Wednesday, October 28, 2009

Belajar dari Woodstock sambil Menunggu Miyabi


Mereka menari-nari dalam hujan, main perosotan di lumpur pertanian. Sebagian mencopot pakaian, telanjang bulat. Dalam benak anak-anak muda yang sedang menyodorkan budaya tanding ini, tubuh harus diterima sebagaimana adanya. Tubuh-tubuh wanita yang telanjang harus diterima sebagaimana adanya, bukan dalam eksploitasi keindahan ala majalah Playboy. (Bre Redana tentang 40 Tahun Festival Woodstock dalam artikel “Tuhan Memberkati Kalian…” di Kompas edisi 5 Juli 2009).


Kita perlu mencatat pandangan Bre Redana tentang ketelanjangan muda-mudi di Woodstock, Bethel, New York, Amerika Serikat, sesaat setelah hujan badai di pertengahan Agustus 1969 itu. Setidaknya, dengan mengingat-ngingat kembali ketelanjangan mereka, kita tahu bahwa ketelanjangan bukanlah persoalan yang tuntas dalam masyarakat. Dan Woodstock adalah monumen dalam sejarah dunia yang berupaya memberikan pandangan berbeda mengenai “tubuh yang tak bisa lagi dihindarkan dari politik.”

Sejatinya, anak-anak muda barat itu hanyalah berupaya melawan kepicikan orang tua mereka dengan “bertelanjang.” Michel Foucault pernah menelanjangi “politik tubuh” masyarakat barat dalam bukunya yang bertajuk History of Sexuality. Foucault habis-habisan menghujat kemunafikan masyarakat barat yang menistakan ketelanjangan demi kepentingan politik.

Masyarakat barat di zaman dahulu, menurut Foucault, senantiasa menilai ketelanjangan sebagai sesuatu yang tabu. Dengan dalih moralitas agama, ketelanjangan dan seksualitas dilarang muncul di hadapan publik. Namun ironisnya, pentabuan itu dilakukan sekaligus dengan upaya memunculkan kembali seksualitas dalam bentuk yang lebih terselubung dan ideologis.

Dia mencontohkan, urusan ranjang yang seharusnya menjadi urusan paling “privat” dicampuri negara dengan membuat hitung-hitungan statistik untuk membatasi jumlah penduduk. Di sini pembicaraan seks dimunculkan kembali untuk mempolitisasi seks.Di negeri ini, kita pernah mengenal program Keluarga Bencana (KB). Dalam pandangan Foucault, program-program yang membatasi jumlah penduduk berdasarkan perhitungan statistik itu adalah siasat yang ideologis untuk mencampuri urusan ranjang masyarakat.

Program-program semacam itu, tidak semata-mata bermakna untuk membatasi jumlah penduduk demi kepentingan pembangunan. Kekuasaan, dalam rangka mempertahankan kekuasaannya, berkepentingan untuk masuk ke dalam kamar tidur rakyat dan mengatur secara tak langsung persetubuhan rakyat dengan dalih “dua anak saja cukup.” Bukankah target pembangunan suatu rezim-dengan mengendalikan jumlah penduduk-juga bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan rezim itu sendiri?

Kendati demikian, Foucault memuji kerahasiaan ketelanjangan masyarakat timur. Dia menganggap, kebudayaan timur, terutama yang ada dalam kebudayaan agama-agama bumi, justru merahasiakan ketelanjangan dan seksualitas itu untuk menghargai seksualitas itu sendiri. Masyarakat timur, menutup tubuhnya karena bagi mereka, ketelanjangan dan seksualitas adalah sesuatu yang “tinggi." Seks harus dirahasiakan karena masyarakat timur menganggapnya sakral.

Sakralitas dalam ketelanjangan dan seksualitas itulah yang tidak terdapat dalam masyarakat barat. Ketelanjangan anak-anak muda di Woodstock telah membuktikan itu. Karena kemunafikan atas tabu ketelanjangan dan seksualitas, mereka berusaha mengadopsi paradigma masyarakat timur dalam memandang ketelanjangan. Namun, mereka menterjemahkannya dalam bentuk yang lebih berani. Yakni, jika masyarakat timur merahasiakan ketelanjangan sebagai bagian dari sucinya manusia, anak muda Amerika Serikat era 1960-an itu membuka pakaiannya dengan memanusiakan “kebinatangan” manusia dalam hal seksualitas.

Namun, meski bermakna pembebasan, ketelanjangan anak muda di Woodstock tak dapat serta-merta diterapkan di Indonesia. Meskipun yang melakukannya adalah Hippies lokal yang hidup di era 1960-an. Kita tak mungkin telanjang begitu saja meski makna ketelanjangan yang dianut Flower Generation (Generasi Bunga ) itu sesungguhnya meletakkan keagungan manusia di tempat yang paling tinggi.

Tapi kita dapat menyerap prinsip dan cara pandang anak-anak muda Woodstock itu untuk menilai polemik tentang tubuh dan ketelanjangan di negara sendiri. Tanpa perlu membuka baju, bersepakat dengan pandangan “menerima tubuh apa adanya” itu dapat memberikan kita tempat yang nyaman untuk menunggu kedatangan Miyabi.

Oktober 13 2009

Tentang Padang


It is the evening of the day. I sit and watch the children play

Smiling faces I can see. But not for me
I sit and watch, as tears go by
(The Rolling Stones, December's Children (And Every Body's), 1965)

Jiwa adalah sumber utama bagi gerak denyut kehidupan di suatu tempat yang dihuni masyarakat. Jiwalah yang memberikan makanan kepada pikiran untuk menentukan bentuk kehidupan di suatu tempat. Dengan memahami jiwa masyarakatnya, kita hampir mengetahui situasi seluruh kota.

Lalu, apakah yang terjadi dengan sebuah kota jika hampir seluruh penduduknya berada dalam keadaan jiwa yang terguncang nyaris gila?

Pertengahan 2006, seorang kawan mengisahkan kepada saya tentang pengalamannya menjadi relawan gempa bumi Jogjakarta. Hanya karena semangat voluntarismenya sebagai anggota mahasiswa pencinta alam di Jogjakarta, ia datang ke suatu tempat di mana mayat-mayat paling banyak bergelimpang.

Kawan saya bercerita tentang hari yang naas. Ketika truk pengangkut bantuan makanan dan lainnya melintas di jalan desa menuju posko, serombongan penduduk setempat menghadang. Tanpa banyak basa-basi, mereka meminta bantuan itu diturunkan di tempat itu juga. Alasannya, banyak warga di kampungnya yang belum menerima bantuan.

Relawan tentu saja menolak. Sebab, menurut mereka, bantuan harus sampai di posko, dan dibagi secara adil. Nyaris baku hantam terjadi. Siapa yang tidak ngeri dengan orang-orang (korban) yang sedang luka itu? Mereka bisa seperti macan yang darahnya sedang meleler di sekujur tubuh.

Truk memang lolos dan selamat sampai posko. Namun yang lebih naas, penduduk yang menghadang tadi menolak mengantre dan meminta bagian lebih banyak jatah minyak tanah yang sedang dibagikan. Lagi-lagi, terjadi perang mulut. Jika penghadangan masih meloloskan truk, namun kali ini, korban gempa yang bersitegang itu mengeluarkan senjata tajam hendak menikam relawan.

Dalam kondisi normal, relawan tersebut seharusnya pulang meninggalkan posko tersebut. Betapa tidak, pekerjaan relawan yang tanpa upah itu harus ditebus dengan ancaman senjata tajam. Tidakkah ini pelecehan terhadap kerja-kerja sukarela?

Tapi, uniknya kawan saya tidak benci. Dia hanya bilang, kita hanya kaget sebab kita bukan korban. Mereka itu, para korban yang selamat namun kehilangan anak, istri, suami, dan kerabat, sedang terguncang jiwanya. Dalam keguncangan, stabilitas hilang. Dalam instabilitas, kehancuran mendekat, karena angin buruk dari keaslian jiwa manusia muncul secara jujur.

Dengan kata lain, kawan saya mengatakan, "wajarlah mereka menjadi ganas. Sebab, jiwa mereka guncang. Kita, yang bukan korban, tentulah dapat melihat keburukan yang muncul dari keaslian jiwa korban itu, karena kita stabil. Jikalau saja kita berada pada posisi korban, hawa buruk dari keaslian jiwa kita pun akan muncul tanpa kita sadari. Jadi, maklumilah, dan teruslah bekerja."

Dengan pengetahuan akan jiwa itu, cobalah berangkat ke Padang beberapa hari ini. Niscaya, kita yang bukan korban, dengan jiwa yang relatif stabil, dapat melihat keburukan dari keaslian jiwa manusia. Bukan tidak mungkin, kita akan merasa terkejut karena dalam keseharian kita yang bahagia, tak pernah kita menemui keburukan-keburukan manusia yang menjadi korban itu.

Dan bayangkanlah, dengan kondisi jiwa seluruh penduduk Padang yang guncang, kita dapat merasakan ketidaknyamanan di kota itu. Keguncangan jiwa masyarakatnya akan memaksa wajah kota menjadi jorok, menyedihkan, dan seram.

Bencana memang tidak pernah menyajikan keindahan. Siapa (bukan korban) yang berani datang ke Padang beberapa hari ini, tentu saja merasa resah. Sebab, saat-saat itu, kehidupan yang normal masih melekat di kepala dan perasaan. Sekaligus kehidupan yang normal itu, untuk sementara berada nun jauh di rumah, di kampung halaman, kampus, atau tempat kerja.

Tanpa menyadari dan memaklumi keguncangan jiwa itu, kita yang bukan korban sebenarnya sama-sama mabuk. Jika korban mabuk karena kepedihan dan histeria, maka kita yang bukan korban namun sempat ke Padang akan mabuk melihat keburukan sifat manusia, dan menyebabkan kita tak lagi sedih di tengah-tengahnya. Sedangkan kita yang hanya menyimak tragedi itu lewat televisi, mabuk oleh kepedihan-kepedihan citraan yang diglorifikasi media massa.

Oh, senangnya menjadi kanak-kanak!


Oktober 9 2009

Oleh-oleh dari Mudik (2)


Seingatku, namanya Rosita. Aku bertemu dia di Sekolah Dasar di kota kecil kami. Aku juga tidak ingat betul, kelas berapa dia masuk ke sekolahku sebagai murid pindahan dari sekolah lain di kota kami.

Tak ada yang istimewa dari dia. Sebab itu, aku tak pernah mau terlalu akrab dengannya. Tidak cantik, dan kecerdasannya aku kira masih di bawah kemampuanku. Sebagai perempuan keturunan Tiongkok yang kakek moyangnya mendiami kota kami sejak puluhan tahun lalu, dia dapat dibilang sebagai perempuan yang benar-benar Tiongkok.

Dalam pengamatanku, setidaknya ada dua jenis karakter keturunan Tiongkok yang berdiam di kota kami. Pertama, keturunan Tiongkok yang modern. Golongan ini, biasanya berdandan sebagaimana orang kota besar dan modis. Dan seringkali aku mengagumi kecantikan perempuan-perempuan keturunan Tiongkok yang pandai berdandan ini.

Dan golongan yang kedua, dan termasuk golongan inilah si Rosita, adalah keturunan Tiongkok yang lebih sederhana. Golongan ini lebih cekatan dalam bekerja. Mereka seperti nenek moyang mereka di tanah leluhur yang mementingkan kerja (untuk tidak dibilang gila kerja). Golongan ini biasanya berpakaian lebih sederhana, dapat dikatakan lebih mirip dengan dandanan orang dusun (desa) di sekitar kota kami. Karena penampilannya, kami menjuluki mereka sebagai "Cina Kebun."

Tapi, soal siapa yang paling kaya di antara dua golongan itu, penampilan tidaklah menentukan. Keturunan Tiongkok yang modis belum tentu lebih kaya dari pada Cina Kebun. Yang membedakan mereka adalah penampilan.

Rosita, mungkin dapat dikatakan sebagai Cina Kebun. Penilaian ini kudapat setelah aku berjalan kaki di deretan pertokoan emas. Dalam derap langkah yang tak pernah kuhitung, aku menoleh ke salah satu toko emas yang tidak terlalu besar. Aku menemukan Rosita dalam tolehanku. Inilah yang menyentak perasaanku: aku melihat Rosita tengah menggenjot gas semprot api untuk membakar emas. Ya, dia tampak sebagai tukang emas. Benar-benar tukang emas seperti kakek-nenek dan ayah ibunya.

Mengapa menyentak perasaanku?

Secara ekonomi, Rosita tentu jauh lebih berada dari padaku. Usai kami menamatkan Sekolah Menengah Atas, aku yakin, semua anak muda mulai lebur dalam mimpi membangun masa depan. Di dalam angan, tampaklah kampus di kota-kota yang lebih besar dan maju dari kampung sendiri. Kalau pun ada imaji yang berbeda dari lingkungan kampus, mungkin sebagian dari kami bermimpi menjadi polisi atau tentara. Seingatku, Rosita termasuk lulusan SMA yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Samalah denganku. Seingatku pula, dia kuliah di salah satu universitas swasta di kota Padang. Hanya itu yang kudengar waktu aku bertukar kabar saat mudik tahun-tahun pertama.

Dan waktu berjalan. Aku, hingga kini, tetap lebur dalam angan-anganku semasa lulus SMA dulu: mengunjungi negeri-negeri jauh dan mencari tahu tentang segala keadaan sedalam-dalamnya. Aku, setidaknya, masih berada dalam koridor memburu angan-angan itu. Aku, sudah bukan lagi anak kota kecil kami yang tulen. Aku menjadi orang yang berbeda. Aku perlahan mulai menjadi kosmopolit. Dunia menjadi lebih dapat kutempuh. Aku kian tak asing dengan Eropa atau Amerika, meski keinginanku untuk menjamah tempat-tempat itu belum kucapai.

Betapa paradoksnya dunia ini! Aku, yang gila akan cita-cita dan mengagumi kebebasan, ditumbuk oleh kenyataan seseorang yang harus kembali ke kampung halaman dan menggenjot gas semprot api untuk membakar emas. Seseorang itu, akan sangat mungkin, selamanya terpuruk di meja toko emas yang kecil itu. Kalau pun berubah, tentu saja seseorang itu hanya akan meluaskan tokonya, atau membuka usaha lain yang membuatnya tak ubah seperti kakek-nenek dan ayah ibunya.

Seharusnya, Rosita punya keinginan sama besar denganku. Dengan dukungan ekonominya, tentu cita-cita itu lebih gampang diraih. Tapi lihatlah! Betapa masa depan tak bisa ditebak. Di satu sisi, aku kepayahan dan gandrung dengan petualangan ke negeri-negeri jauh. Namun di sisi lain, seseorang harus kembali ke kampung halaman hanya untuk duduk di pojok toko emas.

Rosita hanya satu contoh. Golongan keturunan Tiongkok yang lebih modern, juga banyak yang bernasib seperti Rosita. Mereka sekolah di Universitas mahal seperti Universitas Trisakti dan Universitas Taruma Negara. Setelah bertahun-tahun, mereka akan kembali ke kampung halamannya. Mungkin melanjutkan usaha kelontong ayahnya, atau menjadi toke (cukong) karet.

Berhadapan dengan situasi ini, ada yang bertempur dalam perasaanku. Mengapa hidup begitu misterius? Dalam setiap perjalanan, tak ada yang mampu menerka kapan jalan akan selalu lurus dan menikung. Jika aku sibuk dengan mimpi-mimpi yang intelektual dan ingin menjamah rayah dunia, namun akan lebih banyak orang yang akan kembali ke tempat yang paling sempit dan monoton. Jika aku berusaha melakukan hal-hal baru agar hidup tak membosankan, namun lebih banyak lagi orang yang akan menjalani cara hidup yang sama hingga akhir hayat tanpa pernah mempertunjukkan rasa bosan.

Rantau memang membuatku menjadi lebih kokoh. Di tempat yang jauh dari rumah itu, kebebasan hampir dapat kudefinisikan. Tapi di kampung halaman, dunia tetaplah sesuatu yang kecil. Tentu saja kampung halaman lebih damai dari tanah rantau. Namun kedamaian itu kami jalankan dengan menganggap "yang luas di dunia luar" itu, bukanlah bagian yang perlu kami senggol dengan gairah. Hingga kami pun menjalani keseharian di kota kecil itu sebatas apa yang kami pahami dari pemahaman yang diturunkan orang tua kami.

Di kota kecil kami, kehidupan berjalan dengan lambat. Tak ada keributan besar yang mengancam. Kelakuan buruk pejabat masih bisa ditolerir karena keadaan memang (masih) terasa aman. Sungai kami yang rusak belum dianggap menjadi masalah besar yang akan mengancam kehidupan. Teman kecilku si Dedi, menjadi tukang ojek tanpa banyak mengeluh sebagaimana yang kutemui di kota-kota besar.

Duh, kampung halaman yang tak henti-henti menguji!

September 30 2009



Oleh-oleh dari Mudik (1)


Perantau, disebutlah sebagai perantau, karena ada rindu. Perantau, mestilah sekaligus perindu. Karena rindunya terhadap kampung halamannya itulah yang menyebabkan ia disebut sebagai perantau. Kerinduan itulah yang mengikatkan dirinya terhadap sejarah yang menyertai usianya.

Dan, saya kini bingung mendefinisikan apakah kini saya perantau. Memang, saya meninggalkan kampung halaman tujuh tahun lalu. Namun, selama itu pula saya hampir-hampir tidak merindukan tanah tempat memancar dari ibunda. Kalau pun saya pulang sekali setahun-dua tahun, bukan semata-mata karena saya rindu. Tetapi karena saya sadar, rumah dan ibu saya merindukan saya. Betapa kerinduan orang tua terhadap anak lebih gemerlap ketimbang rindu anak kepada orang tuanya.

Tapi, kerinduan, bagi orang yang sedang menyodorkan diri ke pintu "nganga dunia" sebagaimana saya, bukan dalam bentuk keinginan untuk menjumpai atau menyentuh sesuatu. Inilah kerinduan yang tampil dalam cara yang, menurut saya, asing dan elegan bagi perantau yang khianat:

Saya masuk ke dalam lorong (gang) rumah saya dengan mobil. Di ujung lorong, akan ada turunan pendek melewati mushalla. Dalam lima kali lompat dari mushalla, sampailah ke rumah saya. Tak ada yang berubah dengan rumah yang tak sempurna itu. Angin yang bertiup di tiap lubang jendela, rawa-rawa keladi, masihlah yang dulu-dulu juga. Bukannya tak ada yang berubah dengan rumah kecil di pojok kota kecil ini; perasaan sayalah yang tidak berubah kepadanya.

Inilah dia rahasia: perasaan yang tak berubah.

Ketika berjalan ke pasar sekaligus pusat keramaian kota, jalanan kini kain marak. Dulu, pukul 21.00 wib saja kota sudah mulai lengang. Kini, kelengangan mundur sejam kemudian. Jika waktu mendekati hari raya, kota baru tidur pada dini hari.

Kendaraan lalu lalang tak berhenti, terlalu banyak orang. Pasar yang dulu masih terdiri dari warung-warung kayu, kini berganti rupa dengan ruko-ruko beton. Semakin banyak orang yang tak saya kenal. Bukan karena saya jarang pulang, tapi karena sudah terlalu banyak orang. Tetapi, perasaan saya tidak berubah.

Tibalah saya pada saat di mana kehidupan menampakkan geraknya, sejarah menampakkan pergeserannya. Sebagaimana pergeseran lempeng bumi yang menciutkan nyali manusia, pergeseran sejarah mengharubirukan perasaan saya.

Di kota macam Jakarta, kematian hilang ritual. Jika anda bukan orang besar seperti Soeharto, Ali Alatas, atau WS Rendra, kematian hanya mencatatkan diri dalam sekejap waktu saja, dan sementara. Tapi, di kampung halaman, kematian itu menunjukkan dirinya sebagai bagian dari rantai kehidupan. Dia menyapa dengan lugas.

Di kota kecil itu, sedikit saja saya bertanya tentang tetangga, maka dengan lancar satu persatu ibu saya akan menjelaskan, "si anu meninggal dua tahun lalu karena kanker payudara, si anu pergi setahun lalu setelah saban dua bulan dua anak dan satu cucunya meninggal, si anu hampir gila karena pinjaman di bank tak terbayar hampir 40 juta, si anu belum menikah-nikah, si anu wajahnya rusak disiram air keras karena menggauli istri orang, si anu kini sudah menjadi PNS, si anu beristiri dua setelah sukses menjadi toke karet, si anu jadi bupati, si anu punya pom bensin."

Sebenarnya, peristiwa-peristiwa itu klise saja. Di Jakarta, ada banyak hal yang lebih mengerikan dan membahagiakan. Namun, dia lewat begitu saja bagi saya. Sedang di kota kecil ini, saya seperti mengenal dan mampu mengurai sejarah hidup seseorang. Kematian seorang tetangga yang ditelan usia, akan menyebabkan saya tenggelam dalam ingatan terhadap masa lalunya yang menghardik saya saat mencuri rambutannya, gaya lenggok kepalanya saat berzikir usai tarawih, dan banyak hal lain. Dengan kata lain, saya merasakan pergerakan kehidupan seseorang, terutama ketika hidupnya sudah berakhir.

Boleh dibilang, kini, di lingkungan sekitar rumah saya, sudah banyak yang meninggal. Selain kakek saya, ada banyak orang muda yang mati. Satu di antaranya adalah pemain voli andalan kampung. Satu di antaranya seorang bekas pemutar pita film bioskop kota yang sudah tak ada lagi. Si pemutar film itu mati dalam tahun yang sama dengan cucu dan anak perempuannya yang tak menikah-nikah dan mengidap kanker payudara.

Barangkali, karena kota ini berjalan lambat. Dalam setiap yang lambat, mata dan hati dapat menangkap setiap detil peristiwa, dan merasakan maknanya. Dan kematian orang-orang yang saya temui di masa lalu saya, menyebabkan saya merasa bahwa kehidupan itu benar adanya, dan kematian yang menyimpulkannya.

Saya kira, masa lalu menampar saya dengan menghamburkan deretan kematian tetangga-tetangga saya. Dia memperlihatkan saya waktu yang menguasai hidup seseorang dengan sungguh pelan, seperti adegan orang berlari yang di-slowmotion-kan dalam sebuah film.

Amboi itu hidup!

September 26 2009 Rata Penuh

Bung dan Puan (2)


Bung:
apakah istimewa bagimu?

Puan:
pertanyaan jenis apa itu?

Bung:
sudah, jawab saja!

Puan:
tak ada yang istimewa, kecuali Tuhan!

Bung:
astaga! ini "bumi manusia", selain Tuhan, tidakkah kau menemukan keistimewaan dalam kehidupanmu sehari-hari?"

Puan:
menurutmu, apa yang istimewa dari kehidupanku?

Bung:
kau, pelita yang jelita! itu saja!

Puan:
hahahaha...bagiku itu sudah bukan keistimewaan, sebab tertalu sering kudengar. adakah contoh yang lain, mungkin pada hidup orang lain ?

Bung:
kau tahu Soemitro Djojohadikoesoemo?

Puan:
seperti pernah kudengar namanya. siapa dia?

Bung:
Prabowo Subianto?

Puan:
kalau itu semua tahu. calon wakil presiden!

Bung:
ya, dia memang calon wakil presiden. lebih dari itu, dia juga dikenal sebagai penculik dan tukang menghilangkan orang. itulah masa di mana dia jaya sebagai perwira militer. dasar menantu presiden!

Puan:
?

Bung:
dan ketika Soeharto jatuh, kau tahu apa yang terjadi dengan dia? dia dianggap sebagai pelanggar HAM! lebih tragis lagi, dia terusir dari rumah istrinya, dia dianggap pengkhianat oleh ayah mertuanya sendiri. dia terjepit, oleh rakyat dianggap sebagai jenderal penculik, oleh mertua tempat dia menggandulkan kuasanya, dia dianggap pengkhianat.

Puan:
lalu, bagaimana nasibnya?

Bung:
konon, dia lari ke Yordania. di tempat itu, konon dia disambut hangat oleh sang pangeran. Tapi kisahnya di Yordania itu tak terlalu penting bagiku. Aku ingin menceritakan Soemitro.

puanku yang belia. Soemitro itu, sebagaimana dicatat oleh sejarah, dialah begawan ekonomi Indonesia. dialah salah satu anak muda yang menentang Hatta saat mengiyakan permintaan Belanda guna membayar utang kolonial yang akan dipertukarkan dengan kedaulatan negeri.

Lagi-lagi, bukan itu yang hendak kukisahkan.

Soemitro, hanyalah seorang ayah. seorang ayah yang berperasaan sebagai ayah. dan sang anak adalah Prabowo Subianto. ketika genting menguasai Indonesia, ketika Prabowo dicerca sebagai pelanggar HAM dan terusir dari rumah mertua, dengarlah yang dikatakan Soemitro:

“andaikan sampah, seorang anak harus tetap dibanggakan orang tuanya?”

Puan:
O, kau mau mengatakan, betapapun buruknya, seorang anak tetap istimewa bagi orang tuanya?

Bung:
Ya. Dan sekarang apakah istimewa bagimu?

Puan:
Kalau begitu aku tak perlu jauh-jauh mencari keistimewaan. sebuah pengakuan dari orang yang aku anggap istimewa adalah keistimewaan.

Bung:
Apakah orang yang kau anggap istimewa itu dapat dikatakan sebagai kekasih?

Puan:
siapa lagi kalau bukan pacar.

Bung:
(dengan mata yang sayu)
aku tak punya pacar. dan tanpa perlu menunggu dari pacar, aku sudah dianggap istimewa, oleh keadaaan!

Puan:
dasar! fanatik terhadap diri sendiri!

Bung:
ya. keistimewaan itu tak pernah sengaja kucari, meski aku ingin. Ia datang bersama pengalaman hidup.

Dan kini, karena pengalaman hidup, kaulah yang kuanggap istimewa!

Puan:
Dasar! Bajingan!

September 13 2009

Bung dan Puan (1)


Puan:
bung yang sedang cemar, si raja kembara, basuhlah wajahmu agar kau mencahya
tapi ingat, jangan basuh dengan air dari periukku!

Bung:
puanku yang belia, aku memang cemar, sebab manalah ada yang suci di jagad ini?
dalam cemar, bersemayamlah kebebasan,
dan kau tahu, akulah si pencinta kebebasan itu

Puan:
dan akan kau katakan, kebebasan itu ada pada tubuhku,
kau cemar, dan mencari suci pada jasadku
ingat, jangan kau ketuk pintu rumahku!

Bung:
amboi, lelaki pengembara dikutuk selalu berada dalam pengembaraannya. terikat dengan masa lalu yang kuat, masa depan yang tak pasti, dan sunyi dari perempuan

Puan:
ingat, jangan kau hubungi aku lewat telepon!

Bung:
(dengan telinga yang berdarah)
puan, rasanya aku ingin mandi di sendang pojok kota. aku kenal laki-laki tua penjaga sendang itu. dan aku cemburu padanya. betapa tidak? dialah yang memberitahu, kau senantiasa membasuh rambutmu di situ. dan air sendang si tua itulah yang membuat wangi rambutmu, wangi yang membuat dadaku rontok

Puan:
jangan sebut-sebut sendang dan laki-laki tua itu! mereka adalah lambang ketulusan. sebagaimana banyak laki-laki tua, selalu bahagia melihat anak muda. dia melihatku hampir-hampir tanpa niat! dan akulah si anak muda itu, pelita yang jelita!

Bung:
(dengan hidung yang berdarah)
puanku yang belia, bukalah kerudungmu. barang sekejap saja. bukan, bukan untuk mengajakmu mengingkari surah. aku hanya ingin menyematkan sekuntum bunga paling indah dan harum di sela rambutmu

Puan:
(dengan mata yang sayu)
bung, aku semakin ngeri...

Bung:
di mana bisa kukecup rambutmu?

Jakarta, September 11 2009

Grunge, akankah Sekedar Masa Lalu?


“The Roots of Seattle Sounds”

Pada akhirnya, ruang di depan panggung dalam sebuah kafe di sudut Kemang, Jakarta Selatan, itu kembali sepi. Sejak awal, gig itu memang tidak berhasil membuat Prost Beer Café pada Jumat malam (28/5) sesak oleh pengunjung. Apakah ini terjadi karena musik yang dimainkan oleh pemusik di atas panggung disebut sebagai grunge?

Dan entah sebab apa pula, panitia memberi tajuk gig tersebut dengan “The Roots of Seattle Sounds”. Judul tersebut mengesankan seolah-olah grunge sudah jauh terbenam dan kembali meringkuk di lembabnya cuaca Seattle, kota kecil di Washington, Amerika Serikat, yang sering disebut-sebut sebagai tanah air grunge.

Dalam periode ledakannya, grunge memang tidak sekedar dicatat sebagai genre semata. Mereka lahir dan menguasai dunia pada saat angin politik sedang bergerak untuk perubahan besar. Seperti Flower Generation pada 1960-an yang lahir karena kekesalan akibat Perang Vietnam, grunge-mesti tidak terkait langsung dengan politik internasional kala itu-muncul di masa transisi berakhirnya perang dingin antara blok barat dan blok timur.

Entah kebetulan atau tidak, hingar-bingar grunge mereda seiring dengan meredanya ideologi komunisme yang diwakili Uni Soviet sebagai lawan tanding kapitalisme-liberal yang digenggam Amerika Serikat. Tahun 1994 mungkin bisa dicatat sebagai turning point of grunge. Pada tahun kelam itu, kematian Kurt Cobain pada 8 April 1994 membubarkan salah satu ikon Seattle Sound, Nirvana.

Pada tahun yang sama, Pearl Jam membatalkan konser musim panas. Salah satu mainstreams of Seattle Sound itu keberatan terhadap agen tiket mereka, Ticketmaster, yang memasang tarif konser mereka terlalu mahal. Seakan menggelinding, keruntuhan grunge dilanjutkan dengan penampilan terakhir Alice In Chains pada 1996. Enam tahun setelah itu, vokalis Alice in Chains, Layne Staley, tewas karena overdosis setelah mengasingkan diri.

Pada tahun kematian Staley, dua punggawa Seattle Sound lainnya, Sound Garden dan Screaming Trees, meluncurkan rekaman terakhir lewat album Down on the Upside dan Dust.

Setelah rentetan peristiwa itu, grunge seperti memilih diam dan menyendiri di Seattle. Kini, barangkali hanya Pearl Jam yang menjadi simbol eksistensi kejayaan grunge. Kemunculan album Riot Act yang elegan pada 2002, seperti menjadi seruan pengingat awak Seattle Sound kepada penggila grunge di seluruh dunia: “kami masih ada.”

Lalu, apakah makna gig “The Roots of Seattle Sound” dengan beban sejarah grunge yang tak manis itu?

Sebagaimana Rock & Roll dan Flower Generation, grunge juga sebuah gerakan kebudayaan. Kemunculannya menciptakan sesuatu yang masif sebagaimana disyaratkan dalam budaya populer. Hingga pertengahan 1990-an, berpenampilan belel plus sepatu Converse All Star seperti Kurt Cobain dan mengenakan kemeja kotak-kotak serta sepatu boot ala pekerja Amerika Serikat menjadi sesuatu yang fashionable bagi jutaan anak muda di seluruh dunia.

Lebih dari itu, grunge menjadi sisi lain dari situasi modernitas Amerika Serikat yang berhasil menjadi penguasa tunggal dunia pasca keruntuhan Uni Soviet. Lirik yang satir disertai distorsi yang kelam dan bising, seolah menunjukkan bahwa di negara itu kegelisahan masyarakatnya cukup serius.

Kegelisahan masyarakat modern itu hendak pula ditunjukkan dengan cara menentang kemewahan yang digelar musisi glam rock yang sedang meraja sebelum kemunculan grunge. Grunge melakukan gerakan anti kemapanan dengan menolak pengembang rambut, tata cahaya panggung yang gemerlap, dan aksi panggung yang direkayasa sebelum pertunjukan.

Apakah makna itu sampai di Prost Beer, sebuah kafe di negara dunia ketiga yang sedang dihantui band pop melayu yang menyanyikan cinta dengan cara yang “rendah” di seluruh media massa?

Sebuah kejayaan, jika tidak dipelihara dan dimaknai dengan baik, hanya akan jatuh pada romantisme masa lalu. Bukan tidak mungkin, sepinya Prost Beer di penghujung “The Roots of The Seattle Sound” itu menunjukkan bahwa grunge hanya menyisakan “kenangan,” bukan “gerakan” dari sebuah scene musik. “The Roots” yang hanya menjadi judul dan ajang reuni, bukan sebuah perjumpaan yang memberi inspirasi.

Tapi baiklah, apapun itu, setidaknya gigs itu berupaya memperdengarkan grunge. Ada beberapa band yang saya kira perlu diceritakan penampilannya.

Pertama, si jelita itu bernama Shinta. Perempuan mungil nan manis itu menjadi frontwoman sebagai pemetik bas dan penyanyi utama dalam trio Sonic Death. Setelah membawakan beberapa lagu dari Hole, dia menutup penampilannya dengan membawakan Drunken Butterfly milik Sonic Youth.

Band ini memang dikenal sebagai pembawa lagu-lagu Sonic Youth. Namun, Shinta terlalu jelita, jari mungil yang bergerak pada fret basnya terlalu cantik untuk musik seperti Sonic Youth. Tapi tidak, tentu itu bukan ukuran untuk menilai suatu penampilan. Hanya saja, aura semrawut yang biasa terpancar dalam video-video konser seniman grunge tidak hidup pada band ini.

Lagi pula, pemain gitar Sonic Death tampak begitu rapi memainkan lagu-lagu malam itu. Maksud psychedelia dan keliaran dalam sound eksperimental Sonic Youth seperti terlalu sempurna di tangan Sonic Death!

Selanjutnya, saya terkesan oleh Besok Bubar. Sebagaimana lazimnya gig grunge di mana pun, Besok Bubar membawakan Nirvana. In Bloom dipilih menjadi lagu pembuka. Sang vokalis bernyanyi cukup baik dengan sound gitar yang tidak sembarangan. Penampilan Besok Bubar untuk sementara menghancurkan kekesalan terhadap peniru Nirvana yang tak mengerti kedalaman Kurt Cobain.

Besok Bubar berhasil membakar semangat mencapai puncak dengan Smells Like Ten Spirit. Sayang, penampilan band ini menjadi antiklimaks karena seorang pria yang saya tidak tahu berasal dari negara mana tiba-tiba naik ke panggung. Seperti mabuk alkohol, dalam bahasa Inggris pria tersebut minta diiringi menyanyikan Last Caress-nya band punk rock Misfits.

Sejak itu, penampilan band selanjutnya menjadi tidak bergairah. Besok Bubar tidak melanjutkan penampilannya usai si pria pengacau turun panggung. Tabiat seperti ini sebenarnya tidak boleh dilanjutkan. Bagaimanapun, bagi pemusik yang sedang tampil, panggung ibarat kuil bagi biarawan. Insiden seperti itu jelas merusak konsentrasi dan kenikmatan bermusik!

Apa yang saya duga di awal tulisan ini, bahwa acara ini bisa jatuh pada romantisme dan reuni kian tampak di penghujung acara. Sejak awal acara, memang band-band yang tampil seolah menyajikan ragam muasal genre grunge. Selain hits Nirvana, Pearl Jam, Sound Garden, Alice In Chains, nama-nama yang tidak terlalu mainstream seperti Mad Season, Mudhoney, Tad, juga terpancar dari panggung.

Ruang romantisme dan reuni itu adalah Aliens Sick. Band grunge yang lumayan dikenal di scene lokal ini membuka panggung dengan Glorified milik Pearl Jam. Suasana semakin terasa grunge ketika Aliens Sicks mengiringi Anda (eks gitaris Bunga), Toni Viali (vokalis Bunga), dan Dendi (vokalis kunci) menyanyikan hit Sound Garden nan megah: Spoon Man.

Selanjutnya, panggung nostalgik itu menghabiskan tiga nomor dari Pearl Jam, yakni Yellowledbetter, I am Mine, dan Elderly Woman. Tony Bunga kali ini bertindak sebagai penyanyi utama. Mendengarkan Tony bernyanyi, jelaslah bahwa Tony adalah salah satu penyanyi grunge yang paling soulfull di Indonesia.

Pada akhirnya, generasi dekade grunge Indonesia itu tenggelam dalam River of Deceit, sebuah lagu indah yang diciptakan oleh band semi permanen Mad Season, dengan Mike Mcready (gitaris Pearl Jam) dan Layney Staley sebagai dua personilnya. Cara mereka menyenandungkan lirik dan irama dalam River of Deceit, seolah menunjukkan mereka rindu terhadap masa yang jauh di kehidupan lampau mereka. Masa di mana keputusasaan diterjemahkan dalam musik bernama grunge.

The River of Deceit pulls down
The only direction of flow is down

Down,oh down
Down,oh down
Down,oh down
Down,oh down

(River of Deceit, Mad Season)

artikel ini pernah dimuat di www.jurnallica.com

Kemerdekaan yang Merasa Sepi


"Dunia tampil dengan banyak wajah (Bambang Sugiharto)"


Kemerdekaan, kalau kita masih percaya dan merasa perlu dengan istilah itu, kini sedang merasa sepi dalam kegegapgempitaan. Lampu-lampu billboard dan cahaya tajam nan pedih dari televisi yang ramai justru menyebabkan kemerdekaan merasa sunyi. Itulah buah modernisme: membuat "yang manusia" alpa dari situasi.

Dalam sebuah pengadilan di Bandung, 1930, Soekarno masih berupaya menunjukkan bahwa kemerdekaan bukanlah sesuatu yang hening. Ia merupakan jalan bagi masyarakat untuk mengurus diri sendiri, meminum airnya sendiri, memijak karpet emas yang terbangun dari tambang yang bermukim di rahim tanah sendiri. Kemerdekaan itu, masih memiliki bunyi, ia masih bisa diraba, dihimpun, dan diledakkan.

Kemerdekaan, meski terasa berat di kala itu, bukan sesuatu yang musykil. Kemerdekaan adalah sebuah keniscayaan. Meski dilingkungi penderitaan, optimisme bertindih-tindihan di dalamnya.

Mendengar pidato pembelaan Soekarno yang sosialistis itu, kita akan maklum sekaligus kagum. Tentu dengan syarat, kita memahami keadaannya. Berteriak-teriak mengenai sebuah kedaulatan politik, perjuangan penyadaran, dan sedikit demonstrasi massa, menjadi jalan yang masuk akal dalam zamannya.

Jalan yang ditempuh Soekarno ternyata masih terasa relevansinya lima hingga enam dekade selanjutnya. Radikalisme yang ditempuh Soekarno, dengan sosialismenya, mendapatkan jalan dalam pergerakan mahasiswa bawah tanah yang turut menumbangkan Soeharto pada 1998.

Kini, kabar-kabar radikalisme gerakan politik itu belum sepenuhnya hilang. Ia, seperti bau yang mengembara menumpang angin. Generasi kini, hanya mencium-cium semilirnya, sembari menduga-duga, di manakah bau yang kadang harum dan busuk itu bersumber? Di manakah kenang-kenangan radikalisme itu dapat dicapai dan diseret ke zaman ini?

Pasti, saya mengira, generasi sekarang, generasi tempat saya menumpang hidup, akan tergagap-gagap dan cemburu mencari sumber radikalisme itu.

Benar, saya merasanya ketika menghadiri peluncuran buku yang dipersembahkan buat Andi Munajat, pelopor gerakan mahasiswa 1980-an yang menghasilkan buah pada 1998. Bertempat di Pusat Kebudayaan Jerman Goethe Haust, Selasa (25/8), berkumpullah aktivis mahasiswa "kiri" yang pernah terlibat dalam usaha mematahkan kaki-kaki orde baru.

Saya lahir pada pertengahan 1980-an, dan baru menjadi mahasiswa empat tahun setelah Soeharto jatuh. Satu-satunya kesamaan saya dengan aktivis-aktivis itu, saya pernah mencicipi busuknya air liur rezim Soeharto. Hanya itu. Lainnya, saya tak banyak mengenal aktivis di Goethe itu.

Karena merasa hanya mencium semilir radikalisme, saya berusaha mencari tempat di mana saya harus berada? Di mana saya meletakkan kesadaran saya? Dan apa yang harus saya bawa dari semilir radikalisme itu ke kehidupan saya (atau kami) saat ini?

Di masa ini, mahasiswa dan pemuda lebih banyak hidup di depan layar komputer, menenggelamkan diri ke dalam situs jaring sosial Facebook, ketimbang mencari tempat teduh di sudut kampus, dan berdiskusi. Di masa ini, hampir seluruh akses informasi dapat digapai, dari video porno hingga buku asing yang dulu dilarang orde baru.

Inilah keadaan zaman ini, dunia tampil dengan banyak wajah. Pada satu wajah, dunia menenggelamkan anak muda ke dalam keterpesonaan akan yang digital, tubuh direduksi menjadi figur-figur maya. Dan itu, menyesatkan. Namun di sisi lain, yang digital itu memberi sejuta kemudahan, ide-ide radikalisme dapat dengan cepat menyebar ke pelosok paling pojok. Itu, membahagiakan.

Generasi zaman ini, sudah mendapatkan kebebasannya. Dengan beberapa klik tuts komputer atau telepon genggam, separuh dari cita-citanya-setidaknya yang paling sederhana-bisa diwujudkan.

Tapi, saya yakin, dalam kebebasan kontemporer itu, anak muda zaman kini sulit merumuskan kemerdekaannya. Pengertian kebebasan di zaman ini, tidak berbanding lurus dengan sakralnya kata KEMERDEKAAN. Dengan penjelasan itu, saya hendak mengatakan, kemerdekaan itu belum menemukan bentuk yang diinginkan rakyat. Kita memang sudah bebas, tapi belum sepenuhnya merdeka. Kemerdekaan merasa sepi.

Apakah kemerdekaan bagi kita kawan? Wahai Abang yang dulu berjuang, wahai Jenazah yang dulu menggugat, apa kemerdekaan bagi kami kini?

Jika Soekarno dulu menyebut imperialisme-kapitalisme dalam penjajahan Belanda, ia berusaha menunjukkan bangunan yang nyata tentang "musuh". Imperialisme-kapitalisme memang adalah sesuatu yang abstrak, ideologis, hidup dalam pikiran. Cuma dalam perjuangan, Soekarno hendak mengatakan," itu, dia, setan imperialisme-kapitalisme itu sedang mengejawantah dalam tubuh Belanda kolonial. Untuk membantai imperialisme-kolonialisme,
maka tumpas itu Belanda."

Perjuangan aktivis 1990-an pun demikian. Mereka sedang berbicara penindasan, otoritarianisme, dan demokrasi. Kata "penindasan" saja memang belum menunjukkan sesiapa. Sedang, otorianisme dan demokrasi memang adalah ide, paham. Namun, sebagaimana Soekarno, dengan menyebut-nyebut sejumlah istilah itu, anak muda 1990-an itu hendak mengatakan, "setan penindasan, otoritarian, dan anti demokrasi, itu menjelma dalam badan orde baru."

Jika cara berpikir itu hendak kita terapkan di zaman ini, siapa yang harus kita anggap setan? Pemerintah? Saya tidak yakin ini sepenuhnya benar, karena oposisi juga tak meyakinkan. Amerika Serikat? Saya juga tak yakin sepenuhnya benar.

Keyakinan! Ya, keyakinan akan sesuatu yang membuat kita merasa tidak merdeka di zaman inilah yang tak berani dan tak mampu didefinisikan generasi zaman kini. Saya mengira, ini terjadi bukan karena generasi sekarang lebih tolol dari yang lalu. Tetapi, karena dunia sudah tampil dengan banyak wajah! Hingga kami tak yakin lagi dengan wajah yang terpasang di wajah kami.

Kapitalisme tidak lagi hanya berkutat di dalam pabrik. Namun dia menjelma dalam angka-angka maya di gedung Bursa Efek. Mengkritik Presiden dan anggota parlemen kini tak lagi ditangkapi selama masih dianggap sesuai dengan Undang-Undang. Pengaduan masyarakat ke parlemen juga diterima, meski belum tentu dikabulkan. Gerakan masyarakat sipil sedikit-sedikit, meski sering gagal, menunjukkan pengaruhnya.

Tapi di sisi lain, yang namanya buruh, dari jaman penjajahan hingga kini, tetaplah buruh. Yang namanya petani, dari jaman kerbau hingga traktor, tetaplah "cuma petani." Yang namanya anak muda apatis dan apolitis tetap saja berkembang pesat. Yang namanya gerakan mahasiswa, tetaplah masih berdemonstrasi di sela-sela kegembiraan dalam pengaruh alkohol murah.

Penjajahan, kini sudah lebih lihai. Ia menjadi hantu, hantamannya terasa, namun jasadnya tak tersentuh. Ia menyusup lewat lampu billboard dan cahaya tajam televisi. Ia membiak lewat jejaring sosial di internet. Ia, tak cukup lagi dilawan dengan demonstrasi dan rapat rahasia di tempat terpencil pada malam buta. Karena penjajahan itu, selain menghisap darah kita, dia memberi kesempatan kita untuk bermain, dan seolah-olah membahagiakan kita.

Siapa mau lagi menawarkan pengertian Kemerdekaan yang sepi itu?"

Jakarta, Agustus 28 2009

Jarak


...ia tidak pernah hidup di tengah-tengah Rakyat pribumi secara akrab dan wajar...Hubungannya dengan Rakyat memang terbatas, tapi mendalam, dan ia melihatnya dengan pandangan yang jernih, baik tentang kekurangannya maupun kelebihannya (Pramoedya Ananta Toer tentang Kartini dalam Panggil Aku Kartini Saja).


Berjalanlah di jalan-jalan besar Jakarta pada jam-jam ramai. Di perempatan jalan, akan kita temukan anak-anak yang belum kuat tulang kakinya berkeliar menghampiri dan menyapa mobil-mobil. Kita menyebut anak-anak itu dengan pengemis atau gembel.

Simpan baik-baik pemandangan itu. Ketika sampai di tujuan, kampus, atau tempat kerja, ceritakan kembali pada rekan-rekan tentang pemandangan itu. Kalau perlu, imbuhkan nada kritik di dalamnya. Niscaya, cerita tentang anak-anak itu akan menjadi klise. "Basi," kata rekan kita yang mendengar kisah anak-anak yang belum kokoh tulang kakinya itu.

Fenomena itu bukan lagi sesuatu yang asing, yang mengoyak-ngoyakkan jantung kemanusiaan kita. Sebab dia menjadi umum, sebab dia berlangsung tanpa henti, saban hari, saban jam, di depan mata kita.

Betapa tidak menjadi klise? Coba bayangkan, jika Anda berjalan di jalan besar Jakarta dalam lima-sepuluh tahun terakhir, pernahkah Anda bertanya, kenapa anak-anak yang tulang kakinya belum kokoh itu selalu ada? Dengan usia yang nyaris sama? Dengan kata lain, tidakkah anak-anak itu bertumbuh menjadi remaja dan dewasa?

Jawaban yang paling mungkin adalah, anak-anak yang 10 tahun lalu di jalanan itu kini sudah dewasa, tapi generasi yang menyusul mereka menjadi anak-anak simpang itu yang tak pernah berhenti. Selalu ada balita di perempatan jalan.

Dan barangkali, kita sudah lebur dalam situasi itu. Kita, setidaknya jiwa kita, sama berdebunya dengan wajah anak-anak yang belum kuat tulang kakinya itu. Kita tidak dapat lagi melarikan diri dari ketidaklayakan hidup itu. Maka, jauh di sanubari yang tak tersentuh, yang pahit di jalanan itu kini sudah menjadi tawar. Kita sudah tidak berjarak lagi dengan anak-anak itu, dengan kemiskinan. Sebab itu pula, kita menjadi hambar kala berhadap-hadapan dengannya.

Bukankah seharusnya, peleburan meningkatkan persentuhan dengan lingkungan dan masyarakat? Terhadap bocah-bocah bersuara nyaring di jalan itu, kita sudah tidak merasainya lagi.

Teringatlah aku pada Kartini, perempuan anak keluarga raja yang mahsyur pada usia dua puluhan tahun itu. Dia, perempuan bangsawan berparas jelata itu, samalah dengan kita: anak muda yang menggelegak! Namun, ia menderita akibat gelegaknya itu terkurung oleh tembok istana ayahnya sebagai gadis pingitan. Dari tembok kabupaten Jepara, dapatlah ia merasa suara pecut yang membebat ke tubuh petani yang dipaksa kerja oleh Belanda.

Dari kurungan ayahnya itu pula, suaranya menggema dan mahsyur hingga ke Belanda dan daratan Eropa lainnya. Oleh Belanda, ia hendak dipersamakan dengan pejuang perempuan dari tanah India yang sedang dijajah Inggris, Pandita Ramabai.

Lalu apa yang membedakan Kartini dengan anak muda sebagaimana kita di zaman serba cepat ini? Jika Kartini terkurung dan berjarak dengan rakyatnya, ia justru dapat merasakan keluhan rakyat yang menyebabkan hidupnya tak tenang. Sedang kita, di zaman yang serba cepat ini, justru tidak lagi berjarak dengan anak-anak yang tulang kakinya belum cukup kuat itu, bahkan menganggap mereka hanya klise saja.

"JARAK"

Ya, jarak itulah yang agaknya kita perlukan di zaman serba menghamba pada yang cepat ini. Sekali waktu, di hidup kita yang rutin ini, kita perlu mengambil jarak untuk melihat. Dalam jarak itulah, gerak-gerik yang lain dapat kita cermati, dapat kita analisa. Tentu saja, jarak itu adalah jarak untuk berdiam. Sikap berjarak yang dilakukan dengan kesadaran penuh. Jarak yang menimbulkan "jeda".

Kelak, jika anak muda yang menggelegak semacam diri kita ini sudah pandai mengambil jarak, maka peleburan kita terhadap keadaan tak akan menjadi sia-sia. Meski anak-anak yang tulang kakinya belum kokoh di perempatan jalan itu tetap klise, justru, semakin klise, semakin perih dan menjadi pendendamlah kita!

To everything - turn, turn, turn
There is a season - turn, turn, turn
And a time for every purpose under heaven
(Turn! Turn! Turn! oleh The Byrds, 1966)

Agustus 18 2009

Yang Klise bagi Jurnalis


"Jurnalisme itu pekerjaan rohani"

Itulah kalimat yang paling saya ingat dalam satu pembicaraan dengan seorang wartawan senior salah satu stasiun televisi terkemuka. Di ruang kerjanya sebagai anggota Dewan Pers, perbincangan kami begitu hangat dan mengalir.

Memang, sejak pertama kali saya masuk ke ruangannya, nyaris tak ada kekakuan antara kami. Ia enerjik, tampak muda dari usianya sesungguhnya, dan ia menguncir rambut. Sebagai seorang jurnalis cum anggota Dewan Pers, dia satu dari jenis sedikit jurnalis Indonesia yang berbicara hal-hal yang subtil dan filosofis.

Ya, kebanyakan jurnalis cenderung berbicara soal-soal praktis dan mengemuka. Ini terjadi, tentu saja, karena jurnalis setiap hari berjibaku dengan situasi yang terus-menerus bergerak cepat. Jika kemarin lusa kita dikejutkan oleh ledakan bom di Marriot dan Ritz Carlton, maka sejenak kemarin kita harus mengurusi kematian Mbah Surip. Belum lagi Mbah Surip usai dibicarakan, penyair besar WS Rendra pula yang menyusul berpulang.

Belum lagi Rendra habis dibahas pengabdiannya, kita harus lagi menenggelamkan diri dalam drama kematian seseorang yang didesas-desuskan adalah Noordin M Top. Belum usai pula Noordin M Top dipastikan, muncul pula tuduhan Antasari Azhar terhadap koleganya yang menerima suap. Perubahan yang pesat itu membuat jurnalis hampir tak punya waktu untuk melihat "sesuatu di balik sesuatu".

Tapi tidak begitu dengan wartawan senior ini. Meski dia juga membahas peristiwa aktual, dia masih menyempatkan diri untuk membahasakan sesuatu yang abstrak, yang tenggelam di jauh di bawah keributan aktual yang cepat habis. Tengoklah bagaimana ia mendefinisikan jurnalisme: "jurnalisme adalah pekerjaan rohani?"

Bukankah kalimat tersebut terasa sangat abstrak. Apakah itu pekerjaan rohani? Bagaimana pula jurnalis bisa dikategorikan sebagai pekerja rohani? Sikap kritis seperti ini biasanya ada dalam diri seorang ilmuwan, filsuf, seniman, dan budayawan.

Tapi, baiklah, mari kita tinggalkan sosok wartawan senior itu. Mari kita membahas kalimat abstrak yang meluncur dari kalimatnya itu.

"Menjadi jurnalis bukanlah karena (sekedar) kerja. Menjadi jurnalis adalah panggilan jiwa. Makanya, tidak semua orang bisa menjadi jurnalis," lanjut wartawan senior itu.

Jawaban yang sungguh idealis bukan? Bagi dia, ketika seseorang memutuskan untuk menjadi wartawan, maka dia sudah harus bersiap dengan, katakanlah, upah yang kecil. Jika seseorang memutuskan menjadi wartawan, maka janganlah pernah menuntut kekayaan yang berlimpah sebagaimana toke-toke pemilik pabrik atau pemerkosa hutan rakyat.

Memang, dengan menyematkan frasa panggilan jiwa, semua profesi akan menjadi mulia. Contoh lain, seorang dokter yang menjadi dokter karena panggilan jiwanya, akan menolong siapa saja yang membutuhkan pertolongannya, peduli kaya atau miskin. Atau, seorang kakek-nenek tua di ambang maut masih bersetia menjual nasi uduk saban subuh karena keduanya sadar, jika mereka berhenti berdagang, pelanggannya akan merasa kehilangan. Padahal, anak cucunya mampu mengongkosi hidup mereka.

Dengan kata lain, jika tak ingin hidup pas-pasan atau cukup atau bukan kaya, pilihlah profesi lain, jangan jadi jurnalis! Dengan demikian, jangan katakan lagi, "apalah arti panggilan jiwa jika perut sudah memanggil-manggil?"

Tapi, apakah jurnalis tak boleh menjadi kaya? Tidakkah seharusnya publik dan dunia menghargai jurnalis selayaknya mereka memberikan upah sebagaimana dokter, manajer, akuntan, atau pekerja lain yang berpenghasilan tinggi?

Barangkali, bukan itu yang dimaksud si wartawan senior. Mungkin yang dia maksud adalah, kekayaan dari pekerjaan sebagai jurnalis itu hanyalah ekses, akibat dari kesungguhan dan kesetiaan terhadap profesi. Kekayaan bukanlah tujuan utama, panggilan jiwalah yang utama. Jika seseorang memilih menjadi jurnalis karena motif kekayaan, atau motif itu muncul seiring dalam perjalanan profesinya, itu membuatnya panggilan jiwanya rentan tercemar pengkhianatan publik. Namun jika panggilan jiwa menjadi dasar pilihannya, maka setidaknya, modal itu membuatnya batinnya kokoh.

Di penghujung pembicaraan, wartawan senior yang filosofis itu bertanya kepada saya, "sebelum Kamu bekerja di tempat Kamu sekarang, di mana Kamu bekerja?"

Saya menyebut sebuah perusahaan anak cabang salah satu korporasi media terbesar di negeri ini. Lalu dia menjawab, "kenapa Kamu keluar dari sana? Tipis (upahnya)?"

Saya tak menjawab pasti. Sebab, seingat saya, saya adalah pekerja paling rendah di ruang redaksi perusahaan itu. Rasanya tak berguna menjelaskan angka yang saya peroleh dari meja paling sudut di bekas kantor yang putih dan bersih itu.

Sebelum saya bertukaran kartu nama dan meninggalkan dia, dia berkata lagi, "ngapain keluar kalau upah di tempat kamu sekarang lebih tipis? Kita harus bisa 'mengkapitalisasi diri' kita."

"Mengkapitalisasi diri?" Ah, istilah abstrak apa lagi ini? Memanglah, wartawan senior itu terlalu filosofis...

Agustus 10 2009

Dari Sepi maka Jadi Seks dan Cinta


"orang-orang atheis itu hanya ada di buku filsafat. Dan buku filsafat terlalu sulit untuk dipahami orang awam" ( F Budi Hardiman)


Siapapun mungkin tak membantah, jatuh cinta pada transisi periode remaja pubertas ke remaja dewasa adalah jatuh cinta yang paling hebat. Jika banyak orang mengenang masa SMA adalah masa yang indah, maka masa kuliah (atau pada usia kuliah), jauh lebih indah lagi.

Mengapa bisa demikian?

Menjelang dewasa, manusia itu bagai dicampakkan ke bumi. Peringatan Jean Paul Sartre agaknya tepat untuk menjelaskan situasi ini: bahwa manusia itu terkutuk untuk berada di bumi ini. Dia bertanggung jawab atas hidupnya sendiri, dan itulah otentisitas hidup.

Menjelang dewasa adalah masa di mana setiap manusia mulai menyadari betapa nafas yang mengalir dalam rongga udara tubuhnya itu sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya. Ia mulai menyadari sebuah realitas yang seringkali disembunyikan-bahkan dimanipulasi-dalam tiap manusia yang hidup; SEPI.

Kepada seorang kawan perempuan saya pernah bertanya: apa hal yang paling dasar sebagai sebab manusia menikah? Atau memutuskan hidup bersama dengan seseorang pilihannya?

Dan dengan mulut saya sendiri saya jawab: karena manusia pada dasarnya tak tahan sepi. Kesepian itu mengerikan!

Bagi marxis yang positivis, mungkin jawaban itu terlalu puitis, romantis, tak membumi, dan membual. Jawaban yang lebih nyata adalah karena seks, kebutuhan biologis.

Saya tak menampik jawaban ini. Tapi, jawaban itu terlalu kasar. Ada yang lebih filosofis dari sekedar seks: SEPI. Seks adalah bentuk nyata dari sepi. Bukankah seks membutuhkan atau mengandaikan sebuah relasi yang lebih dari satu orang? Bahkan masturbasi yang dilakukan satu orang membutuhkan stimulasi dengan mengajak orang lain ke dalam imajinasi. Itulah ciri dari sepi. Setiap orang yang dilandanya tak tahan sendiri, ia akan mengajak orang lain untuk masuk ke dalam dirinya yang paling dalam dan purba.

Dengan kata lain, seks adalah manifestasi dari sepi. Ia adalah wujud perlawanan terhadap ketidaksanggupan akan kesendirian. Seks menjadi begitu tinggi, suci, jika ia dengan sadar dan intens dilakukan karena sepi. Sebab, dalam kesadaran akan sepi, manusia yang melakukan seks menghargai orang yang bersetubuh dengannya. Betapa penting orang lain baginya. Orang lain adalah penyelamat hidupnya. Keindahan seks kian berlipat ganda karena perasaan saling merasa penting itu terjadi secara dialogis. Dengan kata lain, sikap penghargaan itu bertimbal-balik dalam individu yang melakukan hubungan.

Itulah sepi, betapa agungnya, betapa manusiawinya, betapa tingginya. Sepi itu jualah yang datang dan disadari manusia saat ia beralih dari remaja pubertas ke remaja dewasa. Sepi dalam fase awal itu mewujud dalam jatuh cinta. Kemuliaan sepi itu membuat jatuh cinta menjadi hebat dan aduhai. Sudah jadi hukum alam, segala sesuatu yang dialami pada kali pertama selalu lebih mengesankan. Termasuk jatuh cinta di kala kesadaran akan sepi itu datang sebagai pengalaman pertama.

Jika jatuh cinta itu sukses, kebahagiaan memancur bagai airyang terbebas dari tanggul di musim hujan. Jika jatuh cinta itu patah, darah dari luka yang nganga itu lebih deras ketimbang tsunami mana pun. Mencucur dan terus mencucur....

Namun, kenanglah: sukses atau patah, sama indahnya.

Agustus 4 2009

Seorang Pengelana Meninggalkan Kekasih


yang menyebabkan tajuk nyiur di tepi sungai menjadi layu
ialah matamu
setelah kau tabur bunga-bunga dari dalam payudaramu di lantai perahu
karena matamu tahu, kayuhku tak menemu tentu
ke kelam rimba arah menuju
sebelum ku pergi
aku sedang mencari batu
sebagai penetap janji
satu di genggammu, yang lain di genggamku

semoga batu yang kan tetap kita cengkam
selama alam

agar kau tak takut cinta melupa pulang
agar aku tak takut cinta meminta pulang

lalu oleh-oleh apa yang kau harapkan jelita?

hingga bergerak kayuh pertama
hingga jarak berkabut melenyapkan kita
kau tak berkata

dan entah mengapa
kian kukayuh, sungai ini semakin ngeri
jeramjeram meninggi:
pilu tak terperi


Jakarta, July 1 2008

Gadis Manis


manisnya gadis,
adalah seribu anjing pemburu di paru-paruku
menyalak-melolong berkeliar kehilangan mangsa!

o, mataku yang hina!

Jakarta, April 2009

Di Lenteng Agung

1980-
di kali tak bernama itu
sepotong kaki terlempar dari rel kereta
hanyut dengan dingin
dan kita mengenalnya sebagai kisah tua di keruh air

apakah riwayat itu yang akan kita gubah jadi peta?
yang sesak oleh tanda seperti sepanjang jalan dua arah yang berseteru saban pagi saban senja
dengan kereta rel merah yang berbirahi mengangkang benua-benua

menebar bius dari mawar buta
merentang jala demi remuk masa

di tempat ini, mawar tumbuh menubuh seluas jalan
menyediakan tampuk, merelakan duri
untuk sepintas pandang kita tusukkan ke ujung kelingking nan lunglai
sembari meraba-raba merayakan darah yang senoktah
sebagai ungkapan cinta paling redup yang tersisa

tak!

sedikitpun takkan terbebas dari tanya
siapa pemilik sepenggal kaki yang mencapai merdeka selepas muara


Jakarta, Februari 23 2009

Anak Anjing Mengenang Ahmad Hassanain


sepi menjadi segala di batas ini
setelah cuma seekor bidadari bersayap kurus
sambil mabuk dan bertelanjang
menegah laju peluru dan membenamkan selembutnya,

di kepala tak berdarah
Ahmad Hassanain belum mati

mengapa tak mampu kau punahkan benak Hassanain wahai peluru? sehingga cerailah impiannya tentang donald bebek di tembok Gaza yang senantiasa dikisahkannya padaku, aku si anak anjing di negeri jauh banyak laut banyak sungai banyak rimba?

Israel jemu tak menemu darah
Ahmad Hassanain berbisik kepada peluru
"darahku, mencucur di dada perempuannya yang malam"

lalu, kotaku jadi lembah

setelah terkaing-kaing menahan air mata
kuburu dadamu, kasih
sebab Hassanain telah berpesan padaku

dadamu kini milikku
darahnya pembasuh mukaku
sebagai syarat sembahyang kecil untuk tawa paling kencang
demi Hassanain kecil kembali berkuasa di jalan

Jakarta, Februari 2 2009

Sekedar Kepergian


anyir dalam lidahku adalah bau masa yang jauh
yang ditinggalkan bersama secangkir susu berwarna lampau
oleh seorang perempuan yang menurunkan ungu lidahnya
di ulu hati,
lubuk badan yang kini menjadi ladang
tempat kanak-kanak menganjung lelayang
seraya menyenandungkan dendang perpisahan
"putus benang, terbanglah layang
rusak taut, intailah maut"
kini tinggal gagu,
sebentar lagi menjelma bisu

Jakarta, Januari 30 2009