Wednesday, October 29, 2025

Ladang Kecil

melalui kabut rendah
gunung jones
menyingsing biru terbilas
terpenoid
pepohonan menitis

perlahan mengapung
menuju musim semi
mapel dan beech
dan sungai birch

dalam banjirdatar
di mana terpencar cepat
warna-warna kuarsa

menuju kabuthutan
mencariku

                 +

jika aku adalah apapun
di bumi ini
aku sejak awal
adalah fana
dalam teriak

di bawah pohon
tanpa dedaunan
matahari menyentuh
setiap pola

sahabat
daunkembar
toothwort

bunga
hepatica

                 +

cara hujan
menyalakan arus
sungai
merentangkan hari
menambah jeda
cahaya pada langit

menjadi jujur
pada musimku
engkau butuh
presisi

aku condong
di tengah-maret
menuju matahari penuh
46˚

                 +

daun-daun palem tua
yang memakan cahaya
seluruh musim dingin
mati menyusut
di antara batu granit

tumbuh baru
warna-warna kesukaan
dijilat dengan
perak di bawah

sedikit merah jambu
seperti telinga
seekor tupai

cahaya belakang oleh matahari
aku menyukainya

                   +

aku tawarkan keindahan
juga obat-obatan
juga racun
apa yang kutawarkan
padamu tergantung

pada tepatnya
pendekatan
mengenal
tubuh ini

logikanya
seberapa salah
keintiman

akan menyakiti
kita berdua

               +

kastanye pertama
ditebangkan hama
kemudian hemlock
daya tahannya
kemampuannya

di lembah-lembah ini
yang mengapung turun
dalam naiknya
yang perlahan

yang cepat
di bawah tanah
jaringan

aku tersambung pada
kebertahananhidup kita

               +

tak ada ibukota
provinsi ini
batu-batu menyingsing
menuju punggung bukit
di barat

tak ada modal
di setapak ini
yang hanya memperbesar
ketinggian

di ceruk ini
kekecilanku
memegang kuasa

hidupku yang singkat
menciptakan nilai

                +

cara batu
di sungai
tumbuh berlumut
menggaris dekat

cara mata air
tetap dekat pada
daun palem dan teman
menggaris dekat
siapa diriku

di mana diriku
pikiranku tenggelam
matahari dalam sebuah akar

perlahan ia membakar
pembuluh-pembuluh darah bumi

Smallholding (Poets.org–Oct 29th 2025)
Brian Teare (1974)

Thursday, October 16, 2025

Matinya Seorang Naturalis

Sepanjang tahun bendungan dari rami bernanah di jantung
kota; hijau dan berkepala berat
Rami telah membusuk di sana, memberat oleh gumpalan besar rumput
Sehari-hari ia kepanasan oleh matahari yang menghukum.
Gelembung-gelembung berkumur dengan halus; botol-botolbiru
Menjahit selembar kain kasa suara yang kuat di sekitar bau.
Ada capung-capung, para kupu-kupu tampak,
Tetapi yang terbaik dari semuanya adalah air liur tebal telur katak
yang hangat yang tumbuh seperti air beku menggumpal
Di bawah teduhan tepi sungai. Di sini, setiap kali musim semi
Aku akan mengisi setoplespenuh bintik-bintik
Agar-agar sampai rentang tepi jendela di rumah,
Di laci-laci sekolah, dan tunggu dan lihat sampai
benjolan yang membesar meletus, menjadi kecebong
Lincah yang berenang. Nyonya Walls akan memberitahu kami bagaimana
Sang ayah kodok disebut seekor kodokbanteng
Dan bagaimana ia mati dan bagaimana ibu kodok
Menyebarkan ratusan telur kecil dan ini adalah
Telur kodok. Engkau juga bisa tahu cuaca dari kodok
Karena mereka kuning di bawah matahari dan coklat
Saat hujan.

     Kemudian suatu hari yang panas ketika ladang berderet
Dengan tai sapi di rumput katak-katak yang marah
Menyerbu bendungan rami; Aku menunduk melalui pagar
Menuju suara serak kasar yang belum pernah kudengar
Sebelumnya. Udara tebal dengan refrain bas.
Tepat di bawah bendungan kodok-kodok berperut kotor
terangkat di atas rumput; leher kendur mereka berdenyut seperti layar. Beberapa berharap:
Tamparan dan ceburan adalah ancaman yang kabur. Beberapa duduk
Tenang bagaikan granat-granat lumpur, kepala-kepala berlumpur mereka kentut.
Aku mual, berbalik, dan lari. Lendir raja-raja besar
Berkumpul di sana untuk membalas dendam dan aku tahu
Jika aku mencelupkan tanganku telur-telur akan mencengkamnya.

Death of Naturalist (Opened Ground–Selected Poems 1966-1999)
Seamus Heaney (1939-2013)

Saturday, October 11, 2025

Dari “Dunia Setelah Hujan” II: Terbangun Dua Kali

jam tebal, meja kami penuh, ladang kami panjang lagi dengan tebu
            pada beberapa hari yang cerah engkau akan menawari aku tawa
hidupmu dan aku, berat dengan cucipudar
            bergerak seperti asap menuju pintumu, menyeberangi
perkebunan nan amifibi itu, akan menemuimu melintang,
            Anne, dengan sebuah perintah; hasutan damai kita dari banjir
dari sini menemukan sebuah biomassa yang berbeda untuk kebaikan
            karena aku belum mengerti penjelasan singkatmu,
menumbuhkan iman, dan aku harus bilang, inilah ini, bukan itu

dia yang bisa berharap, cerah seperti hijau, untuk semacam akhir
            dan yang bisa bilang, setelah ini sebuah penghargaan atas semua penantianmu
jika puisi harus tertutup, jika hal-hal kosong berongga harus mengapung
            jika beberapa mungkin bilang, setelah menjadi layu ini, engkau harus marah untuk menulis
sebarang puisi sepenuhnya, Anne
            bisakah pohon tin milikmu dihitung
bagaikan selembar daun, sebuah stanza, dan atap runtuh ketika hujan
             dalam silsilah terpencar kita diperdebatkan menuju barang hilang dan ditemukannya seseorang
datanglah untuk mengulangi orang-orang menua yang menembakkan meriam di semua halaman kita

*

mengumpulkan hidup, aku ingat tak ada penjaga malam
             hanya tawa kita mengering ke dalam sebuah serbuan voltase,
kemalanganku dilemparkan ke kematian
             bersembunyi dalam bangkai sebuah perahu tua
kepalaku: sebuah kebun binatang untuk setiap mangkuk kolam data
              aku kembali memikul hadiah tangan-tangan kosong
dan bertobat, ditandai dengan kehilangan tuhan,
              hukum kematian yang meraba-raba ini
aku bayangkan suara kokang pisau bedah
              jatuh ke dalam kaleng logam, dan tanganmu yang sudah pasti mendinginkan,
Anne, memperlambat semua kawanan kompromi yang liar,
             mengadon tepung satu karung 100 pon milikmu

dengan tangan, dengan hati, setiap Sabtu, jam lima pagi, sampai tengah malam
             mendengar perempuan pertama yang berisik
dengan saku atau tangannya sendiri berlatih tentang bahaya menggunakan senyap
             menyampaikan dengan matematika dasar yang menanyakan keajaiban
ketika keajaiban terasa seperti pencurian: tahun-tahun tak pernah memberi

apa yang tahun-tahun tak pernah beri dan tak pernah
             mempertimbangkan logika, siklus yang harus dijalani, aku akan menciptakan logika
bagaimanapun: aku akan menciptakan logika,
             langit dan halilintarnya yang tak bersuara: aku akan menciptakan hari-hari,
sebagaimana ayahku membuat kebun, tukang kebun
             merawat ruang luas dari nisan ke nisan
membunyikan lonceng Minggu, ibuku
             adalah kabut, adalah hujan, menukar tempat-tempat

dengan parkir jalan, mengurangi kesedihan baru, waktu–dilelang
             aku mengingat hal-hal tetapi bukan apa yang ibuku bilang
yang bilang dua tahun; yang bilang kanker
             adalah cara mati tanpa masuk akal, bahkan tidak
pesawat-pesawat yang terserak; aku tak ingat apapun
             ibuku pernah bilang, dengarkan seluruh malam menuju hujan, aku
melihat semuanya:
mata, belati, mulut, Anne, aku sebersemangat gula dalam darah

From “The World After Rain II,” II: Twice Awake (The Yale Review- September 8th 2025)
Canisia Lubrin (1984 - )

 
               
              

Nokturnalku

Buailah mata buailah aku
ciptakan aku sendokkan aku
bawakan aku api unggunkan aku
sungai tak berpasangan
dan pasangkan aku

kota membakarku
surgaku membuaiku
kecerahan darah
arangkan aku karantinakan aku

ranjang ayunkan aku di pemakaman
sendirian di bawah pohon mengkudu sedang berbunga
nenekku dedaunan tertiup angin
itu adalah malam sang malam yang jatuh

Mangga membalukan aku siangharikan aku
nyamuk dan panaskan aku dan puringkan aku
selubungi buihkan aku berpisah dari lembah
berpisah dari rambutnya yang menyelendangi aku

Tengahmalamkan aku kunang-kunangkan aku ikat lavenderkan aku
buaikan aku puringkan aku syalrobekkan aku
hujan memberitahuku
hujan lebat mengguyur

Tengahmalamkan aku bugenvilkan aku pangganglah aku
diperintah oleh caranya yang hening
aku mama aku mama aku
sebuah truk bumerang

laut talium pengantinkan aku
hijau jerukkan aku
minyaki aku dua sungai minyaki aku
lembutkan aku burungkolibrikan aku

gelap geram padaku di atas batunisannya
birukan aku ngengat-ngengat meniup dedaunan
aku mama aku sang masih mencintai dewa
biarkan jatuh padaku jangan sia-siakan aku

My Nocturne (Paris Review–Fall 2025)
Ishion Hutchinson (1983 - )

 

Wednesday, October 8, 2025

Nyanyian Burung

Seekor burung bernyanyi dan aku tak tahu siapa namanya.
Dahan tempat ia bertengger berayun bersama angin yang kasar
tetapi tak membuatnya nyaris patah, aman sebagaimana adanya
pada batang raksasa sebuah pohon yang namanya aku juga tak tahu.
Akar-akarnya bernafas di bawah teka-teki bumi dengan ragam
dedaunan hijau dan bahkan bunga-bunga kecil
yang juga tak memberitahuku nama mereka.
Aku pernah berkata pada orang-orang muda di sebuah ruangan
bahwa setiap penulis pertama-tama harus menjadi seorang pengamat yang baik,
meskipun aku tak bisa membawa diriku
pada persis di momen itu untuk melihat secara langsung ke dalam matamu.
Bahkan apakah mereka mendengar?
Mungkin aku telah tumbuh lelah dengan nama-nama–ilusi dominasi.
Burung pohon dan selimut hijau akan bergerak menjadi diri mereka
di hadapan lelaki-lelaki dengan buku-buku besar mereka yang ditarik kuda.
Di hadapan yang paling pertama dengan kenangan-kenangan mitokondris
es. Es sangat banyak dan banyak nama untuk mereka.
Dan, ngomong-ngomong, sang burung berhenti bernyanyi
dan telah terbang dari pohon di dalam taman,
sang lelaki berpikir angin tergesa melaluinya
seakan-akan lari menjauh.

Bird Song (The New Yorker – Oktober 6th 2025)
Jose Antonio Rodriguez (1971- )