Thursday, September 8, 2016

Bau Sinisme & Inferioritas dalam “Legenda” Liliyana Natsir



















Saya tidak terlalu deg-degan ketika Liliyana Natsir dan Tontowi Ahmad menyelesaikan perlawanan pasangan asal Malaysia, Chan Peng Soon dan Goh Liu Ying, di final nomor ganda campuran bulutangkis Olimpiade Rio de Janeiro, Brasil, 2016. Sekaligus, saya tidak heran dengan reaksi orang-orang terhadap malam medali emas ketujuh Indonesia dalam sejarah keikutsertaan di Olimpiade musim panas sejak partisipasi perdana di Helsinki, Finlandia, 19 Juli–3 Agustus 1952. 

Pada Rabu malam 17 Agustus itu, di media sosial seperti Instagram, Path, juga Facebook, saya melihat sejumlah “ekspresi perasaan menang” atas kesuksesan ini. Unsur emosi dalam respon anggota media sosial – berusia rata-rata 18-30 tahun – terasa pada salah satu istilah yang mereka gunakan untuk menggambarkan perasaan mereka atas prestasi Liliyana dan Tontowi: “merinding.”

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia online milik Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, merinding berarti “berdiri bulu roma (atau bulu kuduk) karena takut dan sebagainya: (misalnya) merinding rasanya melihat jenazah bayi yang tanpa kepala itu.” 

Barangkali, tidak semua orang membaca arti kata merinding di dalam kamus sebelum menggunakannya dalam percakapan sehari-hari, termasuk di media sosial. Namun, sebagai rujukan formal, Kamus Besar mencontohkan penggunaan merinding dalam kalimat untuk menjelaskan sesuatu yang “mistis” seperti “jenazah bayi yang tanpa kepala itu.”

Disadari atau tidak apa makna “resmi” merinding seperti yang tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ekpresi perasaan menang itu menggunakan sebuah istilah yang lebih sering diasosiasikan dengan peristiwa mistis. Sesuatu yang tak tampak namun dipercaya keberadaannya. Seperti mitos, sesuatu yang sangat “Nusantara.” 

Sekadar melihat-lihat ke tempat lain, di Olimpiade yang sama, seorang perenang peraih medali perunggu di nomor 100 meter gaya punggung putri asal Cina, Fu Yuanhui, digambarkan oleh Jiayang Fan – jurnalis keturunan Cina yang hijrah ke Amerika Serikat sejak usia delapan tahun – di situs The New Yorker sebagai “adorkable.” Mesin pencari Google memberi pengertian tentang kata ini sebagai gabungan antara “adorable” dan “dorky” yang berarti “dikagumi” sekaligus “nyeleneh”.

Fu Yuanhui, perenang ikonik generasi baru Cina saat meraih medali perunggu dalam renang nomor 100 meter gaya punggung putri Olimpiade 2016.



Maksud besar dari penggambaran Fan tentang atlet kelahiran Hangzou, 7 Januari 1996, ini adalah bahwa Yuanhui memberikan perilaku yang berbeda dari kesan umum yang selama ini ditunjukkan oleh atlet-atlet Cina yang berjasa membesarkan negara mereka. Ekspresi Yuanhui dianggap sebagai ekspresi dari sedikit atlet Cina yang pengalaman olahraganya dijalani tanpa harus memasuki kompleks industrial tekanan politik Cina. 

Di bulu tangkis, salah satu stereotipe yang dianggap sebagai produk politik penggemblengan masal atlet Cina mungkin adalah Lin Dan. Lin Dan, legenda hidup dalam sejarah bulu tangkis yang merebut medali emas Olimpiade dalam dua edisi beruntun (Beijing 2008 dan London 2012), hampir tidak pernah menunjukkan sikap “nyeleneh” sebagaimana yang ditunjukkan Yuanhui.

“Kapan terakhir kali kita melihat (sikap nyeleneh) atlet Cina di CCTV?” tulis seorang komentator dari Beijing setelah melihat betapa ringannya sikap Yuanhui setelah hanya meraih perunggu di nomor 100 meter gaya punggung putri. 

“Di masa lalu, kegembiraan seperti ini tampak sebagai usaha mengejar ambisi egois, pendangkalan perjuangan sebuah negara dengan cara tidak patriotik,” tulis Fan.

Bagaimana bisa sikap seorang atlet di media massa digambarkan dalam wacana politik negara di level internasional? 

Melihat Yuanhui dan Cina lalu melihat kemenangan Liliyana dan Tontowi yang bikin merinding bukanlah sebuah perbandingan yang ingin menyederhanakan. Ini adalah soal politik, dan juga alam bawah-sadar. Fan menafsirkan sikap Yuanhui untuk menunjuk alam bawah-sadar mayoritas atlet Cina dengan mengaitkannya pada politik pabrikasi atlet yang membuat negara itu menjadi pesaing terberat bagi negara mana pun yang berkompetisi di Olimpiade.

Lalu alam bawah-sadar seperti apa yang bisa dilihat dalam peristiwa medali emas Liliyana dan Tontowi di Riocentro di malam Hari Kemerdekaan Indonesia ke-71 itu? 

Fenomena media sosial membuka peluang untuk melihat masalah ini dari dua sisi yang di masa pra-internet sulit dicairkan.

Dua puluh dua hari sejak kemenangan di Rio, saya membuka akun Instagram pribadi Liliyana di mana atlet kelahiran Manado, 9 September 1985, dengan nama panggilan “Butet” ini memuat foto kartu anggota pelanggan tetap maskapai penerbangan Air Asia miliknya. Di samping gambar kartu Air Asia Big berwarna emas itu, Lilyana menulis “Lifetime” dan “thank you Air Asia.” 

Lifetime” yang diterjemahkan menjadi “seumur hidup” adalah hal yang ingin ditunjukkan Liliyana dalam komunikasi media sosialnya. Penafsiran tentang lifetime-nya Liliyana menjadi berkembang ketika membaca sejumlah respon di bawah tulisan tersebut. 

Kartu pelanggan seumur hidup maskapai Air Asia milik Liliyana Natsir yang dimuat di akun Instagram pribadinya. Kartu ini memberikan keistimewaan bagi Liliyana untuk menggunakan Air Asia secara gratis seumur hidupnya.

Timothea_s@edward_wijaya level hoki @ferd_1990 kayanya blom sampe sini 😂 mupeenng 😱” atau “natniseKamu pasti iri kan @sweetgaluh @sayhitomeyta ??” atau “nadiaadityoLife time.. kapan kartu kaya gitu ada di dompet kartu.. atau yang lebih sinis seperti ini “ handacayooAsikkkkkkkk.. siap dong buat bulan madu yaa ci keliling dunia sama pasangan. Mumpung geretong ahahahha 😆😆😆😆😆😆😆 @natsirliliyana.” 

Ada beberapa kata yang bisa dirasakan sebagai maksud yang tersimpan di alam bawah sadar dari beberapa komentar itu. Misalnya, “hoki”, “iri”, “kapan”, atau “mumpung geretong (selagi gratis).” Rasanya tidak perlu membuka Kamus Besar untuk memeriksa apa arti sebenarnya dari sejumlah kata itu untuk merasakan maksud dalam nada bertutur pada kalimat-kalimat itu.

Komunikasi Liliyana dan warga Instagram melalui foto kartu anggota Air Asia Big itu adalah ciri yang membedakan politik Indonesia dan Cina. Di Indonesia, atlet tidak diproduksi secara masal sebagaimana di Cina. Terutama sejak reformasi 1998 plus meningkatnya kecenderungan melakukan pencitraan melalui internet, politik praktis seakan berjarak dengan pencapaian seorang atlet dalam kompetisi mewakili negara. 

Di Indonesia, sekeping medali emas Olimpiade setara dengan “energi yang meremangkan bulu kuduk” sebuah negeri. Media sosial membentangkan “perasaan yang disembunyikan” atas pencapaian level tertinggi.

Dalam sudut pandang tertentu, layaknya sikap nyeleneh di Cina yang bisa dianggap sebagai ekspresi egois, keputusan Liliyana memuat Air Asia Lifetime-nya di Instagram bisa dianggap sebagai aksi pamer yang sengaja membuat orang lain merasa iri. Sementara bagi Liliyana, lifetime adalah aksinya untuk menunjukkan bahwa maskapai penerbangan Air Asia menghargai prestasinya sebagai seorang atlet. Baginya, lifetime adalah soal pengakuan. 

Dengan semua yang telah dicapainya, Liliyana seperti berdiri sendirian dalam sejarah baru bulutangkis Indonesia. Tanpa mengesampingkan peran dua rekannya dalam spesialisasinya sebagai atlet ganda campuran, Nova Widianto dan Tontowi Ahmad, juga Vita Marissa untuk ganda putri, Liliyana adalah legenda hidup yang telah mencicipi nyaris seluruh gelar individual prestisius yang tersedia di muka bumi: medali emas Olimpiade Rio 2016, juara dunia 2005, 2007, dan 2013, juara BWF Masters 2006, tiga All England periode 2012-2014, juara Asia 2006 dan 2015, serta medali emas Sea Games dalam periode 2005-2011.

Liliyana semasa masih berpasangan dengan Nova Widianto.

Dengan semua gelar itu, kesan merinding sebagaimana yang ditunjukkan muda-mudi di media sosial ketika Liliyana bersama Tontowi meledakkan gunung merapi karirnya dengan medali emas Olimpiade Rio 2016, bukanlah sesuatu yang berlebihan. Dalam konteks Indonesia, sekali lagi, sekeping medali emas bernilai setara dengan perasaan sebuah bangsa. 

Jika Anda adalah seorang Indonesia, Anda tak bisa melihat apa-apa pada pembuktian internasional selain dalam bulutangkis. Secara kebetulan, Liliyana tampil pada hari Kemerdekaan 17 Agustus setelah Indonesia harus menunggu delapan tahun sejak Markis Kido dan Hendra Setiawan terakhir kali mempersembahkan keping emas kegembiraan pada Olimpiade Beijing 2008. Mereka menyebut pencapaian ini sebagai “kado di hari kemerdekaan.”

Sebagai  negara dengan penduduk berjumlah 260.581 juta jiwa dalam perhitungan sampai Juli 2016, sekeping medali emas dalam satu Olimpiade terlalu tidak sebanding. Jumlah penduduk membuat Indonesia berada di posisi keempat dunia setelah Cina (1,38 miliar), India (1,33 miliar), dan Amerika Serikat (324,43 juta). Di Olimpiade 2016, medali emas bulutangkis ganda campuran menempatkan Indonesia di peringkat ke-46. Meski demikian, setidaknya lebih baik dari India yang berada di peringkat ke-67 dengan satu perak dan satu perunggu. Juga, setidaknya, Indonesia membawahi 159 negara lain dari total 205 negara yang berpartisipasi. 

Dan sejauh ini, bulutangkis adalah satu-satunya harga diri Indonesia di Olimpiade. Dan karena Liliyana juga Tontowi memenangi medali emas Olimpiade paling segar di cabang bulutangkis, itu pula yang menyebabkan saya tidak merasa deg-degan atas pencapaian terbaik 2016.

Mayoritas mereka yang banyak bereaksi di media sosial, baik yang merinding atau cemburu, atas kemenangan Liliyana dan Tontowi, barangkali belum pernah mengalami perasaan superioritas bulutangkis. Lilyana-Tontowi terlalu unggul di Rio. Mereka sepertinya terlalu siap untuk beban ini. Enam pertandingan sejak fase grup mereka selesaikan dengan straight set. Medali emas Olimpiade Rio menawarkan sensasi tidak pada jalannya pertandingan, namun pada saat diputarnya lagu kebangsaan Indonesia Raya ketika bendera merah putih dikibarkan dalam seremoni penyerahan medali. Jalannya pertandingan sama sekali tak seimbang, itu bisa dilihat dari skor akhir 21-14 dan 21-12. 

Di final nomor ganda putra Olimpiade Atalanta 1996, pertandingan Ricky Subagja dan Rexy Mainaki versus pasangan asal Malaysia, Cheah Soon Kit dan Yap Kim Hock, jauh lebih menegangkan dalam pertarungan tiga set. Walaupun akhirnya Ricky dan Rexy menang juga.

Ricky Subagja dan Rexy Mainaki dalam penyerahan medali usai mengalahkan pasangan Malaysia, Cheah Soon Kit dan Yap Kim Hock (kiri), dalam final nomor ganda putra Olimpiade Atalanta 1996. 

Atau, dalam final Piala Uber 1994, ketika bocah berusia 14 tahun yang kelak memilih menjadi warga negara Belanda, Mia Audina, menaklukkan pemenang medali emas tunggal putri Olimpiade Athena 2004 dan Beijing 2008 asal China, Zhang Ning, dalam pertarungan tiga set yang disempurnakan dengan kemenangan tim Piala Thomas Indonesia sehari setelahnya. 

Di tahun 1994, saya adalah bocah berusia sepuluh tahun yang larut dalam hiruk-pikuk dalam rumah ketika tetangga dan saudara datang ke rumah nenek saya hanya untuk menonton final bulu tangkis. Jauh sebelum orang-orang menggunakan istilah “nobar” sebagai singkatan “nonton bareng” pertandingan sepakbola, bulu tangkis sudah mendapatkannya.

Lebih jauh lagi, saya adalah bocah delapan tahun yang tinggal di sebuah kota kecil di Sumatera ketika dalam ingatan samar saya melihat Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma diwawancarai secara khusus di TVRI setelah mempersembahkan medali emas pertama Indonesia di Olimpiade Barcelona 1992. Sejak menyadari bulutangkis sebagai tontonan pada kegemilangan Piala Thomas-Uber 1994, sejak itu pula saya memiliki perasaan “tak ada negara yang lebih hebat dari Indonesia di bumi ini untuk urusan bulutangkis." 


Mia Audina (paling kiri) bersama legenda Korea Selatan, Bang Soo Hyun, yang mengalahkannya di final tunggal putri Olimpiade Atalanta 1996, juga Susi Susanti yang meraih perunggu.

Sebagai seorang anak, superioritas bulutangkis itu juga saya rasakan ketika sebuah majalah anak-anak paling populer menerbitkan edisi khusus di mana di dalamnya ada komik yang menceritakan perjalanan Mia Audina sebelum menjadi pahlawan di Piala Uber 1994.

Sejak 1994, Indonesia merebut lima Piala Thomas beruntun sebelum dihentikan Cina yang membalasnya dengan jumlah sama dalam periode 2004-2012. Di Piala Uber, kenangan tentang Mia Audina berhenti setelah Cina mengalahkan Indonesia dalam usaha mencetak hattrick pada final 1998 di Hongkong. Bulutangkis pada periode 1994-1996, telah memberikan perasaan superioritas kepada seorang anak layaknya seorang bocah Brasil terhadap sepakbola. 

Jadi, apa yang harus dikesankan dalam keberhasilan Liliyana dan Tontowi dua puluh tahun kemudian? Dengan pengalaman superioritas yang telah menjadi nostalgik akibat ditenggelamkan Cina setelah Piala Uber 1998 dan Piala Thomas 2004, saya tidak terlalu berharap banyak pada bulutangkis hari ini. Bukan dalam pengertian bahwa kemenangan Lilyana dan Tontowi tidak setara dengan kegemilangan masa lalu, namun ini soal “perasaan superior” sebagai bangsa.

Liliyana adalah mata air kecil dalam kegersangan perasaan superior yang pernah ada itu. Di hadapan Indonesia kini, Cina adalah raja bulutangkis, lawan abadi yang dulu pernah dianggap berada di bawah bayang-bayang kebesarannya. 

Anak-anak yang merasa merinding melihat Liliyana dan Tontowi mengangkat tangannya untuk menghormati bendera merah putih di Riocentro tepat pada 17 Agustus 2016, adalah produk kegersangan perasaan superior itu. Sejarah mengabarkan kepada mereka suatu masa penuh kebesaran yang belum mereka sadari karena ketika itu boleh jadi usia mereka belum cukup untuk memahami mengapa bulutangkis bisa membuat mereka merinding.

Ekspresi Liliyana Natsir dan Tontowi Ahmad setelah memenangi medali emas nomor ganda campuran bulu tangkis Olimpiade Rio, Brasil, 2016. Foto ini dimuat di akun pribadi Instragam Tontowi Ahmad.

Sebagai seorang pribadi, saya tidak gegap-gempita dengan medali emas Olimpiade Liliyana dan Tontowi. Bukan dalam pengertian tidak menghargai, namun untuk mempertahankan perasaan bahwa sekeping emas tanpa Piala Thomas dan Uber lebih dari satu dekade bukanlah sejarah yang layak untuk Indonesia. 

Justru, dalam situasi ini, Lilyana adalah legenda. Dia berhak untuk menunjukkan bahwa Air Asia menghargainya dengan status “seumur hidup” dalam kartu anggota pelanggan maskapai penerbangan asal Malaysia itu. Para pembenci tidak akan memahami betapa sulitnya mempertahankan ingatan tentang sejarah besar dalam ketandusan. Tanyalah Liliyana: apa yang ada di pikirannya ketika dia meninggalkan rumah dan orang tuanya di Manado untuk hijrah ke Jakarta dan bergabung dengan klub Tangkas Alfamart di usia 12 tahun hanya untuk menjadi seorang legenda bulutangkis? 

Jakarta, 9 September 2016 
 




Wednesday, September 7, 2016

Andres Iniestanya Barcelona: Saya Adalah Korban Sesuatu yang Menakuti Saya



Gelandang Barcelona ini berbicara terbuka tentang masa sebelum Piala Dunia 2010, ketika dia berhenti merasa dirinya sebagai seorang pesepakbola dan harus mencari pertolongan profesional. 

Andres Iniesta mengatakan dia mendengar keheningan dan tahu bahwa semua yang harus dilakukannya adalah menunggu Isaac Newton. Bola memantul; gravitasi akan membawanya turun kembali dan, ketika itu terjadi, dia akan mencetak gol. Itu adalah menit ke-166 di Johannesburg dan dia mencetak gol, berlari ke sudut dan membuka kostumnya untuk menunjukkan pesan yang terpampang di sana, ditulis dengan cat biru oleh Hugo, sang pembantu umum (Tim Nasional Spanyol): “Dani Jarque, selalu bersama kami.” Pada jarak sepuluh ribu mil, Spanyol meletus dan Jessica (istri Dani Jarque) menangis. Melalui matanya dia melihatnya: Dani, Dani miliknya.

Final Piala Dunia 2010 merupakan laga pertama yang disaksikan Jessica sejak suaminya meninggal dunia sebelas bulan sebelumnya dalam usia 26 tahun. Dia menonton televisi bersama ibunya, Maria, dan anak perempuannya, Martina, sepuluh bulan, ketika bola memantul. Apa yang mereka saksikan lebih dari sekadar sebuah gol, (namun) pernyataan oleh Iniesta – untuk mereka semua. Dan adalah hari yang cerah di Sant Joan Despi ketika, enam tahun kemudian, Iniesta menjelaskan bagaimana peristiwa itu mencabutnya dari “sebuah tempat yang gelap.” 

Iniesta bisa saja tidak pernah berada di sana dan tanpa gol itu dia tidak tahu apa yang akan terjadi sekarang. Barangkali dia tidak di sini, kompleks latihan Barcelona, salah satu tempat pesepakbola paling termahsyur di dunia. Di pengujung malam sebelum final, ketika setiap orang tertidur, dia membuka pintu pelan-pelan dan, tanpa meninggalkan hotelnya, bersiap untuk berlari. Dia menuruni koridor dan melakukan sprint hingga dia percaya dia bisa melakukannya. Seluruh tes fisik untuk laga itu, selesai pada pukul empat sore, dan (Iniesta) berjanji (pada tim) bahwa dia akan baik-baik saja bahkan ketika mereka berpikir dia tidak demikian. Saat itu, dia rapuh namun siap-sedia.   

Ini lebih dari sekadar otot-otot Iniesta, sungguh: itu adalah pikirannya. Perasaan aman saat menunggu Newton mencopot ketidaknyamanan dan penderitaan beberapa bulan sebelumnya. Pada 2009 dia memenangi Liga Champions Eropa dan menyusul Piala Dunia di musim panas. Itu sudah pasti menjadi tahun terbaik dalam hidupnya; meskipun adalah yang terberat. Dia menderita (dalam jeda) di antara dua gelar tersebut. “Tidak benar-benar depresi, tidak juga sakit, tidak juga, tapi sebuah kegelisahan,” katanya dalam bukunya, The Artist, yang dipublikasikan hari ini. “Rasanya seperti tidak ada sesuatu pun yang benar.” 

Iniesta bermain di final (Liga Champions) 2009 dengan cedera, diingatkan untuk tidak menembak. Di pramusim, saat dia tetap tidak bugar, Carles Puyol menyampaikan kabar: temannya, Jarque, kapten Espanyol, meninggal dunia. Akibatnya sangat mendalam, tubuh dan pikirannya menderita secara bersamaan. Pemeriksaan (medis) menunjukkan tak ada masalah fisik yang spesifik namun Iniesta tidak bisa menyelesaikan keseluruhan musim, Pep Guardiola memintanya berjalan kapan pun dia butuh, dan dia melakukannya dengan sering. Mereka harus menunggu, kata Guardiola, dan penungguan pun bergulir. Ketika Iniesta bermain dia tidak sama lagi dan April mendatangkan cedera yang lain. Piala Dunia, cahaya yang dicarinya, beresiko menjadi padam.

Selebrasi Iniesta saat mencetak gol tunggal Spanyol di final Piala Dunia Afrika Selatan 2010 menghadapi Belanda. Iniesta membuka kaosnya untuk menunjukkan pesan simpati terhadap almarhum kiper Espanyol, Dani Jarque

Iniesta mengatakan dia merasa seakan-akan dia sedang “terjun bebas”. Karena tak mampu bangkit, dia pergi ke dokter  klub, mencari perawatan psikologi secara profesional. Jika melakukan hal itu bisa membawa sebuah stigma, terutama dalam olahraga, dia berkata: “Ketika Anda butuh pertolongan, Anda harus mencarinya: saat itu saya butuh pertolongan. Orang-orang (psikiater) itu adalah spesialis; itulah kegunaan mereka. Anda harus memanfaatkan mereka.” 

Dan Iniesta melakukannya – dengan tenang dan privat. Dia butuh pertolongan; dia bicara tentang “berada di tubir”, “rapuh”, “korban sesuatu yang menakutiku”. Rekan setimnya tidak tahu. Tidak juga mengatakan sesuatu pun kepada publik. Ada semacam katarsis, atau barangkali suatu “pengkhataman”, dalam apa yang terjadi saat ini. Dia telah berbicara tentang Newton sebelumnya namun bukan tentang apa yang terbentang di depannya, betapa pentingnya momen itu. Apa yang akan terjadi padanya tanpa itu? Bagaimana seandainya Spanyol tidak memenangi Piala Dunia? Ini bukanlah sebuah pertanyaan yang curang.

Sekalipun dia enggan menyebut penderitaannya sebagai “depresi”, ada sebuah lintasan dalam bukunya di mana Iniesta menulis bahwa dia bisa “memahami” mengapa ada orang-orang melakukan “locura”: bagaimana mereka bisa berakhir dengan melakukan sesuatu yang “gila”, sebuah aksi “kesintingan”. Apa yang dimaksudkannya? Dalam konteks bahwa ini adalah sebuah kata yang berkekuatan, kecemasan dan ketidaknyamanan: kesehatan mental bisa menghaluskannya, dengan melemahkan keputusasaan dan konsekuensi kengerian. 

“Ketika Anda tidak baik-baik saja, Anda akan mengalami peristiwa yang menimpa Anda, yang akan membuat Anda cemas,” ujar Iniesta. Kata-katanya – te imponen respeto – menentang penerjemahan bebas namun berarti ketakutan, sebuah perasaan tentang situasi yang menjadi besar ketimbang diri kita, melampaui kita, dan sepenuhnya di luar kontrol. “Kesulitan-kesulitan itu, momen-momen ketidaknyamanan pergi dari sana untuk kepastian-kepastian yang ekstrem,” katanya, “ya, setiap kasus memiliki keanehannya...”

“Ada waktu ketika pikiranmu sangat rapuh. Kau mengalami banyak keraguan. Setiap orang berbeda, dalam setiap kasus. Apa yang saya ingin coba jelaskan adalah Anda bisa berpindah dari wujud yang baik ke dalam situasi buruk dengan sangat cepat. 

“Saya tidak pernah menyentuh titik di mana saya mengatakan: ‘Aku menyerah.’ Saya memahami bahwa saya harus menanggung momen yang sangat sensitif tapi saya mengungsi ke orang-orang di sekitar saya dan, di atas semua itu, pada sepakbola. Saya tidak pernah merasa saya tidak ingin terus bermain. Saya tahu suatu hari saya akan mengambil sebuah langkah maju, barangkali yang berikutnya akan menjadi tiga, lalu lima...ini adalah sebuah proses dan bagaimana kau menjalaninya.

“Orang-orang melihat para pesepakbola sebagai makhluk yang berbeda, seakan-akan mereka tak tersentuh, seakan-akan tak ada yang terjadi pada kami, tapi kami juga manusia. Kami memang diistimewakan namun dalam kenyataan kita semua sama.” 

Kesamaan? Atau barangkali lebih buruk? Menjadi perhatian, tekanan, kompetisi dan kebutuhan untuk tampil, tokoh publik, membuat ini semakin berat? Juga beberapa pekerjaan (tambahan) yang menampilkan orang-orang yang sangat muda. Responnya sangat gesit: “Kami bukanlah martir,” kata Iniesta. “Banyak orang ingin bertukar tempat dengan kami. Setiap pekerjaan punya kesulitannya. Setiap hari, ayah saya, seorang kuli bangunan, pergi ke pembangunan, dia bisa saja jatuh. Tapi dia menerima resikonya; dan dia harus. Atau supir kereta, atau pekerjaan apa pun...pesepakbola tahu; dia tumbuh dengan tekanan, kritik, harus menjadi kuat. Saya yakin tidak banyak orang yang mau melakukannya.”

Iniesta meninggalkan rumah untuk bergabung dengan Barcelona sebagai seorang bocah 12 tahun, setiap hari menangis sendirian di pojokan. Dia mengatakan malam terburuk dalam hidupnya adalah hari pertama dia berada di La Masia sementara orang tuanya pulang ke Fuentealbilla, (sebuah desa) di provinsi Albacete, dengan mobil Ford Orion yang sering mogok. 

Kartu Anggota Pemain Dinas Olahraga Kota Albacete 1993 di mana Iniesta terdaftar sebagai pemain klub Albacete Balompie.

“Kami beruntung menjadi pesepakbola: niat saya menjelaskan saat-saat buruk bukan untuk membuat orang mengatakan ‘betapa malangnya’, sama sekali jauh dari itu. Hanya (untuk menunjukkan) bahwa elemen hidup (seorang pesepakbola), perasaannya, kesulitannya, sama dengan setiap orang lainnya. Ini adalah tentang bagaimana orang-orang hidup. Saya tidak merasa bahwa saya adalah seseorang yang berbeda. Butuh una barbariedad – ongkos yang sangat besar – untuk bisa masuk ke tim utama dan bahkan bertahan di sana. Saya menghabiskan seluruh hidup saya di Barcelona, hidup dengan tekanan sejak berusia 12 tahun. Tapi, jika kau terlahir sebagai seorang pesepakbola, ingin menjadi salah satunya, tidak masalah berapapun usiamu.”
  
Nyaris selama setahun dia merasa seakan-akan dia bukanlah seorang (pesepakbola), identitasnya hilang. Afrika Selatan membawanya melewatinya dan menempatkannya di sini; Iniesta mengakui bahwa hal itu mengizinkannya untuk “merasa seperti seorang pesepakbola lagi.”

Beberapa pesepakbola: kapten Barcelona, yang dikagumi di seluruh semesta, seseorang seperti Lionel Messi mengatakan bahwa, ketika ada  masalah di lapangan, hal terbesar yang ingin dia lakukan adalah mendekati Andres. Pemenang lebih dari 30 gelar: dua trigelar; semua piala ada di sana; juara Liga Champions 2006 (meski dia mengakui bahwa keputusan Frank Rijkaard di final, di mana dia memulainya dari bangku cadangan, dengan berkata “saya tidak bisa duduk tenang”), 2009, 2011 dan 2015; juara Piala Eropa 2008 dan 2012; Juara Piala Dunia pada 2010 dengan mencetak “gol” itu. 

Dan dia tidak ingin berhenti. Di usia 32 tahun, dengan tak lagi bermain bersama Xavi Hernandez dan dengan dimulainya perubahan (permainan) Barcelona dalam sebuah pergeseran gaya, lebih direct, mungkin akan menjadi sesuatu yang alamiah bagi karir Iniesta untuk menarik sebuah garis menuju penutup. Dia mungkin telah menjadi korban alamiah; meskipun dia menikmatinya tidak seperti sebelumnya. Dia menjadi lebih lebih terpusat dalam perasaan apapun, semacam (gabungan) Iniesta dan Xavi.

Kualitas yang membentuknya tidak berkurang; permainannya, sebagaimana yang dikatakannya, “intuitif.” Inilah pengakuan terhadapnya: diringkaskan dalam sebuah foto di mana dia dikelilingi pemain lawan, lebih besar dan lebih banyak ketimbang dia. Seakan hampir-hampir disengaja, menarik mereka ke dalam, bahkan seakan-akan dia mengajukan protes: “saya lebih suka menghadapi satu (pemain) dari pada lima!” Dia menjelaskan: “saya tidak pernah melihat menjadi kecil sebagai sebuah kerugian; setiap orang memiliki kualitasnya. Jangan minta saya mengalahkan seorang pemain dengan tinggi 180 meter di udara: minta saya melakukan hal lain di mana di sana saya lebih baik ketimbang dia. 

Iniesta dalam kepungan lima pemain Italia pada final Piala Eropa 2012

“Sebagian besar hal-hal berasal dari dalam, mereka intuitif, dengan itulah saya menjadi diri saya. Ada taktik, strategi, namun saya memahami sepakbola sebagai sesuatu yang tidak bisa diperkirakan, karena Anda harus memutuskan dalam seperseribu detik. Jika bola datang dan ada seseorang di belakang saya, saya tidak berpikir: ‘saya (bergerak) ke kiri atau ke kanan ya? Itu datang dan pergi saja ... dan, terkadang itu tidak berhasil.”

Dari seberang ruangan seorang teman mendengarkan. “Itu selalu berhasil,” dia berteriak, tertawa. Iniesta menggelengkan kepalanya sedikit ke arah lain. 

“Hal-hal sedikit berubah namun esensinya akan selalu sama,” ujarnya. “Bangkit dan berubahnya sesuatu membutuhkan waktu: kami tidak bermain baik pada September (2014) seperti final (Liga Champions) 2015 di Berlin. Gaya (permainan) adalah produk para pemain; Anda harus menggunakan mereka (Messi, Neymar, dan Suarez) dan mungkin para gelandang mendapatkan lebih banyak lapangan untuk dijelajahi, namun saya bukan seseorang yang hanya bermain pada satu sistem atau gaya tertentu. Tahun lalu adalah salah satu musim yang paling saya nikmati. Saya memecahkan rekor kilometer, tapi itu tidak berhubungan langsung dengan gaya saya.”

Keseimbangan di bawah (kepelatihan) Luis Enrique memikul semua itu: satu trigelar dan satu dwigelar. Kini, ketika mereka memulai musim yang baru, sesosok wajah familiar berdiri di belakang mereka di Liga Champions: seseorang yang melihat keluar dari poster di kamar tidur Iniesta. Pelatih yang mengubah klub (Barcelona) dan mengubah karirnya – dan juga mengubah karir Iniesta. Barcelona versus Manchester City: ini bukanlah hasil undian yang mereka inginkan namun lebih baik saat ini ketimbang di fase gugur. Dan reuni akan menjadi pertandingan penuh cinta. 

Setelah dua pertandingan bersama Guardiola pada 2008 Barcelona belum menang dan tekanan semakin besar. Mengapa mereka memilih “benih” ini ketimbang Jose Mourinho? Suatu hari ada yang mengetuk pintu Guardiola. Dia adalah Iniesta. “Laju terus, Tuan. Kita berlatih dengan sangat brilian dan berdarah-darah,” katanya.

“Hal-hal tidak berjalan baik pada awalnya dan saya percaya bersamanya (Guardiola),” kata Iniesta. “Saya merasakan semacam jalinan. Ketika sesuatu berasal dari dalam, kau tahu itu memang nyata. Saya merasakan hal itu, rasanya seperti harus berbicara padanya, mendukungnya. 

“Kami pulang dari Piala Eropa 2008 dan pergi ke St Andrews dan kami bisa melihat bahwa ini berbeda: latihan, komunikasi, bagaimana manajer bekerja. Sampai saat itu belum ada semacam gaya tertentu dan saya sangat memperhatikan ini. Itu merubah semuanya dan kami membutuhkannya.

“Sejak itu, jika Anda menonton, ada beberapa hal yang oleh pelatih lain tidak pernah berhasil mereka lakukan: bek tengah keluar bermain, atau bek sayap. Menarik gelandang bertahan lebih mundur untuk memulai (pergerakan). Dalam latihan, meski ada dua pemain dalam mundur untuk menerima (bola), dia memaksa kami maju ke gelombang berikutnya, mendukung pemain yang lebih berada di depan, menawarkan pilihan-pilihan umpan. Anda hanya bisa maju sejauh batas; Anda tidak bisa melewati garis ini,” kata Iniesta mengisyaratkan batas dengan tangannya. “Dan mereka menonton untuk memastikan, atau akan ada ‘kerucut’ yang menandai (batas itu). 

“Semua ide-ide itu diungkapkan sejak awal dalam latihan. Atau, menekan setelah kehilangan posesisifitas... ada pemicu ketika, jika lawan memainkan enam umpan tanpa Anda, Anda harus merebutnya dari mereka, dan mereka akan mendapatkan angka.” Bahkan untuk penjaga gawang? “Ya, dia selalu penting bagi kami, pemain yang berbeda: ketika bola datang dari dalam, tergantung apakah penyerang tim lawan memiliki satu atau dua (penyerang), penjaga gawang turut bermain. Dia membuat kami memiliki superioritas yang bisa dihitung."

Joe Hart telah keluar (dari Manchester City). Namun apakah filosofi Guardiola bekerja di Manchester? “Pep tahu bagaimana mengadaptasi dan saya sangat yakin dia akan melakukannya di Inggris,” kata Iniesta. “Dia juga memiliki staf seperti Mikel Arteta yang akan membantu proses itu, yang mengenal liganya. 

City telah merekrut dan memiliki skuad yang sangat kompetitif. Saya tahu Nolito bagus karena dia adalah rekan setim di Barcelona dan Spanyol. Dia melakukan awalan yang hebat dan berharap dia bisa melanjutkannya. Saya mengagumi David Silva bertahun-tahun: menurut saya dia berbeda. Para pemain belajar dari hari ke hari, dari pengalaman, rekan setim dan staf kepelatihan. Saya belajar banyak bersama Pep; dia membantu saya meningkatkan diri dan dia akan melakukan hal yang sama di City.”

Di luar semua itu, bagaimanapun, Guardiola menginginkan Iniesta tetap menjadi Iniesta, tidak hanya selama bulan-bulan dia (Iniesta) tidak menjadi dirinya. Karena ketika Iniesta adalah dirinya sendiri, dia adalah sesosok unik. Fuentealbilla bersama teman-temannya tidak sama seperti Camp Nou dengan 98 ribu fan ­– “Semoga,” katanya – namun di saat tribun memperhatikanmu, juga tekanan, beberapa hal (lama) masih tersisa. “Apa yang saya lakukan di stadion, pernah saya lakukan di taman bermain sekolah,” kata kapten Barcelona. “Apa yang saya lakukan di usia 12, tetap saya lakukan saat ini.” 

Andres Iniesta Lujan

Artikel asli ini ditulis oleh Sid Lowe dengan judul asli “Barcelona’s Andres Iniesta: I Was A Victim of Something That Terrified Me.” Dimuat di situs The Guardian, 6 September 2016.

Tuesday, September 6, 2016

Badut, Doyan Kambing, dan Anak Lonte: Sebuah Sejarah tentang Penghinaan Politik



Presiden Filipina, Rodrigo Duterte

Ucapan mengejutkan Presiden Filipina tentang Barack Obama merupakan bagian dari tradisi bahasa anti-diplomasi. 

Gambaran Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, tentang Barack Obama sebagai seorang “anak lonte” telah menyebabkan cek-cok antara Filipina dan Amerika Serikat dan menaikkan “bulu  mata” dalam lingkaran diplomatik. Namun, bahasa kurang ajar Duterte jelas bukan sebuah tensi rendah baru dalam wacana politik tingkat tinggi.

Penghinaan – kejam, vulgar, bergaya atau riang – dilakukan oleh para politisi melawan politisi lain, para pemimpin nasional, figur publik dan negara yang mereka wakili sejak ditemukannya demokrasi Yunani. 

Dalam Bagian Pertama Henry IV-nya Shakespeare, Falstaff menyebut Pangeran Wales yang masih muda dalam keadaan mabuk, raja masa depan Inggris, sebagai “kayu penggertak anjing”. Henry menyerang balik, menyebut penyiksanya yang lembut sebagai “anak lonte keluyuran” – tidak terlalu berbeda dari hinaan kasar Duterte 600 tahun kemudan.   

Sebagai presiden kulit hitam Amerika pertama, Obama sering menjadi sasaran makian. Dia dituduh menjadi seorang muslim rahasia, anggota Black Panther, yang memalsukan kematian Osama Bin Laden, dan mendanai kampanye pemilihannya dengan uang dari obat-obatan. Salah satu kaos kampanyenya memampang gambar Obama dan sebuah kalimat: “Di suatu tempat di Kenya sebuah desa kehilanganya idiotnya.” 

Namun, dia juga bisa menghidangkannya. Pada 2008, dia menggambarkan rival Demokratnya, Hillary Clinton, sebagai sentuhan luar “pengacara korporat yang duduk di meja Walmart”. Dia mengubah nadanya tahun ini, dengan antusias menyokong pencalonan Clinton.   

Obama juga berkata pedas tentang nominasi Pemilihan Presiden AS 2016 dari Partai Republik, Donald Trump. “Menurut saya (Trump) tidak cocok untuk melayani sebagai presiden,” ujarnya bulan lalu. “Dia tidak menunjukkan bahwa dia memiliki pengetahuan dasar tentang isu-isu kritis... sangat menyedihkan dia tidak siap untuk pekerjaan ini.” 

Taktik gema pertanyaan kompetensi seperti ini digunakan oleh George Bush Sr, yang saat menjadi presiden pada 1992 menentang Bill Clinton dan Al Gore, rival Demokratnya, (menyebutnya) sebagai “dua badut itu”. Beberapa komentator Amerika mengatakan keganasan Trump dan kebiasaannya memaki Hillary Clinton merupakan (tindakan) seorang pendusta dan banyak orang lain yang dihinanya mengecilkan nada bicara pada kampanye 2016 dalam derajat yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Politisi terkemuka Inggris dan Eropa biasanya bersiap untuk turun dan kotor ketika ada permintaan hajatan. Francois Mitterand, mantan Presiden Prancis, terkenal karena mengatakan Margaret Thatcher memiliki “mulut Marilyn Monroe namun mata Caligula”. 

Margaret Thatcher, Perdana Menteri Inggris (1979-1990)

Nicolas Sarkozy, penerus Mitterrand, melakukan hinaan terhadap tiga kunci aliansi dalam sekali jalan dalam acara jamuan cuci mulut sebuah pesta makan siang pada 2009 dengan mengatakan Obama “tidak selalu mencapai standar pengambilan keputusan atau efisiensi,” Perdana Menteri Spanyol, Jose Luis Rodriguez Zapatero “barangkali tidak terlalu cerdas,” sementara Kanselir Jerman, Angela Merkel, kurang pemahaman tentang krisis finansial global.

Kekeliruan “kaki di mulut” yang melibatkan para pemimpin asing di kemudian hari menjadi spesialisasi Boris Johnson, mantan Walikota London yang saat ini adalah Sekretaris Luar Negeri Inggris. Dia menyebabkan kemarahan – dan kegembiraan – di Turki ketika dia menulis puisi jenaka untuk menyebut Presiden Recep Tayyip Erdogan menikmati hubungan badan dengan seekor kambing. 

Rivalitas kenegaraan yang bersejarah seringkali mengakibatkan tercurahnya (darah) ke limpa secara deras. Pemimpin Prancis lainnya, Napoleon, dengan nada menghina menentang orang Inggris sebagai sebuah “bangsa penjual sepatu”, sementara mantan presiden Jacques Chirac menyebut Inggris dengan: “Anda tidak bisa mempercayai orang yang tidak pandai memasak. Satu-satunya hal yang mereka lakukan untuk pertanian Eropa adalah sapi gila (penyakit).” George Mikes, seorang komentator Hungaria, melepaskan sebuah serangan rendah yang menyakitkan: “Orang-orang kontinenal (Eropa) memiliki kehidupan seks. Orang Inggris memiliki botol-botol air panas.

Para politisi yang, seperti Duterte pekan ini, menghadapi kritisisme terhadap perilaku atau kebijakan dari politisi lain seringkali menganggap (politik) sebagai masalah pribadi. Mantan Perdana Menteri Inggris, John Major, menyebut Tory Euroseptics “bajingan”. Thatcher menentang anggota kabinet yang kritis dengan menyebut mereka “basah”. 

Seksisme adalah alat yang sesekali dikeluarkan. Ketika dituduh mabuk-mabukan di House of Commons, Winston Churchill berkata pada Bessie Braddock MP (anggota parlemen Inggris dari Partai Buruh): “Sayangku, kau jelek, dan lebih lagi, kau jelek menjijikkan. Tapi besok aku akan sadar dan kau tetap jelek menjijikkan.” Setahun kemudian, Clement Freud mengejek Thatcher dengan “Attila Si Ayam Betina”.

Beberapa politisi secara tidak bijak menghina para pemilih yang dukungannya mereka butuhkan. Mantan Perdana Menteri Inggris, Gordon Brown, dipaksa meminta maaf setelah terdengar menyebut seorang pemilih perempuan yang tidak puas dengan “seorang fanatik.” Sarkozy masuk ke dalam air panas selama tahun 2008 dengan seorang konstituen musuh. Ketika seorang lelaki menolak berjabat tangan, sang presiden menjawab: “Casse-toi, alors, pauvre con, va,” yang berarti: “merumputlah, bodoh, pecundang.” 

Siapapun yang percaya bahwa hinaan politik kotor adalah sebuah fenomena modern harus mempelajari pengalaman seorang presiden Amerika di abad ke-19, sebagaimana dihubungkan oleh Geoffrey Stone di Chicago Tribune. Yang dihukum mati-matian sebagai seorang “pembohong”, “lalim”, “perampas”, “pencuri”, “monster”, “sumpah palsu”, “bebal”, “penipu”, “tiran”, “iblis”, “pengecut”, “pelontar gurauan yang tak pantas”, “bajak laut”, “setan”, “pencuri di malam hari” –  dan seorang pengkhianat negara.   

Reputasi presiden ini telah sedikit dipulihkan sejak itu. Namanya? Abraham Lincol.

Artikel asli ini ditulis dalam bahasa Inggris oleh Simon Tisdall dengan Judul "Bozos, Goat Lover and Sons of Whores: A History of Political Insult." Dimuat di situs The Guardian, 6 September 2016.