Thursday, September 18, 2025

Burung-Burung Gagak

Di Jepang, di Seattle, Di Indonesia–di sanalah mereka berada–
masing-masing bersuara keras dan lapar,
melintasi sebuah lapangan, atau duduk
di atas kemacetan, atau jatuh

ke halaman rumput beberapa kuil ke matahari itu sendiri
atau berjalan dengan kaki-kaki kuat,
seperti seorang tuan tanah. Aku kira
mereka tak mencemburui siapapun atau apapun–

tidak harimau, tidak kaisar,
bahkan tidak sang filsuf.
Mengapa mereka harus cemburu?
Angin adalah teman mereka, setidaknya pohon adalah rumah.

Tidaklah melodi, yang telah mereka temukan, dibutuhkan.
tidaklah mereka punya langit-langit yang halus;
tanpa ragu mereka akan makan
apapun yang bisa engkau pikirkan–

jagung, tikus, hamburger-hamburger lama–
menelan dengan semacam teriak dan nafsu
tak seorang pun tahu apakah itu adalah pamer
atau doa terimakasih terdalam. Kala matahari terbit, ketika aku berjalan keluar,

Aku melihat mereka di pohon-pohon, atau di atas gedung-gedung,
seceria para malaikat, atau para pencuri kerja kecil
mereka yang, semalam lagi, sukses–
dan seperti semua kesuksesan, mengalihkan pikiran-pikiranku pada diriku sendiri.

Haruskah aku menuju sebuah kehidupan yang lebih sederhana?
Sudahkah ambisiku pantas?
Sudahkah angin, selama bertahun-tahun, juga berbicara padaku?
Di suatu tempat, di antara semua pikiran-pikiranku, ada jalan setapak sempit.

Ia menarik, tetapi siapa bisa mengikutinya?
Perlahan pagi yang penuh
membawa pada kita persamaannya yang misterius dan tercinta.
Kemudian, di cabang-cabang batang dari pusat gelapnya mereka,

semakin lebih luwes dan cerah,
berkilau dari matahari yang terbakar dan melebur di sayap burung-burung,
seakan, cuek dan nyaman,
mereka mendamba, mereka bertengkar di cahaya warna merah, yang luas.

Crows (The New Yorker, September 20th 2000)
Mary Oliver (1935-2019)

Thursday, September 4, 2025

Ichthys

Sedalam pinggang dalam sebuah arus pada suatu hari
Aku menangkap sebuah kilasan
pada cermin sebuah mata jeli
yang membelit menusuk kami berdua
ketika melawan kail yang terkubur
Permukaan sungai dalam
ketenangannya dan luncuran bengkak
mengalir hitam dan berat
di lingkar kaki-kakiku,
mengisap sepatu botku,
melemparkannya kembali
apa yang tampak pada riaknya
berlalu surut, mengerlip
pikiran-pikiran ke dalam
aliran tahun-tahun yang telah lewat–
rasa-rasa bersalah yang keras digigit, luka-luka jalan keluar–
mendorong melalui hati,
meracuni darah, mencuat keluar.
Dalam udara musim panas yang indah,
di antara gelincir dan terjepit
ia terkesiap, dan terlintas
wajah kematian,
tak pas untuk kekacauan sementara ini,
dan kemudian, sebagaimana bahwa, kembali
ke antara dedaunan yang tenggelam,
batu-batu berguling, langit tinggi, rumput cerah–
berkilauan, rapuh seperti kaca.

Ichthys (The New Yorker, August 25th 2025)
Jay Fielden