Friday, May 23, 2014

With God on Our Side

Oh namaku bukanlah sesuatu
Usiaku belumlah seberapa
Negeri dari mana aku datang
Disebut dengan Midwest
Itulah yang diajarkan dan disebarkan di sana
Hukum yang dipatuhi
Dan tanah tempat ku hidup
Memiliki Tuhan di sisinya

Oh buku sejarah menceritakannya
Mereka menceritakannya dengan baik
Kavaleri bekerja
Para Indian jatuh
Kavaleri bekerja
Para Indian mati
Oh negeri yang masih muda
Bersama Tuhan di sisinya

Perang Spanyol-Amerika
memiliki harinya
Dan Perang Sipil juga
Segera terbentang
Dan nama para pahlawan
Memang menjadi kenangan
Dengan senjata di tangan mereka
Dan Tuhan di sisi mereka

Perang Dunia Pertama, oh Nak
Datang dan pergi
Alasan untuk bertarung
Tak pernah kudapatkan
Namun aku belajar untuk menerimanya
Menerimanya dengan rasa bangga
Agar kau tidak menghitung yang mati
Ketika Tuhan di sisimu

Perang Dunia Kedua
Datang dan berakhir
Kami memaafkan orang Jerman
Dan kini kami berteman
Meskipun mereka membantai enam juta
Dalam oven tempat mereka mengeringkannya
Jerman sekarang juga
Memiliki Tuhan di sisi mereka.

Aku sudah belajar membenci orang Rusia
Di seluruh hidupku
Jika ada perang lain yang datang
Adalah mereka yang harus kita perangi
Untuk berlari dan bersembunyi
Dan menerima itu semua dengan berani
Bersama Tuhan di sisiku

Namun sekarang kita memiliki senjata
Debu kimia
Jika ditembakkan ke mereka kita memaksa
Lalu saat menembak mereka kita harus
Menekan satu tombol
Dan sebuah tembakan dilepaskan ke seluruh dunia
Dan kau tidak pernah bertanya
Ketika Tuhan berada di sisimu

Di dalam banyak jam-jam gelap
Aku berpikir tentang ini
Bahwa Yesus Kristus
Telah dikhianati oleh sebuah ciuman
Dan aku tidak bisa berpikir untukmu
Kau harus memutuskan
Apakah Judas Iscariot
Memiliki Tuhan di sisinya

Kini saat aku pergi
Aku sudah sangat lelah
Kebingungan yang kurasakan
Tak ada lidah yang bisa menjelaskan
Kata-kata menjatuhi kepalaku
Dan jatuh  ke lantai
Dan seandainya Tuhan ada di sisi kita
Dia akan menghentikan perang berikutnya.
Bob Dylan - The Times They Are A-Changin' (1964)

Monday, May 19, 2014

Semerah Warna Shampoo

Cristiano Ronaldo adalah peraih Ballon D’Or edisi terakhir. Di negerinya, penghargaan itu disambut oleh bintang penghargaan yang diberikan Presiden Portugal, Anibal Cavaco Silva. Dalam momen “kemenangan” itu, pesepakbola berusia 29 tahun itu memerankan dua peran sekaligus: sebagai individu dan lambang negara.

Mari melihat kabar-kabar itu melalui penampakan Ronaldo di dalam iklan. Ini bukan kalimat propagandis yang terobsesi dengan pembicaraan tentang iklan. Dengan membicarakannya melalui iklan, sekurang-kurangnya kita bisa melihat sepakbola negeri kita sendiri.

Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia menyaksikan sosok “CR7” – julukan Ronaldo – dalam laga-laga Real Madrid dan tim nasional Portugal yang disiarkan di televisi swasta, dan, iklan.

Salah satu yang familiar adalah iklan shampooClear”. Dalam tayangan iklan Clear di televisi, Ronaldo tampil sesuai dengan identitas profesionalnya, yakni sebagai pesepakbola. Salah satu adegan dalam iklan tersebut adalah Ronaldo menggeleng-gelengkan kepala untuk menunjukkan rambutnya yang bersih dan bebas dari ketombe.

Sebagai iklan, adegan tersebut sangatlah wajar. Karena iklan pada dasarnya adalah alat untuk memancing konsumen membeli produk yang diiklankan. Jadi, janji “bebas ketombe” adalah petanda permukaan yang memenuhi sifat dasar iklan sebagai alat perdagangan.

Pada akhirnya, gambaran tersebut menghasilkan “mitos” tentang sepakbola. Ronaldo hanyalah aktor dalam sejarah besar bernama sepakbola. Maka, simbol-simbol sepakbola dalam iklan itu haruslah dipertimbangkan sebagai cara untuk melihat politik pemilihan pemeran dan apa yang ingin ditampilkannya.

Jersey atau kaos tim sepakbola adalah simbol yang paling cepat merebut perhatian penonton iklan. Salah satunya karena kaos adalah fashion, dan fashion sebenarnya bukanlah “kemewahan” seperti yang digambarkan oleh majalah fashion internasional yang terbit di Indonesia dalam bahasa Indonesia. Kaos, adalah bentuk dari salah satu komponen primer – pangan, sandang, dan papan – dan karena itu kaos adalah kebutuhan pokok. Mengapa fashion tiba-tiba menjadi ekslusif padahal kata itu berkaitan erat dengan sesuatu yang bersifat umum: pakaian?

Jersey Ronaldo dalam iklan itu menggunakan warna netral: hitam. Warna itu tak melambangkan klub juga negaranya. Dalam urusan dagang itu, Ronaldo menjual citra pribadinya sebagai bintang sepakbola. Dia memainkan peran hanya sebagai pribadinya saja.

Iklan shampoo Clear lain yang disiarkan di periode yang sama dibintangi oleh sejumlah pemain tim nasional Indonesia. Di beberapa toko swalayan, konsumen bisa menyaksikan foto tiga pemain tim nasional Indonesia, Raphael Maitimo-Andik Vermansyah-Ahmad Busthomi, di rak tempat botol shampoo Clear dipajangkan. Slogan yang tertulis di sana adalah, “Ayo, Indonesia Bisa!”

Di televisi, Andik mendapatkan peran utama. Faktor kebintangan tentu saja berperan dalam pemilihan Andik sebagai bintang utama Clear. Andik, Arek Suroboyo kelahiran 1991 itu adalah winger yang dikenal saat membela klub Persebaya Surabaya. Kelincahannya menyerang dari sisi sayap adalah keunggulannya yang paling mencolok. Kebetulan, posisi itu adalah posisi pemain idola Andik yang membintangi iklan produk yang sama, Cristiano Ronaldo.

Saat LA Galaxy melakukan uji coba melawan Indonesia Selection, pemain yang baru-baru ini hijrah ke klub Malaysia, Selangor FC, mendapat ruang yang cukup luas dalam pemberitaan. Saat itu, Andik berhasil menggocek legenda Inggris, David Beckham. Selain itu, Andik termasuk dalam tim nasional U-23 yang tampil untuk cabang sepakbola dua Sea Games terakhir. Status-status itu telah menempatkan Andik dalam kapasitasnya sebagai bintang.

Andik saat diganjal Beckham di GBK pada 2011
Mari melihat mitos sepakbola dalam iklan yang dibintangi Andik. Seperti di iklan Clear versi Ronaldo, jersey adalah salah satu yang digunakan untuk membentuk citra produk. Yang membedakan keduanya adalah konsep yang digunakan untuk membentuk citra tersebut.

Di iklan versi Ronaldo, warna hitam dipilih untuk mencari kenetralan dari lembaga yang berkaitan dengan Ronaldo, yaitu Real Madrid dan Portugal. Di iklan versi Andik, jersey justru sengaja menghindari kenetralan dari struktur besar yang memiliki posisi politis.

Pertama, mencolok pada warna. Warna merah dalam jersey yang dipakai Andik, Maitimo, dan Busthomi, dengan mudah menghubungkan memori masyarakat terhadap warna jersey tim nasional sepakbola Indonesia. Iklan itu tidak menjual tim nasional Indonesia sebagai “brand” secara resmi seperti Manchester United menjual brand klub kepada perusahaan penyedia pulsa, 3 (Three).


Penggunaan citra negara melalui kesamaan warna dengan jersey tim nasional Indonesia bahkan dilakukan dengan cara yang lebih terbuka melalui tagline “Ayo, Indonesia Bisa!”. Iklan itu secara terang-terangan telah menggunakan kata yang merupakan nama sebuah negeri dan negara, Indonesia, sebagai simbol dagang.

Di televisi, iklan itu menampilkan Andik sedang berjalan di jalan raya, mengenakan sweater biru. Adegan itu diselingi dengan adegan lain di mana Andik sedang berada dalam sebuah pertandingan dan gagal mencetak gol. Adegan itu menggambarkan pikiran Andik saat sedang berjalan di jalanan.

Tiba-tiba, di belakang Andik sudah berkumpul puluhan orang yang membawa bendera merah-putih serta berdiri di belakang spanduk putih bertuliskan “Ayo, Indonesia Bisa!” Simbol yang digunakan seperti bendera merah-putih mengesankan bahwa kumpulan orang itu adalah suporter tim nasional Indonesia. Andik, sebagai anggota tim nasional, merasa mendapat dukungan melalui sorak-sorai kumpulan orang itu. Itu membuatnya bangkit, membelai rambutnya, dan berlari ke stadion. Di stadion, ia tampil bersama Busthomi dan Maitimo. Meski tanpa lambang Garuda di dada kiri, jersey itu berwarna merah.

Tak ada penjelasan secara rinci tujuan akhir Andik dan sekelompok orang itu. Penonton diajak untuk menganggap tujuan mereka sebagai sebuah fatamorgana yang berarti simbol kejayaan Indonesia. 

Tak ada hukum formal yang menyalahkan cara seperti itu untuk menggambarkan Indonesia dan sepakbolanya. Karena iklan adalah dunia simbol. Dan simbol merupakan sesuatu yang tak mungkin hidup tanpa penafsiran. Oleh sebab itu, hukum yang menuntut kepastian sulit berlaku dalam dunia penafsiran yang serba relatif.

Bagaimanapun saya menutup-nutupinya, saya tetap mengalami ketegangan moral menghadapi iklan itu. Indonesia, dan negara, bukanlah sesuatu yang diperdagangkan. Keterwakilan negara dalam sepakbola tak lebih dari seluas simbol, yang pada akhirnya disebut dengan nasionalisme.

Andik, Maitimo, dan Busthomi, adalah pemain tim nasional Indonesia. Memang bukan tugas mereka untuk sibuk mengawasi remeh-temeh seperti warna dalam iklan yang akan mereka bintangi. Semuanya menjadi rumit karena simbol-simbol itu menjadi alat pertarungan, ekonomi, dan mendapatkan tempat di media massa.

Kenyataannya, siapapun yang membintangi iklan shampoo “Clear”, tujuannya tetaplah menjual cairan kental pembersih rambut yang terbungkus apik dalam kemasan. Shampoo tetaplah shampoo. Tetapi shampoo “mencuci” pengertian negara (baca: nasionalisme) melalui iklan-iklannya.

Harus diingat pula, iklan itu diluncurkan menjelang tim nasional U-23 - di mana Andik adalah salah satu anggotanya - berlaga di Sea Games Myanmar 2013. Faktanya, Indonesia takluk di final oleh Thailand dengan skor 1-0. Dan, Andik hanya bermain sebagai starter di dua laga awal. Tampil di bawah standar saat dikalahkan 4-1 oleh Thailand di fase grup memaksa sang bintang harus duduk di bangku cadangan hingga akhir kompetisi.



Kelapa Dua - Di sela-sela Sea Games 2013

Saturday, May 17, 2014

Opps! Sudah Sampai di Tahun Keenam

Gerardo "Tata" Martino
Apakah kematian Tito Vilanova adalah sesuatu yang sentimental? Sulit untuk mengatakan tidak jika anda memilih Barcelona sebagai klub yang akan anda katakan ke orang lain sebagai klub di mana anda adalah seorang suporternya.

Seorang teman yang mengaku sebagai suporter Bayern Muenchen berbicara dengan nada sinis tentang kegagalan Pep Guardiola usai ditaklukkan Real Madrid versi Carlo Ancelotti di semifinal Liga Champions 2013-2014. Sinisme itu terasa karena dia mengatakannya kepada saya, seorang suporter Barcelona.

Jawaban pertama saya adalah kekalahan Muenchen itu lebih karena faktor mental. Bukan mental pemainnya, tetapi mental pelatihnya. Apakah kematian Tito bukan sesuatu yang sentimental bagi Guardiola? “Kesedihan ini akan terus ada di sisa hidup saya,” kata Guardiola tentang kematian Vilanova.


Pemain Barca menghadiri persemayaman Tito di Katedral Barcelona, 28 April 2014.
Terhadap Barca, seringkali saya menempatkan figur-figur di klub itu sebagai manusia biasa. Meskipun sebenarnya mereka orang-orang yang istimewa. Dan Guardiola, juga seorang manusia yang bisa saja sedih karena ditinggal sahabat dalam petualangan “menaklukkan dunia.” Apakah kesedihan semacam itu tidak memengaruhi mentalnya, mood-nya, dalam melaksanakan pekerjaannya di Bavaria?
Tito Vilanova
Liga Champions seperti kutukan bagi Guardiola. Fan selalu ingin melihat Guardiola menjadi juara. Di mana pun ia melatih, klub yang diurusnya itu mestilah juara Liga Champions. Dan, kutukan itu membuat teman saya yang mengaku suporter Muenchen itu menganggap Guardiola gagal mewujudkan kelasnya sebagai pemegang dua piala Liga Champions.

Pertama, saya katakan padanya bahwa saya adalah seorang fan Guardiola, meski bukan fan Muenchen. Saya membeberkan fakta bahwa Guardiola adalah pelatih pertama yang meraih gelar liga di Eropa musim ini dengan sejumlah rekor. Ternyata, itu belum cukup untuk Guardiola. Menjadi Guardiola, haruslah menjadi juara Liga Champions.

Catatan ini ditulis ketika Guardiola sedang menyaksikan pertarungan ketat menghadapi Borussia Dortmund untuk perebutan gelar DFB-POKAL di Berlin. Di akhir laga, tuah Tito mungkin baru menghampiri Guardiola. Muenchen menaklukkan Dortmund dengan skor 2-0 untuk gelar Piala Jerman. Gelar keempat untuk Muenchen dan ke-18 sepanjang karir kepelatihan Guardiola.


Guardiola disiram bir saat perayaan gelar juara Piala Jerman 2014
Beberapa jam sebelum Phillip Lahm mengangkat Piala, sekitar 1.500 kilometer ke arah barat dari Berlin, sentimentalitas Tito Vilanova yang sebenarnya sedang hidup dalam harapan. Di tempat yang bernama Camp Nou, tempat yang tak bisa dilupakan oleh Guardiola dan Tito. Di sana, duka kematian Tito Vilanova diperlengkap oleh hilangnya gelar La Liga yang direbut dari tangan Real Madrid musim lalu.  

Atletico Madrid baru saja memastikan gelar La Liga ke-10 mereka. Gelar La Liga terakhir mereka dicapai pada musim 1995-1996. Pelatih “Rojiblanco” yang memenangi La Liga musim terbaru, Diego Pablo Simeone, adalah salah seorang pemain yang termasuk dalam tim 1995-1996 itu.

Gol penyeimbang yang dicetak bek tengah Atletico asal Uruguay, Diego Godin, membuyarkan sentimentalitas terhadap Tito. Laga berakhir dengan skor 1-1 setelah Barca mendahului dengan gol “ajaib” Alexis Sanchez. Sebelum laga final di pekan ke-38 itu, seorang kolumnis di harian pro-Barca, El Mundo Deportivo, mengatakan “the magic of Tito” muncul saat Real Madrid bermain imbang 1-1 di kandang Real Valladolid di pekan ke-36. Sepekan sebelumnya, “Si Putih” juga imbang 2-2 versus Valencia di Santiago Bernabeu. Di Valencia, Atletico menyerah 2-0 dari Levante. Hasil itu membuat Barca berpeluang mempertahankan La Liga asalkan bisa mengalahkan Atletico Madrid di pekan terakhir. Lionel Messi bahkan sudah berniat untuk mempersembahkan La Liga untuk Tito.
Atletico Madrid berfoto bersama di Camp Nou usai merebut La Liga 2013-2014
Faktanya, musim 2013-2014 diselesaikan tanpa satu gelar pun. “Gagal adalah kata yang terlalu berat bagi saya,” kata Direktur Olahraga sekaligus kiper legendaris, Andoni Zubizaretta. Sementara itu, Andres Iniesta mengungkapkan musim ini dengan “banyak hal berakhir ketika musim berakhir”.

Kematian Tito seperti menjadi penanda bergantinya suatu periode. Suporter Barca tidak sadar bahwa mereka sudah berada di musim keenam sejak Guardiola memulai sebagai seorang “rookie” pada musim panas 2008. Rookie selalu memiliki keberuntungan dan simpati. Guardiola membawa kejayaan yang dirasakan oleh suporter Barca sebagai permulaan sebuah era. Era menaklukkan dunia. Barcelonistas hampir saja lupa, bahwa pada tahun 2014 Guardiola bukan lagi “rookie”. Keberuntungan seperti itu sedang bergerak ke arah figur baru di tepi sungai Manzanares: Diego Pablo Simeone.
Diego Pablo Simeone dielu-elukan pemainnya usai merebut La Liga 2013-2014.
Dan bandul yang selama ini seperti mengikuti napas Barca semakin bergeser. Apa yang disebut Cristiano Ronaldo sebagai “pergantian siklus” saat memenangi La Liga bersama Jose Mourinho di musim 2011-2012 agaknya benar-benar menunjukkan gejala di akhir musim ini. Namun, bukan dalam pengertian yang dimaksud oleh Cristiano, yaitu beralihnya kekuasaan dari Barcelona ke Real Madrid, melainkan pecahnya duopoli Barca-Madrid dengan gelar La Liga ke-10 Atletico.

Maka, Barca, selama enam musim terakhir, adalah pusat gravitasi. Siapa yang akan menjadi juara akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana perjalanan Barca dalam satu musim itu. Dan, tentu saja, disertai dengan segala yang terjadi, baik di dalam atau di luar lapangan.

Musim yang baru saja lewat diwarnai dengan kejutan pengunduran diri “lovely guy” Tito Vilanova dari kursi pelatih kepala. Tito belum sempat menjalani laga resmi musim keduanya setelah kanker kelenjar ludah memaksanya harus bolak-balik ke New York selama musim 2012-2013. Kejutan selanjutnya adalah terpilihnya lelaki Argentina yang “low profile”, Gerardo “Tata” Martino.

Saat itu, Tata belum punya pengalaman di Eropa. Saat direkrut menggantikan Vilanova, ia baru saja membawa Newell’s Old Boys menjuarai Liga Argentina. Ayah Lionel Messi, Jorge Messi, adalah seorang fan berat Tata. Dan Messi sendiri diasuh oleh Newell’s sebelum hijrah ke La Masia. Seperti Messi, Tata adalah lelaki tulen kelahiran Rosario, kota tempat Newell’s berbasis. Tata pun tak segan mengakui bahwa faktor ayah Messi turut mempengaruhi kepindahannya ke Barcelona. Catatan terbaiknya adalah membawa tim nasional Paraguay hingga perempat final Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan.

Musim sebenarnya berjalan secara mengesankan bagi Tata. Ia tak sampai menunggu tiga menit untuk gol pertamanya sebagai pelatih Barca. Tata menyaksikan pasukan barunya menggasak Levante dengan skor 7-0 di pekan perdana. Kemenangan itu membuat Tata menganggap Barca bermain melebihi harapannya.

Paruh pertama berlalu seperti yang diharapkan. Tata mendapatkan kemenangan Clasico pertamanya dengan gol dari pemain asal Brasil yang disebut-sebut mampu menyaingi Messi, Neymar. Publik memuja Neymar dan mencemooh rival langsungnya yang dijadikan Madrid sebagai pemain termahal, Gareth Bale, karena bermain buruk.

Paruh kedua berjalan lebih lebih buruk dengan tiga kekalahan dan empat imbang. Namun, kekalahan 3-1 atas Real Sociedad adalah pemicu yang menentukan nasib Barca hingga akhir musim.

Saya termasuk orang yang percaya bahwa “kekotoran” dalam menjalankan sebuah klub akan berpengaruh terhadap performa klub tersebut. Dan, kekalahan 3-1 di Anoeta, 22 Februari 2014, terjadi ketika kotoran yang melekat di tubuh Barca sedang ramai-ramainya ditelanjangi.

Sebulan sebelumnya, Presiden Barcelona, Sandro Rosell, mengundurkan diri dari jabatannya karena tidak bisa menjelaskan “dana suap” untuk mendatangkan Neymar ke Barcelona. Majalah World Soccer menyebut kepemilikan Neymar terbagi oleh sejumlah perusahaan. Sehingga, transfer Neymar juga berarti fee untuk sejumlah perusahaan itu. Rosell menggunakan koneksi yang dijalinnya ketika menjabat Direktur Pemasaran Nike untuk kawasan Amerika Latin yang bermarkas di Brasil, untuk mem-booking Neymar.

Suka atau tidak, sejak kasus itu, penampilan Neymar memburuk. Di Brasil, pelatih Selecao, Luiz Felipe Scolari, dengan keras mengatakan Neymar tidak terpengaruh dengan isu itu. Maklumlah, Neymar adalah bintang baru Negeri Samba yang diharapkan bisa merebut kembali Piala Dunia saat mereka menjadi tuan rumah pada musim panas 2014. “Kalau Anda datang ke Barcelona, Anda akan melihat dia (Neymar) baik-baik saja,” kata Scolari.

Perintang lain adalah cedera yang menimpa Messi menjelang akhir tahun. Sementara itu, lini belakang tak kunjung membaik setelah mitos Puyol tak juga ditemukan penawarnya. Dan, semuanya menjadi lebih bisa diterima ketika kapten legendaris Puyol memutuskan berhenti dari Barcelona karena merasa tak sanggup berada di level yang dituntut klub.
Carlos Puyol

Musim keenam sejak era baru yang dinyalakan Guardiola telah berubah menjadi akhir episode. Barca yang indah bertumbuk dengan hukum alam untuk menghabiskan masa transisi yang harus dibayar dengan musim tanpa gelar.

Puyol pergi, Victor Valdes juga sudah menulis surat perpisahannya secara terbuka. Semua itu seakan-akan melengkapi drama sebuah era terbaik dalam sejarah 115 tahun Barcelona. Musim ini, kami kehilangan Tito Vilanova. Tetapi kami gembira melihat Guardiola tetap pada tempatnya meski di bawah bendera merah Bayern Muenchen.

Tentang sejarah juga, musim 2013-2014 Barca telah memutar-balikkan kesan selalu berada di bawah bayang-bayang Real Madrid sebelum dekade terakhir. Trigol yang dicetak Messi dalam El Clasico di Santiago Bernabeu, 23 Maret 2014, telah mengubah angin dari ibukota Spanyol ke Katalunya.

Tiga gol itu, selain memberikan kemenangan 4-3 untuk Barca, sekaligus mengubah kendali sejarah ke tangan Barca melalui Messi. Tiga gol itu menjadikan Messi sebagai pencetak gol terbanyak sepanjang sejarah El Clasico. Catatan 21 golnya melebihi 18 gol milik bintang Madrid di era kejayaan 1950-an, Alfredo Di Stefano. Berpindah pula pengaruh Argentina yang semula lebih dekat ke Madrid - Di Stefano adalah warga Argentina yang bermain untuk Madrid dan membela tim nasional Spanyol di era diktator Franco – ke sisi musuh sejarah mereka, Barcelona. Melalui Messi, Argentina kini menatap wajahnya ke Barcelona.

Alfredo Di Stefano bersama 5 Piala Eropa Real Madrid
Inilah pergantian siklus yang sebenarnya. Dan pemain seperti Lionel Messi, sepertinya sudah menempatkan pikirannya jauh-jauh ke Brasil untuk mencium bau trofi Piala Dunia. “Piala Dunia sudah ada dalam pikiran kami,” kata Messi. Boleh jadi, setelah periode dengan empat Piala Ballon D’Or, “Messiah” sedang menyongsong fajar baru yang lain: Piala Dunia.  

Jujur saja, musim tanpa gelar kali ini tidak semenyakitkan kehilangan satu gelar saja di musim-musim sebelumnya. Ancelotti berhasil membawa “perdamaian” dalam ketegangan di El Clasico. Dan Simeone selamanya akan menghargai Barcelona dan Camp Nou. Karena, ketika pasukannya melonjak gembira di atas rumput Barcelona usai merebut La Liga 2013-2014, puluhan ribu Barcelonistas menyambutnya dengan “applaus”. Sambutan yang menunjukkan kedewasaan setelah mengikuti enam musim yang menakjubkan.

Visca Barca!

Kelapa Dua, Mei 18 2014





  









Wednesday, May 14, 2014

Master of War

Datanglah kau para ahli perang
Kau yang merakit senapan-senapan besar
Kau yang membangun pesawat-pesawat kematian
Kau yang membuat seluruh bom
Kau yang bersembunyi di balik dinding
Kau yang bersembunyi di balik meja-meja
Aku hanya ingin kau tahu
Aku bisa melihat ke dalam topengmu

Kau yang tidak pernah melakukan apa-apa
Namun menciptakan kerusakan
Kau bermain-main dengan duniaku
Seolah-olah mainan kecilmu
Kau meletakkan sebuah senjata di tanganku
Dan kau bersembunyi dari mataku
Dan kau berbalik dan berlari menjauh
Ketika peluru-peluru cepat berterbangan

Seperti Judas yang tua
Kau berdusta dan menipu
Sebuah perang dunia bisa dimenangkan
Kau ingin aku percaya
Namun aku lihat ke dalam matamu
Dan aku lihat ke dalam otakmu
Seperti aku melihat ke dalam air
Yang mengarusi saluranku

Kau pasang semua pemicu
Untuk ledakan lainnya
Lalu kau mundur dan menonton
Ketika jumlah kematian bertambah
Kau bersembunyi di rumah besarmu
Saat darah orang-orang muda
Membasahi tubuh mereka
Dan terkubur di dalam lumpur

Kau telah lemparkan ketakutan terburuk
Yang bisa kau lontarkan
Ketakutan yang membawa anak-anak
Menuju dunia
Untuk mengancam bayiku
Yang belum lahir dan belum bernama
Kau tidak layak untuk darah
Yang bergerak dalam pembuluh darahmu

Berapa banyak yang kutahu
Untuk berbicara tentang penghentian
Kau mungkin akan mengatakan aku masih muda
Kau mungkin mengatakan aku tidak belajar
Namun ada satu hal yang kutahu
Sekalipun aku lebih muda ketimbang kau
Bahkan Yesus tidak akan pernah
Memaafkan apa yang kau lakukan

Biarkan aku menanyakanmu satu pertanyaan
Apakah uangmu itu baik
Akankan dia membeli permohonan maafmu
Apakah kau pikir itu bisa terjadi
Aku rasa kau akan tahu
Ketika kematianmu adalah korbannya
Semua uang yang kau hasilkan
Tidak akan pernah membayar kembali jiwamu

Dan aku berharap kau mati
Dan kematianmu akan segera datang
Aku akan mengikuti arak-arakan peti matimu
Dalam sore yang pucat
Dan aku akan menyaksikanmu ketika kau diturunkan
Menuju ranjang kematianmu
Dan aku akan berdiri di atas kuburanmu
Sampai aku benar-benar yakin bahwa kau sudah mati



Bob Dylan - The Freewheelin' (1963)

The Kills: Kami Tak Perlu Menjelaskan Hubungan Kami

Pagi masih awal dan The Kills bersandar di kursi seperti mayat yang baru saja dikebumikan sambil mengernyit terhadap sinar matahari. Bangun seawal ini bukanlah hal yang tepat. Begitu juga dengan matahari yang bersinar. “Saya benci terlalu banyak sinar matahari,” kata Alison Mosshart. “Saya hanya bisa menghadapinya pada saat sedikit, sedikit sejuk”. James Hince menertawainya. “Kau bicara seperti Lux Interior-nya The Cramps. Dia selalu membawa payung karena menurutnya berjemur tidak cocok untuk rock n roll”. “Matahari,” kata Alison sambil memikirkan ucapan dan menghisap rokoknya, “membuat Anda kanker”.    

Seperti semua band rock terbaik, The Kills memiliki sentuhan Spinal Tap dalam diri mereka. Mereka menjadi duo lebih dari satu dekade, menciptakan empat album – termasuk yang berjudul No Wow, meratapi kurangnya “wow” dalam kebudayaan kontemporer – yang terakhir berjudul Blood Pressures. Alison 33 tahun, datang dari Florida, pemalu, cenderung pemarah, dan sering mengacaukan rambutnya sampai-sampai menutupi wajahnya. Dia orang yang penuh perasaan. Dia tersentak ketika empat piring berisi buah diletakkan di atas meja di depannya. “Buah ini, seperti, menutupi saya.’

Jamie, 43, adalah orang Inggris dengan wajah dan aksen London Selatan. Dia bermain gitar dengan gaya seorang homo, sementara Alison menyanyikan repetisi, lirik samar (sepertiEasy, alphabet pony) dalam nada serak Siouxsie Sioux. Mereka memilih nama The Kills karena itu bisa berasal dari dekade kapanpun. Mereka menyukai tur dan memiliki stamina besar untuk itu, duduk di trotoar sambil menenggak gin, ber-tatto, bermain di kolam renang, menyelam dalam kapasitas kecil, dan kerap melakukan pemotretan (dipublikasikan melalui buku berjudul Dream & Drive oleh fotografer Kenneth Capello). Mereka memiliki semacam pengakuan terhadap kultus setelah penjualan album mencapai puncaknya di nomor 40 tangga lagu; Samantha Morton menyutradarai video terakhir mereka, dan Jack White merekrut Alison untuk band paruh-waktunya, The Dead Weather. The Kills boleh jadi merupakan rahasia terbaik rock n roll.

Hingga akhirnya seseorang pergi dan merusak citra mereka – Kate Moss, partner Jamie selama tiga tahun terakhir dan, Juli lalu, menjadi istrinya. Saya bisa melihat tatto kecil yang berbunyi “Kate über alles (Kate segalanya)” di bagian dalam lengannya, lengkap dengan sebuah umlaut (karena dia lulusan Goldsmiths; dia akan berbicara terus, dengan gairah yang jujur, tentang Francis Picabia dan Max Ernst, jika Anda membiarkannya). Dia dan Kate kemudian mengadopsi seekor anjing terrier-cross Staffordshire, Archie, bersama-sama dan Jamie sangat memikirkannya. Dia bahkan berbicara dengan anjing itu. “Archie berbicara pada saya di dalam mimpi. Saya bermimpi membunuh seekor anjing, seekor anjing kecil...” “Semua orang marah padanya karena memimpikan itu,” Alison menyela. “Juga ibuku”. “...dan Archie masuk ke mimpiku dan berkata (dengan suara nyaring), “Oh, jangan lakukan itu, dia cuma anjing kecil.”

Hince & Moss

Kami duduk di sebuah kafe di Essex Road yang disebut Meat People. Di sana saya terkejut dengan ironi bahwa The Kills adalah vegan. “Tidak lagi, kami bukan,” kata Alison. “Saya vegan selama 20 tahun,’ kata Jamie perlahan. “Tapi kemudian... itu membawa saya ke batas terujung ketika saya pertama bertemu Kate, mulai menatapnya, dan saya melangkah ke dapur dan dia hanya mengenakan pakaian dalam membuatkan saya sandwich daging babi. Dia tidak tahu kalau saya vegan, dan saya seperti... semua prinsip saya pergi melalui jendela”. Dia tersenyum malu-malu. “Atau prioritas saya hilang”.


Anda tidak bisa membantunya tetapi bergembiralah untuknya. Dia tampak seperti seseorang yang manis. Dia tidak biasa, tentu saja (Kate selalu menikahi seseorang yang senang memakai gaun sutra sebagai dasi, seperti yang dikenakan Hince hari ini), tapi dia adalah seorang lelaki, bukan korban gaya bocah ala Pete Doherty. Teman-temannya setuju bahwa dia adalah seseorang yang dicintai, suportif, dan membuat Kate benar-benar gembira. Saya suka ketika pengkhayal yang putus asa ini, penganut rock n roll, mulai hidup di sebuah rumah senilai £7,5 juta di Highgate, menikah dengan gaya yang cocok (sebuah pernikahan tiga hari di Cotswolds yang hanya dihadiri 138 tamu namun diperkirakan memakan biaya £500.000). Alison adalah “lelaki terbaik” dan membuat pidato tulus yang berat dan liar, serta mengakhiri malam itu dengan sebuah ciuman terakhir bersama Kelly Osbourne.

Sebelum berjumpa Moss, The Kills membenci hal seperti itu untuk waktu yang lama. “Saya menggelandang hampir di seluruh kehidupan masa dewasa saya,” kata Jamie. Dia pernah berada dalam sebuah band rock sekolah seni bernama Scarfo, menciptakan beberapa lagu dengan judul seperti “Chomsky Airport”. “Saya tidak membenarkan kehidupan menggelandang, itu hanya satu-satunya cara yang bisa saya lakukan untuk apa yang ingin saya lakukan. Saya tidak punya, anda tahu, dana jaminan atau orang tua yang bisa menolong”. “Saya tinggal di tempat terkotor di seluruh dunia,” teriak Alison. “Dan makan roti dan wortel.”

“Itu cukup brutal,” kata Jamie. “Tidak banyak orang yang melewati aksi seperti itu. Anda harus memiliki sesuatu dalam darah anda, sesuatu dalam gen anda yang berarti anda hanya melihat fantasi dan roman dan keindahan dalam hal-hal yang suram. Kami akan bermain di tempat sampah, tapi bagi saya mereka seperti... katedral.” “Gereja,” kata Alison. “Semua fan dan musisi meninggalkan jejak mereka.” Panggung favorit mereka di London adalah Roundhouse.

Ayah Hince pernah menjadi seorang manajer konstruksi, dan keluarganya pindah dari Swaziland ke Afrika Selatan lalu ke Shetland Isles, di mana Hince hanya berteman dengan sebuah organ Hammond rusak, dia berpura-pura memainkannya. Mosshart menghabiskan masa remajanya dalam keterasingan di antara bocah-bocah pemain skate; sejak usia 14 dia memimpin sebuah band indie, Discount, menjadi liar di mikropon, mengusir setan, lalu menjadi seorang bintang.  

“London dipenuhi bohemian dalam sepuluh tahun terakhir,” kata Jamie. “Memiliki band saat ini rasanya sebuah kemewahan, seperti Anda hanya bisa melakukannya jika Anda memiliki kontrak sejak awal atau berasal dari keluarga yang layak. Banyak jalanan dengan gelandangan dan rumah sosial. Kini, mereka menjual semuanya dan mengubah hukum gelandangan.  Blair mengacaukan royalty. Saya tidak pernah memercayainya, menurut saya mereka kebanyakan menjijikkan. Tapi beberapa orang bertindak. Billy Bragg seharusnya merasa malu.”

Mosshart tinggal di sebuah rumah bersama di London pada 1999 ketika dia mendengar Hince bermain di lantai atas. “Itu adalah gitar impian, suaranya sangat aneh, rusak dan asing.” Mereka dipertemukan karena membaca buku yang sama – sebuah biografi Edie Sedgwick – dan terikat karena cinta terhadap teknologi usang. “Kami duduk berjam-jam, berbicara dan memperbaiki tape recorder tua,” kenang Jamie, “Lalu kami mulai merekam dan begitulah band ini muncul.” Ketika salah seorang tetangga meninggal dunia, seperangkat alat rekaman yang lebih baik mendatangi mereka. “Luar biasa,” kata Mosshart. “Jamie pulang dan menemukan saya duduk di dalam rongsokan.”

Hijrah dari Florida ke London merupakan lompatan keyakinan menuju sebuah dunia seni rock, mesin tik, puisi yang menghentak, jins ketat dan pose gaya. “Orang tampil dengan pakaian seperti roadies, dengan kaos Carhartt dan celana kargo, seperti Ed Sheeran,” kata Jamie. “Kemudian ada beberapa band, The Strokes dan The White Stripes, yang merobohkan pintu. Kami seperti, ‘Yang terakhir’. Rasanya seperti kami mencuri kembali apa yang pernah kami miliki.”

Hince dan Mosshart membeli sebuah rumah bersama di Dalston pada 2004. Kini, Hince sudah pindah, dia tinggal di Islington dan sendirian. Mereka tidak pernah saling jatuh cinta, tetapi terkadang hal-hal yang asing terjadi di panggung. Dalam salah satu foto gig, Alison menggeliatkan punggungnya, sementara Jamie menggerak-gerakkan gitarnya di antara paha Alison. “Sebenarnya,” kata Jamie sambil merasa malu, ‘”itu tidak terasa seperti yang terlihat.” Alison mengamati foto tersebut. “Yang saya suka adalah karpet, itu sangat menjijikkan dan kotor, itu benar-benar keren.” Dia menjaga itu, dalam sebuah pertunjukan langsung, apapun bisa terjadi. “Jika pertunjukan berjalan baik, itu seperti Anda melayang ke beberapa tempat seperti sebuah mimpi. Setelahnya, saya merasa itu adalah pertunjukan terbaik, tapi saya tidak bisa mengingat apa yang sudah terjadi”.  


Lirik mereka abstrak, dan semakin seperti itu. Saya bertanya kepada Alison arti “Easy, aphabet pony,” dan dia menjawab dengan kosong, “apapun makna yang Anda inginkan. Anda menahan sebuah lagu untuk menjelaskan.” Apakah Hince menulis dengan inspirasi dari istrinya? “Apa, Kate? Jelas. Hal-hal penting menginspirasi lagu. Tapi itu juga kutukan, karena lirik terbaik adalah ketika Anda membaringkan diri anda di batas dan membuat diri Anda rapuh, dan saya sulit melakukan itu saat ini. Privasi menjadi hal yang paling berharga. Semua menjadi lebih samar dalam lirik saya.”

James percaya musik mengalahkan perselingkuhan hidup dan cinta: “Musik membawa kita dan akan terus berjalan setelah kita tidak lagi berbicara.” Wajah Alison tertunduk. “Itu tidak pernah terjadi,” katanya terburu-buru. “Maksudku itu lebih besar ketimbang kami.” “Saya tidak merasa perlu menjelaskan hubungan kami,” kata Alison. “Hubungan kami super-keren, ini adalah hal yang paling saya sukai di dunia.” Dia memiliki sebuah tatto di telapak tangannya sebagai tanda gig pertama yang mereka mainkan bersama. Jamie menanggapinya dengan berkata: “Saya tetap bersama The Kills dalam bentuk apapun untuk sisa hidup saya.”



Hermione Eyre
London Evening Standar/ 3 Agustus 2012

Remontada 2013 (Catatan Seorang Fan 6)

Tepat di pekan pertama paruh kedua, kesempurnaan musim perdana Tito Vilanova selesai. Barcelona tak terkalahkan dalam 19 pekan pembuka. Satu-satunya nilai yang hilang dalam 19 laga itu adalah hasil imbang 2-2 versus Real Madrid di pekan ke tujuh La Liga 2012-2013. Laga itu seakan-akan menahbiskan kebenaran rivalitas Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Empat gol yang terjadi dalam “Duel Klasik” ke-124 diciptakan dua nominator teratas Ballon D’Or 2012.

Real Sociedad adalah tim yang merusak rekor sempurna Vilanova. Imanol Agirretxe mencetak gol kemenangan setelah Barca unggul dua gol. Skor 3-2 di Basque membenarkan ambisi gelandang Prancis “Txuri-Urdin”, Antoine Griezman, yang ingin merusak catatan tak terkalahkan Barcelona.

Setelah itu, Barcelona menderita atas tiga kekalahan dalam tiga laga penting. Takluk 2-0 di leg pertama perdelapan final Liga Champions versus AC Milan di San Siro, 1-3 di leg kedua semifinal Piala Raja versus Real Madrid di Camp Nou, dan 1-2 di pekan ke-26 La Liga kontra Madrid di Santiago Bernabeu. Barca kian terpojok saat Tito meninggalkan skuadnya untuk menjalani perawatan penyakit kanker kelenjar ludah di New York, Amerika Serikat.

Tiga kekalahan itu seperti isyarat keruntuhan kedigdayaan Barca selama empat musim bersama Josep Guardiola. Banyak orang yang menduga Barca akan tersingkir lebih awal dari Liga Champions karena rasa-rasanya sulit membalikkan keadaan setelah takluk 2-0 di San Siro. Sementara itu, Piala Raja terlepas usai ditaklukkan Madrid. Beruntung, La Liga masih aman mengingat kekalahan atas Madrid hanya mengurangi selisih menjadi 13 angka yang agaknya sulit dikejar siapa pun di klasemen.

Asisten Tito, Jordi Roura, adalah figur yang harus berhadapan dengan media massa untuk menjelaskan tiga kekalahan besar itu. Kapten kedua, Xavi Hernandez, menjaga asa Barcelonistas dengan mengatakan “generasi ini belum pernah melakukan remontada (pembalikan keadaan) yang bersejarah”.

Saat pernyataan itu diucapkan, sebagian orang masih pesimistis dengan kans Barca di Liga Champions – satu-satunya kompetisi yang bisa menjadi bantahan terhadap dugaan yang menyebutkan “era Barca sudah berakhir”.

Tibalah saat yang dinantikan. Camp Nou, 2 Maret 2013, Barca lolos setelah mengalahkan Rossoneri dengan skor 4-0 (agregat 4-2). Messi menjadi algojo dengan dua gol pembuka sekaligus mengambil peran sebagai arsitek serangan. Barca tak sekadar menaklukkan, namun menang dengan gaya, mendominasi laga, seperti versi terbaik yang pernah ditunjukkan klub dalam beberapa kemenangan bersejarah di era Guardiola. El Barca menang tanpa perdebatan seperti yang selalu dituduhkan para pembenci: keberuntungan dan terbantu oleh keputusan wasit.

Keesokan harinya, sejumlah surat kabar terkemuka di Eropa memberikan pujian bernada pemujaan atas kemenangan itu. Harian olahraga ternama di Prancis, L’Equipe, memberi tajuk tendensius dengan memilih kata “Divin” – sebuah kata yang merujuk pada ramalan bersifat ketuhanan yang benar-benar terjadi – di halaman muka untuk menggambarkan kemenangan Barca. Di Katalunya, harian pro-Barca, Sport, lebih memuja lagi. Mereka menggunakan bahasa latin untuk pengertian yang sama “Apotheosis”.


Semua merujuk pada ucapan remontada historis yang diucapkan Xavi. Pembuktian dengan kemenangan atas Milan seakan-akan menjadikan ucapan Xavi laiknya ramalan. Apa yang diinginkan Xavi benar-benar terwujud. Barca tak sekadar menang dan lolos ke perempat final Liga Champions dalam enam musim beruntun, namun juga meraihnya dengan heroik, di hadapan lebih dari 90 ribu suporter yang bernyanyi di Camp Nou.

Gelandang bertahan tunggal dalam skema ticui-taca Barcelona, Sergio Busquets, menyebut kemenangan 4-0 atas Milan merupakan salah satu yang terbaik yang pernah dirasakannya. Saya setuju dengan Busquets, tidak saja sebagai seorang penyuka Barca, namun karena bagaimana cara mereka bermain. Cara yang disebut Dani Alves sebagai “tidak kehilangan identitas”.

Catatan ini ditulis setelah La Liga menyelesaikan pekan ke-28. Liga sedang libur karena FIFA menggelar laga kualifikasi Piala Dunia Brasil 2014. Semua pemain yang terpilih membela negara kembali ke tim nasional. Di saat yang sama, pelatih Real Madrid, Jose Mourinho, kesal dengan virus FIFA dan menyebut pelatih Spanyol, Vicente Del Bosque, tak pantas meraih Ballon D’Or 2012. Mourinho juga menyebut kapten tim nasional Makedonia, Goran Pandev, memberikan suara untuknya. Sehari berselang, FIFA merilis formulir asli Ballon D’Or 2012 yang ditandatangani Pandev. Di sana, tertulis Pandev memilih Del Bosque, Juergen Klopp, dan Roberto Mancini, sebagai tiga kandidat pilihannya untuk pelatih terbaik 2012.

Di El Molinon, Spanyol hanya bermain imbang 1-1 kontra Finlandia. Ada tujuh penggawa Barca sebagai starter dalam laga itu: Victor Valdes, Gerard Pique, Jordi Alba, Sergio Busquets, Andres Iniesta, Cesc Fabregas, dan David Villa. Di babak kedua, Pedro masuk menggantikan Fabregas. Sementara dari kubu “Los Merengues” hanya ada dua pemain: Sergio Ramos dan Alvaro Arbeloa. Sisanya adalah Santi Cazorla (Arsenal) dan David Silva (Manchester City). Satu-satunya gol Spanyol dicetak sang kapten, Ramos.

Di Buenos Aires, Messi menjadi pahlawan dalam kemenangan 3-0 atas Venezuela. El Messiah menyumbang satu gol melalui penalti dan memberikan assists untuk dua gol penyerang Madrid, Gonzalo Higuain.

Gambaran itu bisa menjadi pijakan untuk melihat sejauh mana ramalan Xavi bisa terwujud. Epik memang sudah terjadi dalam laga melawan Milan. Namun, apakah kemenangan itu benar-benar bersejarah? Itu akan terbukti jika kejayaan melawan Milan menjadi titik balik kebangkitan Barca menuju singgasananya dengan mengakhiri musim sebagai pemilik “Nyonya Si Kuping Besar di Wembley – stadion terakhir ketika Pedro, Messi, dan Villa, mencetak tiga gol kemenangan atas Manchester United di final Liga Champions 2010-2011.


Kelapa Dua, 25 Maret 2013

Tuesday, May 13, 2014

Man of Constant Sorrow*

Aku adalah seorang lelaki dengan kesedihan yang tetap
Aku melihat masalah di semua hari-hariku
Aku akan mengatakan selamat tinggal terhadap Colorado
Di mana aku dilahirkan dan pernah tumbuh

Ibumu mengatakan aku adalah seorang yang aneh
Seraut wajah yang tidak akan pernah kau lihat lagi
Tapi di sana ada sebuah janji untukmu sayang
Aku akan melihatmu di atas pantai emas milik Tuhan

Menuju dunia yang terbuka ini aku siap untuk mengembara
Menuju es dan salju, hujan salju dan hujan air
Aku siap menempuh jalur kereta api pagi
Mungkin aku akan mati di atas kereta itu

Aku kembali ke Colorado
Tempat di mana aku memulai
Seandainya aku tahu betapa buruknya kau memperlakukanku
Sayang, aku tidak akan pernah datang


Bob Dylan - Bob Dylan (1962)  
*Lagu folk tradisional Amerika, direkam pertama kali oleh Dick Burnett sekitar 1913