Tuesday, May 4, 2010

Antara Hans Christian Andersen dan Aku


Suatu kali di masa kanak.

Seorang temanku mendapatkannya entah dari mana. Dia sebuah buku. Tebalnya kira-kira sepanjang jari tengah kiriku. Yang pasti, sampulnya menarik mata. Latarnya berwarna coklat cat lukis, bukan cat komputer. Kalau tak salah, di atasnya ada gambar bidadari, kurcaci, angsa, dan sebuah danau di tengah padang rumput.

Jelas gambar-gambar itu asing. Di beranda rumah salah satu teman-tempat kami bermain nyaris setiap hari-aku menyaksikan pohon nyiur, ikan mas dalam kolam beton yang berlumut, jalan tanah, rumput, ayam kampung, kucing kampung, dan batu kerikil. Tak ada angsa, danau dan padang rumput, apalagi kurcaci apalagi bidadari.

Tapi buku itu benar-benar menarik hati. Kepada temanku yang mengaku menemukan buku itu dalam tong sampah di depan rumah orang kaya, aku meminta izin meminjam sebagai yang pertama. Izinku dikabulkan sebab temanku tak terlalu suka buku. Dia bilang dia sudah puas dengan melihat gambar-gambar di antara tulisan yang ada di dalamnya.

Di dalamnya, aku menemukan cerita Anak Itik Buruk Rupa, Putri Duyung, Tom si Jempol, Prajurit Porselen, dan Putri Salju. Maka melanglanglah khayalanku sejak kisah-kisah itu tandas kubaca. Dalam tidur, dunia antah-berantahku menjadi berbeda dari biasanya. Aku kadang tiba di jembatan separo bulat di atas sebuah danau. Di dalam danau, angsa-angsa putih berenang dengan damai. Sekali-sekali aku sedang berlari di padang rumput dengan kincir angin dan kebun sapi.

Dunia mimpi kanakku sudah mulai campur aduk dengan dunia yang “lain” dari yang kuhuni sehari-hari. Saat dewasa, aku sadar, buku terjemahan yang tercampakkan itu telah menanamkan dalam ingatanku tentang suatu daerah di belahan dunia yang jauh: Eropa. Pelakunya adalah Hans Christian Andersen, pengarang idiosinkretik berkebangsaan Denmark yang hidup pada abad ke-19.

Memang, dari teman-temanku di masa kanak, hanya aku yang terbius dengan buku Andersen itu. Apa sebabnya? Aku tak pernah tahu.

Di rumah, ayah atau ibuku tak punya kesadaran bahwa membaca itu penting. Yang kutahu, ibuku senang membaca, tapi ia tak sadar bahwa membaca adalah investasi pengetahuan. Maka dari itu, membaca bukan (disadari sebagai) kebiasaan di rumah kami. Ibuku hanya membaca apa yang dia temukan di sekitarnya. Mungkin Al Quran, mungkin buku agama, mungkin komik, mungkin koran bekas bungkus teri sepulang ibuku belanja dari pasar.

Lalu, apa akibat Andersen padaku?

Khayalanku agak melenceng dari teman-temanku. Imajinasiku sudah “tercemar” oleh sesuatu yang datang padaku tanpa kuminta dan tanpa tanda-tanda. Buku tebal itu hanyalah sampah bagi orang kaya. Lagi pula, agaknya hanya orang kaya dan bukan orang-orang dari lingkungan tempat tinggalku yang akrab dengan buku.

Khayalanku tak lagi sekedar nyiur dan kolam ikan. Khayalanku bercampur di antara gaun gadis-gadis eropa, salju, dan musim gugur. Khayalanku melewati batas sehari-hariku. Mungkin inilah pertamakalinya pikiran dan alam bawah sadarku menjadi, sebutlah, kosmopolit.

Saat dewasa, aku sadar bahwa imajinasi dapat menghantarkan seorang anak manusia ke tengah-tengah dunia. Imajinasi yang membuat seorang anak dari daratan melayu yang tak terbiasa dengan pengetahuan tentang “sesuatu yang luar” dapat menjadi warga dunia.

Tapi ketegangan jua yang dihasilkannya. Andersen telah membawaku pada ketegangan antara primordialku sebagai melayu dan imajinasiku yang mulai merambah Eropa. Pikiranku tak lagi tulen. Barangkali itulah sebabnya aku dinilai agak melenceng saat berkhayal bersama teman-teman, aku membayangkan sapi di samping gubuk dekat kincir angin.

Sepertinya gejala itu juga yang mau dijelaskan Goenawan Mohammad dalam esainya yang terkenal, “Potret Penyair Muda Sebagai si Malin Kundang”. Dalam esai itu, Goenawan menyebut dirinya sebagai penyair yang terlalu jauh berjalan dari ranah aslinya. Ia, yang merantau ke Jakarta dari pedesaan di pesisir Jawa Tengah, mulai rasuk oleh nilai-nilai kota dan universitas. Sementara “kedesaan” sebagai asal yang tak mungkin dibantah, tetap menunjukkan diri dengan tegas. Ia berada dalam “ketegangan identitas.”

Waktu itu ia tak tahu. Waktu itu ia tak tahu bahwa khayalan-khayalannya menggelikan kawan sepermainannya, ketika untuk beberapa lama, sambil bermain bola dibayangkannya padang-padang Prairie, meskipun yang mengitarinya hanyalah lapangan rumput dan bekas pabrik, di mana sebatang randu tua tegak dan pohon-pohon mangga menggelebat.

Dalam soal Andersen, entahlah, barangkali ia berhasil menggambarkan keindahan Eropa padaku. Ia menyebut danau dan angsa, serta padang rumput, dan aku membayangkannya sebagai tempat yang indah. Bukankah ini sebenarnya penjajahan pikiran untuk menegaskan bahwa Eropa selalu lebih indah? Kucurigai diriku bahwa aku termakan rayuan Andersen sehingga kebun karet, sungai yang tenang, hutan durian, menjadi tidak terlalu indah (lagi) bagiku.

Tapi mengapa teman-temanku tidak menganggap Eropa sebagai keindahan? Masalahnya mungkin mereka tidak tertarik dengan buku itu dan tidak mau membacanya. Sebab itu, mereka tidak masuk ke dalam alam dan kisah Andersen tentang orang-orang di benua Eropa. Dengan demikian, mereka secara tidak sadar tak perlu melakukan perbandingan keindahan alam dan keadaan sosial tempat tinggalnya dengan dongeng-dongeng Andersen. Pendeknya, teman-temanku tidak tercampak dalam “ketegangan identitas” itu.

Kebetulan, ya, kebetulan temanku mengais buku itu di tong sampah orang kaya. Kebetulan aku bertemu dengan temanku saat dia membawa buku itu. Kebetulan aku tertarik dengan gambar buku itu. Lalu kebetulan aku membaca kisah-kisah di dalamnya. Dan aku diseret imajinasiku untuk berada di tengah-tengah dunia bernama Eropa.

Belakangan, aku menyelidiki siapa sebenarnya Hans Christian Andersen yang meracuni pikiran masa kanakku. Dari sejarah yang umum, beginilah kuketahui tentang dia:

Andersen lahir di kawasan kumuh Odense, selatan Denmark, 2 April 1805. Ayahnya, Hans Andersen adalah seorang pembuat sepatu yang miskin dan buta huruf yang merasa dirinya masih keturunan bangsawan. Sedangkan ibunya, Anne Marie Andersdatter, bekerja sebagai buruh cuci.

Ayahnya meninggal pada 1816. Sejak itu, ia menjalani masa sulit dengan bekerja pabrik rokok, menjadi penenun dan penjahit, serta kerja serabutan. Pada 1819 ia merantau ke ibukota Denmark, Kopenhagen, dengan niat menjadi aktor. Dalam tiga tahun masa sulitnya di Kopenhagen, Andersen bertemu dengan raja Denmark, Frederik VI. Karena tertarik dengan penampilan Andersen, Frederik VI mengirimkan Andersen ke sekolah bahasa di Slagelse dan Elsinore. Andersen menjalani pendidikannya ini hingga 1927.

Pada 1872, Andersen jatuh sakit dan terbaring tanpa daya selama tiga tahun di Rolighead, dekat Kopenhagen. Menyedihkan, ia meninggal dunia tanpa pernah menikah. Perempuan yang disebut-sebut sebagai “cinta mati” Andersen, Riborg Voigt, menolak cintanya dan menikah dengan lelaki lain pada 1831. Pengalaman cintanya itu pernah dituangkan Andersen dalam kumpulan puisi berjudul Phantasier og Skisser. Pada 14 Agustus 1875, Andersen mati dalam keadaan bujang dan diliputi cemburu.

Setelah mengetahui sejarah hidup Andersen, barulah aku mulai menyadari apa yang menyebabkan kisah-kisah Andersen begitu berkesan dalam pikiran masa kanak-kanakku. Latar belakang ekonomi keluarga Andersen dan keluargaku tak jauh berbeda. Itulah sebabnya, mungkin, meski dongeng-dongeng Andersen berlatar Eropa, tapi mengena padaku.

Andersen senantiasa memunculkan tokoh-tokoh miskin dan tertindas dalam tiap tokoh-tokohnya. Mungkin, meski aku tak pernah merumuskannya waktu masih anak-anak, masa kanak-kanakku adalah masa yang tak berbeda dengan tokoh-tokoh rekaan Andersen. Andersen datang padaku menjadi teman, bahwa dalam hidupku yang sepi di masa kanak, ada bagian dunia lain yang juga menghadapi soal yang sama dengan apa yang kuhadapi. Andersen mendamaikan kesusahan hatiku dengan mengajakku bertualang ke Eropa, meski di dunia khayal.

Dan mengenang kembali Andersen pada saat masa remaja dan dewasa, lagi-lagi kutemui apa yang dialami Andersen. Yakni, sepi pada perempuan dan selalu diliputi cemburu. Andersen, kau membuatku mengakui apa yang tak mau kuakui. Terima kasih racunku, teman masa laluku, dan teman masa depanku.

Jakarta, April 30 2010