Sunday, December 13, 2009

Privat


Di manakah batas kata “privat”dapat dipancangkan di zaman ini?

Maka menjadi menakutkanlah kata privat itu bagi orang-orang yang berkuasa dan memiliki uang. Kini, manakala orang-orang yang berada dalam lingkar kekuasaan dan uang berusaha bermain-main dengan kata “privat”, terbayang pada mereka sebilah pisau tajam yang akan menusuk dengan buas ke jasad mereka.

Di negara dunia ketiga (bahkan mungkin di negara maju sekalipun), privasi hanyalah milik para penguasa dan milyarder. Orang miskin dan jelata “dilarang” menuntut yang privat!

Berjalanlah ke kompleks perumahan orang kaya (Pondok Indah, misalnya), sebatas mana anda mampu menerka isi rumah, atau kegiatan yang terjadi dalam salah satu rumah besar yang tegak di sana? Privasi pemilik rumah besar-rumah besar itu sudah dimulai sejak pandangan mata kita.

Dalam sekali melintas, mata kita akan menyaksikan pagar tinggi, pos satpam sekaligus sang satpam, dan terkadang anjing penjaga yang gampang menyalak. Panorama itu sudah memberikan pengertian pada kita bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam rumah besar itu, bukan sesuatu yang mudah ditembus. Sekali lagi, privasi telah dimulai sejak pandangan mata.

Di tempat lain, berjalanlah sekali malam di sekitar jalan Latuharhary, atau di sekitar Menteng. Kalau beruntung, anda akan menyaksikan sepasang manusia melakukan persetubuhan di bangku taman. Atau di sekujur jalanan Jakarta, bagi orang-orang di tepian jalan, tidur tidak berada dalam kata-kata “di balik selimut” atau “di dalam kamar”. Tidur dalam pengertian apapun, bukanlah pekerjaan yang privat. Siapa pun, kalau mau, dapat mengakses tidur (kecuali mimpinya) orang-orang jalanan.

Namun, privasi itu kini menjadi pisau bermata dua bagi penguasa dan orang-orang banyak uang. Pisau mata pertama menjadi penanda agar hidup penguasa dan orang kaya dapat disusun sesuai keinginan. Sedangkan pisau mata kedua adalah segala sesuatu yang berusaha dibuat privat yang menghantam di kemudian hari.

Keadaan itu terjadi sejak Mahkamah Konstitusi memperdengarkan rekaman pembicaraan orang-orang yang diduga terlibat dalam rekayasa kriminalisasi kasus pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Riyanto-Chandra M Hamzah.

Penguasa dan orang kaya kerap mengaburkan atau lupa cara menggunakan hak istimewa dalam privasi. Praktek rahasia yang biasa mereka terapkan dalam kamar tidurnya mau diterapkan pula pada segala sesuatu yang sebenarnya milik publik. Inilah masalahnya: privasi menjadi menakutkan jikalau ia (sebenarnya) berhubungan erat dengan yang publik.

KPK, bail-out dana Bank Century adalah dua hal yang sangat erat hubungannya dengan publik. Ia menjadi pisau yang menakutkan ketika penguasa dan orang kaya berusaha menggunakan kebiasaannya dalam kerahasiaan rumah gedungnya untuk membunuh kebenaran dalam urusan itu. Kini, yang publik sudah menelan privasi yang bukan pada tempatnya itu. Dan bola pun bergulir tanpa basa-basi merobohkan pagar tinggi, pos satpam, dan memenggal moncong anjing penjaga di rumah-rumah besar itu.

Padahal, rekaman, teknik penyadapan, audio, semula adalah ilmu pengetahuan buah modernisme milik renaissance untuk “menaklukkan” dan “mengatasi” alam. Ia semata teknologi yang pada dirinya sendiri tak ada hubungannya dengan sosial, gerak masyarakat, apalagi meja terhormat Machfud Md di sisi taman Monas itu. Ia hanya keangkuhan lama untuk menghukum mitos asli.

bersambung....