Bayangkan seorang penyerang belia dalam sebuah pertandingan sepakbola penting. Katakanlah, sebenarnya ia adalah penyerang penuh bakat yang baru mulai mampu membukakan mata dunia akan kebesaran bakatnya.
Dan pertandingan penting ini bukan saja penting bagi karir kesepakbolaannya, tapi juga penting bagi jati dirinya, bahkan bagi rasa malu bangsa dan negaranya. Sebagai seorang pemain muda, tak ada jalan lain baginya selain memasukkan gol sebanyak-banyaknya ke gawang lawan.
Hingga menit-menit genting, tak ada satu pun gol tercipta. Lawan memang tangguh, tapi kesebelasan tempat sang penyerang belia bernaung pun tak kalah tangguh. Pertarungan yang seru dan seimbang!
Hingga pada suatu ketika, ketika sorak sorai penonton riuh-rendah karena menahan tegang dan mengendalikan harapan, sang penyerang belia mendapatkan sebuah kesempatan yang tak terduga.
Bayangkan saja, ia berhasil mengelabui pemain belakang lawan, terus membawa bola, juga mengelabui penjaga gawang. Ia yakin, 99 persen kakinya akan menghasilkan gol, lalu kemenangan berlari menjemput kesebelasannya, memberikan ia jati diri, dan memberikan kebanggaan bagi bangsa dan negaranya.
Alhasil, tendangan yang tak kencang namun mengecoh itu hanya membentur tiang. Hanya tiga kali ia mendenguskan nafas, wasit meniup peluit panjang tanda usainya pertandingan. Kebahagiaan yang sudah berpandang-pandangan dengannya tiba-tiba menutup mata, lalu terbang menjauh bak lelayang putus yang tak terkejar karena lenyap ditelan langit.
Babak perpanjangan waktu pun digelar. Namun tak ada bola yang bersarang di gawang. Nasib buruk, adu pinalti menaklukkan kesebelasan si penyerang belia. Dalam gemilang tepuk tangan dan sorak pendukung lawan, sang penyerang belia lunglai: menjatuhkan lutut ke tanah sambil membiarkan air mata runtuh menyentuh rumput.
Kelak, berpuluh tahun kemudian, setelah ia gemilang sebagai pemain profesional, bahkan sempat menjadi pelatih yang melegenda, bayangkan ia menulis sajak berdasarkan kenangannya atas pertandingan penting itu. Demikian bunyi sajaknya:
Nikmat
Segala hasrat
Tapi tak didapat
adalah nikmat
yang paling padat
Tentu saja, tokoh penyerang belia itu adalah fiktif, pun kesebelasan dan bahwa ia menulis sajak yang berjudul “Nikmat.” Namun sajak sederhana dan kuat-ketat itu bukan fiktif. Ia sajak yang nyata dan ditulis oleh pengarang yang benar-benar ada. Sajak pendek itu ditulis oleh penyair negeri jiran bernama A Samad Said. Samad Said lahir di Durian Tunggal, Malaka, pada 1935.
Lalu apa hubungan tokoh fiktif dengan segala masalahnya dengan sajak A Samad Said?
Untuk menjawabnya, mari lontarkan lagi pertanyaan: bagaimananya caranya menjelaskan penderitaan dalam dunia yang sedang mengusung “nikmat” sebagai peristiwa utama?
Sajak pendek namun padat karangan penyair kenamaan negeri jiran itu dalam pembuka tulisan ini telah membawa saya ke dalam dunia kepenyairan yang penuh simbah peluh dan darah. Ia agaknya sedang berfilsafat tentang kehidupan sehari-sehari seorang penyair dalam dunia yang tak mungkin kering dalam puisi: penderitaan. Yakni penderitaan yang dapat dijelaskan sebagai “kenikmatan yang paling padat adalah segala hasrat yang tak didapat.”
Samad Said membenturkan wawasan kenikmatan yang berarti kesenangan dengan rasa sakit sebagai hasrat yang tak pernah didapat. Kepada pembaca, ia sedang memberikan gelanggang di mana pembaca dipaksa untuk menilai penderitaannya sebagai (mungkin) kenikmatan terbaik dalam kehidupan.
Sebagian penyair mungkin lebih senang menyebut penderitaan itu sebagai “momen puitik.” Momen di mana suatu peristiwa meninggalkan jejak yang dalam dan dapat digubah menjadi puisi.
Dan momen puitik pun menyergap penyerang belia yang tak jadi mencetak gol dalam pertandingan itu. Seluruh proses pertandingan, bahkan latihan yang ia jalani sebelum pertandingan, boleh jadi ia lakukan hanya demi pertandingan penting yang menyakitkan itu. Dalam saat genting, saat ia membawa bola sendirian, berhasil mengecoh pemain belakang berikut penjaga gawang, lalu dengan doa yang penuh menyepak bola, adalah peristiwa yang sensasional. Namun, sensasi itu kian berlipat ganda setelah gol itu tak jadi sebab bola membentur gawang. Sensasi menjadi luka setelah pertarungan itu diakhiri adu pinalti yang dimenangkan lawan.
Andaikan ia berhasil mencetak gol tunggal dan memenangkan pertandingan itu, tentu sensasinya tak kalah gila. Sebab ialah pahlawan bagi bangsa dan negaranya, serta di tempat dan waktu itulah ia menemukan “siapa dirinya.” Kemenangan itu juga membawa kesan serta akan terkenang sepanjang hidupnya.
Tapi, bukankah penderitaan selalu lebih lekat dalam ingatan ketimbang rasa senang?
Rasa girang yang hanya dalam sekejap pada diri pemain belia itulah pengalaman puitik. Ia yang hampir saja berlarian ke tepi lapangan untuk merayakan golnya harus mundur terus-menerus sampai ke titik duka terdalam. Gol dan kemenangan bagi penyerang belia itu adalah “segala hasrat yang tak didapat”. Beberapa saat usai pertandingan itu, mungkin ia menganggap kiamat membentang di seluruh tribun penonton dan langit di atas stadion: ia sama sekali tak mengalami nikmat.
Namun, tak mudah menghentikan kehidupan dalam keadaan duka yang paling basah sekalipun. Sang penyerang harus tetap hidup, jatuh cinta pada perempuan, beranak-pinak, menjadi uzur, sakit, lalu pergi mengunjungi ajal. Dalam rentang waktu yang membuat ia mengendapkan kenangannya itu, ia mulai mengenangnya dengan senyum. Itulah saat rasa sakitnya mulai berubah menjadi kebanggaan. Kebijaksanaan yang sudah mulai kokoh dalam jiwa membuatnya merasakan kenikmatan atas kegagalannya mencetak gol.
“Jarak.” Itulah yang menjadi rahasia bagaimana sang pemain dapat menyuling rasa sakit menjadi sejenis kenikmatan? Dalam dunia puisi, penyair Sutardji Calzoum Bachri mengatakan, “maka itu wahai penyair, jika engkau kebanjiran, menulislah di atas atap agar engkau tidak mudah tenggelam.”
Bagi Sutardji, seorang penyair yang terjebak dalam situasi kebanjiran, harus naik ke atap, dan membangun jarak dengan banjir itu sendiri untuk meraih kearifan yang akan dieksepresikan dalam puisi. Dari atas atap, penyair mungkin dapat melihat dari kejauhan sebatang pohon kelapa yang tenggelam separuh, sumber air serta arus yang tak kencang, suara orang-orang yang bahu-membahu menyelamatkan harta benda, tangis anak kecil. Di atas atap, ia mungkin terharu mendengar tangis bayi yang kedinginan, mungkin juga ia mengutuk pemerintah yang tak becus mengatur sistem air, mungkin juga ia kian mengagumi alam yang kehendaknya tak dapat dibantah.
Jika ia berada di dalam air, tentu ia tak sempat melihat hal-hal yang mengharukan hatinya itu. Sebab ia sibuk menyelamatkan diri, kerabat, atau harta bendanya. Dengan berada di atas atap, ia seperti masuk ke dalam apa yang disebut Sutardji “realitas lain” melalui realitas keseharian/peristiwa.
Dalam kehidupan penyerang belia, ia mungkin tak dapat melihat makna yang arif saat ia tertunduk layu sesaat setelah adu pinalti. Namun, hidup tetap memberikannya jarak pada rasa sakitnya. Jarak itu dapat dikatakan rentang usia saat ia mengalami kegagalan mencetak gol dengan saat ia menulis sajak tentang kegagalannya. Lewat jarak usia itu, barangkali saja ia bisa berpikir bahwa untuk menemukan keberhasilan, ia harus mempertaruhkan jati diri serta harga diri bangsa dan negaranya.
Mungkin ia akan menitikkan air mata untuk yang kesekian kali. Namun, air mata itu sudah menjadi air mata yang berbeda. Ia adalah air mata yang mengalir dari mata air yang jauh dan melewati berpuluh tahun perjalanan kehidupan. Dalam setiap persinggahannya, air mata itu terus-menerus berusaha menjadi “kristal”. Kristal itulah yang menjelma sebagai “nikmat terpadat dari segala hasrat yang tak didapat.”
Dan penderitaan, adalah sejarah yang tak akan pernah habis dalam kehidupan manusia. Barangkali, cara melihat kegagalan yang digunakan penyerang belia yang sudah menjadi tua itu dapat kita pinjam untuk kelak mengenang ketidakterdugaan yang mutlak dalam hidup ini. Sebagaimana juga cara Samad Said, sebagaimana juga cara Sutardji Calzoum Bachri.
Jakarta, April 23 2010
Dan pertandingan penting ini bukan saja penting bagi karir kesepakbolaannya, tapi juga penting bagi jati dirinya, bahkan bagi rasa malu bangsa dan negaranya. Sebagai seorang pemain muda, tak ada jalan lain baginya selain memasukkan gol sebanyak-banyaknya ke gawang lawan.
Hingga menit-menit genting, tak ada satu pun gol tercipta. Lawan memang tangguh, tapi kesebelasan tempat sang penyerang belia bernaung pun tak kalah tangguh. Pertarungan yang seru dan seimbang!
Hingga pada suatu ketika, ketika sorak sorai penonton riuh-rendah karena menahan tegang dan mengendalikan harapan, sang penyerang belia mendapatkan sebuah kesempatan yang tak terduga.
Bayangkan saja, ia berhasil mengelabui pemain belakang lawan, terus membawa bola, juga mengelabui penjaga gawang. Ia yakin, 99 persen kakinya akan menghasilkan gol, lalu kemenangan berlari menjemput kesebelasannya, memberikan ia jati diri, dan memberikan kebanggaan bagi bangsa dan negaranya.
Alhasil, tendangan yang tak kencang namun mengecoh itu hanya membentur tiang. Hanya tiga kali ia mendenguskan nafas, wasit meniup peluit panjang tanda usainya pertandingan. Kebahagiaan yang sudah berpandang-pandangan dengannya tiba-tiba menutup mata, lalu terbang menjauh bak lelayang putus yang tak terkejar karena lenyap ditelan langit.
Babak perpanjangan waktu pun digelar. Namun tak ada bola yang bersarang di gawang. Nasib buruk, adu pinalti menaklukkan kesebelasan si penyerang belia. Dalam gemilang tepuk tangan dan sorak pendukung lawan, sang penyerang belia lunglai: menjatuhkan lutut ke tanah sambil membiarkan air mata runtuh menyentuh rumput.
Kelak, berpuluh tahun kemudian, setelah ia gemilang sebagai pemain profesional, bahkan sempat menjadi pelatih yang melegenda, bayangkan ia menulis sajak berdasarkan kenangannya atas pertandingan penting itu. Demikian bunyi sajaknya:
Nikmat
Segala hasrat
Tapi tak didapat
adalah nikmat
yang paling padat
Tentu saja, tokoh penyerang belia itu adalah fiktif, pun kesebelasan dan bahwa ia menulis sajak yang berjudul “Nikmat.” Namun sajak sederhana dan kuat-ketat itu bukan fiktif. Ia sajak yang nyata dan ditulis oleh pengarang yang benar-benar ada. Sajak pendek itu ditulis oleh penyair negeri jiran bernama A Samad Said. Samad Said lahir di Durian Tunggal, Malaka, pada 1935.
Lalu apa hubungan tokoh fiktif dengan segala masalahnya dengan sajak A Samad Said?
Untuk menjawabnya, mari lontarkan lagi pertanyaan: bagaimananya caranya menjelaskan penderitaan dalam dunia yang sedang mengusung “nikmat” sebagai peristiwa utama?
Sajak pendek namun padat karangan penyair kenamaan negeri jiran itu dalam pembuka tulisan ini telah membawa saya ke dalam dunia kepenyairan yang penuh simbah peluh dan darah. Ia agaknya sedang berfilsafat tentang kehidupan sehari-sehari seorang penyair dalam dunia yang tak mungkin kering dalam puisi: penderitaan. Yakni penderitaan yang dapat dijelaskan sebagai “kenikmatan yang paling padat adalah segala hasrat yang tak didapat.”
Samad Said membenturkan wawasan kenikmatan yang berarti kesenangan dengan rasa sakit sebagai hasrat yang tak pernah didapat. Kepada pembaca, ia sedang memberikan gelanggang di mana pembaca dipaksa untuk menilai penderitaannya sebagai (mungkin) kenikmatan terbaik dalam kehidupan.
Sebagian penyair mungkin lebih senang menyebut penderitaan itu sebagai “momen puitik.” Momen di mana suatu peristiwa meninggalkan jejak yang dalam dan dapat digubah menjadi puisi.
Dan momen puitik pun menyergap penyerang belia yang tak jadi mencetak gol dalam pertandingan itu. Seluruh proses pertandingan, bahkan latihan yang ia jalani sebelum pertandingan, boleh jadi ia lakukan hanya demi pertandingan penting yang menyakitkan itu. Dalam saat genting, saat ia membawa bola sendirian, berhasil mengecoh pemain belakang berikut penjaga gawang, lalu dengan doa yang penuh menyepak bola, adalah peristiwa yang sensasional. Namun, sensasi itu kian berlipat ganda setelah gol itu tak jadi sebab bola membentur gawang. Sensasi menjadi luka setelah pertarungan itu diakhiri adu pinalti yang dimenangkan lawan.
Andaikan ia berhasil mencetak gol tunggal dan memenangkan pertandingan itu, tentu sensasinya tak kalah gila. Sebab ialah pahlawan bagi bangsa dan negaranya, serta di tempat dan waktu itulah ia menemukan “siapa dirinya.” Kemenangan itu juga membawa kesan serta akan terkenang sepanjang hidupnya.
Tapi, bukankah penderitaan selalu lebih lekat dalam ingatan ketimbang rasa senang?
Rasa girang yang hanya dalam sekejap pada diri pemain belia itulah pengalaman puitik. Ia yang hampir saja berlarian ke tepi lapangan untuk merayakan golnya harus mundur terus-menerus sampai ke titik duka terdalam. Gol dan kemenangan bagi penyerang belia itu adalah “segala hasrat yang tak didapat”. Beberapa saat usai pertandingan itu, mungkin ia menganggap kiamat membentang di seluruh tribun penonton dan langit di atas stadion: ia sama sekali tak mengalami nikmat.
Namun, tak mudah menghentikan kehidupan dalam keadaan duka yang paling basah sekalipun. Sang penyerang harus tetap hidup, jatuh cinta pada perempuan, beranak-pinak, menjadi uzur, sakit, lalu pergi mengunjungi ajal. Dalam rentang waktu yang membuat ia mengendapkan kenangannya itu, ia mulai mengenangnya dengan senyum. Itulah saat rasa sakitnya mulai berubah menjadi kebanggaan. Kebijaksanaan yang sudah mulai kokoh dalam jiwa membuatnya merasakan kenikmatan atas kegagalannya mencetak gol.
“Jarak.” Itulah yang menjadi rahasia bagaimana sang pemain dapat menyuling rasa sakit menjadi sejenis kenikmatan? Dalam dunia puisi, penyair Sutardji Calzoum Bachri mengatakan, “maka itu wahai penyair, jika engkau kebanjiran, menulislah di atas atap agar engkau tidak mudah tenggelam.”
Bagi Sutardji, seorang penyair yang terjebak dalam situasi kebanjiran, harus naik ke atap, dan membangun jarak dengan banjir itu sendiri untuk meraih kearifan yang akan dieksepresikan dalam puisi. Dari atas atap, penyair mungkin dapat melihat dari kejauhan sebatang pohon kelapa yang tenggelam separuh, sumber air serta arus yang tak kencang, suara orang-orang yang bahu-membahu menyelamatkan harta benda, tangis anak kecil. Di atas atap, ia mungkin terharu mendengar tangis bayi yang kedinginan, mungkin juga ia mengutuk pemerintah yang tak becus mengatur sistem air, mungkin juga ia kian mengagumi alam yang kehendaknya tak dapat dibantah.
Jika ia berada di dalam air, tentu ia tak sempat melihat hal-hal yang mengharukan hatinya itu. Sebab ia sibuk menyelamatkan diri, kerabat, atau harta bendanya. Dengan berada di atas atap, ia seperti masuk ke dalam apa yang disebut Sutardji “realitas lain” melalui realitas keseharian/peristiwa.
Dalam kehidupan penyerang belia, ia mungkin tak dapat melihat makna yang arif saat ia tertunduk layu sesaat setelah adu pinalti. Namun, hidup tetap memberikannya jarak pada rasa sakitnya. Jarak itu dapat dikatakan rentang usia saat ia mengalami kegagalan mencetak gol dengan saat ia menulis sajak tentang kegagalannya. Lewat jarak usia itu, barangkali saja ia bisa berpikir bahwa untuk menemukan keberhasilan, ia harus mempertaruhkan jati diri serta harga diri bangsa dan negaranya.
Mungkin ia akan menitikkan air mata untuk yang kesekian kali. Namun, air mata itu sudah menjadi air mata yang berbeda. Ia adalah air mata yang mengalir dari mata air yang jauh dan melewati berpuluh tahun perjalanan kehidupan. Dalam setiap persinggahannya, air mata itu terus-menerus berusaha menjadi “kristal”. Kristal itulah yang menjelma sebagai “nikmat terpadat dari segala hasrat yang tak didapat.”
Dan penderitaan, adalah sejarah yang tak akan pernah habis dalam kehidupan manusia. Barangkali, cara melihat kegagalan yang digunakan penyerang belia yang sudah menjadi tua itu dapat kita pinjam untuk kelak mengenang ketidakterdugaan yang mutlak dalam hidup ini. Sebagaimana juga cara Samad Said, sebagaimana juga cara Sutardji Calzoum Bachri.
Jakarta, April 23 2010