Di Jepang, di Seattle, Di
Indonesia–di sanalah mereka berada–
masing-masing bersuara keras dan lapar,
melintasi sebuah lapangan, atau duduk
di atas kemacetan, atau jatuh
ke halaman rumput beberapa kuil ke matahari itu sendiri
atau berjalan dengan kaki-kaki kuat,
seperti seorang tuan tanah. Aku kira
mereka tak mencemburui siapapun atau apapun–
tidak harimau, tidak kaisar,
bahkan tidak sang filsuf.
Mengapa mereka harus cemburu?
Angin adalah teman mereka, setidaknya pohon adalah rumah.
Tidaklah melodi, yang
telah mereka temukan, dibutuhkan.
tidaklah mereka punya langit-langit yang halus;
tanpa ragu mereka akan makan
apapun yang bisa engkau pikirkan–
jagung, tikus,
hamburger-hamburger lama–
menelan dengan semacam teriak dan nafsu
tak seorang pun tahu apakah itu adalah pamer
atau doa terimakasih terdalam. Kala matahari terbit, ketika aku berjalan keluar,
Aku melihat mereka di
pohon-pohon, atau di atas gedung-gedung,
seceria para malaikat, atau para pencuri kerja kecil
mereka yang, semalam lagi, sukses–
dan seperti semua kesuksesan, mengalihkan pikiran-pikiranku pada diriku sendiri.
Haruskah aku menuju sebuah
kehidupan yang lebih sederhana?
Sudahkah ambisiku pantas?
Sudahkah angin, selama bertahun-tahun, juga berbicara padaku?
Di suatu tempat, di antara semua pikiran-pikiranku, ada jalan setapak sempit.
Ia menarik, tetapi siapa
bisa mengikutinya?
Perlahan pagi yang penuh
membawa pada kita persamaannya yang misterius dan tercinta.
Kemudian, di cabang-cabang batang dari pusat gelapnya mereka,
semakin lebih luwes dan
cerah,
berkilau dari matahari yang terbakar dan melebur di sayap burung-burung,
seakan, cuek dan nyaman,
mereka mendamba, mereka bertengkar di cahaya warna merah, yang luas.
Crows (The New Yorker,
September 20th 2000)
Mary Oliver (1935-2019)