jam tebal, meja kami penuh, ladang kami panjang lagi dengan
tebu
pada beberapa hari yang cerah
engkau akan menawari aku tawa
hidupmu dan aku, berat dengan cucipudar
bergerak seperti asap menuju
pintumu, menyeberangi
perkebunan nan amifibi itu, akan menemuimu melintang,
Anne, dengan sebuah perintah;
hasutan damai kita dari banjir
dari sini menemukan sebuah biomassa yang berbeda untuk kebaikan
karena aku belum mengerti
penjelasan singkatmu,
menumbuhkan iman, dan aku harus bilang, inilah ini, bukan itu
dia yang bisa berharap, cerah seperti hijau, untuk semacam
akhir
dan yang bisa bilang, setelah
ini sebuah penghargaan atas semua penantianmu
jika puisi harus tertutup, jika hal-hal kosong berongga harus mengapung
jika beberapa mungkin bilang,
setelah menjadi layu ini, engkau harus marah untuk menulis
sebarang puisi sepenuhnya, Anne
bisakah pohon tin milikmu
dihitung
bagaikan selembar daun, sebuah stanza, dan atap runtuh ketika hujan
dalam silsilah terpencar
kita diperdebatkan menuju barang hilang dan ditemukannya seseorang
datanglah untuk mengulangi orang-orang menua yang menembakkan meriam di semua
halaman kita
*
mengumpulkan hidup, aku ingat tak ada penjaga malam
hanya tawa kita mengering ke
dalam sebuah serbuan voltase,
kemalanganku dilemparkan ke kematian
bersembunyi dalam bangkai
sebuah perahu tua
kepalaku: sebuah kebun binatang untuk setiap mangkuk kolam data
aku kembali memikul hadiah
tangan-tangan kosong
dan bertobat, ditandai dengan kehilangan tuhan,
hukum kematian yang
meraba-raba ini
aku bayangkan suara kokang pisau bedah
jatuh ke dalam kaleng
logam, dan tanganmu yang sudah pasti mendinginkan,
Anne, memperlambat semua kawanan kompromi yang liar,
mengadon tepung satu karung
100 pon milikmu
dengan tangan, dengan hati, setiap Sabtu, jam lima pagi,
sampai tengah malam
mendengar perempuan pertama yang berisik
dengan saku atau tangannya sendiri berlatih tentang bahaya menggunakan senyap
menyampaikan dengan
matematika dasar yang menanyakan keajaiban
ketika keajaiban terasa seperti pencurian: tahun-tahun tak pernah memberi
apa yang tahun-tahun tak pernah beri dan tak pernah
mempertimbangkan logika,
siklus yang harus dijalani, aku akan menciptakan logika
bagaimanapun: aku akan menciptakan logika,
langit dan halilintarnya
yang tak bersuara: aku akan menciptakan hari-hari,
sebagaimana ayahku membuat kebun, tukang kebun
merawat ruang luas dari
nisan ke nisan
membunyikan lonceng Minggu, ibuku
adalah kabut, adalah hujan,
menukar tempat-tempat
dengan parkir jalan, mengurangi kesedihan baru, waktu–dilelang
aku mengingat hal-hal tetapi
bukan apa yang ibuku bilang
yang bilang dua tahun; yang bilang kanker
adalah cara mati tanpa masuk
akal, bahkan tidak
pesawat-pesawat yang terserak; aku tak ingat apapun
ibuku pernah bilang,
dengarkan seluruh malam menuju hujan, aku
melihat semuanya:
mata, belati, mulut, Anne, aku sebersemangat gula dalam darah
From “The
World After Rain II,” II: Twice Awake (The Yale Review- September 8th
2025)
Canisia Lubrin (1984 - )