Mereka menari-nari dalam hujan, main perosotan di lumpur pertanian. Sebagian mencopot pakaian, telanjang bulat. Dalam benak anak-anak muda yang sedang menyodorkan budaya tanding ini, tubuh harus diterima sebagaimana adanya. Tubuh-tubuh wanita yang telanjang harus diterima sebagaimana adanya, bukan dalam eksploitasi keindahan ala majalah Playboy. (Bre Redana tentang 40 Tahun Festival Woodstock dalam artikel “Tuhan Memberkati Kalian…” di Kompas edisi 5 Juli 2009).
Kita perlu mencatat pandangan Bre Redana tentang ketelanjangan muda-mudi di Woodstock, Bethel, New York, Amerika Serikat, sesaat setelah hujan badai di pertengahan Agustus 1969 itu. Setidaknya, dengan mengingat-ngingat kembali ketelanjangan mereka, kita tahu bahwa ketelanjangan bukanlah persoalan yang tuntas dalam masyarakat. Dan Woodstock adalah monumen dalam sejarah dunia yang berupaya memberikan pandangan berbeda mengenai “tubuh yang tak bisa lagi dihindarkan dari politik.”
Sejatinya, anak-anak muda barat itu hanyalah berupaya melawan kepicikan orang tua mereka dengan “bertelanjang.” Michel Foucault pernah menelanjangi “politik tubuh” masyarakat barat dalam bukunya yang bertajuk History of Sexuality. Foucault habis-habisan menghujat kemunafikan masyarakat barat yang menistakan ketelanjangan demi kepentingan politik.
Masyarakat barat di zaman dahulu, menurut Foucault, senantiasa menilai ketelanjangan sebagai sesuatu yang tabu. Dengan dalih moralitas agama, ketelanjangan dan seksualitas dilarang muncul di hadapan publik. Namun ironisnya, pentabuan itu dilakukan sekaligus dengan upaya memunculkan kembali seksualitas dalam bentuk yang lebih terselubung dan ideologis.
Dia mencontohkan, urusan ranjang yang seharusnya menjadi urusan paling “privat” dicampuri negara dengan membuat hitung-hitungan statistik untuk membatasi jumlah penduduk. Di sini pembicaraan seks dimunculkan kembali untuk mempolitisasi seks.Di negeri ini, kita pernah mengenal program Keluarga Bencana (KB). Dalam pandangan Foucault, program-program yang membatasi jumlah penduduk berdasarkan perhitungan statistik itu adalah siasat yang ideologis untuk mencampuri urusan ranjang masyarakat.
Program-program semacam itu, tidak semata-mata bermakna untuk membatasi jumlah penduduk demi kepentingan pembangunan. Kekuasaan, dalam rangka mempertahankan kekuasaannya, berkepentingan untuk masuk ke dalam kamar tidur rakyat dan mengatur secara tak langsung persetubuhan rakyat dengan dalih “dua anak saja cukup.” Bukankah target pembangunan suatu rezim-dengan mengendalikan jumlah penduduk-juga bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan rezim itu sendiri?
Kendati demikian, Foucault memuji kerahasiaan ketelanjangan masyarakat timur. Dia menganggap, kebudayaan timur, terutama yang ada dalam kebudayaan agama-agama bumi, justru merahasiakan ketelanjangan dan seksualitas itu untuk menghargai seksualitas itu sendiri. Masyarakat timur, menutup tubuhnya karena bagi mereka, ketelanjangan dan seksualitas adalah sesuatu yang “tinggi." Seks harus dirahasiakan karena masyarakat timur menganggapnya sakral.
Sakralitas dalam ketelanjangan dan seksualitas itulah yang tidak terdapat dalam masyarakat barat. Ketelanjangan anak-anak muda di Woodstock telah membuktikan itu. Karena kemunafikan atas tabu ketelanjangan dan seksualitas, mereka berusaha mengadopsi paradigma masyarakat timur dalam memandang ketelanjangan. Namun, mereka menterjemahkannya dalam bentuk yang lebih berani. Yakni, jika masyarakat timur merahasiakan ketelanjangan sebagai bagian dari sucinya manusia, anak muda Amerika Serikat era 1960-an itu membuka pakaiannya dengan memanusiakan “kebinatangan” manusia dalam hal seksualitas.
Namun, meski bermakna pembebasan, ketelanjangan anak muda di Woodstock tak dapat serta-merta diterapkan di Indonesia. Meskipun yang melakukannya adalah Hippies lokal yang hidup di era 1960-an. Kita tak mungkin telanjang begitu saja meski makna ketelanjangan yang dianut Flower Generation (Generasi Bunga ) itu sesungguhnya meletakkan keagungan manusia di tempat yang paling tinggi.
Tapi kita dapat menyerap prinsip dan cara pandang anak-anak muda Woodstock itu untuk menilai polemik tentang tubuh dan ketelanjangan di negara sendiri. Tanpa perlu membuka baju, bersepakat dengan pandangan “menerima tubuh apa adanya” itu dapat memberikan kita tempat yang nyaman untuk menunggu kedatangan Miyabi.
Oktober 13 2009