakarta untuk mau melihat orang lain di luar kita. Orang-orang pinggiran itu, sama sekali tidak punya akses untuk menampilkan diri sebagai bagian dari Jakarta dengan kesadarannya sendiri.


Sedangkan, di gedung parlemen yang saya tinggalkan itu, anggotanya berlelah-lelah membunyikan suara yang bertolak belakang sebagai buntut dari istilah seksi yang kini melanda masyarakat kita: demokrasi. RUU Pemilu yang mereka ributkan itu pun sebenarnya adalah demi rakyat juga, demi bocah pengamen yang tidak mampu membuat saya iba itu.


Ah, terlalu naïf dan klise membanding-bandingkan jalanan dengan parlemen. Tapi saya tetap merasa lebih nikmat berada di tengah kebisingan jalanan ketimbang kebisingan di parlemen. Apalagi, ketika bus yang saya tumpangi hampir sampai di tempat yang saya tuju. Ketika saya beranjak ke pintu bagian belakang bus, saya lagi-lagi melihat bocah pengamen tadi. Dia duduk berdua dengan seorang kawan sebayanya, mungkin abangnya. Mereka tidur, dari tidur mereka, saya yakin tidur mereka nyenyak. Sebab, tidak sedikit pun mereka terjaga meski laju bus menggoyang-goyang leher mereka.


Kali ini saya tidak bisa berbohong, saya tersentuh dengan dua bocah itu. Sebab, seingat saya, saya tidak pernah lagi memperoleh tidur selelap tidur mereka saat itu.