Thursday, April 29, 2010

Nikmat yang Berjarak


Bayangkan seorang penyerang belia dalam sebuah pertandingan sepakbola penting. Katakanlah, sebenarnya ia adalah penyerang penuh bakat yang baru mulai mampu membukakan mata dunia akan kebesaran bakatnya.

Dan pertandingan penting ini bukan saja penting bagi karir kesepakbolaannya, tapi juga penting bagi jati dirinya, bahkan bagi rasa malu bangsa dan negaranya. Sebagai seorang pemain muda, tak ada jalan lain baginya selain memasukkan gol sebanyak-banyaknya ke gawang lawan.

Hingga menit-menit genting, tak ada satu pun gol tercipta. Lawan memang tangguh, tapi kesebelasan tempat sang penyerang belia bernaung pun tak kalah tangguh. Pertarungan yang seru dan seimbang!

Hingga pada suatu ketika, ketika sorak sorai penonton riuh-rendah karena menahan tegang dan mengendalikan harapan, sang penyerang belia mendapatkan sebuah kesempatan yang tak terduga.

Bayangkan saja, ia berhasil mengelabui pemain belakang lawan, terus membawa bola, juga mengelabui penjaga gawang. Ia yakin, 99 persen kakinya akan menghasilkan gol, lalu kemenangan berlari menjemput kesebelasannya, memberikan ia jati diri, dan memberikan kebanggaan bagi bangsa dan negaranya.

Alhasil, tendangan yang tak kencang namun mengecoh itu hanya membentur tiang. Hanya tiga kali ia mendenguskan nafas, wasit meniup peluit panjang tanda usainya pertandingan. Kebahagiaan yang sudah berpandang-pandangan dengannya tiba-tiba menutup mata, lalu terbang menjauh bak lelayang putus yang tak terkejar karena lenyap ditelan langit.

Babak perpanjangan waktu pun digelar. Namun tak ada bola yang bersarang di gawang. Nasib buruk, adu pinalti menaklukkan kesebelasan si penyerang belia. Dalam gemilang tepuk tangan dan sorak pendukung lawan, sang penyerang belia lunglai: menjatuhkan lutut ke tanah sambil membiarkan air mata runtuh menyentuh rumput.

Kelak, berpuluh tahun kemudian, setelah ia gemilang sebagai pemain profesional, bahkan sempat menjadi pelatih yang melegenda, bayangkan ia menulis sajak berdasarkan kenangannya atas pertandingan penting itu. Demikian bunyi sajaknya:

Nikmat

Segala hasrat
Tapi tak didapat
adalah nikmat
yang paling padat

Tentu saja, tokoh penyerang belia itu adalah fiktif, pun kesebelasan dan bahwa ia menulis sajak yang berjudul “Nikmat.” Namun sajak sederhana dan kuat-ketat itu bukan fiktif. Ia sajak yang nyata dan ditulis oleh pengarang yang benar-benar ada. Sajak pendek itu ditulis oleh penyair negeri jiran bernama A Samad Said. Samad Said lahir di Durian Tunggal, Malaka, pada 1935.

Lalu apa hubungan tokoh fiktif dengan segala masalahnya dengan sajak A Samad Said?

Untuk menjawabnya, mari lontarkan lagi pertanyaan: bagaimananya caranya menjelaskan penderitaan dalam dunia yang sedang mengusung “nikmat” sebagai peristiwa utama?

Sajak pendek namun padat karangan penyair kenamaan negeri jiran itu dalam pembuka tulisan ini telah membawa saya ke dalam dunia kepenyairan yang penuh simbah peluh dan darah. Ia agaknya sedang berfilsafat tentang kehidupan sehari-sehari seorang penyair dalam dunia yang tak mungkin kering dalam puisi: penderitaan. Yakni penderitaan yang dapat dijelaskan sebagai “kenikmatan yang paling padat adalah segala hasrat yang tak didapat.”

Samad Said membenturkan wawasan kenikmatan yang berarti kesenangan dengan rasa sakit sebagai hasrat yang tak pernah didapat. Kepada pembaca, ia sedang memberikan gelanggang di mana pembaca dipaksa untuk menilai penderitaannya sebagai (mungkin) kenikmatan terbaik dalam kehidupan.

Sebagian penyair mungkin lebih senang menyebut penderitaan itu sebagai “momen puitik.” Momen di mana suatu peristiwa meninggalkan jejak yang dalam dan dapat digubah menjadi puisi.

Dan momen puitik pun menyergap penyerang belia yang tak jadi mencetak gol dalam pertandingan itu. Seluruh proses pertandingan, bahkan latihan yang ia jalani sebelum pertandingan, boleh jadi ia lakukan hanya demi pertandingan penting yang menyakitkan itu. Dalam saat genting, saat ia membawa bola sendirian, berhasil mengecoh pemain belakang berikut penjaga gawang, lalu dengan doa yang penuh menyepak bola, adalah peristiwa yang sensasional. Namun, sensasi itu kian berlipat ganda setelah gol itu tak jadi sebab bola membentur gawang. Sensasi menjadi luka setelah pertarungan itu diakhiri adu pinalti yang dimenangkan lawan.

Andaikan ia berhasil mencetak gol tunggal dan memenangkan pertandingan itu, tentu sensasinya tak kalah gila. Sebab ialah pahlawan bagi bangsa dan negaranya, serta di tempat dan waktu itulah ia menemukan “siapa dirinya.” Kemenangan itu juga membawa kesan serta akan terkenang sepanjang hidupnya.

Tapi, bukankah penderitaan selalu lebih lekat dalam ingatan ketimbang rasa senang?

Rasa girang yang hanya dalam sekejap pada diri pemain belia itulah pengalaman puitik. Ia yang hampir saja berlarian ke tepi lapangan untuk merayakan golnya harus mundur terus-menerus sampai ke titik duka terdalam. Gol dan kemenangan bagi penyerang belia itu adalah “segala hasrat yang tak didapat”. Beberapa saat usai pertandingan itu, mungkin ia menganggap kiamat membentang di seluruh tribun penonton dan langit di atas stadion: ia sama sekali tak mengalami nikmat.

Namun, tak mudah menghentikan kehidupan dalam keadaan duka yang paling basah sekalipun. Sang penyerang harus tetap hidup, jatuh cinta pada perempuan, beranak-pinak, menjadi uzur, sakit, lalu pergi mengunjungi ajal. Dalam rentang waktu yang membuat ia mengendapkan kenangannya itu, ia mulai mengenangnya dengan senyum. Itulah saat rasa sakitnya mulai berubah menjadi kebanggaan. Kebijaksanaan yang sudah mulai kokoh dalam jiwa membuatnya merasakan kenikmatan atas kegagalannya mencetak gol.

“Jarak.” Itulah yang menjadi rahasia bagaimana sang pemain dapat menyuling rasa sakit menjadi sejenis kenikmatan? Dalam dunia puisi, penyair Sutardji Calzoum Bachri mengatakan, “maka itu wahai penyair, jika engkau kebanjiran, menulislah di atas atap agar engkau tidak mudah tenggelam.”

Bagi Sutardji, seorang penyair yang terjebak dalam situasi kebanjiran, harus naik ke atap, dan membangun jarak dengan banjir itu sendiri untuk meraih kearifan yang akan dieksepresikan dalam puisi. Dari atas atap, penyair mungkin dapat melihat dari kejauhan sebatang pohon kelapa yang tenggelam separuh, sumber air serta arus yang tak kencang, suara orang-orang yang bahu-membahu menyelamatkan harta benda, tangis anak kecil. Di atas atap, ia mungkin terharu mendengar tangis bayi yang kedinginan, mungkin juga ia mengutuk pemerintah yang tak becus mengatur sistem air, mungkin juga ia kian mengagumi alam yang kehendaknya tak dapat dibantah.

Jika ia berada di dalam air, tentu ia tak sempat melihat hal-hal yang mengharukan hatinya itu. Sebab ia sibuk menyelamatkan diri, kerabat, atau harta bendanya. Dengan berada di atas atap, ia seperti masuk ke dalam apa yang disebut Sutardji “realitas lain” melalui realitas keseharian/peristiwa.

Dalam kehidupan penyerang belia, ia mungkin tak dapat melihat makna yang arif saat ia tertunduk layu sesaat setelah adu pinalti. Namun, hidup tetap memberikannya jarak pada rasa sakitnya. Jarak itu dapat dikatakan rentang usia saat ia mengalami kegagalan mencetak gol dengan saat ia menulis sajak tentang kegagalannya. Lewat jarak usia itu, barangkali saja ia bisa berpikir bahwa untuk menemukan keberhasilan, ia harus mempertaruhkan jati diri serta harga diri bangsa dan negaranya.

Mungkin ia akan menitikkan air mata untuk yang kesekian kali. Namun, air mata itu sudah menjadi air mata yang berbeda. Ia adalah air mata yang mengalir dari mata air yang jauh dan melewati berpuluh tahun perjalanan kehidupan. Dalam setiap persinggahannya, air mata itu terus-menerus berusaha menjadi “kristal”. Kristal itulah yang menjelma sebagai “nikmat terpadat dari segala hasrat yang tak didapat.”

Dan penderitaan, adalah sejarah yang tak akan pernah habis dalam kehidupan manusia. Barangkali, cara melihat kegagalan yang digunakan penyerang belia yang sudah menjadi tua itu dapat kita pinjam untuk kelak mengenang ketidakterdugaan yang mutlak dalam hidup ini. Sebagaimana juga cara Samad Said, sebagaimana juga cara Sutardji Calzoum Bachri.

Jakarta, April 23 2010






Wednesday, April 21, 2010

Kejelataan


Kekejaman yang paling keji adalah kemiskinan (Mahatma Gandhi)


Kemiskinan adalah mayoritas. Dan negara dunia ketiga adalah rumahnya yang utama. Sebab itu, segala soal tentang kemiskinan menjadi penting. Yang miskin selalu menjadi buah bibir, selalu menjadi soal dengan membangkitkan setiap musuhnya demi menghidupkan pertentangan.

Karena yang miskin adalah mayoritas, maka ia tak dapat dianggap enteng. Itulah sebabnya banyak penguasa, dan calon penguasa, di tempat mana pun, mencoba-coba membahas kemiskinan. Kemiskinan menjadi penting karena ia adalah modal besar untuk dipertukarkan dalam padang kekuasaan yang tak bertuan.

Namun, dunia menyelipkan tangan kanannya untuk menuju ke kiri tubuh melewati punggung. Kemiskinan itu dibahas namun di saat bersamaan diringkus ke dalam karung bolong hingga tak pasti lagi tampak lekuk tubuhnya. Inilah situasi di mana kemiskinan itu dibenci namun ditarik ke gelanggang untuk mencapai kemenangan-kemenangan.

Yang miskin itu disederhanakan dengan nama “angka kemiskinan”, atau “pendapatan per kapita”, atau “jumlah minimal dollar sebagai pendapatan minimal per hari setiap warga di suatu negara.” Yang miskin, dalam diskursusnya sebagai mayoritas, bukan lagi orang-orang dengan kulit yang nyaris bersisik, wajah yang berminyak karena akrab dengan polusi. Tapi ia adalah angka-angka dalam mulut seorang menteri bidang ekonomi atau bidang kesejahteraan.

Dan malanglah yang miskin, sebab model hidup seperti yang mereka tampilkan pada dunia menjadi model yang kotor. Tak ada satu negeri pun di bumi ini yang mencita-citakan masyarakatnya menjadi miskin. Terminologi miskin menyala sebagai kata sifat untuk dijadikan musuh. Dari sana, negara pun mulai mengatur-ngatur bagaimana yang miskin dapat dilenyapkan.

Tapi, apakah kemiskinan itu hilang meski semua pemimpin bercita-cita tentang hilangnya kemiskinan?

Negara dunia ketiga adalah akuarium yang jernih untuk melihat keadaan itu. Pun, pengertian kemiskinan dalam akuarium itu baru bisa muncul setelah ada sesuatu di luar akuarium yang bisa menyimpulkannya sebagai kemiskinan. Boleh jadi, sesuatu dari luar akuarium yang pandai bicara itu kita sebut dengan Barat.

Dan kemiskinan adalah “given” dalam jiwa kehidupan. Maka dari itu, tak ada jiwa yang tak kenal dengan kemiskinan, pun anak raja yang sejak lahir hingga mati tetap jadi raja. Kemiskinan adalah wajah dunia sebenarnya. Sementara kesejahteraan, hanyalah upaya yang terus-menerus diupayakan.

Dan hal itu tidak terdengar sebagai keputusasaan. Sebab, justru dalam upaya yang abadi pengertian sejahtera itu bisa diperoleh. Segalanya terukur dalam sebuah pusaran yang berputar tak menentu-sejumlah perubahan kecil juga signifikan. Sementara orang-orang yang berjarak dari pusaran itu, selamanya akan menjadi miskin.

Yang miskin sebagai orang-orang jelata, sebagaimana yang sering bergulung dalam air ludah menteri bidang keuangan atau bidang kesejahteraan, tentu adalah pihak yang merugi berlipat ganda. Jelata, tidak saja miskin secara harta, tapi juga kemiskinan hartanya itu merusak jiwa.

Itulah sebabnya perilaku-perilaku jelata seperti mencuri ayam, merampok toko, mencopet di pasar tradisional, menjambret di bis, memalak, selalu dijahanamkan. Kemiskinan, rentan jatuh pada kegiatan yang melompat ke luar batas norma.

Friedrich Nietzsche dalam Zarathustra episode Tentang Rakyat Jelata, bahkan dengan sinis mengomentari jelata sebagai orang kehausan, menjijikkan, dan penyakitan.

Kehidupan adalah air mancur kegembiraan; tetapi di mana para jelata juga minum, semua sumur menjadi teracuni…Aku mencintai semua yang bersih tetapi aku tidak suka melihat mulut-mulut menyeringai dan kehausan dari orang-orang penyakitan.

Bagi jelata yang sebenar-benar jelata, memang pernyataan ini menyakitkan. Kerugian yang mereka terima berlipat ganda: mental dan material. Tetapi, mari kita bersihkan kata “jelata” itu sehingga sekedar menjadi kata sifat. Dan mari kita gunakan “sifat jelata” itu untuk menunjukkan kejelataan.

Sifat jelata, atau sifat sebagai yang miskin, itulah yang sebenarnya berbahaya. Miskin sebagai sifat itulah yang menyebabkan tak ada orang di dunia ini yang benar-benar tak miskin. Seseorang boleh jadi adalah pengusaha atau politikus terkenal, tapi tidakkah dalam banyak atau sedikit waktu mereka menggunakan cara-cara yang merugikan orang lain? Jika seorang pengusaha dinilai oleh buruhnya tak adil, maka ketidakadilan itu adalah sifat miskinnya. Sebab, bukankah yang miskin adalah pihak yang rentan bertindak mengambil sesuatu yang bukan haknya? Bukankah dia sendiri menjadi tidak adil?

Untuk itulah, Zarathustra berkata:

Dan aku balikkan punggungku terhadap aturan-aturan bilamana aku melihat apa yang kini mereka sebut sebagai peraturan: tukar-menukar dan tawar menawar demi kekuasaan-dengan jelata!

Tapi, lagi-lagi, jelata itu adalah wajah dunia yang sebenarnya. Berkata Zarathustra, dan banyak orang yang berpaling dari kehidupan, sebenarnya berpaling dari para jelata: mereka tidak ingin berbagi sumur dan api dan buah dengan jelata itu.

Kini sifat kemiskinan itu menampakkan wajahnya yang ganda, yang bersisian ibarat kembar siam yang mati kedua-duanya jika dipisahkan. Kemiskinan dan kejelataan adalah musuh, di sisi lain, dia pulalah yang menjadi pupur di wajah kita.

Bagi jelata yang ada dalam angka-angka di mulut menteri bidang keuangan atau bidang kesejahteraan, kehidupan adalah dunia dan dirinya sendiri sebagai manusia yang terlanjur lahir. Hidup bernilai sebagai kegagalan penciptaan.

Tetapi, hukum ini juga berlaku bagi mereka yang mampu keluar dari air liur menteri bidang keuangan atau bidang kesejahteraan. Mereka memang tak akan dihantui rasa lapar dan mandi di air yang kumuh, tetapi kemiskinan yang tak punah di sekelilingnya akan menyebabkan kesejahteraan bukan sesuatu yang mutlak. Segalanya terancam. Dan hidup dalam keadaan terancam adalah hidup yang kekurangan, sementara hidup dalam kekurangan adalah kemiskinan, lalu kemiskinan adalah jelata.

Saya menganggap rasa jijik Zarathustra terhadap jelata sebagai inspirasi. Ini bisa dilakukan jika kita membelokkan pikiran kita sesuai arah yang kita mau pada pernyataan-pernyataannya yang sekali didengar akan menghunjam ulu hati jelata.

Jadi, biarlah kita hidup di atas mereka bagaikan angin-angin teguh, bertetangga dengan elang-elang, bertetangga dengan salju, bertetangga dengan matahari: demikianlah angin kuat itu hidup.

Lebih dari seabad sejak kematian sang filosof, kemiskinan yang ia hentakkan sampai terbenam ke bumi itu tak jua lenyap, malah makin terbang menyaingi sayap “elang-elang” di “angin-angin teguh.” Tentulah, ia bercerita tentang cita-cita. Lazimnya cita-cita, adalah inspirasi, perangsang yang membuat kehidupan bergerak menghasilkan zaman. Itulah inspirasi mencibir kemiskinan agar kemiskinan itu lenyap. Meski perasaan belum pasti, sebab yang miskin masih bercakap-cakap dengan jelas di dekat lubang telinga kita.

Jakarta, April 19 2010

Penjajahan Air Conditioner


“Enak juga ya, semilirnya,” ujar seorang kawan yang matanya setengah mengantuk di bawah lubang penyejuk ruangan (air conditioner/ac).


“Lho, kok semilir?” protes saya. Saya tiba-tiba tersengat dan merasa terganggu dengan kata semilir untuk angin yang berasal dari mesin penyejuk ruangan itu. Buat saya, “semilir” terlalu indah untuk menunjuk hembusan angin dari ac.

Apa sebab?

Barangkali benar kata para ahli linguistik itu, bahwa bahasa adalah juga sebuah dunia. Bahasa, dalam sistemnya, memiliki aturan mainnya sendiri yang tidak (selalu) bisa diterabas begitu saja oleh masyarakat yang menggunakannya.

Bagi masyarakat Indonesia, apa yang terbayang ketika mendengar kata “se-mi-lir?” Jika ia digunakan untuk hubungannya dengan angin, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya sebagai “sejuk karena ada angin yg bertiup perlahan-lahan.”

Jika kata semilir itu dibaca secara kaku menurut pengertian yang tercantum dalam kamus, maka tak ada yang salah dengan “angin yang semilir dari lubang ac.” Lagi-lagi, karena bahasa adalah sebuah dunia-semacam organisme, ia terikat dengan segala situasi yang melingkunginya.

Bahasa, atau kata, merupakan abstraksi dari benda-benda dan peristiwa. Dengan menyebut suatu kata, maka ia memunculkan imaji dalam pikiran yang mengasosiasikan kata tersebut pada sesuatu yang konkrit. Misalnya, kata semilir akan menunjuk pada peristiwa nyata adanya angin yang bertiup perlahan.”

Tapi apakah peristiwa bertiupnya angin itu sama sekali bebas dari situasi? Apakah ia lahir tanpa masyarakat? Tidakkah mungkin ada pohon, manusia, rumput, bukit, gedung, pesawat terbang, anak kecil, layang-layang, atau antene, di saat angin perlahan itu muncul? Di titik inilah bahasa menggugat: ia tidak bisa digunakan disembarang tempat. Jika pun digunakan, ia akan menggugat pertalian wawasan kultural dan kebahasaan masyarakat yang menggunakannya.

Semilir, dalam kenangan saya, akrab dengan alam pedesaan Indonesia yang tropis, hijau, penuh pohonan, padang rumput dan gembala, serta pantai. Kenangan saya itu menjadi wajar karena memang demikianlah alam asli Indonesia. Dan kata semilir itu digunakan masyarakat Indonesia jauh sebelum teknologi bernama ac masuk dalam keseharian masyarakat Indonesia.

Bagi saya, ac dan angin di padang rumput adalah sesuatu yang sangat jauh bedanya. Di padang rumput, angin bukanlah hasil rekayasa, setidaknya, demikianlah kita membayangkan angin saat dilekatkan dengan kata semilir. Sementara ac, adalah teknologi yang memanipulasi angin.

Lalu, apa kata yang tepat dalam bahasa Indonesia untuk menyebut angin perlahan yang berhembus dari ac? Inilah pelik bahasa. Tidak semua kata dari bahasa Inggris dapat diterjemahkan ke bahasa Indonesia sesuai konteks tanah air di mana kata itu lahir. Pendeknya, tak semua bahasa asing itu memiliki ungkapan yang pas dalam lidah melayu kita. Akibatnya, kita dipaksa untuk memadan-madankan bahasa asli kita pada benda yang datang dari jauh itu.

Gejala ini tak bisa dipandang sebagai masalah pelik bahasa semata. Saya melihatnya sebagai penjajahan bahasa (saya kira ada ahli yang menjelaskan soal ini, sayang wawasan saya soal teori linguistik tak luas).

Teknologi seperti ac, sebagai produk masyarakat barat, ia juga akan membentuk pola hidup pada kita. Memang, tak bijak jika hanya dengan alasan mempertahankan keaslian tradisi, teknologi dari barat hendak ditolak mentah-mentah. Masalahnya, apakah kita berada dalam “posisi yang setara” dengan teknologi yang asing itu saat menyambutnya.

Masalahnya lagi, dunia sudah tampil secara tak seimbang. Gagap barat dan teknologinya (sekaligus memujanya) memang sudah kita lewatkan gonjang-ganjingnya sekitar dua-tiga dekade lalu. Tapi, ia tetap berlangsung dalam bentuk yang lebih ajeg dan smooth: di alam bawah sadar. Dan, karena sudah terlanjur tak seimbang, saya yakin, itu adalah penjajahan yang ideologis. Sebagaimana seorang kawan saya yang menggunakan kata semilir tanpa merasa ada yang ganjil saat menyebutnya untuk ac.

Apakah kita berada pada posisi yang seimbang saat menggunakan semilir untuk ac? Tidakkah sebenarnya kita harus menahan benda mati seperti ac di pintu rumah kita sebelum kita mencarikannya tempat yang justru menambah indah rumah kita? Kasus seperti semilir dan ac saya kira bukan satu-satunya dalam problem kebahasaan kita. Dan penjajahan terselubung itu masih berjalan dengan dingin seperti aliran sungai bawah tanah.

Berhati-hatilah dengan benda mati di sekeliling kita! Sebab, pada dirinya terkandung sesuatu hegemoni yang mampu menjajah kesadaran manusia melalui bawah sadar. Jika Louis Althusser menyebut manusia tidak mungkin lahir ke dunia yang nir-ideologis, maka kini, benda-benda juga lahir ke dunia dan menciptakan ideologi.

Jakarta, April 7 2010