Wednesday, June 23, 2010

Yang Hidup dalam Mati, Kurt Cobain


Suatu hari, sekitar 9 April 1994, di pulau Kalimantan. Seorang kawan berangkat ke sekolahnya, sebuah Sekolah Menengah Atas. Seperti pagi yang biasa, ia berangkat bersama udara pagi yang berembun. Tak ada yang istimewa.

Sesaat setelah memasuki gerbang sekolah, ia mulai merasakan ada yang ganjil. Tiang bendera yang selalu tegak kokoh di tengah lapangan seakan menjadi layu. Tak ada suara-suara riuh-rendah remaja tanggung yang biasa membahana di kelas-kelas SMA. Saat dilihatnya kawan-kawannya, semua tampak lesu.

“Ada apa sih? Kok semua lesu?” Dia bertanya pada seorang kawannya.

“Kurt Cobain meninggal.”

Kawan saya langsung terkejut mendengar jawaban itu. Tanpa sadar, ia pun terbawa pada situasi muram yang baru ia sadari apa sebabnya.

Saya mendengar pengakuan kawan saya itu setelah dia berusia lewat 30 tahun, di Jakarta, tahun lalu. Menurut dia, kematian Kurt Cobain menyebabkan remaja seusianya kehilangan idola. “Generasi waktu itu seperti kehilangan orang yang diidolakan. Kami generasi yang kacau, dan Kurt Cobain menyuarakan itu,” kata dia.

***

Lake Washington, tak jauh dari Seattle, Washington, Amerika Serikat, 8 April 1994. Kabar itu datang dari Gary Smith, seorang tukang listrik dari Veca Electric. Gary menemukan jenazah di atap garasi rumah yang dikunjunginya. Dari Gary, dunia mengetahui seseorang yang berpengaruh terhadap generasinya telah mati. Gary menemukan Kurt Cobain, vokalis plus gitaris Nirvana-band yang digilai nyaris seluruh anak muda di dunia saat itu.

Dalam pengakuannya, Gary tak melihat tanda trauma atau depresi pada paras Cobain. Gary seperti melihat Cobain sedang tertidur dengan darah yang mengucur dari telinga. Berdasarkan hasil otopsi, diketahui Cobain meninggal 5 April 1994 dengan meledakkan peluru pistol di kepalanya.

Kita tahu, jarak antara Seattle dan Kalimantan itu ribuan mil. Kita tahu, bahasa dan adat orang Seattle berbeda dengan orang Kalimantan. Kita tahu, Seattle dan Kalimantan itu adalah hal yang jauh berbeda. Pertanyaannya? Mengapa kepergian Cobain bisa membuat muram anak-anak di SMA kawan saya di sebuah kota kecil Kalimantan? Mengapa Cobain yang jauh itu bisa begitu dekat dalam batin anak-anak di Kalimantan itu?

Lupakan dulu soal gaya berpakaian Kurt yang bersahaja, lupakan dulu soal liarnya dia di panggung, lupakan soal kharisma Kurt, lupakan segala soal yang berada di luar musiknya bersama Nirvana. Sebagaimana Chairil Anwar yang harus dinilai dari sajaknya ketimbang kehidupan pribadinya yang eksentrik, kita juga harus mencermati sekedar “musik” Kurt Cobain.

Masalahnya pula, menyelami musik Kurt Cobain dan mencoba menelisiknya lewat literatur umum yang mudah diperoleh di internet, tidak bisa tidak mengajak kita kembali pada masa lalunya. Saya mencoba memadatkan masa lalu Cobain. Mari simak:

Kurt Donald Cobain lahir dari keluarga kelas pekerja pada 20 Februari 1967 di Grays Harbor Hospital, Aberdeen, Washington. Ibunya, Wendy Elizabeth Fradenburg, adalah seorang pelayan keturunan Kuba, Spanyol, Irlandia, Jerman, dan Inggris. Sedangkan ayahnya, Donald Leland Cobain, adalah seorang mekanik otomotif keturunan Skotlandia, Irlandia, dan Prancis. Nenek moyang Kurt hijrah ke daratan Amerika dari County Tyrone, Irlandia Utara, pada 1875

Sejatinya, Kurt adalah bocah yang periang, bergairah, dan peduli. Bakat sebagai musisi besarnya tampak sejak usia delapan tahun. Ia juga senang menggambar tokoh-tokoh film seperti Aquaman, dan karakter ciptaan Walt Disney seperti Donald Bebek, Mickey Tikus, dan Pluto.

Guncangan pertama pada jiwanya terjadi pada usianya Sembilan tahun, saat ayah dan ibunya bercerai. Kurt berubah drastis: menjadi pembangkang dan suka menyendiri. Dalam sebuah wawancara pada 1993, Kurt menuturkan perasaannya saat itu:

“I remember feeling ashamed, for some reason. I was ashamed of my parents. I couldn't face some of my friends at school anymore, because I desperately wanted to have the classic, you know, typical family. Mother, father. I wanted that security, so I resented my parents for quite a few years because of that.”

Dari pengakuannya ini, tampaklah bahwa Kurt adalah orang yang emosional dan penuh perasaan. Kasus perceraian bukanlah hal baru di dunia ini, terlebih di negara seperti Amerika. Ada banyak anak-anak korban perceraian di dunia ini. Tetapi, Kurt tetaplah seorang bocah biasa yang membutuhkan orang tua. Ia membawa pengalamannya itu jauh ke dalam dasar jantungnya.

Dalam kesunyian masa kanaknya, Kurt bergaul dengan keluarga kristen yang alim, keluarga teman mainnya, Jesse Reed. Hidup di keluarga demikian, ia menjadi anak yang saleh. Agama, memainkan peranan penting dalam hidup Kurt, pun pada karyanya. Lagu “Lithium” dari album Nevermind disebut-sebut berkisah tentang keluarga Jesse yang religius.

Bahkan, nama “Nirvana” dicomot Kurt dari konsep Buddhisme. Kurt menggambarkan konsep nirvana sebagai “kemerdekaan dari rasa sakit, penderitaan, dan dunia luar.” Penggambaran ini sejalan dengan etika punk rock dan menjadi semacam ideologi.

Kajian pertama Kurt sebagai pemusik bisa dimulai dari sini. Dengan melihat sosok Kurt melalui apa dia tampil pada kita (televisi, internet, video, literatur), kita bisa mengetahui bahwa Kurt adalah sosok yang filosofis. Memang, setiap pemusik selalu punya semacam “asumsi kebijaksanaan” saat memberi nama band-nya, namun cara Kurt memilih nama Nirvana berikut menjelaskan konsep Nirvana menurut pikirannya itulah yang menunjukkannya sebagai seseorang yang khas.

Selain memilih secara filosofis, Kurt pandai memilih nama yang gampang didengar dan disebutkan. Nirvana hidup dalam agama Buddha. Nirvana adalah kata dalam bahasa sanskrit. Sanskrit adalah bahasa resmi di India. Dan menyebut Nir-Va-Na tidaklah sulit bagi orang Asia seperti Indonesia. Dengan demikian, dari cara memilih nama, Kurt cermat membuat nama band-nya akrab di telinga penduduk dunia.

Kembali ke kisah hidup Kurt. Setelah sempat hidup bersama ayah dan ibu tirinya, Kurt tinggal bersama ibunya mulai semester kedua pada tahun keduanya di SMA. Dua pekan setelah ujian kelulusan, Kurt dinyatakan tak lulus karena nilainya tak cukup. Kepada Kurt, ibunya memberi dua pilihan: cari pekerjaan atau pergi dari rumah.

Sepekan setelah itu, Kurt menemukan pakaian dan beberapa barang pribadinya terbungkus dalam sebuah kotak. Sejak itu, Kurt hidup menumpang dari rumah ke rumah temannya. Sesekali ia menyelinap ke lantai dasar rumah ibunya.

Dalam masa tuna wisma-nya, Kurt mengaku tinggal di bawah jembatan Sungai Wishkah. Basis Nirvana, Krist Novoselic, mengisahkan, “dia berada di sana, tapi anda tidak bisa hidup di pinggir sungai yang becek, dengan air yang kadang pasang kadang surut. Itu adalah revisionismenya (Kurt).” Pengalaman hidup di bawah jembatan kelak dibukukan Kurt dalam sebuah single di album Nevermind, “Something in the Way”.

Penghujung 1986, Kurt pindah ke sebuah apartemen setelah memperoleh penghasilan sebagai pekerja di Polynesian, sebuah resort pinggir pantai yang berjarak 20 mil dari Aberdeen. Selama masa ini, Kurt kerap mengunjungi Olympia, Washington, untuk menyaksikan konser rock. Selama kunjungannya ke Olympia, Kurt mengencani Tracy Marander, yang disebut-sebut sebagai “girl” dalam single dari album Bleach bertajuk “About A Girl.”

Lepas dari Marander, Kurt bertemu Tobi Vail, seorang pengurus punk zine dan gitaris sebuah band bernama Bikini Kill. Usai bertemu Vail, Kurt tergila-gila pada gadis itu. Vail kelak menjadi inspirasi dalam lirik “love, you so much it makes me sick,” dari lagu Aneurysm.

Bisa dibilang, Vail adalah salah satu perempuan terpenting dalam hidup Kurt Cobain. Bersama Vail, Cobain merasakan kenyamanan “keibuan”. Vail adalah intelektual yang dihormati sebagai pejuang jender dalam komunitas punk. Kurt dan Vail menghabiskan waktunya untuk mendiskusikan isu politik dan filsafat. Vail disebut-sebut sebagai inspirasi sebagian besar lirik pada album Nevermind.

Suatu kali, Vail sedang mendiskusikan tema seputar anarkisme dan punk rock bersama temannya Kathleen Hanna. Vail menyemprotkan cat semprot di tembok apartemennya. Semprotan itu membentuk kalimat yang berbunyi “Kurt Smells Like Teen Spirit”. Hanna berkelakar, tulisan itu berarti Kurt menyukai bau ketiak Vail. Sebab, Teen Spirit merupakan merek deodorant Vail.

Kurt peduli dengan tulisan itu dan menafsirkannya sebagai slogan yang memiliki makna revolusioner. Dari tulisan tembok yang disemprot Toby Vail itulah kini Nirvana sampai pada kita sebagai Smells Like Teen Spirit.

***

Saya sengaja tidak memperpanjang kisah hidup Kurt. Mengulang biografi Kurt hari ini adalah pekerjaan sia-sia jika tak mempunyai data yang baru. Sebab, ada banyak orang yang sudah mendalami Kurt. Sebagaimana saya singgung di bagian pembuka tulisan ini, membicarakan masa lalu Kurt hanyalah untuk melihat Kurt sebagai pemusik.

Saya menemukan satu kata “intens.” Banyak orang, mungkin banyak pemusik, lebih senang mengatakan “intenslah dalam bermusik jika ingin sukses di musik.” Bagi saya, Kurt bukanlah orang yang seperti itu, Kurt memang intens, tapi intensitasnya terlebih dulu bukan pada musik, tapi pada kehidupan.

Dari sejarah masa lalunya yang jejak-jejaknya dapat kita temukan pada karya-karyanya, tampak Kurt begitu dekat dengan peristiwa-peristiwa dalam hidupnya. Perceraian orang tuanya, pengalamannya di bawah jembatan sungai Wishkah, hingga bertemu dengan setiap perempuan dalam hidupnya, membekas pada dirinya secara mendalam.

Menurut saya, Kurt tidak lari dari kehidupannya saat mendekati musik. Kehidupannya yang ia jalani sejak masa kanak hingga kematiannya itulah yang ia ceritakan dalam musiknya. Dan Kurt berhasil! Itulah sebabnya, dengan menyimak satu persatu lagu Nirvana, kita seperti diajak menyusuri lika-liku kehidupan Kurt. Kurt menyajikan siapa dirinya di dalam musik. Dan memang demikianlah seharusnya pemusik!

Kurt begitu dekat dengan lirik dan musik yang dikarangnya. Seperti Friedrich Nietzsche, ia “tidak melarikan diri” dari segala kenyataan hidupnya. Kurt malah berjabat tangan dengan kehidupan, menantangnya, menyelaminya, dan berhasil menampilkan kehidupan itu dalam bakat terbesarnya. Kurt, adalah eksistensialis yang menjadi juru bicara bagi generasinya.

Kurt menggerakkan zaman. Kurt menjadi simbol keresahan anak muda, terutama anak muda Amerika yang mengalami masa lalu seperti Kurt. Karena kejujuran dan kedekatannya dengan karyanya, ia pun dengan sendirinya dekat dengan “kapitalisme” yang mendekatkannya pada anak-anak muda di seluruh dunia.

Tentu saja, tak ada orang yang ingin meniru kisah hidup Kurt. Makanya, sejak awal saya menegaskan untuk membicarakan musik semata. Apa yang perlu diambil dari Kurt adalah cara dia memperlakukan hidup yang kemudian menjadi semacam “imannya” dalam bermusik.

Bagi siapapun yang percaya musik adalah bahasa universal yang menghubungkan manusia antar benua, iman “mendekati kehidupan” yang diterapkan Kurt dalam musiknya, boleh menjadi ilham. Siapapun yang mencintai musik, baik pemusik atau pun bukan, harus mengembalikan musik pada kehidupan. Karena musik itu adalah “sejenis” kehidupan yang tidak mungkin kita tolak.

Jika Kurt masih hidup, mungkin dia tak mau dianggap serumit ulasan ini. Tapi, tugas manusia yang hidup, adalah membaca jejak kebijaksanaan dari segala yang sudah lalu. Pun kebijaksanaan itu diliputi tragedi dan bunuh diri. Kurt, menurut saya, pantas dimasukkan dalam masa lalu yang menjadi tugas manusia yang hidup untuk membaca kebijaksanaannya.

Kurt bunuh diri, dan mati, karena ia terlalu akrab dengan kehidupannya.

Jakarta 22 Mei 2010

Jika Angklung Di Tangan Anak-Anak


Kalau dunia tak adil, itu sudah pasti. Tapi kalau tentang keadilan dunia, itu cuma proses dan usaha: untuk itulah manusia hidup.

Ada yang tak terjangkau dalam keadilan. Dan itu menyusup dalam suara angklung yang dimainkan oleh sekelompok anak-anak sekolah dasar di museum negara ini. Anak-anak itu menunjukkan “kelasnya” dalam wacana keadilan melalui musik.

Saya masuk ke museum ketika pagi di ibukota menjadi pagi yang damai. Dalam perjalanan sekitar lebih dari setengah jam menuju museum, ibu kota negara sepi. Jalanan lengang. Maklumlah, hari Minggu, sebagian besar orang libur. Semua orang yang bertindih-tindih saban hari di setiap penjuru sedang melupakan jalanan, macet, asap knalpot, dan ambisi.

Saya tak usah sebut acara apa yang membuat saya datang ke museum. Sebab, pada akhirnya, acara itu tidak terlalu penting selain soal keadilan yang menyeruak lewat musik angklung yang dimainkan anak-anak sekolah dasar itu. Yang pasti, niat utama saya bukan untuk menziarahi benda-benda kuno.

Paling tidak, di panggung sederhana itu, saya menyaksikan sekitar 30 anak berusia 7-9 tahun. Mereka datang sebagai murid dari sekolah dasar berlabel internasional. Internasional dan berlabel nama salah satu negara besar di Eropa Barat. Jelas, tak semua anak di kota yang sesak ini bisa bersekolah di tempat tersebut. Yang saya ingat, anak pasangan mantan presenter berita di salah satu televisi nasional dan seorang pengamat politik kondang, ada di panggung itu.

Lalu, tibalah saat yang menggetarkan saya: anak-anak menggetarkan angklung. Dengan angklung, mereka memainkan sebuah lagu populer dari Austria yang berjudul “Edelweiss”. Soalnya, mengapa lagu yang dipilih itu berjudul Edelweiss? Apakah anak-anak di sekolah tak terurus di sudut kota ini juga mengenal lagu berjudul Edelweiss? Atau, jangan-jangan, mereka sama sekali belum pernah mendengar kata Edelweiss? Apa lagi mengetahui sebenarnya Edelweiss adalah bunga yang tumbuh indah di atas gunung?

Musik tetaplah musik. Di dalamnya, kita bisa merasakan harmoni, nuansa, emosi, dan imajinasi. Betapa beradabnya manusia saat menikmati musik. Musik menyajikan kedamaian. Tapi, saat itu saya tidak bisa menyimak musik sebatas musik. Musik, saat dimainkan oleh orang dalam situasi dan keadaan tertentu, bisa menyiratkan politik, dan juga ketidakadilan. Demikian pula ketika lagu Edelweiss itu dimainkan oleh anak-anak dari sekolah mewah itu.

Edelweiss adalah lagu yang lembut dan indah. Ketika anak-anak tersebut menggetarkan setiap angklung sebagai penanda nada secara bergantian, musiknya tampak sebagai sebuah keteraturan. Itulah kemenangan anak-anak dari sekolah internasional itu. Mereka bisa memainkan sebuah keteraturan dalam musik, mereka mengenal harmoni, mereka merasakannya, dan mereka melakukannya. Saat melihat anak-anak itu memainkan nada demi nada, yang ada dalam batin saya adalah “betapa beradabnya anak-anak ini.”

Mereka beradab karena sejak kanak-kanak sudah melakukan sesuatu secara bersama dalam disiplin keindahan. Dalam musik, setiap orang yang memegang instrumen mendapat gillirannya masing-masing sesuai dengan skenario urutan nada sebuah lagu. Dalam musik, seberapa banyak giliran setiap orang memainkan instrumennya bukan berdasarkan siapa yang lebih lihai. Dalam musik, yang dikejar adalah harmoni, keindahan. Bayangkan, anak-anak itu menggetarkan angklung pada giliran masing-masing demi harmoni, demi keindahan. Mereka, sadar atau tidak sadar, sedang menjadi makhluk berbudaya. Mereka bekerja sama menggunakan perasaan, pikiran, mengikuti aturan, demi tujuan mencapai keindahan.

Lalu apakah anak-anak di sekolah tak terurus di kampung kumuh tak berhak menjadi beradab dan berbudaya? Apakah mereka tak berhak memainkan Edelweiss dan menjadi pelaku kebudayaan dalam harmoni musik?

Anak-anak, sebagaimana musik, tetaplah anak-anak. Dunia anak-anak, sebagaimana novelis Ayu Utami menulis dalam salah satu novelnya, dunia yang terpisah dari orang dewasa. Saat manusia menyadari menjadi dewasa, ia lupa kapan imajinasi kanak-kanaknya itu terputus. Anak-anak sekolah internasional itu sama dengan anak-anak di sekolah tak terurus, sama-sama anak-anak.

Dengan alasan apa pun, orang dewasa tak berhak mendendam pada anak-anak dari sekolah mewah itu. Mungkin, dengan alasan ketidakadilan, hanya anak-anak dari sekolah kumuhlah yang berhak iri pada anak-anak di museum itu. Hanya anak-anak yang berhak iri terhadap anak-anak lainnya.

Tapi, bagi saya, beradabnya anak-anak sekolah internasional itu, bukan karena keinginan mereka sendiri. Adalah dunia orang dewasa yang membentuknya. Orang dewasalah yang merumuskan bahwa musik dapat membuat seorang anak belajar berbudaya. Orang dewasalah yang memasukkan anaknya dalam kegiatan bermusik dengan niat agar anaknya berbudaya.

Demikian pula, beradab atau tidaknya anak-anak di sekolah kumuh bukan kemauan mereka. Dunia orang dewasalah yang memaksakannya. Mereka, semiskin-miskinnya, berhak mengetahui dan menyaksikan karya besar bernama Monalisa yang dilukis Leonardo Da Vinci. Mereka, semelarat-melaratnya, berhak mendengarkan Fur Elise gubahan Ludwig Von Beethoven. Sekalipun sehari-hari mereka menikmati pop melayu murah yang melayang-layang di televisi. Sekalipun mereka sehari-hari diajarkan menepuk rebana dalam kasidah atau marawis sekedar penerus kebiasaan. Mereka berhak!

Lalu saya perhatikan wajah anak-anak yang main angklung itu, betapa lembut, betapa ranum, betapa murni. Lalu saya kenangkan wajah saya sendiri semasa kanak, wajah anak-anak di sekolah tak terurus di pojok gang di utara Jakarta. Saya bayangkan wajah anak-anak yang memainkan musik dengan kecrekan dari tutup botol di perempatan jalan. Saya bayangkan semuanya.

Semakin jauh saya membayangkannya, saya lupa kalau saya sedang berada di museum negara. Saya lupa kalau museum adalah tempat untuk membuat setiap anak di bangsa ini bangga terhadap negeri dengan menziarahi masa lalu. Saya lupa kalau harga tiket masuk museum untuk anak-anak tidak terlalu mahal, cuma dua ribu perak. Saya lupa caranya menikmati musik. Saya lupa apa sebenarnya tujuan awal saya ke sini.

Seorang kawan perempuan yang saya bayangkan menjadi istri saya, berdiri di sebelah saya. Tujuan kami sama, tapi saya tak akan menyebutkannya. Sebab saya terlanjur terpukau oleh Edelweiss yang keluar dari getar angklung, saya terpesona karena yang memainkannya adalah anak-anak sekolah dasar. Dalam permenungan saya yang semakin ketat, kawan perempuan yang saya bayangkan menjadi istri saya itu menepuk pundak saya. Saya tersentak. Lalu dia bilang pada saya, “berhentilah menjadi orang yang sinis. Mereka cuma anak-anak.”

Saya diam. Dalam hati, saya bilang, “ya, aku cinta padamu.”

Jakarta, 3 Mei 2009