Saya tidak bisa berenang. Tetapi saya sudah di tengah laut. Di atas perahu bermesin ini, sudah tersedia kacamata plus pipa “insang” untuk snorkeling. Di bagian depannya, puluhan sepatu katak bertumpuk-tumpuk.
Kecuali empat orang awak perahu, penumpang lainnya adalah rekan sekantor. Mereka bersemangat meskipun beberapa orang mabuk laut.
Perahu bergerak menjauhi pulau Tidung dan mendekati pulau lainnya. Perjalanan sekitar 45 menit. Saya tak tahu nama pulau yang didekati perahu itu. Saya baru kali pertama datang ke Kepulauan Seribu. Sulit menghapal nama-nama dan memastikan lokasi pulau-pulau yang berdekatan itu.
Perahu tak menepi di pulau tujuan. Hanya berhenti di wilayah yang tak terlalu dalam, mungkin sekitar satu kilometer dari pulau. Di bawah perahu, air berwarna biru dan jernih. Dan saya belum pernah berenang ke laut, selain juga tidak bisa berenang. Tetapi toh ada pelampung.
Saya turun ke air tanpa rasa takut. Tubuh mengapung tanpa harus menggerakkan kaki. Pipa insang sudah saya masukkan ke dalam mulut. Selanjutnya, kacamata snorkeling saya lekatkan ke wajah. Astaga! Saya tidak bisa bernafas. Setiap kali saya mencelupkan kepala ke dalam air, saya muncul kembali ke atas permukaan dengan nafas terengah-engah. Air laut terminum juga sedikit-sedikit. Asin.
Seorang teman mengajarkan caranya. Saya harus bernafas lewat mulut. Hanya lewat mulut. Seperti ikan. Ketika saya mencoba bernafas lewat mulut, saya baru tahu trik dari wisata laut yang belum pernah saya coba ini. Untuk pertama kali ketika saya berhasil bernafas dan mencelupkan kepala ke laut, saya melihat keadaan di bawah laut begitu terang dan berwarna-warni. Ternyata, bawah laut memang ajaib, indah, seperti dunia sendiri.
Sejak itu, saya berkeliaran ke sana-kemari untuk melihat-lihat terumbu karang beserta ikan-ikan berbagai jenis dan warna. Ikan-ikan itu berseliweran di atas kepala saya. Berenang bergerombol di depan mata saya tanpa rasa takut.
Sekali-sekali saya iseng mendekati gerombolan yang tampak sedang berhenti di satu rumpun karang. Mungkin mereka mencari makan. Ketika saya mendekat, mereka menjauh dan sulit saya tangkap. Tetapi mereka sama sekali tidak punya rasa takut terhadap saya, si manusia yang baru pertama kali berkeliaran di dalam laut.
Belakangan, ketika saya sudah sampai di Jakarta lagi, saya ceritakan ke teman-teman saya betapa cueknya ikan-ikan itu terhadap saya. Teman-teman saya menjawab dengan sederhana: “ya wajarlah! Itu memang alamnya dia.” Saya lupa, bahwa di dalam laut, manusia hanyalah orang asing. Ikan adalah tuan rumah di sebuah dunia lain yang mungkin saja seperti surga.
Pukul empat sore, kami semua naik ke kapal. Saya sedikit mual. Rasanya angin yang tidak pernah keluar dari tubuh saya terdesak hingga ke ujung pori-pori. Tetapi pemandangan bawah laut yang dilihat dari permukaan membuat rasa mual itu tak ada artinya.
***
Malam itu kami tak jadi bakar ikan di pinggir laut. Sebagian dari kami lelah. Sore sehabis snorkeling, beberapa dari kami bersepeda ke Jembatan Cinta. Jembatan Cinta mungkin sekitar dua kilometer dari rumah sewa (home stay) yang kami tumpangi. Di halaman rumah sewa berderet puluhan sepeda jenis mini dengan keranjang di depan setang.
Bersepeda ke Jembatan Cinta memberikan hiburan yang lumayan. Kami melewati jalan setapak yang membujur nyaris sepanjang pulau. Hari itu Minggu. Jadi, Jembatan Cinta sangat ramai. Ada perempuan-perempuan dengan rambut basah, anak kecil, dan pemuda-pemuda yang sedang berhitung sebelum melompat ke air dari jembatan.
Kelelahan bermain sepanjang hari membuat sebagian dari kami malas ke pinggir laut. Malam itu, cumi-cumi dan ikan baronang dipanggang di halaman di samping home stay. Rasanya lumayan. Bumbu dan bakarannya pas. Di televisi, Everton ditaklukkan Liverpool 0-2. Manchester United mengalahkan Norwich City juga dengan skor 2-0.
Tapi tak ada bir di pulau ini. Rekan-rekan sekantor saya, terutama yang lelaki, adalah penikmat bir. Biasanya, acara-acara malam seperti itu selalu diwarnai bir. Menurut salah seorang penduduk, bir dilarang di pulau itu. Kafe-kafe di pinggir pantai bahkan tak menjual minuman keras apapun. Bahkan, kata penduduk itu, ada pengunjung yang tertangkap karena membawa ganja. Pengunjung itu langsung diserahkan ke polisi setempat dan dikirim ke Jakarta untuk dimasukkan ke penjara.
Tetapi, bagaimana bisa liburan malam di pinggir pantai tanpa bir? Malam pun bergerak begitu cepat.
Beruntung saya punya Giyatno. Dia bagian pembantu umum di kantor saya. Sebelum orang-orang tidur karena kelelahan, Giyatno mengajak saya berjalan-jalan ke pinggir pantai. Saya mengiyakan. Kami berjalan ke dermaga papan di mana perahu wisata snorkeling bersandar.
Tempatnya terlalu ramai. Sebagian pengunjung duduk di atas tikar sambil membakar jagung. Saya, dan juga Giyatno, butuh tempat yang sepi.
Setelah berjalan-jalan ke sana kemari, akhirnya kami menemukan tempat yang kami inginkan. Sebuah balai-balai dari papan dengan sandaran kepala. Jika anda mengantuk, anda bisa merebahkan badan dan menyandarkan kepala dengan kemiringan leher yang pas. Di kiri-kanan, terdapat rumah penduduk.
Di depan balai-balai, tegak sebuah lampu listrik berwarna merkuri. Anehnya, lampu merkuri tersebut menyala dan mati dalam jarak lima menit sekali. Di sebelah kanannya, dua perahu terikat pada tambatannya.
Dan kami melakukan semacam, sebutlah kegiatan kriminal kecil yang tetap punya resiko. Setelah tubuh dan pikiran bergerak semakin pelan, saya merebahkan badan dan menyandarkan kepala. Ketika memejamkan mata, yang terdengar hanya deru angin, gemerisik dedaunan yang tak berhenti diusik angin, serta lampu yang terus nyala-mati tiap lima menit. Tubuh seperti di dalam buaian. Betapa indahnya!
Giyatno bilang kami bisa saja tertidur di sana. Tetapi saya lebih memilih pulang. Namun begitu, sebelum kami pulang, Giyatno bercerita tentang perjalanan hidupnya. Ia pernah ditangkap polisi karena menggores bodi mobil saat ngamen. Itu terjadi di Yogyakarta saat usianya 15 tahun. Giyatno dibawa ke semacam markas tentara atau polisi. Menurut dugaannya, mobil yang digoresnya di jalanan itu milik petinggi militer atau polisi.
Dari Giyatno juga saya tahu, bahwa di jalanan kota Yogyakarta, orang-orang yang berkeliaran justru tak berasal dari kota itu. Sebagian mereka berasa dari Magelang, Gunung Kidul, dan daerah sekitarnya. Giyatno sendiri berasal dari Solo.
Selanjutnya ia pernah masuk ke dalam diskotik-diskotik di Yogyakarta. Siasatnya, sebelum ke diskotik, dia bersama teman-temannya membeli anggur merah. Anggur merah itu dimasukkan ke dalam tas dan di bawa ke dalam diskotik. Tujuannya untuk menghemat belanja di dalam diskotik. Jadi, di dalam diskotik mereka cukup memesan 3-4 botol bir. Untuk mencari efek mabuk, anggur merah yang dibeli dari luar ditenggak diam-diam.
Saya punya kecocokan sama Giyatno. Pertama, mungkin karena saya dan Giyatno seumuran. Yang kedua, kita sama-sama penggila sepak bola. Saya mencintai Barcelona dan pesimistis dengan liga Indonesia. Tetapi Giyatno berbeda. Dia anggota Pasopati, nama untuk fans Persis Solo. Dalam perjalanan pulang, Giyatno mengenakan kaos berwarna merah dengan tulisan di bagian punggung: Salam Edan Asal Mapan. Saya tak terlalu mempersoalkan arti kalimat itu. Yang jelas, itu semacam semboyan Pasopati.
Saat fans Persebaya, Bonek (Bondo Nekat), dilempari batu dalam perjalanan kereta yang mereka tumpangi lewat Solo, Giyatno rajin mengikuti beritanya. Dari dia juga saya tahu kini Bonek dan Pasopati berdamai. Kalau Bonek masuk ke Solo, Pasopati akan mengawal.
Kami pun pulang ke rumah sewa dalam keadaan pikiran berjalan sangat pelan. Giyatno mendengar suara dangdut. Dia mengajak saya untuk mencari sumber suara musik itu. Dan kami berhenti di sebuah pagar yang membatasi pinggir pantai.
Di balik pagar ada sebuah panggung dengan seorang pria pemain keyboard. Ia mengiringi penyanyi perempuan yang mengenakan baju langsung dengan dada terbuka yang berhenti di atas lutut. Seorang rekan perempuan di kantor saya memberi tahu saya istilah pakaian jenis itu: baby dolls.
Baby dolls itu melekat mengikuti lekuk tubuh si penyanyi. Pas pada tubuhnya yang kecil dan ramping. Dari jauh, gadis baby dolls itu tampak bermotif tutul macan berwarna hitam. Ia sedang menyanyikan lagu dangdut ala Pantura. Tetapi dari cengkoknya, saya menebak penyanyi itu memiliki bahasa ibu Sunda.
Sementara dentam beat dangdut pesisir itu terus keluar dari pengeras suara, penyanyi itu dikelilingi beberapa lelaki muda yang sengaja merapatkan diri ke tubuhnya. Saya menduga, laki-laki muda itu mabuk. Mereka bergantian merapatkan diri ke tubuh si penyanyi sambil nyawer. Penyanyi hanya tertawa sambil sesekali menghindar dari tatapan mata pemuda yang berjoget di depan tubuhnya. Tawanya terdengar sebagai sesuatu yang terpaksa.
Lagu itu pun berhenti. Baby Dolls macan tutulnya masih tetap sedap dipandang. Lalu dia berkata pada lelaki mabuk itu untuk jeda sejenak. Dia mau menyanyikan lagu yang pelan. Maka menyanyilah dia sebuah lagu yang bercerita tentang perasaan perempuan yang tak percaya pada cinta laki-laki. Saya mendengarnya sebagai sebuah pernyataan terhadap lelaki yang nyawer dan merapat-rapatkan tubuh mereka pada tubuhnya.
Giyatno bertanya pada seorang ibu-ibu. Ibu itu tampak seperti penduduk yang tinggal tak jauh dari sana. Dia duduk menyaksikan si baby dolls dari pinggir pagar kawat. Dalam cahaya malam, saya ingat dia mengenakan daster berwarna merah jambu yang memudar. Giyatno bertanya apakah acara gadis baby dolls dibuka untuk umum. Si ibu menjawab tidak tahu. Yang diketahuinya hanyalah acara itu disewa oleh salah satu perusahaan. Dugaan saya, jika acara itu dibuka untuk umum, Giyatno pasti akan joget.
Di sela-sela lagu yang sedih itu, Giyatno mengajak saya pulang dalam keadaan agak sempoyongan. Tetapi lagu sedih yang dinyanyikan gadis baby dolls tetap menarik perhatian. Belum jauh dari panggung, saya berhenti. Saat saya melihat kembali ke panggung, gadis baby dolls sudah tidak ada lagi, tetapi suaranya masih mengalun. Saya bertanya ke Giyatno kemana pergi si penyanyi. Giyatno menjawab tak tahu.
Setelah melihat ke sana-ke mari, barulah saya tahu ternyata gadis baby dolls meninggalkan panggung dan mendekat ke arah penonton. Dia terus bernyanyi dan bergoyang. Sesekali keluar tawanya yang masih saja terdengar keluar dengan terpaksa. Ternyata, lagu yang berkisah tentang rasa sakit hati perempuan karena begitu mudahnya lelaki mengumbar “cinta” hanyalah sebatas musik. Lagu yang sedih itu jelas tak dinyanyikan dengan sedih. Tetapi, namanya dangdut, apalagi lagu tentang kesedihan, meski dinyanyikan hanya demi saweran, tetap saja terdengar mellow. Blue!
Selamat tinggal gadis baby dolls!
***
Pukul setengah dua belas kami meninggalkan home stay. Kapal yang kami tumpangi saat datang, sama dengan yang kami tumpangi untuk kembali ke Muara Angke. Kapal penumpang dua tingkat itu bernama Pesona Indah. Penumpang duduk rapat di atas tikar. Sebagian mengenakan pelampung. Karena memang demikianlah standar keamanannya. Saya malas mengenakannya. Terlalu repot.
Dalam keadaan mata yang mengantuk, kapal bergerak menuju Angke. Saya sempat tertidur di bagian depan tanpa atap lantai dua kapal. Saya terjaga ketika gedung-gedung di pinggir laut yang disebut orang sebagai hunian Pantai Indah Kapuk mulai tampak. Di bawah, air laut berwarna keruh, jika tidak disebut hitam dan kotor.
Dua kapal pom bensin laut Pertamina bergerak pelan. Dalam perjalanan pulang ini, yang saya ingat adalah perubahan warna air. Di sekitar Kepulauan Seribu, air laut biru jernih di mana ikan-ikan berenang tanpa takut di sela-sela manusia yang snorkeling. Semakin menjauh ke tengah, air laut berubah menjadi hijau. Ketika kapal berhenti di Muara Angke, air laut berubah menjadi hitam dan kotor.
Beberapa hal yang saya ingat dari Pulau Tidung adalah pulau itu terlalu kotor untuk sebuah pulau wisata. Lagi pula, banyak orang gila yang berkeliaran di sana. Mungkin menjadi semacam tempat pembuangan orang gila. Tetapi, kami tetap bersenang-senang.
Sekitar pukul setengah tiga siang, air laut di dermaga Angke dan pasarnya yang semrawut adalah situasi khas yang menyambut kami. Kami menumpang angkutan umum ke shelter busway di sela-sela jalan macet. Lewat pukul lima sore bus berhenti di depan kebun binatang Ragunan. Selamat datang kembali rutinitas!
Jakarta, 9 Oktober 2011